"Gue bukan anak kandung Mama, Papa?"
Seketika tubuh Danu melemas, ia terduduk di lantai dan menyandarkan tubuhnya di dinding. Matanya sayu menatap kosong pada kertas yang menjadi alasan mengapa Mamanya tidak menyayanginya selama ini. Ia benar-benar tidak bisa berkata-kata, tidak ada perasaan yang bisa ia rasakan selain rasa sakit yang teramat sangat. Tidak ada yang pernah benar-benar menginginkan kehadirannya.
"Den, Aden ngapain?" tanya bi Sumi lirih. Wanita tua itu mendekati tuannya lalu berlutut di hadapannya. Tidak ada sahutan yang keluar dari mulut Danu hingga ia sadar ketika melihat kertas yang ada di tangan Danu. Wanita itu terkesiap.
"Jadi ini alasannya?" ucap Danu pelan.
"Den, dengerin bi Sumi, ya. Nyonya itu sebenarnya sayang sekali sama aden, hanya saja .... " Suara wanita itu bergetar tak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya yang tentu saja tidak akan dipercaya Danu.
Danu tergelak ironi. "Sayang? Kayak gitu sayang?!" Danu mendengkus mencemooh. Ia menggeleng pelan kemudian beranjak, mengembalikan stopmap itu ke tempat semula lalu mencari kotak hitam sesuai permintaan mamanya. Tak ada lagi suara selain isakan Danu, sesekali ia menghapus air matanya yang mengalir. Rasa perih begitu menusuk hatinya. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, bahkan untuk berbicara saja ia tidak bisa. Pemuda itu marah, tapi ia harus marah kepada siapa? Kepada takdir yang mempermainkannya?
Setelah mendapatkan kotak itu Danu pergi dari sana meninggalkan bi Sumi yang menangis. Cowok itu memasuki mobilnya lalu memukul kemudinya sekuat tenaga, ia menundukkan kepala di sana. Seperti ada benjolan besar di kerongkongannya yang membuatnya semakin sesak, semakin terhimpit. Ia benar-benar jatuh kali ini.
Mengambil hp di sakunya Danu segera membuka aplikasi chat-nya lalu menulis pesan pada Sabina.
Bi, kamu di mana? Aku butuh kamu
Cukup lama ia menunggu pesannya dibaca. Namun, nihil. Sabina belum membuka pesan Danu bahkan pesan pagi tadi masih belum terbaca. Danu menghela napas, ia diam sejenak hingga sebuah ide terlintas begitu saja di kepalanya.
Siapa sih yang mau jodohin anaknya sama cowok yang nggak jelas asal usulnya kayak gue?
Cowok itu menyeringai atas idenya.
Biarin, biar hancur sekalian. Ini baru namanya totalitas.
Ia melihat cermin, memastikan wajahnya tidak terlihat jika ia habis menangis. Ia segera melajukan mobilnya setelah pintu gerbang dibuka oleh bi Sumi.
Setelah sampai di rumah Clara, Danu segera menelpon gadis itu memberi tahu jika ia sudah sampai.
Clara masuk begitu saja ke dalam mobil Danu, tak ada yang bicara ketika Danu mulai menjalankan mobilnya. Rasanya canggung bagi Clara, gadis itu merasa tidak nyaman. Namun, Danu terlihat santai. Ia yakin misinya kali ini akan berhasil. Sesekali Clara melirik Danu yang fokus menatap ke depan.
"Nu," panggil Clara pelan.
Danu bergeming, ia memilih fokus pada jalanan di depannya yang cukup macet.
"Elo beneran serius sama Sabina?"
Danu tergelak mencemooh, "Pertanyaan retoris."
Gadis itu menunduk.
"Sorry."
Keheningan kembali membentang sepanjang perjalanan.
"Elo siapa sih ngaku-ngaku jodohnya Danu?!" sentak Gisel sambil mendorong Clara hingga membentur dinding. Ia benar-benar tak terima.
"Gue emang udah dijodohin sama Danu, kenapa? Nggak terima?"
"Elo tu ya! Ngaca dong kalo Danu ogah sama elo! Justru elo tu yang pengganggu di sini. Ngerti nggak sih lo cewek gatel!"
"Udah Sel, jangan bikin ribut, ah," bujuk Andre khawatir.
"Biarin! Biar dia tau! Elo Clara! Elo nggak pernah tahu kan gimana hubungan mereka berdua?! Elo nggak pernah tahu tentang masalalu Sabina yang mengerikan sampai dia benci sama yang namanya cowok! Dan Danu berhasil bikin dia bangkit dari masa kelamnya trus dengan mudahnya elo hancurin kepercayaan Sabina gitu aja?!" Gisel tergelak ironi.
"Ngapain elo nyalahin gue gitu aja! Gue kan ngomong jujur."
"Eh ... Berengsek emang elo ya! Iya ngomong jujur, tapi nggak harus gitu juga kali! Hargai perasaan Sabina dong. Gue juga yakin Danu nggak bakal diem terus dan ngebiarin Sabina nggak tau apa-apa. Biarin Danu yang jelasin sendiri dengan caranya. Toh lagian Danu juga nggak setuju sama perjodohan itu, kan? Gue juga denger elo pernah selingkuh sama sahabatnya Danu. Lo yakin kalo elo lanjutin perjodohan ini, hidup elo kedepannya bakal bahagia?" Gisel bertanya dengan nada mencemooh.
----
"Kamu kenapa sih, Bi? Daritadi mama lihat kamu murung terus."
"Nggak pa pa, Ma." Sabina meletakkan kepalanya pada kedua tangannya yang terlipat di atas meja taman.
"Kamu yakin?" tanya Mamanya yang duduk di seberangnya.
Sabina bergeming, enggan menjawab apapun karena kenyataannya hatinya sedang buruk.
"Berantem sama Danu?"
Hening beberapa saat, Sabina menghela napas lelah.
"Bener 'kan yang Sabi bilang, semua cowok itu sama aja kayak Papa!"
"Kenapa sih?" tanya Mamanya lembut.
"Danu udah dijodohin! Danu bohongi Sabina, Ma. Siapa sih yang nggak marah?"
"Maksud kamu?"
Sabina mendongak menatap mamanya, "Danu sama kayak Papa, udah punya pasangan masih ngejar-ngejar cewek lain. Egois banget tu cowok! Dan dia masih seenaknya sendiri ngomong kalo dia cuma sayang sama Sabi. Yah gila, siapa sih yang mau dijadiin orang ketiga?"
"Eh ... jangan kasar gitu dong ngomongnya."
"Sabina kesel tau!"
"Mungkin Danu emang nggak mau dijodohin makanya dia gitu?"
"Dia bilang gitu sih, tapi kan tetep aja Danu salah, Danu nggak jujur dari awal."
"Danu pasti punya alasan kenapa dia gitu. Kamu udah dengerin penjelasannya dia?"
"Udah jelas dia salah. Apalagi yang hadis didenger sih Ma?!"
"Ya udah ya udah." Mama Sabina diam, ia tidak bisa berkata-kata lagi. Ia tidak mungkin memaksa putrinya untuk terus bersama Danu meskipun ia yakin Danu begitu mencintai Sabina. Ini masalah keluarga Danu tentu saja wanita itu mengerti Sabina tidak boleh ikut campur di dalamnya, apalagi sampai membuat kekacauan.
"Kalo Danu jodoh kamu, pasti nanti balik lagi," ujar Mama Sabina berusaha menghibur.
"Nggak!"
----
Sesampainya di restoran yang dituju, Danu langsung keluar dari mobil meninggalkan Clara. Cowok itu dengan santai mencari sosok Mama angkatnya. Ia langsung menuju ke meja itu ketika melihat ketiganya berkumpul.
"Malam Om, Tante," sapa Danu berusaha ramah. Namun, ia tidak menyapa Mamanya.
"Danu, kamu udah besar, ya. Mirip banget sama Papa kamu dulu," ujar Mama Clara semringah menyambut jabat tangan Danu.
Dalam hati Danu berdecih.
Mirip dari mananya coba? Jelas-jelas bukan anak kandung.
"Iya, kamu mirip banget sama Surya pas masih muda," sahut Papa Clara dengan tawanya, ia juga menyambut jabat tangan Danu. Danu hanya tersenyum singkat tanpa tertarik sedikitpun pada perkataan kedua orang itu.
"Mana Clara?" tanya Sandra.
"Hai semua, Hallo Tante Sandra apa kabar?" Clara datang dan langsung mencium pipi mama Danu.
"Baik sayang, kamu gimana? Katanya pindah sekolah ke tempat Danu, ya?"
"Iya, Tan. Niatnya mau bikin kejutan."
"Dan berhasil bikin seluruh penghuni sekolah terkejut," sahut Danu dengan nada mencemooh.
Sandra berdeham menyadari sikap putranya yang tidak sopan ia menatap Danu tajam.
"Ayo duduk-duduk, udah lama lho kita nggak kumpul," ujar Mama Clara memecah kecanggungan.
"Iya, udah lama banget rasanya." Clara menimpali.
"Danu, gimana sekolah kamu?"
"Biasa aja, Om. Nggak ada yang spesial," jawab Danu tak acuh.
Sandra mengepalkan kedua tangannya. Namun, ia berusaha menjaga emosinya.
"Danu, kamu udah bawa kan yang Mama titip?"
Dengan malas Danu menyerahkan kotak yang ia taruh di dalam blazer-nya.
"Ini lho jeng, oleh-oleh dari Surabaya. Kemarin waktu saya kesana sengaja beli ini buat jeng Ayu." Sandra menyerahkan kotak berisi kalung emas itu pada Mama Clara.
"Kamu Clara, punya kamu masih di perjalanan. Belum sampai. Nanti tante kirim ke rumah kamu."
"Ah ... Tante repot-repot. Makasi banyak lho."
Dengan malas Danu mendengarkan mereka berceloteh satu sama lain. Ia benar-benar tidak tahan dan ingin pergi. Bahkan setelah makanan mereka datang mereka masih berbicara tentang topik yang Danu tidak mengerti dan tidak ingin Danu mengerti. Sejak tadi ia berusaha mencari celah untuk memulai masalah.
"Danu, kok kamu nggak makan dari tadi? Makanannya nggak enak?" tanya tante Ayu.
"Danu nggak enak badan Tante. Danu pergi, ya?"
Danu berdiri sambil melirik Mamanya yang sudah terlihat kesal dengan dirinya. Dalam hati Danu menyeringai penuh kemenangan.
Sebentar lagi.
"Danu, duduk!" suruh Sandra dengan suara rendah.
Danu menghela napas, "Danu kan udah dateng Ma, udah cukup 'kan? Danu mau pulang sekarang. Danu capek."
"Danu, kamu berani ngelawan Mama?!"
Danu tergelak ringan tanpa rasa bersalah, "Lagian Danu juga nggak setuju sama perjodohan ini. Mama kan udah tau."
Emosi Sandra tak terelakkan, wanita itu berdiri kemudian menampar putranya sangat keras hingga membuat Danu cukup kesakitan. Ini pertama kalinya ia ditampar Mamanya. Semua orang yang ada di sana menoleh kearah mereka. Sementara kedua orang tua Clara cukup syok dengan apa yang baru saja terjadi.
"Kamu ini bikin malu mama, kamu tau?!"
"Danu nggak peduli Ma, bukan Danu yang memulai semua, tapi Mama! Mama maksa Danu, Mama ngerti nggak sih?!"
"Kamu...!"
"Tante udah tante," lerai Clara pada Sandra yang hendak menampar Danu lagi.
Danu tersenyum miring. "Om, Tante ... dan elo Clara, yakin masih mau dijodohin sama gue? Om sama Tante kayaknya harus tau deh kalo sebenarnya Danu itu ... bukan anak kandung dari Nyonya Atmadja yang terhormat ini." Danu tersenyum penuh kemenangan sambil menatap mereka bergantian. Sepertinya misinya berhasil, bagaimana tidak? Ekspresi kedua orang tua Clara benar-benar seperti dugaannya.
"Danu! Ngomong apa kamu?!" seru Sandra yang juga terkejut mengapa putranya bisa tahu rahasia itu.
"Danu bener kan, Ma? Danu cuma anak pungut, jadi mending batalin aja deh perjodohan ini, bisa jadi Danu anak pelacur yang dibuang di jalanan 'kan? Kalian mau punya menantu seperti saya yang nggak jelas asal usulnya?" ucap Danu dengan nada tak acuh. Persetan jika ia dicap sebagai anak tidak tahu sopan santun, lagi pula ia tidak peduli lagi. Ia sudah muak dengan semuanya.
Wajah Sandra merah padam karena kelakuan putranya yang telah mempermalukan dirinya.
"Udah ya, Danu pergi." Danu berlalu begitu saja meninggalkan kebingungan pada siapapun yang ada di sana.
"Danu!" seru Sandra.
Dengan enggan Danu menghentikan langkahnya tanpa menoleh karena ia benar-benar sudah muak.
"Tunggu Mama di rumah!"
"Tunggu-tunggu, jangan pergi," sela Clara.
Danu menoleh ke arah mereka yang kini menatap Clara.
"Pa, Ma, Tante Sandra. Sebenernya Clara juga ga mau dijodohin. Clara nggak mau habisin sisa hidup Clara sama cowok yang nggak cinta sama Clara. Jadi Clara minta untuk menghentikan perjodohan ini," ucap Clara yakin.
Danu tersenyum miring, "Denger sendiri, kan?" Ia mengangkat kedua tangannya ke udara secara dramatis kemudian pergi dari sana dengan segala amarah yang masih ia pendam. Setidaknya ia bersyukur atas keputusan Clara.
Aku bayangin si sabina ini rambutnya kalo d sekolah digerai terus agak nutupin wajah hahaha kalo d tmpt kerja diikat hehehe
Comment on chapter Rasa 2