"Kok bisa sih lo jadian sama Danu? Pake pelet apa lo?"
Sabina mendongak terkejut, tatapannya langsung bertemu dengan pantulan Gisel yang terlihat dari cermin besar di hadapannya. Gadis itu bersedekap angkuh menatap Sabina di depannya. Matanya memencarkan amarah.
Tidak mengacuhkan pertanyaan Gisel, Sabina memilih mengambil beberapa lembar tisu dari dispenser yang tertempel di dinding. Ia mengelap wajahnya yang basah karena air.
"Lo nggak bisu kan, Bi?!"
"Aku harus jawab apa? Semua terjadi begitu saja," jawab Sabina santai.
Gisel mendatangi Sabina kemudian menarik bahu Sabina agar menghadap ke arahnya.
"Serius, gue penasaran. Apa sih yang dilihat Danu dari elo?" Iris coklat Gisel melihat Sabina dari atas ke bawah. "Cantik juga enggak, gaya biasa aja nggak ada manis-manisnya. Cantikan gue kemana-mana," lanjutnya penuh percaya diri.
"Mencintai seseorang bisa terjadi kapan saja dan tanpa alasan, bisa bikin nyaman itu udah lebih dari cukup," ucap Sabina mantap.
"Jujur gue nggak terima, ya. Lo tau kan gue ngejar-ngejar Danu dari awal dia di sini, tapi dia sama sekali nggak peduliin gue. Dia malah sukanya sama elo. Sakit tau Bi, tapi nggak berdarah," rengek Gisel sambil menyandarkan tubuhnya di dinding, membuat Sabina mengernyit heran.
Jauh seperti apa yang Sabina pikirkan, ia berpikir Gisel akan melakukan kekerasan kepadanya atau sejenisnya, tapi kenapa Gisel justru terdengar seperti seseorang yang tengah curhat kepada sahabat baiknya?
Oke, ini aneh.
Sabina memilih diam, ia juga tidak memahami soal ini mengingat dirinya sendiri bukan pakar percintaan. Dia masih baru dalam hal ini.
"Kalo lo? Beneran lo nggak punya alasan suka sama Danu? Nggak mungkin, kan? Secara elo kan antisosial trus tiba-tiba nggak ada seminggu udah deket aja sama Danu," cecar Gisel.
Sabina tersenyum hangat, "Aku juga nggak ngerti, yang jelas ... aku nyaman kalo sama Danu. Sekeras apapun aku nolak Danu, sekeras apapun aku berusaha menjauh darinya, dia selalu punya cara bikin aku nyaman bersamanya, dengan perhatiannya, dengan tingkahnya yang kadang konyol, dia selalu bisa bikin aku senyum. Dia bisa yakinin aku kalo nggak semua cowok itu berengsek,-"
"Maksud lo? Lo punya trauma gitu sama cowok? Gue bahkan nggak pernah lihat lo deket sama cowok gimana lo bisa trauma?" potong Gisel.
Sabina tersenyum sambil menggelengkan kepala, "Nggak, lupain soal itu."
Gisel mengangguk mengerti. Sebenarnya ia sudah tahu dengan apa yang terjadi pada Sabina. Ia memilih diam, menjaga rahasia yang ia ketahui dengan berpura-pura tidak tahu. Beberapa hari yang lalu ia bertemu Mama Sabina saat Papanya menyumbang ke sebuah panti sosial dan tidak sengaja ia mengobrol dengan Mama Sabina. Ketika ia menyebutkan bersekolah di mana, Mama Sabina juga mengatakan jika anaknya bersekolah di tempat yang sama dengan Gisel dan ketika Gisel bertanya mengapa Sabina seperti itu, Mama Sabina mulai bercerita.
"Trus gue gimana, dong?" tanya Gisel dengan bibir mengerucut. "Masa gue kalah sama elo, tapi masa gue terus deketin Danu jelas-jelas dia nggak suka sama gue. Di mana harga diri gue coba?" Cewek berambut panjang bergelombang itu menghela napas kecewa.
Oh, masih punya harga diri?
Sabina merasakan gawainya bergetar.
"Bentar."
Ia membuka pesan yang ternyata dari Danu.
Lagi di mana, Bi? Nggak mau lihat pacarnya tanding basket? :)
Sabina tersenyum lalu membalas pesan Danu singkat.
Di toilet sama Gisel. Bentar lagi kesana.
"Pasti dari Danu, ya?"
Sabina tersenyum lalu mengangguk mengiyakan.
"Tuh kan, gue jadi nggak tega rusak hubungan kalian. Apalagi lihat elo yang sekarang lebih banyak senyum, nggak kayak mayat hidup kayak kemaren-kemaren. Serem tau!"
Sabina terkekeh pelan membuat Gisel ikut terkekeh. Ia sedikit heran dengan tingkah laku Gisel hari ini, jelas-jelas pagi tadi ia mendapat tatapan tajam dari cewek yang kini terlihat bersikap manis di depannya.
"Lo asik juga ya meskipun agak kalem, ternyata elo nggak seserem yang gue pikir. Pantes Danu suka sama elo, dia risih kali ya karena gue cerewet? Menurut lo gimana, Bi?"
"Nggak tau, bisa jadi." Sabina mengangkat kedua bahunya, seolah ia benar-benar tidak tahu. Padahal jelas-jelas Danu mengatakan semuanya.
"Tapi Andre ... dia naksir kamu, kan?"
"Ck ... iya sih. Dia pernah nembak gue, tapi gue tolak. Gue tau dia baik, perhatian, lucu. Jujur gue kadang nyaman kalo sama dia, tapi ... gue lebih tertarik sama Danu yang jelas-jelas nggak nganggep gue. Jahat emang kalo dipikir-pikir."
"Trus sekarang?" goda Sabina.
"Kayaknya mesti ku pertimbangin deh, Danu buat elo deh, gue ikhlas sekarang." Gisel tersenyum lebar lalu mencuci tangannya yang kotor setelah bermain volly.
"Bi, kita temenan yuk," tawar Gisel membuat Sabina terkejut.
"Nggak usah kaget gitu elah. Nggak salah, kan? Emang iya sih, gue dulu itu benci banget sama elo. Elo tu aneh, nggak ngomong-ngomong, sok misterius, gue juga pernah doain lo yang jelek-jelek waktu lo sama Danu ilang di hutan, tapi akhirnya gue mikir, lo kayak gitu pasti karena punya alasan dan gue nggak berhak benci sama elo soalnya elo nggak pernah jahat sama gue. Apalagi elo udah berubah sekarang jadi nggak ada salahnya 'kan kita temenan?"
Sabina terlihat menimbang-nimbang tawaran Gisel, sudah saatnya ia berubah. Benar kata Mamanya, nggak selamanya dia sendiri. Ia hanya perlu membuka diri dan melihat sekeliling, banyak orang baik di sekitarnya.
Sabina mengangguk dengan senyum lebarnya dan Gisel juga tersenyum tulus.
Gisel mengulurkan tangan kanannya, "Kenalin, gue Gisella Anastasya. kita nggak pernah kenalan, kan?"
Sabina terkekeh pelan menyambut uluran tangan Gisel, "Sabina Amanda Sahib."
"Kalo butuh apa-apa, tempat curhat mungkin, lo bisa dateng ke gue, tapi kayaknya gue deh yang bakalan sering nyari elo buat ngerjain tugas." Gelak tawa Gisel memenuhi ruangan. Sabina sadar ternyata Gisel tidak seburuk yang ada di pikirannya selama ini.
"Um ... Sel, aku mau minta maaf."
"Soal?"
"Pernah mikir kalo elo cewek gatel soalnya ngejar-ngejar Danu terus," ucap Sabina dengan perasaan bersalah.
"Santai aja, pasti bukan cuma elo yang mikir gitu. Yuk, balik ke lapangan." Gisel merangkul Sabina lalu menyeretnya keluar dari toilet.
"Ngomong-ngomong lo udah tau 'kan kalo Danu hari senin ultah."
Sabina melebarkan kedua matanya, "Yang bener? Aku baru tau."
"Idih, pacar apaan sih lo? Ultah cowok sendiri nggak tau," gurau Gisel.
---
Mendapat balasan dari Sabina, Danu langsung berlari ke arah toilet, mengabaikan teriakan teman-temannya yang sudah siap memulai pertandingan basket. Ada tiga toilet di lantai bawah dan ia mendatangi semuanya, ini sama saja keliling sekolah. Napasnya terengah ketika ia sampai di toilet terakhir dan ia yakin Sabina berada di sana.
Tepat ketika Danu berada di depan toilet wanita dia bertemu dengan Sabina dan Gisel yang berjalan beriringan, Gisel merangkul Sabina.
"Bi, kamu nggak pa pa?"
Dengan bingung Sabina melihat Danu yang terlihat kacau, "Nggak papa, emang aku kenapa?"
"Dia nggak macem-macem sama kamu, kan?" Danu menarik Sabina agar menjauhi Gisel.
"Sabi abis gue pukulin! Elah curigaan amat sih? Gini-gini gue nggak pernah ya namanya mukul orang. Lo mau jadi yang pertama gue pukul?!" cecar Gisel tidak terima ia kembali menarik Sabina agar kembali di dekatnya.
Sabina terkekeh, "Udah-udah. Aku nggak pa pa Nu kamu lihat sendiri, kan?"
"Ya ... Maaf. Habisnya Gisel gitu sih."
"Gue kenapa?!"
"Mirip-mirip pemeran antagonis di film-film," ucap Danu sambil menunjukan deretan giginya tanpa rasa bersalah membuat Gisel memutar mata kesal.
"Yuk, Bi. Tinggalin aja Danu." Gisel menarik paksa Sabina menjauhi Danu yang kebingungan dengan sikap kedua gadis itu.
Aku bayangin si sabina ini rambutnya kalo d sekolah digerai terus agak nutupin wajah hahaha kalo d tmpt kerja diikat hehehe
Comment on chapter Rasa 2