Teruntuk hati yang terluka ....
Jika kau bilang aku tak bisa menyembuhkan lukamu yang begitu membekas.
Maka ku bilang, aku memang tidak bisa menyembuhkan luka itu. Namun, percayakan hatimu padaku, aku tidak akan menambahnya dengan luka yang baru.
"Gimana? Nyaman naik motor atau mobil?" tanya Danu ketika ia memutar kemudi mobilnya keluar dari halaman parkir sekolah.
"Uh? Umm ...," Sabina mengamati interior mobil Danu, mobil sporty dengan kapasitas empat penumpang, dashboard hitam kokoh yang terlihat elegan dan sporty serta head unit touchscreen yang menampilkan playlist lagu kekinian yang menambah kesan mewah.
"Mobil, tapi lebih suka naik motor."
"Kok gitu?"
"Nggak tau, suka aja."
"Tadi niatnya bawa motor, pas berangkat aku nungguin kamu, tapi kamunya nggak keluar-keluar. Akhirnya aku sadar kalo kamu ngindarin aku buat berangkat bareng karena takut ketauan orang-orang, kan? Ya udah bawa mobil deh jadinya biar bisa pulang bareng. Nggak keliatan dari luar. Brilian kan ideku? Ya meskipun masih sembunyi-sembunyi." Danu berkata dengan bangga seolah idenya adalah ide terbaik sepanjang masa.
Sabina tersenyum canggung. "Bukan takut sih, cuma ... belum siap dilabrak Gisel." Sabina tertawa hambar. Ada sedikit perasaan tidak enak pada Danu karena ia ketahuan menghindar darinya.
"Ish ... gebetannya Andre tu emang nggak kapok-kapok. Risih aku tu." Danu bergidik geli.
"Kamunya nggak ngasih kepastian kan ngejar-ngejar terus jadinya," ucap Sabina sambil tertawa ringan.
"Seharusnya peka, dong!" seru Danu seraya sesekali membagi perhatiannya antara Sabina juga jalan di depannya yang cukup padat oleh kendaraan.
"Ya, tapi kan butuh penjelasan secara langsung, kasih kepastian biar dia tau," tutur Sabina.
Danu menyeringai hingga membuat Sabina mengernyit, "Trus kamu kapan kasih kepastian buat aku?"
Sabina menelan saliva-nya dengan susah payah, pertanyaan Danu yang sangat sederhana itu mengapa terdengar begitu menohok? Ia memang belum memberikan jawaban apapun pada Danu tentang perasaannya. Ia masih ragu untuk mempercayai Danu.
Ia masih takut.
Danu mendengkus pelan sambil mengulum senyum mengetahui kebingungan Sabina, ia menggerakkan tangan kirinya untuk mengusap kepala gadis di sampingnya.
"Aku nggak maksa kamu kok, Bi. Yang penting kamu nyaman."
Emang nggak maksa, tapi nggak mungkin gantungin anak orang, kan?
---
Setelah sampai di mall tujuan, Danu segera memilih ponsel yang ingin ia beli. Sementara Sabina duduk di kursi sambil melihat-lihat beberapa ponsel yang berjajar di balik display kaca. Gadis itu tidak pernah mempunyai Smartphone Android sebelumnya, ia pernah memiliki Blackberry---milik ibunya, setidaknya ponsel itu pernah hits pada zamannya. Dibilang ketinggalan zaman mungkin bisa, tapi Sabina tidak pernah ambil pusing akan hal itu. Lagipula tidak ada orang yang harus ia hubungi. Ia menatap bosan deretan smartphone di hadapannya sesekali bergantian dengan Danu yang sibuk mengobrol dengan penjual.
Sabina mengedarkan pandangan kesekeliling, menjelajah setiap sisi mall. Beberapa orang terlihat berlalu lalang. Sebuah butik berukuran 5x5 meter yang cukup mewah menarik perhatian Sabina, Atmadja Butique tertulis jelas di bagian atas terlihat begitu indah dan elegan hingga siapapun yang melintas pasti tertarik untuk melihat dan membacanya, empat mannequin dengan pakaian trendi terpampang dibalik kaca, sementara sepatu hak tinggi maupun flat berjejer di display yang ada di dinding juga tas-tas yang terlihat mahal juga menghiasi di salah satu sudut. Ia pernah mendengar nama butik itu dari beberapa orang, bosnya juga beberapa tamu ketika ia sedang bekerja.
Suatu saat karyaku bakal ada di sana.
Gelak tawa kumpulan gadis seusianya membuyarkan senyum Sabina. Gadis itu mau tak mau menoleh ke arah kedai cepat saji yang ada di dekat eskalator. Mereka masih menggunakan seragam sekolah seperti dirinya.
Sabina ingat jelas jika dirinya pernah berada disini saat itu, sebelum orang tuanya bertengkar hebat, memorinya kembali ketika dia pulang sekolah kemudian datang ke mall ini untuk membeli peralatan mewarnai. Ia diantar sopirnya dan ketika menaiki eskalator ia melihat ayahnya sedang bersama tante Cindy sedang makan di restoran yang sekarang berubah menjadi kedai cepat saji yang ia lihat baru saja.
"Sabina!" seru Danu tepat di sampingnya, Sabina sedikit tersentak ia menoleh pada Danu yang kini duduk di kursi sebelahnya, "ngelamunin apa, sih? Daritadi dipanggil-panggil juga."
"Nggak pa pa," ucap Sabina sedikit gugup.
"Kamu laper? Nanti kita makan di situ." Danu menunjuk kedai siap saji dengan dagunya.
Sabina menggeleng cepat, "Nggak, tempat lain aja. Jangan disitu."
Alis kiri Danu menukik tajam ke atas, ia bertanya-tanya. Namun, kemudian ia mengangguk menyetujui Sabina.
"Nih buat kamu, bukan i-phone sih, tapi bisa buat komunikasi kok." Danu mengulurkan smartphone kepada Sabina.
Gadis itu mengernyit menatap ponsel dan Danu secara bergantian.
"Hape buat kamu," jelas Danu sekali lagi.
"Nggak, aku nggak mau," tolak Sabina. Bisa-bisanya Danu memberinya barang mahal, mau ganti pake apa coba?
"Udah, ambil aja." Danu meraih tangan kanan Sabina dan meletakan smartphone itu di atasnya.
"Tapi Nu, aku nggak butuh hape!"
"Mulai sekarang kamu bakal butuh, karena apa? Karena kamu bakal kangen terus sama aku. Jadi kamu bisa telpon atau WA aku kapan aja." Danu berkata penuh percaya diri.
"Aku udah instal beberapa aplikasi, kamu tinggal pake aja."
"Tapi Nu, ini kan mahal."
"Nggak ada penolakan! Ayo." Cowok jangkung itu menarik tangan Sabina yang menggenggam hp pemberiannya. Mereka berdua menaiki eskalator ke lantai dua.
"Mau kemana?"
"Gramedia, beli senar gitar. Galih mutusin senar gitarku kemarin. Nggak mau tanggung jawab, sialan banget tu anak," ucap Danu seraya membuka puluhan pesan masuk di WA-nya. Ketiga sahabatnya, Gisel, juga Clara yang paling banyak.
Danu membuka pesan Clara yang paling terakhir.
Danu, Papa udah tau kita berantem dan dia minta kita baikan. Perjodohan nggak boleh dibatalin.
Raut muka Danu berubah, ia melirik Sabina yang tengah melihatnya.
Sabina nggak boleh tau, perjodohan harus batal.
Alih-alih membalas pesan Clara, Danu memilih menutup aplikasi itu dan memasukan ponsel ke dalam sakunya. Namun, sebelum sampai di saku celananya ponselnya bergetar tanda panggilan masuk dari Clara, dan cowok itu memilih menolaknya. Seolah semua baik-baik saja, Danu menggandeng Sabina berjalan ke arah toko buku dan Sabina pun tak ingin bertanya mengapa wajah Danu begitu tegang. Rasanya itu bukan urusannya meskipun ia sedikit penasaran.
"Mas nyari senar gitar G dong, yang bagus, ya." Danu berkata sambil tersenyum.
"Tunggu bentar, saya cariin dulu."
Sabina melihat sekeliling, banyak yang berubah. Ia tak pernah kesini lagi sejak saat itu, tanpa diminta kedua kakinya melangkah masuk lebih ke dalam. Danu membiarkan Sabina pergi.
Ribuan buku berjajar rapi, beberapa orang tengah sibuk membuka-buka isi buku, juga beberapa remaja seusianya terlihat berada di rak buku bagian novel remaja.
Sabina mendatangi bagian alat tulis juga peralatan melukis lainnya. Ia ingat jika pensil warnanya hampir habis. Sabina meraih pensil warna yang berisi 24 buah pensil, dengan semangat ia mencari harga yang mungkin tertempel disana, sedikit bersedih karena ia tidak bisa membelinya sekarang. Harganya lumayan dan ia belum gajian, namun kemudian Sabina tersenyum.
Minggu depan kamu pasti ku bawa pulang.
Tanpa ia sadari Danu mengambil foto Sabina dari jarak lima meter. Danu memutuskan duduk dan melihat hasil jepretannya.
Cowok itu mengutak-atik foto Sabina, mengeditnya sedemikian rupa hingga terlihat lebih bagus kemudian mengunggahnya ke Instagram. Danu tersenyum jahil kemudian melihat Sabina yang menyadari jika ponsel di genggamannya berbunyi.
Sabina mengerutkan kedua alisnya membaca notifikasi ponselnya.
Instagram? Gimana cara makenya?
DanuSA menandai anda dalam sebuah kiriman.
Dengan bingung gadis itu menyentuh notif di ponselnya dan betapa terkejutnya dirinya melihat fotonya sendiri yang diambil dari samping terpampang di sana, ia membaca caption yang ada di bawah fotonya.
DanuSA Sayang banget sama ni cewek @SabiAS. Serius.
Mengalihkan perhatiannya dari ponsel, Sabina mencari sosok Danu dan ia menemukannya tengah menertawakannya. Sabina segera mengambil langkah seribu mendatangi Danu.
"Apaan sih, Nu?!" Gadis itu menunjukkan foto di ponselnya.
"Ngasih kepastian ke Gisel, kamu kan yang nyuruh?" Danu berkata santai. Sabina duduk di sebelahnya. Beberapa notifikasi mulai masuk dan menyebut namanya.
Donisiganteng Cie2, yang lagi kasmaran. Nggak nyangka @SabiAS suka sama si curut @DanuSA ????????
Galih Bakal ada yang ngamuk(?)
Ratna ??
Rosi Gila, @GisellaAnastasya ketikung lo sama si Triplek @SabiAS.
Jantung Sabina berpacu seiring keringat dingin mulai mengaliri tubuhnya, semua yang berkomentar adalah teman sekelasnya. Ponselnya terus berbunyi dan ia memilih mengabaikannya. Sabina malu, gadis itu marah.
"Danu! Tanggung jawab!" seru Sabina kesal. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi besok di sekolah. Kehebohan sudah pasti terjadi.
Danu cowok yang cukup populer jalan sama cewek yang paling dijauhi di sekolah. Tangan Sabina mendadak dingin dan perutnya melilit.
"Kamu hamil?" tanya Danu dengan wajah sok polos.
"Serius Danu bisa nggak sih kamu nggak ngeselin?!"
Danu justru tertawa, "Iya-iya. Aku bakal tanggung jawab, tenang aja. Lagian juga wajar, kan?"
"Argh!! Wajar buat kamu, aku?!"
"Kamu besok berangkat bareng aku."
"Kamu tu, ish!" Sabina gregetan karena kesal sementara Danu dengan santainya tertawa. Ia tidak ingin sembunyi-sembunyi lagi dari siapapun.
????????????
"Sebagai permintaan maaf, aku bantu bersihin rumah," ucap Danu setelah menghentikan mobilnya tepat di depan rumahnya.
"Tau gelap!!" Sabina turun dari mobil Danu dan berjalan menuju rumahnya.
"Yah... yah... Bi!" Danu membuka kaca mobilnya, "Sabina!" teriak Dana. Namun, gadis itu mengabaikannya.
Serem juga ni cewek kalo ngambek.
Sabina sama sekali tidak bicara setelah kejadiaan tadi bahkan ketika Danu mengajaknya bicara.
Semuanya begitu mendadak, Sabina sebenarnya juga ingin berubah menjadi dirinya sendiri, setidaknya ia pernah berpikir seperti itu semenjak sering bersama Danu. Namun, tidak dengan cara seperti ini dengan membuat kehebohan.
Dengan cepat Danu memarkirkan mobil di garasinya kemudian masuk ke dalam rumah untuk mengganti pakaian. Ia bahkan tidak menghiraukan Bi Sumi yang menyambutnya.
Sabina memasukkan anak kunci pada pintu rumahnya kemudian membukanya. Bau pengap langsung menyeruak, ia melihat ke sekeliling. Rasanya butuh waktu lama untuk membersihkannya sendiri. Hatinya berkhianat seharusnya ia menerima tawaran Danu beberapa saat yang lalu. Seharusnya ia tak perlu kesal mengingat Danu sudah mulai memberi warna dalam hidupnya dan mau tak mau ia pun akan masuk ke dalam dunia Danu, berteman, bersosialisasi. Gadis itu hanya belum siap menghadapi teman-temannya besok. Sabina kehilangan dirinya yang cuek dan percaya diri.
Sudahlah, yang terjadi terjadilah Tuhan, Sabina pasrah.
Dengan enggan Sabina melangkah masuk. Namun, secara tiba-tiba kakinya terhenti tepat di depan tangga, ia mendongak ke atas tanpa ia inginkan memori nya terlempar pada masalalu. Gadis itu seperti melihat dirinya sendiri ketika dia berusia 8 tahun.
"Sabina! Kurang ajar kamu, ya!"
"Maaf Pa, Sabina nggak tau. Ampun," rengek Sabina.
Satu tamparan keras mendarat di pipinya sementara kedua tangannya digenggam erat oleh tangan kiri ayahnya.
"Mas, jangan sakiti Sabina mas. Dia nggak tau apa-apa," pinta ibu Sabina sambil memegangi kaki suaminya.
"DIAM KAMU!"
"Bi, lari Bi," ujar ibunya terisak. Sekujur tubuhnya sudah penuh darah.
"Ampun Pa," rintih Sabina seraya berusaha melepaskan diri dari cengkraman ayahnya, namun ayahnya terus memukulnya. Sabina meronta sambil menangis.
Dengan sekuat tenaga akhirnya Sabina bisa melepaskan diri dari ayahnya. Ia segara berlari menuruni tangga, umpatan sang ayah terdengar jelas di telinganya. Pria itu mengejarnya. Namun, ibunya berhasil memegang kaki sang ayah hingga membuat pria itu terjatuh dan berguling di anak tangga yang lumayan tinggi, darah mengucur deras dari kepalanya ketika berbenturan dengan keras mengenai lantai. Tepat di depan mata Sabina, di depan kakinya.
Tubuh Sabina bergetar hebat mengingat hal itu, keringat dingin mengucur deras di sekujur tubuhnya. Mendadak kakinya lemas, ia terduduk di atas lantai tepat dimana ia menyaksikan ayahnya meregang nyawa. Ia menunduk tatapannya nanar, wajahnya pucat pasi seolah darah menghilang dari tubuhnya, deru napasnya terdengar cepat.
Derap langkah terburu-buru tak ia dengar.
"Bi, kamu kenapa?"
Sabina menoleh ke samping dilihatnya Danu yang khawatir kepadanya. Cowok itu berjongkok di samping Sabina dan memegang kedua bahunya.
"Ng-ngak pa pa."
Sabina kembali menunduk, tapi air matanya mengalir dengan sendirinya. Ia menangis tersedu-sedu.
"Aku minta maaf kalo bikin kamu kesel," ucap Danu merasa bersalah.
Sabina menggeleng cepat, ini bukan karena Danu. Namun, seolah tak bisa berkata-kata Sabina justru semakin keras menangis.
"Bi, kamu kenapa?" Tany Danu yang semakin khawatir.
Cowok itu mendekap Sabina, membiarkan Sabina menangis dalam pelukannya.
---
Setengah jam berlalu tanpa suara, sesekali Sabina masih terisak meskipun ia sudah tidak berada di pelukan Danu. Mereka saling berhadapan Danu menggenggam tangan kanan Sabina dan mengusapnya pelan. Berharap apa yang ia lakukan bisa membuat Sabina tenang.
"Sorry, aku cengeng banget," ujar Sabina memecah keheningan. Ia menunduk menatap tangannya yang bertautan dengan tangan Danu. Rasanya begitu hangat dan nyaman.
"Nggak, aku yang salah udah seenaknya sendiri, udah bikin kamu marah. Aku minta maaf, ya?" ujar Danu merasa bersalah.
Mata sembap Sabina beralih pada Danu yang terlihat penuh penyesalan. Sabina menggeleng pelan, ia kembali menunduk.
"Bukan karena itu."
"Trus?"
Batin Sabina bergelut, haruskah ia menceritakan semua? Aib keluarganya yang disimpannya rapat-rapat selama bertahun-tahun, mimpi buruknya yang membuatnya harus membenci laki-laki.
Sabina ragu, apakah Danu akan tetap bersamanya jika mengetahui latar belakang keluarganya yang begitu buruk?
"Kamu bisa cerita, aku bakal dengerin dan nggak akan komentar. Yang jelas aku bakal ada buat kamu Bi, nggak usah takut." Danu mengeratkan genggaman tangannya seolah memberi kekuatan pada Sabina.
Gadis itu menarik napas kuat-kuat lalu mengembuskannya perlahan melalui mulutnya sebelum kemudian ia mulai membuka suara.
"Dulu keluargaku baik-baik aja ...," ada getar pedih kala kalimat itu terucap, Sabina menerawang masalalunya. "Sampai suatu ketika pas aku mau beli alat lukis aku lihat Papaku lagi makan di restoran sama tante Cindy, temen Mamaku. Pas pulang aku ngasih tau Mama karena waktu itu aku masih kecil, aku nggak tau apa-apa. Sampai akhirnya malam hari Papa pulang kerja, mereka berantem. Aku lagi main piano saat itu, Papa bilang kalo aku udah lancar sama lagu yang dia ajarin aku bakal dapet hadiah. Pas denger ribut-ribut di atas, aku ngintip ke kamar orang tuaku."
"Kamu selingkuh kan Mas? Cindy itu temen aku!"
"Papa nampar Mama sampai jatuh di lantai, pas Mama liat aku beliau langsung nyuruh aku masuk kamar. Akupun masuk kamar. Namun, keributan semakin menjadi-jadi. Pukulan dan makian terdengar begitu keras. Berkali-kali Mama minta maaf, tapi Papa nggak berhenti mukul Mama."
"Mas jangan Sabina mas."
Sabina menggeleng pelan, ia menghapus air matanya yang kembali mengalir sementara Danu tetap diam, ia hanya menggenggam erat tangan Sabina dan sesekali mengelus dengan ibu jarinya.
"Papa dateng ke kamarku, Mama berusaha mencegahnya pas udah sampai depan kamar Papa dorong Mama ke dinding, aku nggak bisa bantu Mama karena takut. Trus nggak tau gimana ceritanya Papa udah matahin kaki mama." Suara Sabina tercekat seperti benjolan besar menekan kerongkongannya, ia berusaha mengatur napasnya, Danu semakin erat menggenggam tangan Sabuna. "Aku denger jelas gimana suara patahannya, gimana Mama teriak kesakitan. Nggak cukup itu tangan kanan Mama juga jadi sasaran." Sabina terisak hingga bahunya bergetar hebat.
"Papa masuk kamar trus megangin tanganku, aku nggak bisa gerak. Dia nampar pipiku, dia mukul aku berkali-kali. Mama yang udah nggak berdaya nyuruh aku pergi, aku berusaha melepaskan diri dari Papa hingga akhirnya aku bisa lepas trus lari. Pas aku udah nyampai bawah aku denger Papa teriak, Papa ngejar aku, tapi Mama berhasil megangin kaki Papa, Papa nyeret Mama agar kakinya bisa lepas hingga sampai di dekat tangga, tapi tiba-tiba Papa jatuh dari atas sampai di sini, tepat di sini." Sabina menunjuk tempat dirinya dan Danu duduk.
"Dia mati sini dan aku lihat di depan mataku." Tangis Sabina kembali pecah, Danu menarik Sabina ke dalam pelukannya. Sekarang cowok itu paham kenapa Sabina membenci laki-laki, kenapa Sabina membenci cinta.
"Aku takut itu terjadi lagi," isak Sabina. "Karena cinta semua hancur. Hanya karena keegoisan pria yang nggak bisa cukup dengan satu wanita." Sabina merasakan belaian tangan Danu di rambutnya yang mampu membuatnya merasa nyaman. Gadis itu menggeleng, "Aku nggak mau jatuh cinta, tapi mengapa? Mengapa aku bisa jatuh cinta sama kamu, Nu?"
Danu cukup terkejut dengan pengakuan Sabina, gadis itu jatuh cinta kepadanya?
"Aku bener-bener nggak mau jatuh cinta Nu," rengek Sabina. Seolah apa yang ia rasakan merupakan sebuah kesalahan.
"Shh ... semua bakal baik-baik aja. Itu nggak akan terjadi lagi." Danu mengusap kepala Sabina dan menekannya ke dalam dadanya, "percaya sama aku, aku nggak bakal tega nyakitin kamu kayak gitu."
Sabina menjauh dari pelukan Danu, ia menatap cowok di depannya lekat-lekat. Terlihat begitu tulus dari matanya yang berkaca-kaca menatap Sabina.
Danu menangkup pipi Sabina dengan kedua tangannya sementara ibu jarinya bergerak menghapus air mata gadis itu.
"Aku janji nggak bakal nyakitin kamu, Bi. Aku bakal bikin kamu bahagia."
@DanFujo itu awalnya blm ada adegan ngambil fotonya Danu buat jaga-jaga, tapi karena ada komen dari @drei jadi saya tambahin biar ada alasannya (sebab akibat).
Comment on chapter Rasa 24Nggak perlu jadi kakak atau adik, cukup jadi sahabat yang "peka" dengan sahabatnya hehe. Temen-temennya Danu pada nggak peka karena Danu cukup pintar menyembunyikan masalahnya hehe