Aku suka saat bersamamu ....
Saat menatap binar matamu yang hanya tertuju padaku.
Aku bisa melihat refleksi diriku yang sedang tersenyum.
Hanya kamu yang bisa buat aku tersenyum,
Maksudku ... benar-benar tersenyum.
Langkah kaki terburu-buru terlihat di halaman rumah Sabina, gadis itu berjalan cepat dengan mengabaikan rasa sakit yang sesekali masih terasa di betisnya. Ia seperti penguntit minimarket yang takut ketahuan. Dalam hati ia berharap jika Danu tidak melihatnya saat ini. Sabina berangkat setengah jam lebih awal dari biasanya hanya agar ia tidak bertemu Danu, ia berpikir jika berangkat seperti biasa mungkin saja cowok itu akan memaksa dirinya agar memboncengnya seperti yang mereka lakukan seharian kemarin. Jika benar maka itu akan aneh, bersama seorang cowok di lingkungan sekolah. Sabina tidak bisa membayangkan hal itu. Bukannya terlalu percaya diri hanya saja Sabina sangat yakin jika hal itu akan terjadi mengingat apa yang dikatakan Danu kemarin saat berada di warung bakso Bu Yati.
Dan aku bahagia bisa bikin kamu ketawa. Aku bakal bikin kamu ketawa terus kayak gini.
Saat itu Sabina hanya diam, ia tidak menolak. Namun, juga tidak menyetujui hal itu. Ia bimbang.
Sesampainya di sekolah, suasana masih sangat sepi. Hanya ada beberapa siswa kelas lain yang sudah datang, sementara di kelas Sabina masih kosong. Sabina memutuskan tidur sebentar karena ia masih sangat mengantuk. Semalam ia tidak bisa tidur dan menghabiskan malamnya untuk menyelesaikan hobinya yaitu membuat desain baju. Ia meletakkan kepalanya di atas meja dengan bertumpu pada kedua tangannya yang terlipat.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, Sabina tidak menyadari kelas sudah penuh. Bahkan suara ribut dari teman-temannya tidak ia dengar.
"Danu," pekik Gisel ketika cowok itu memasuki kelas dengan tergesa-gesa.
Gisel menghampiri Danu dengan cepat.
Berusaha tidak menghiraukan cewek itu, mata Danu menyapu sekitar mencari-cari sosok Sabina. Ia khawatir terjadi apa-apa pada gadis yang berhasil menjadi pusat perhatiannya belakangan ini. Setelah menemukan Sabina di bangku pojok belakang, ia bernapas lega.
"Ya ampun, Nu. Lo baik-baik aja, kan? Gue coba hubungi hp lo, tapi nggak bisa."
Batin Danu memutar mata bosan, ia berlalu begitu saja lalu menyapa Andre dan Galih yang sudah duduk di depan bangkunya juga Doni yang menjadi teman duduknya, Danu meletakkan tasnya dan duduk di sana, ia melirik Sabina sepintas kemudian tersenyum secara rahasia.
Sabina memang selalu duduk sendiri, sebenarnya saat ini Danu ingin duduk di samping Sabina. Namun, ia belum meminta izin kepada gadis itu jadi mungkin ia akan melakukannya lain kali.
"Kok diem aja, sih?" tanya Gisel lagi.
"Nggak punya hape sekarang."
"Kenapa?"
"Ilang."
Teman-teman Danu menahan tawa melihat mereka berdua. Namun, tidak dengan Andre, ia cemburu meskipun ia sendiri tahu jika Danu tidak menyukai Gisel dan berusaha keras membuat Gisel menyerah atas dirinya.
Bersamaan dengan itu bel sekolah berbunyi menandakan upacara akan dimulai. Gisel ditarik temannya keluar kelas membuat Danu bersyukur.
"Yuk upacara," ajak Galih yang sudah siap.
"Kalian duluan deh, gue masih ada urusan bentar," ucap Danu seraya melihat Sabina yang masih bergeming di tempatnya.
Tu cewek nggak denger bunyi bel?
"Oh gue ngerti," kata Doni yang kemudian mengajak Andre dan Galih keluar kelas menyusul teman-teman yang lain.
Danu menghampiri Sabina ketika kelas sudah kosong. Namun, ia tetap waspada khawatir jika ada yang melihatnya. Setelah yakin aman, ia menyentuh bahu Sabina dan menggoyangnya pelan.
"Bi."
Sabina tersentak kaget, ia mengangkat kepalanya dan melihat sekitar dengan sebagian rambut yang menutupi wajahnya. Ia tampak bingung seperti murid yang ketahuan tidur saat pelajaran berlangsung. Sekuat tenaga Danu menahan tawanya ia berusaha terlihat cool.
"Udah bel masuk. Upacara," ucap Danu datar tanpa senyum kemudian kembali ke bangkunya untuk mengambil topi di tasnya.
Sabina mengikuti kemana Danu bergerak, ia mengernyit merasa aneh dengan sikap Danu yang tampak dingin atau mungkin hanya perasaannya saja? Menyadari jika ia harus bergegas ke lapangan, Sabina melepas jaketnya kemudian membuka tas dan mencari topinya dengan tergesa-gesa.
"Duh, mana topiku?" Sabina bergumam gelisah ketika tidak menemukan topinya dan Danu menyadari hal itu.
Jangan-jangan ketinggalan? Bisa dihukum nih. Duh.
"Nih pake."
Sabina mendongak ke samping kiri ketika mendengar suara Danu. Ia melihat topi yang diulurkan kearahnya dan berlanjut menatap Danu yang masih datar.
Tidak mendapat respon dari Sabina yang hanya terbengong-bengong menatapnya, Danu meletakkan topinya di atas meja kemudian berjalan keluar kelas.
Danu marah? Kenapa? Tapi kenapa dia kasih topinya buat aku? Ntar dia bisa dihukum.
Sikap Danu membuatnya gusar, seingatnya Danu masih baik-baik saja semalam ketika Danu mengunjungi rumahnya dan memberinya mie goreng buatan Bi Sumi. Sabina beranjak dan secepat mungkin mengejar Danu sebelum cowok itu sampai di lapangan yang tentu saja banyak orang. Ia tidak ingin warga sekolah melihatnya berinteraksi dengan orang lain.
"Pssttt, Danu," panggil Sabina dengan suara pelan saat ia melihat Danu yang menuruni tangga.
Danu menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Kamu bisa dihukum nanti."
"Nggak pa pa, asal bukan kamu," jawab Danu datar kemudian pergi begitu saja. Sabina heran dengan perubahan Danu meskipun masih dengan perhatian yang sama, bahkan Danu rela dihukum demi dirinya.
Sabina rindu tawa Danu? Ah nggak, apaan sih?
Sabina berdiri dengan gelisah, melihat Danu yang juga tengah berdiri mengikuti upacara. Namun, Danu berada di sisi kanan lapangan bersama dua siswa lain yang juga tidak memakai topi. Gadis itu merasa bersalah karena kecerobohan yang ia buat. Padahal ia tak pernah seperti ini sebelumnya.
"Kasihan banget sih Danu kepanasan." Suara Gisel yang ada di belakang Sabina terdengar pelan. Mungkin jika tahu Danu seperti ini karenanya Sabina akan menjadi bulan-bulanan Gisel, tapi rasanya Gisel tidak akan berani dengan Sabina yang terkenal dingin dan mempunyai tatapan mengerikan. setidaknya itu yang orang-orang pikir terhadapnya.
????????????
"Jangan diulangi lagi! Kalian mengerti?!" seru Pak Budi selaku guru BK yang baru saja menghukum siswanya yang tidak menaati peraturan sekolah.
"Mengerti pak," jawab ketiga siswa serentak.
"Baiklah, sekarang kembali ke kelas. Danu, kamu sama Sabina ke ruangan saya."
"Baik, Pak."
Danu berlalu ke kelasnya, keringat membasahi tubuhnya setelah berlari keliling lapangan sebanyak tiga kali.
"Tumben banget lo nggak bawa topi?" tanya Doni ketika Danu akan memasuki pintu kelas. Beruntung tidak ada Gisel di sana.
Ia malas melihat cewek itu.
Danu terkekeh, "Lupa, tadi buru-buru. Mana yang lain?"
"Ke kantin mumpung guru belum dateng." Doni berkata dengan terkekeh.
"Oh, ntar dulu, ya? Ada urusan."
"Apaan?"
"Di panggil Pak Budi."
Doni melebarkan matanya secara horor, "Serius lo? Salah apa?"
"Nggak tau, kurang puas mungkin udah bikin gue keliling lapangan tiga kali."
Danu langsung masuk kelas dan menghampiri Sabina. Gadis itu menatap Danu yang berjalan ke arah bangkunya, tatapannya mengisyaratkan perasaan bersalah.
"Di panggil Pak Budi ke ruangan BK," ucap Danu datar kemudian ia pergi keluar tanpa menunggu Sabina menjawab. Semua siswa yang ada menatap ke arah mereka karena menurut mereka itu adalah kejadian langka. Namun, Danu tetap bersikap biasa begitupun Sabina meskipun dalam hati gadis itu bertanya-tanya.
Danu berlari kecil kemudian menghentikan langkahnya ketika berada di belokan setelah menuruni tangga, kebetulan suasana sepi karena para siswa di lantai satu sudah masuk kelas. Ia menyenderkan tubuhnya di dinding menunggu Sabina. Sesekali ia mengintip ke atas dan ketika sudah melihat Sabina turun Danu kembali bersandar---bersembunyi.
Tepat ketika Sabina berbelok, Danu muncul secara tiba-tiba di depan Sabina sambil berteriak pelan. Sabina terkejut setengah mati ia terlonjak ke belakang hingga hampir membuatnya terjatuh, beruntung ia tidak berteriak. Danu terkekeh senang karena berhasil mengerjai Sabina.
"Hobi banget, sih?!" gerutu Sabina kemudian berlalu meninggalkan Danu dengan perasaan kesal. Ia berusaha mengatur detak jantungnya yang terasa seperti keluar dari rongganya.
Hobi banget ngagetin tu cowok!
Danu masih terkekeh, berusaha sepelan mungkin agar tidak menimbulkan keributan. Ia berlari kecil menyusul Sabina.
"Sorry."
Mereka berjalan beriringan. Namun, masih menyisakan jarak satu meter, Sabina di sisi kiri dan Danu di sisi kanan.
"Gimana kalo aku jantungan?!" ucap Sabina kesal. Ia mempercepat langkahnya berharap bisa mendahului Danu.
"Aku rela ganti sama jantungku."
"Gila kamu!"
"Iya. Gara-gara kamu, Bi." Danu masih terkekeh.
Danu mengamati sekitar dan masih tidak ada orang.
"Nyadar nggak aku aneh tadi?" tanya Danu nyaris berbisik.
"Hmm."
"Biar orang lain nggak curiga kalo kita deket trus aku nggak mau orang lain, terutama cowok lihat kamu senyum. Ntar aku punya saingan, Bi."
Sabina menghentikan langkahnya dan menghadap ke arah Danu di sampingnya. Ia menatap Danu sekian detik, tapi kemudian ia terkekeh sambil menggelengkan kepalanya karena kelakuan Danu yang menurutnya konyol. Sabina kembali berjalan sambil tertawa pelan.
"Kenapa ketawa?"
"Aneh."
Danu ikut terkekeh, "Kan udah dibilang kita sama-sama aneh."
Sabina kembali menggeleng heran, setidaknya ia bersyukur Danu berpikiran sepertinya maksudnya, Danu mengerti jika Sabina masih ingin menjaga image yang ia bangun selama ini. Ia benar-benar bersyukur.
"Semalem tidur jam berapa, sih? Sampe tidur di kelas gitu, pules banget. Kayaknya kalo ada SpiderMan berantem sama LizardMan di kelas, kamu nggak bakal tau."
Sabina mengernyit tidak mengerti, oke dia pernah mendengar apa itu Spiderman, tapi karena ia tidak pernah menonton jadi dia tidak mengerti
"Nggak tau nggak lihat jam," jawab Sabina seadanya.
Danu mengetuk pintu ruangan BK kemudian membukanya setelah mendapat izin dari Pak Budi. Ia juga melihat Pak Bambang di sana.
"Silakan duduk," suruh pak Bambang dan mereka berdua menurutinya.
"Ada apa ya, Pak?" tanya Danu.
"Begini, kami selaku penyelenggara kemah kemarin meminta maaf atas kelalaian yang telah terjadi."
"Oh, nggak pa pa Pak. Yang penting kan kita udah di sini, lagian kita berdua juga salah kok. Ya kan, Bi?"
"Iya, nggak pa pa kok Pak."
????????????
"Bi, kamu kerja?" tanya Danu ketika pulang sekolah. Mereka masih di kelas karena mereka berdua sengaja memperlambat diri mereka agar bisa pulang terakhir. Mereka tidak janjian, tapi semua terjadi begitu saja.
"Nggak, besok."
Danu pindah duduk di sebelah Sabina.
"Anterin yuk beli hape."
"Mau bersihin rumah." Sabina berkata datar sambil menggendong tasnya.
"Please," bujuk Danu.
"Emang kemana hapemu?"
"Umm ... itu anu." Danu bingung memikirkan alasan karena ia tidak mungkin mengatakan jika ia sudah menjual hpnya untuk biaya puskesmas Sabina tempo hari. Kedua alis Sabina berkerut melihat Danu terlalu lama berpikir.
"Jatuh trus pecah. Nggak mau tau pokoknya sebagai ganti jasa topi yang ku pinjemin tadi kamu harus temenin aku beli hp!" Danu menyeringai penuh kemenangan sementara Sabina melebarkan kedua matanya tidak percaya.
"Pamrih banget, sih?!"
"Biarin! Gara-gara kamu aku harus lari keliling lapangan tiga kali. Asal tau aja sih. Bayangin panas-panas, Bi. Tiga kali, tiga kali lho." Danu mengulang ucapannya secara dramatis sambil bersedekap angkuh, hal itu berhasil membuat Sabina terpojok dan semakin merasa bersalah.
"Ya udah!"
"Ya udah apa?
"Ish ... ngeselin banget sih?"
"Kamu kan nggak bilang ya udah apa?"
Sabina memutar mata jengah, ia menghela napas lelah, "Ya udah ku temenin."
"Nah gitu dong. Yuk." Danu melebarkan senyumnya.
Danu menarik tangan Sabina secara tiba-tiba hingga gadis itu terkejut dibuatnya. Mereka berlari menuju pintu keluar. Namun, sebelum sampai di mulut pintu mereka berhenti, Danu mengeluarkan kepalanya kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Aman."
Cowok itu terus menarik Sabina dan gadis itu hanya pasrah mengikuti kemana Danu akan membawanya, seolah lupa akan rasa sakit di kakinya. Keduanya terkekeh sepanjang koridor sekolah yang sudah sepi, tapi mata Danu tetap mengawasi jika saja ada orang lain yang melihatnya meskipun sekarang ia sudah sedikit tidak peduli dengan apa yang di pikirkan orang lain. Ia yakin jika Sabina akan terus bersamanya. Ia hanya menghargai Sabina yang masih enggan orang lain mengetahui dirinya yang sebenarnya. Danu terus menarik Sabina. Namun, ketika melewati belokan Danu menghentikan langkahnya secara tiba-tiba hingga Sabina sukses menabraknya, dengan sigap cowok itu mendorong Sabina ke arah dinding dan memegangi kedua bahunya, tapi justru membuat kepala Sabina terbentur tembok. Sabina mengaduh pelan.
"Ada orang," bisik Danu dengan napas terengah.
Menyadari Sabina meringis memegangi kepalanya bagian belakangnya, Danu bingung.
"Kebentur, ya? Maaf nggak sengaja." Danu mengarahkan tangan kanannya memegang kepala Sabina dan mengusapnya pelan. Namun, Sabina justru terkekeh mau tak mau Danu pun ikut terkekeh pelan.
Keduanya diam dan saling menatap hingga waktu yang cukup lama. Ada getaran yang tidak bisa dimengerti diantara keduanya, getaran itu terasa sangat menyenangkan. Sabina memalingkan wajahnya gugup.
"Bi."
Merasa dipanggil, Sabina kembali menatap iris coklat di depannya dengan sedikit mendongak. Tatapannya sangat teduh dan hangat, beberapa detik berlalu dalam diam hingga akhirnya Danu melanjutkan perkataannya.
"Aku tau ini sama sekali nggak ada romantis-romantisnya. Kamu juga udah pernah denger aku bilang ini sebelumnya, tapi ... aku pengen bilang lagi dan mungkin aku nggak akan pernah bosen buat bilang, kalo Danu si cowok yang keliatannya cool keliatan sempurna, tapi sebenernya menyedihkan ini ... bener-bener sayang sama Sabina, gadis aneh, jutek, dingin tapi sebenarnya memiliki senyum yang hangat. Jangan tanya kenapa, aku juga nggak ngerti semua terjadi begitu saja. Yang jelas aku bahagia kalo deket kamu, Bi. Meskipun kamu terus nolak aku, aku bakal terus usaha. Aku nggak akan hentiin perasaan ini. Aku sayang kamu, Bi. Aku ... jatuh cinta sama kamu."
Jantung Sabina berdegup kencang, darahnya mengalir akan euphoria pernyataan cinta Danu. Bibir gadis itu terkunci, tidak bisa berkata-kata. Mencoba menyangkal, tapi tidak bisa karena ia memiliki perasaan yang sama. Sabina menunduk dalam bisu, Danu menarik gadis itu kedalam pelukannya, ia memeluknya sangat erat membuat Sabina tersenyum.
Ini membingungkan. Sabina yang benci cowok, Sabina yang enggan mengenal cinta kini menyerah, ia benar-benar menghancurkan bentengnya sendiri, benteng yang ia bangun bertahun-tahun. Sabina menyerah pada rasa yang Danu tawarkan.
Aku bayangin si sabina ini rambutnya kalo d sekolah digerai terus agak nutupin wajah hahaha kalo d tmpt kerja diikat hehehe
Comment on chapter Rasa 2