Cara terbaik menjauhi cinta adalah dengan menjadi dingin.
"Halo Polisi?"
Suara gemetar terdengar rapuh keluar dari bibir seorang gadis ketika ponselnya tersambung dengan seseorang di ujung sana. Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Ia ketakutan, tatapannya waspada penuh antisipasi ke arah pintu di mana sang Ayah sedang memukuli Ibunya tanpa ampun di ruangan sebelah. Teriakan demi teriakan saling bersahutan bersamaan bunyi petir yang menggelegar di luar rumah, kilatan kilatan cahaya menambah suasana semakin terasa begitu mencekam.
"Ya, ada–"
"TOLONG...," teriak Ibunya kesakitan sementara suara pukulan dan cacian masih terdengar begitu jelas di telinganya.
"Tolong, Ibuku sedang disiksa Ayahku," ucapnya terisak. Suara kecilnya memohon pada seseorang di ujung telepon, seakan hanya itu satu-satunya cara yang bisa membuat dirinya selamat.
"Siapa namamu Nak? Dan di mana lokasimu?"
"AMPUN MAS."
"Aku Sabina, di jalan Anggrek blok A4."
Suara benturan keras di pintu membuatnya terkesiap ia bersembunyi di balik ranjang mengantisipasi agar tidak terlihat Ayahnya jika ia sedang meminta bantuan. Atau jika tidak ia bisa menjadi bulan bulanan kemurkaan sang ayah.
Gadis bermata cokelat itu melihat Ibunya tengah disiksa dan darah mengalir sekujur tubuh wanita berusia 28 tahun, bau anyir menyeruak menusuk indra penciuman, teriakan-teriakan kesakitan menggema memenuhi seluruh ruangan.
"Kami akan segera mengirim bantuan ke sana."
"Astaga cepatlah datang, dia memukul ibuku... —aaaa, dia mematahkan kakinya, dia memukulnya dengan balok kayu." Tangan Sabina bergetar hebat, keringat dingin mengucur deras di sekujur tubuhnya dan ia terus berteriak dengan ponsel masih di genggemannya.
"Cari tempat aman Nak, ada siapa selain kau dan orangtuamu?"
"Aku cuma bertiga," ucap Sabina sembari berusaha bersembunyi di bawah kasur. Ia masih melihat ibunya disiksa, meskipun sudah tidak berdaya Ayahnya tidak memberi ampun kepadanya.
"Aku sudah bersembunyi."
"SABINA!" seru Ayahnya lantang diiringi suara gemuruh petir. Ia sempat melihat ibunya yang tergeletak lemah di ambang pintu menatapnya lemah sementara kaki sang ayah melangkah lebar menuju persembunyiannya.
"TIDAAKK...." Sabina merasakan kakinya ditarik paksa hingga ia keluar dari persambunyiannya.
"Dasar anak tidak tahu diuntung!" Pria berbadan tinggi besar itu bersiap memukulnya dengan kursi kayu. Ia mengangkat tinggi-tinggi kursi kayu di atas tubuh anak kecil yang menangis di bawahnya.
"Aaaaaaaa...."
Gadis itu —Sabina terkesiap bersamaan dengan suara alarm yang begitu memekakkan telinga, jantungnya berpacu cepat, keringat sebesar biji jagung mengalir membasahi pelipisnya, wajahnya pucat pasi napasnya terengah memburu oksigen di sekitarnya sementara tatapan waspada ia edarkan ke seluruh penjuru ruangan kamarnya namun ketika ia menyadari jika itu adalah mimpi ia segera menghela napas lega.
Mimpi itu lagi.
Ia mengusap wajah dengan kedua tangannya sejurus kemudian ia mematikan alarm yang sejak tadi berdering lalu ia beranjak dari ranjang dan berlalu ke kamar mandi.
????????????
"Pagi bi." Cowok jangkung berambut hitam tebal itu turun dari tangga seraya memperbaiki letak tas di bahu kanannya.
"Selamat pagi den Danu, ayo sarapan dulu."
"Mama nggak pulang bi?" Danu meletakkan tasnya di atas meja lalu ia duduk di kursinya.
"Pulang kok den, tapi tadi pagi-pagi sekali sudah berangkat," ucap bi Sumi seraya meletakkan sarapan roti panggang serta susu di depannya.
Danu menghela napas pasrah dengan sedikit perasaan kesal, "Kenapa nggak bangunin Danu sebelum berangkat sih?"
"Nyonya bilang kasian sama aden kalo dibangunin, tadi nyonya jam 4 sudah berangkat ke Surabaya," ujar bi Sumi yang sudah mengambil pekerjaan lain —mencuci perabot.
Danu berdecak lidah lalu dengan enggan memakan sarapannya.
"Selalu saja seperti ini setiap hari," batinnya.
Danu selalu berharap bisa sarapan bersama ibunya namun nyatanya ia selalu ditemani bi Sumi, wanita paruh baya yang sudah bekerja bersama keluarganya bahkan sejak Danu belum dilahirkan.
"Bi Sum tau nggak kalo rumah kosong di depan ada penghuninya?" tanya Danu setelah menghabiskan sarapannya.
"Iya den, aden juga melihatnya?" bi Sum dengan cepat melangkah ke arah Danu. "Semalam waktu bi Sum mengunci pintu pagar, bibi melihat cewek cantik di balkon lantai dua lampunya juga nyala. Bi Sum takut lalu buru-buru masuk ke dalem rumah, trus waktu bibi ngintip dari jendela udah nggak ada den. Padahal selama 6 bulan kita pindah ke sini bibi nggak pernah liat sesuatu yang aneh di sana." Wajah pucat bi Sum tercetak jelas sementara kedua tangannya saling bertautan gelisah ketika menceritakan apa yang dilihatnya semalam.
"Bukan hantu bi." Danu terkekeh pelan, "Danu liat kemaren siang sepulang sekolah ada cewek berdiri di depan pagar trus dia masuk ke rumah itu. Tau nggak Bi? Danu kenal cewek itu, dia Sabi temen sekelas Danu. Agak aneh gitu sih orangnya." Cowok itu menggedikkan bahu tak acuh.
"Lalu ngapain dia di sana? Setau bibi rumah itu kosong udah sangat lama, kata tetangga sih karena pemiliknya meninggal, makanya bibi ketakutan semalem."
Danu hanya mengangkat kedua bahunya karena ia sendiri tidak tahu menahu soal itu.
Sabina mengunci pintu pagarnya lalu melangkahkan kakinya namun baru satu langkah perhatiannya tertuju pada raungan motor sport berwarna merah menyala yang baru keluar dari pintu gerbang di seberang ia berdiri.
Tatapan mereka bertemu, Sabina mengernyitkan kedua alisnya karena ia langsung mengenali pengendaranya.
Jaket kulit serta helm full face berwarna hitam.
"Danu?" batinnya heran namun ia tetap berusaha memasang wajah datar seperti yang biasa ia lakukan, ia menutup kepalanya dengan topi hoodie-nya lalu memasukkan kedua tangannya di saku dan langsung melangkahkan kaki untuk pergi ke sekolah. Sabi tidak menyangka jika anak baru itu tinggal di depan rumahnya. Sementara Danu masih terdiam di tempatnya memperhatikan gadis yang baru saja berbelok di pertigaan komplek perumahan mereka.
Satu hal yang membuat mereka tidak saling menyapa meskipun sudah saling mengenal. Sabi tidak ramah dan Danu tidak menyukainya. Itu alasan cukup kuat bagi Danu, Danu sama seperti remaja normal pada umumnya bergaul, ramah dan sedikit usil sedangkan Sabina, dia selalu merasa jika dirinya tidak butuh teman. Jadi Danu tidak harus bersikap baik kepadanya bukan?
Mereka sama sekali tidak pernah berbicara bahkan ketika Danu mengulurkan tangannya untuk berkenalan ketika ia baru masuk di SMA Harapan, Sabina tidak mengacuhkannya padahal gadis lain mengantre untuk berkenalan dengannya bahkan banyak para gadis berharap menjadi pacarnya. Semenjak saat itu Danu memutuskan untuk tidak lagi berurusan dengan gadis itu seperti teman yang lainnya. Meskipun jujur hingga saat ini ia penasaran —hanya sedikit penasaran dengan gadis berambut sebahu itu. Danu pernah bertanya kepada temannya mengapa Sabina seperti itu tapi tidak ada yang tahu, mereka berkata jika Sabina juga merupakan murid pindahan saat kelas satu dan tidak ada yang pernah mendengarnya bicara kecuali saat ia mengenalkan dirinya di depan kelas itupun Sabi hanya menyebut namanya.
Ini pertama kalinya Sabina berangkat dari rumahnya karena ia baru saja kembali setelah 8 tahun lamanya, semenjak kejadian itu. Butuh 15 menit berjalan kaki untuk sampai di sekolahnya.
Danu melewati gadis itu begitu saja tanpa ada niat ingin menawarinya tumpangan karena ia tahu jika gadis aneh itu hanya akan membuatnya kikuk karena tidak dihiraukan. Lagipula Danu tidak menyukai Sabi bukan? Dan Sabina hanya melihat motor itu menjauh dengan kecepatan sedang tanpa menaruh rasa peduli sedikitpun.
Sabina memegang perutnya yang keroncongan, ia belum memakan apapun pagi ini lalu memutuskan mampir ke sebuah minimarket yang letaknya di pertigaan dekat jalan masuk perumahan yang ia tinggali. Gadis itu segera mempercepat kakinya menuju ke sana. Sambutan khas minimarket langsung terdengar ketika ia membuka pintu namun tanpa memberi respon apapun ia segera mencari apa yang dibutuhkannya roti sandwich cokelat, susu kotak cokelat dan air mineral ia berencana untuk tidak ke kantin jam istirahat nanti jadi ia membeli air mineral sekarang. Ia mengambilnya dengan cepat hingga tidak menyadari sepasang mata cokelat memperhatikannya.
"Semuanya Rp 12.500," ucap penjaga kasir wanita dengan sangat ramah.
Sabina segera membuka dompetnya dan menyerahkan selembar seratus ribuan.
"Maaf, ada uang pas? Kami belum mempunyai kembalian."
Sabina menggeleng pelan karena lembar berwarna merah itu adalah satu-satunya penghuni dompetnya.
"Aduh gimana ya? Hei, kamu punya uang kecil?" Kasir itu berbicara pada teman kerjanya.
"Nggak ada."
"Jadikan satu saja mbak, biar saya yang bayar."
Sabina menoleh ke samping sedikit mendongak untuk mengetahui siapa pemilik suara itu dan dilihatnya Danu meletakkan sebotol parfum di atas meja kasir.
"Daripada gue telat karena kelamaan," gerutu Danu pelan namun Sabi mampu menangkap suara itu dengan baik, batinnya memutar mata jengah.
Mbak penjaga kasir melihat mereka bergantian, namun kemudian ia menurut ucapan si pria itu karena melihat celana dan rok abu-abu yang mereka pakai.
"Semuanya jadi Rp 54.500."
Dengan segera Danu mengeluarkan uang pas dari dalam dompetnya tanpa menoleh sedikitpun ke arah Sabi yang mematung di sampingnya.
Ia segera mengambil belanjaannya, "Punya Lo." Danu menyerahkan belanjaan Sabi lalu pergi begitu saja.
Sabina ikut melangkah keluar, ia menghampiri Danu yang baru saja akan memakai helm. Ia kesal harus berurusan dengan orang lain.
"Nanti ku ganti uangmu," ucap Sabi datar, sedatar ekspresi wajahnya saat ini lalu ia melangkah meninggalkan Danu yang terheran-heran.
Cewek aneh itu bicara pada sama gue? Gue nggak salah denger kan?
Danu memasukkan jari telunjuknya ke dalam telinga dan sedikit menggerakkannya di sana, ia sempat berpikir jika saja telinganya rusak kemasukan air saat keramas pagi tadi.
Tapi nggak kok, masih normal ini.
Danu segera mengendarai motornya ke sekolah, ingin rasanya dia menawarkan tumpangan pada Sabi yang sedang berjalan di trotoar sembari memakan lahap rotinya tapi daripada ia harus malu karena ditolak lebih baik ia menarik gasnya agar segera sampai di sekolah.
Inget Danu, lo nggak usah peduliin Sabina.
Dan sekali lagi Sabina hanya melihat pria itu melesat kencang tanpa berharap akan ditawari tumpangan.
Ia tidak butuh tumpangan.
Kritik dan saran diterima.
@DanFujo itu awalnya blm ada adegan ngambil fotonya Danu buat jaga-jaga, tapi karena ada komen dari @drei jadi saya tambahin biar ada alasannya (sebab akibat).
Comment on chapter Rasa 24Nggak perlu jadi kakak atau adik, cukup jadi sahabat yang "peka" dengan sahabatnya hehe. Temen-temennya Danu pada nggak peka karena Danu cukup pintar menyembunyikan masalahnya hehe