Read More >>"> Dunia Tiga Musim (Epos Tiga Musim) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dunia Tiga Musim
MENU
About Us  

Di antara mereka bertiga, tidak ada yang benar-benar orang Sunda tulen. Nda memiliki darah Sunda dari sang ibu sementara ayahnya adalah keturunan Jawa yang hampir semua keluarganya bermukim di Surakarta. Gadis itu baru menetap di Bandung setelah ayahnya yang seorang penyuluh pertanian dipindah tugaskan ke Lembang saat dirinya baru mau masuk SMP. Meski ayahnya lulusan pertanian, Nda sama sekali tak mewarisi ketertarikan yang sama dengan bidang yang dikuasi ayahnya.

Hal tersebut bisa jadi dipicu saat kepindahan Nda ke Bandung. Rumah yang sampai kini di tempati Nda adalah rumah yang baru saja ditinggalkan oleh pemilik lama yang sedang butuh uang dengan sangat segera. Entah kealpaan pemilik rumah atau bagaimana, ayahnya saat itu menemukan segepok tumpukan majalah Lonely Planet dan majalah-majalah dari maskapai penerbangan yang dikhususkan untuk penumpang. Karena si pemilik sepertinya tak berminat mengambilnya kembali, tumpukan majalah itu akhirnya menggeser kedudukan majalah Trubus di rumah keluarga Nda.

Meski Nda sendiri saat itu tidak paham tulisan yang tertera pada Lonely Planet dan majalah maskapai yang tercetak dalam bahasa Inggris, bocah SD itu senang sekali ketika melihat foto-foto memikat mata yang disuguhkan di atas lembaran kertas licin yang tampak mahal.

Sejak saat itu Nda merasa ingin menjadi penjelajah dunia. Gadis kecil itu sering memimpikan berada di jalanan tenang diantara perbukitan dan gletser Islandia, atau melihat air terjun glasial yang dikelilingi hijaunya rerumputan nordik. Bahkan sobekan foto Big Ben yang ada di satu edisi majalah itu kini tertempel di dinding kamarnya. Akibat dari fantasinya untuk bisa menyusuri daratan Eropa yang megah, klasik, dan tenang.

Nda memandang sebuah surat yang baru saja diantar pak pos memakai motor bebek dengan logo burung garuda warna oranye jeruk. Surat itu menyatakan bahwa ia diterima di salah satu lembaga pendidikan. Nda senang. Tapi sedetik kemudian bungkam. Hatinya merasa belum tenang.

Selain mendaftar jurusan HI Unpad, Nda juga mendaftarkan diri ke sebuah akademi penyiaran ternama di Kota Bandung dengan memakai jalur rapor. Kini ia dinyatakan diterima menjadi mahasiswa Diploma Tiga jurusan Jurnalistik. Anak SMA itu hanya perlu melengkapi berkas-berkas dan mendaftar ulang agar menjadi mahasiswa resmi. Meski begitu, Nda tahu bahwa keinginan utamanya bukanlah ini. Sebagai siswa SMA yang tidak berbakat matematika ia tidak cukup percaya diri dengan pertarungan ketat seluruh siswa se-Indonesia yang memperebutkan jurusan HI. Batinnya saat itu berkecamuk. Bagaimana jika ia tidak diterima? Akankah ia siap jika tidak diterima?

Nda sadar bahwa kemampuannya berbahasa inggris tak cukup kuat untuk menjadikan dia nyaman-nyaman saja menunggu pengumuman PMDK. Sepanjang ia duduk di bangku SMA, ia hanya kuat di grammar dan writing, dengan kemampuan speaking yang sama sekali tak membuatnya berminat untuk mengikuti lomba debat dan semacamnya. Nda hanya suka menulis. Keseimbangan pribadinya yang ambivert tak lantas membuatnya jago menarik perhatian publik sekolah. Beberapa lomba yang dimenangkannya hanya berafiliasi dengan bakat menulisnya. Nda juga agak pesimis bahwa juara lomba menulis cerpen nasional bisa nyambung dengan jurusan HI. Apakah panitia PMDK akan memasukkan piagamnya itu sejajar dengan piagam lomba debat atau pidato bahasa inggris yang jelas-jelas lebih dilirik karena sangat koheren dengan jurusan Hubungan Internasional.

Nda menghela napas saat memikirkan semua hal ini. Wanita itu kemudian teringat Bram dan Karel yang rasanya tidak perlu mengalami penurunan mental ketika menghadapi saat-saat paling menentukan masa depan mereka seperti ini.

Tak jauh dari tempat Nda berdiri melihat kepergian Pak Pos, Bram tengah memantul-mantulkan bola basket dengan kecepatan rendah di teras rumah neneknya yang masih berlapiskan ubin lama.Lelaki itu memantulkan bola basket berwarna oranye jeruk sambil duduk di kursi rotan, kadang bola itu diangkatnya kemudian diputar dengan satu jari, kadang diturunkannya lagi. Bram tertawa ringan, membayangkan betapa serunya jika nanti di universitas ia bisa bergabung dengan klub basket jurusan, atau mungkin fakultas. Bram mengernyit, tidak-tidak. Sepertinya ia bisa saja bergabung di Unit Basketball Ganesha, tim basket calon universitasnya. Tentu derajat kepercayaan diri Bram cukup tinggi karena dia memiliki banyak penghargaan untuk olahraga itu di tingkat regional sampai provinsi.

Bram sendiri dengan kemampuan fisika dan matematikanya yang—meski tidak sampai derajat anak olimpiade—tapi termasuk rata-rata atas untuk ukuran standar SMA-nya yang merupakan salah satu SMA favorit. Semenjak tahu prospek pekerjaan lulusan teknik mesin yang luas dan kemungkinan bisa membawa keluarganya ke arah fiansial yang lebih baik, Bram tidak ragu-ragu memilih jurusan tersebut. Apalagi jurasan itu termasuk tengah-tengah jika dibandingkan peminat jurusan perminyakan, informatika, dan teknik sipil yang banyak diminati oleh teman-temannya. Bram merasa aman, tapi tetap saja, ia harus bersiap dengan konsekuensi terburuk. Hanya saja, jika dijabarkan dengan presentase, Bram merasa yakin 70 persen dan sisanya adalah ketidakyakinan.

Pantulan bola oranye di tangannya semakin melemah. Bram tiba-tiba terbersit Karel, yang dia duga sebagai orang paling out of the box yang pernah ia temui. Karel, mau ke teknik perminyakan juga mampu dia. Bram hanya berpikir bahwa keadaan ekonomi ternyata bisa menjadi faktor penentu pilihan seseorang. Yah, jika dibanding Karel yang hidupnya serba ada sedari kecil, mungkin jika mau, gue bisa saja memaksakan kehendak ke jurusan yang lebih ia sukai tapi tidak sebesar peluangnya dibanding teknik mesin. Tapi gue butuh pendidikan buat memajukan kehidupan gue dan keluarga gue. Gue butuh jurusan yang bisa memenuhi ekspektasi eyang ke gue. Gue butuh eksistensi.

Sementara ada seorang tetangga yang tengah memikirkan betapa beruntung nasib Karel, lelaki blasteran itu sekarang tengah termangu di meja belajarnya.

Karel hanya ingin eksistensi kepujanggannya diakui. Hingga datang sebuah pagi dimana ia menggemparkan seluruh orang di rumahnya. Kolom pengumuman yang diaksesnya dari internet membuat maminya menjerit dan kucing persia gemuk di pangkuan wanita itu melompat.

Hari itu adalah hari pengumuman PMDK.

Sejak pagi, Nda gelisah dan hanya bernafsu menelan satu kunyahan roti panggang yang disiapkan ibunya di atas meja makan.

“Kamu mau buka pengumuman sekarang?” pertanyaan ibunya dari arah dapur membuat Nda kembali meletakkan gelas yang isinya belum sempat masuk ke dalam kerongkongan.

“Apa mau besok saja lihat di koran?”

Dua pertanyaan ibunya sama-sama tidak menemui jawaban. Nda mengetuk meja makan dengan kaku. Kalau nggak dilihat hari ini, aku nggak yakin nanti malem bisa tidur. Tapi kalau liat hari ini aku belum siap mental. Really, not yet.

Di tengah kericuhan otaknya itu, Tuhan seakan memberinya pertanda.

Suara bass di luar pagar rumah membuat Nda melongok ke pintu dan menemukan sosok Bram tampak segar dan sumringah. Melihat wajah tetangganya itu, Nda semakin mulas.

“Mau ikut nggak?” Bram masih berdiri di depan pagar rumah Nda. Kedua tangannya terlipat di saku celana selututnya. “Gue mau ke rumah Karel. Nebeng wifi.”

Nda terdiam sebelum akhirnya mengikuti lelaki itu melewati lima blok rumah dan satu perempatan sebelum akhirnya sampai di depan sebuah rumah bertingkat dua yang pagarnya cukup tinggi.

“Lu kenapa? Tumben dari tadi diem.” Bram menoleh ke arah Nda yang kini bersandar ke tembok pagar.

“Aku nggak berani liat.”

Bram tertawa. “Bisa juga ya, seorang Nda panik kayak gini.” Lelaki itu kini sudah menghentikan tawanya. “Tenang, ntar gue aja yang liatin punya lu.”

Lelaki itu hendak memijat bel di depan pagar rumah Karel. Namun sebelum hal itu terjadi, pintu rumah itu sudah lebih dulu terbuka. Bram terbelalak melihat sosok Karel yang berlari kecil dengan muka kalut. Ekspresi cemas Nda juga berubah bingung saat melihat tetangga blasterannya itu membuka pagar dengan terburu-buru.

“Rel, lu kenapa dah? Bukannya udah kebiasa liat hal gaib?”

Pertanyaan asal Bram tidak digubris oleh Karel, bahkan Karel tampaknya tak sadar Bram dan Nda ada depan rumahya.

Baru saja Karel berhasil membuka pagar, teriakan histeris mami Karel mengusik ketenangan satu blok komplek mereka.

“Papiiiiih! Papiiihhhh!”

Mendengar itu, Bram dan Nda segera menyadari bahwa sedang ada yang tidak beres.

Belum cukup keterkejutan dan kebingungan terjawab, sebuah mobil ambulans terdengar meraung-raung dari jauh dan dengan kecepatan tinggi melibas jalanan komplek kemudian terhenti di depan Nda dan Bram. Seorang lelaki berusia akhir 50-an yang menurut identifikasi Bram adalah papi Karel, digotong ke dalam ambulans dalam keadaan kaku. Mami Karel tak kuasa menahan rasa syok dan teriakannya terhenti karena pingsan di depan pagar. Wanita gemuk itu kemudian ikut diangkut ke dalam ambulans. Sementara Karel langsung melompat ke dalam mobil putih itu, dan ketika pintu hendak ditutup, lelaki bermata hazel itu melihat dua tetangganya sedang berdiri di depan rumahnya dengan tatapan rancu.

Bak adegan slow motion, Nda dan Bram saling berpandangan begitu melihat Karel yang baru mengetahui keberadaan mereka. Tanpa pikir panjang, kedua anak muda itu ikut melompat ke dalam ambulans.

***

“Papi kejang-kejang saat tahu aku nggak masuk Informatika ITB.”

Nda dan Bram kembali berpandangan.

“Papi nggak tau kalau itu pilihan kedua. Mungkin dia syok mengira aku memang nggak masuk kualifikasi jurusan itu.”

Bram menghela napas. “Sekarang lu sadar kan, pilihan lu ke sastra bisa jadi sefatal ini?”

Melihat itu Nda juga menghela napas. Lebih karena ia tak harus melihat pengumuman PMDK hari ini.

Karel mengangguk merespons Bram. Lelaki itu melepas kacamatanya.

“Aku bingung.” Katanya datar. “Aku nggak niat bikin papi sakit, selama ini beliau sehat dan aku saat itu cuma berpikir buat mempelajari apa yang aku pengen.”

“Tapi lu nggak bisa egois, Rel.” Sela Bram. “Bokap lu berharap banget sama lu.”

“Kamu nggak bisa menjustifikasi Karel egois juga, Bram.” Kali ini Nda menyela. Mendengar pembelaan itu, Bram terlihat keki, tapi tetap mendengarkan kalimat Nda.

“Tapi aku juga nggak sependapat sama Karel.” Gadis itu menoleh ke arah lelaki jangkung yang kini memasang kacamatanya kembali dengan kikuk.

“Kamu harusnya pakai cara yang bisa diterima orang tuamu kalau memang kamu se- passionate itu sama hal yang kamu inginkan.”

Lorong rumah sakit itu kemudian hening. Hanya ada seorang suster yang melewati tiga anak muda yang duduk di ruang tunggu.

“Jadi lu bakal gimana?” Bram menatap Karel yang kini menghela napas.

Karel tidak menjawab namun buru-buru berdiri saat seorang dokter dan suster mendekat ke arah mereka bertiga. “Kalian walinya Pak Subandrio?”

Karel mengangguk diikuti tepukan dokter itu ke lengannya.

“Pak Subandrio terkena jantung koroner. Untunglah bisa tertangani berkat pertolongan pertama.”

Dokter itu melihat ke arah tiga pemuda di depannya satu persatu. “Apa ada yang melakukan CPR sebelum ambulans datang tadi?”

CPR?

Nda langsung melihat wajah Karel. Hal yang sama dilakukan oleh Bram. Sementara Karel hanya mengangguk pelan.

“Bagus sekali. Kamu anak Pak Subandrio?”

Karel mengangguk kali kedua.

“Pak Subandrio pasti senang, anaknya berbakat jadi ahli medis.”

Bram menelan ludah. Sementara Nda melihat wajah Karel yang hanya terdiam.

“Begitu kondisi ayahmu stabil, kami akan melakukan operasi.” Dokter itu menepuk lengan Karel lagi sebelum pergi. “Oh iya, ibumu sudah sadar. Kamu bisa menemuinya nanti saat dia sudah agak tenang, suster akan memberitahu.”

Ketiga pemuda itu kembali duduk di lorong rumah sakit.

Mereka menghela napas bersamaan.

“Jadi.” Bram membuka pembicaraan. “Apa yang bakal lu lakuin, Rel?”

Nda memandang Karel, “Apa kamu terpikir buat ikut tes kedokteran?” ia mengingat perkataan dokter tadi. “Rasanya kamu mau milih jurusan apapun juga nggak bakal begitu susah.”

Karel membenarkan letak kaca matanya. “CPR itu bisa dilakuin siapapun. Nggak harus dokter. Aku pun baru praktekin tadi.”

“Tapi gue aja nggak tau CPR tuh, apaan.” Ujar Bram. “Jadi kalau misal ada orang kena serangan jantung yang lagi sama gue, tuh orang pasti lagi sial.”

“Itu cuma masalah perbedaan kadar informasi yang udah kita dapet.” Karel masih merendah, wajahnya kini lebih tenang, dan semakin datar.

Oke, kadar informasi. Bram agak keki mengakui.

“Jadi lu abis ini mau ngapain?”

***

Mackarel Subandrio. Nama depan yang agak nyeleneh itu memang sengaja disematkan orang tua Karel yang adalah penggila sarden. Saat hamil, mami Karel selalu mengidam ikan kaleng itu terutama ikan tuna, dan bisa menghabiskan berkaleng-kaleng sarden dalam seminggu. Kegilaan orang tua Karel akan sarden berimbas pada nama anak tunggal mereka. Entah kenapa Papinya lebih suka memanggil ‘Karel’ daripada ‘Mac’, meski nama itu terkesan imut untuk ukuran lelaki jangkung yang tingginya hampir menyamai Bram yang adalah pemain basket dengan tinggi hampir 190 cm.

Hari itu Bram dan Nda menjenguk Pak Subandrio setelah selesai operasi. Karel agak kaget begitu melihat bawaan Bram yang sudah seperti parsel lebaran; keranjang besar berisi buah-buahan mulai dari apel merah khas snow white, apel besar yang kuning kemerahan, dan apel hijau.

“Kita bawain buah-buahan yang katanya bagus buat jantung.” Bram meletakkan keranjang yang isinya menjulang itu ke meja tamu ruang papi Karel dirawat. “Gue tiba-tiba merasa sedikit ingin memperoleh kadar informasi yang sama dengan lu soal penyakit jantung.”

Karel tersenyum kecil. Ia merasa aneh dengan perkataan Bram karena buah yang dibawa tetangganya itu semuanya dalam jenis apel.

Mata lelaki itu kemudian beralih menatap Nda yang membawa buket bunga tulip berwarna kuning.

“Semoga papimu cepet sembuh ya.” Gadis itu mencari-cari sesuatu di dalam ruangan. Begitu melihat satu vas bunga yang kosong, Nda mulai memindahkan bunga tulip itu ke dalam sana.

Hari itu Nda dan Bram sepakat untuk melihat pengumuman PMDK lewat surat kabar nasional yang terbit hari itu.

Ketiga manusia itu kini sudah berada di lorong rumah sakit.

Sejenak, Bram tampak menahan napas sebelum membuka halaman tengah koran yang ia pegang. “Gue dulu apa lu dulu?”

Nda menatap Bram. “You first.”

“Siap.” Bram kini sudah siap menyusuri nomor demi nomor berukuran mikro di depannya. “Here we go.”

Nda kini merasa tempo detak jantungnya meningkat. Gadis itu berulang kali menelan ludah. Ini kan masih giliran Bram. Gadis itu berusaha menenangkan diri tapi sepertinya sia-sia.

Begitu telunjuk Bram berhenti menekuri deretan nomor. Nda merasa adegan slow motion antara ia dan Bram terulang kembali. Nda memandang Bram. Karel memandang Bram. Dan Bram memandang Nda.

Bram sontak berdiri dari kursi tunggu, mengepalkan tangan dan mengayunkannya, kemudian berbalik arah menghadap barat, lantas sujud syukur.

Karel tersenyum cukup lebar dan meninju pelan pundak Bram. Nda membuang napas panjang karena lega. Tapi kelegaan itu tak berlangsung lama, karena kini semua mata tertuju padanya. Bram bangkit dari sikap khidmatnya, kemudian kembali menyibak koran.

“Nomor peserta lu?”

Lelaki itu mengangguk sambil mengingat. Kemudian telunjuknya kembali berayun menyusuri deretan angka di halaman koran.

Nda sudah membayangkan akan ikut sujud syukur jika Bram sudah menghentikan pencariannya.

Semenit. Dua menit. Tak ada tanda bahwa Bram menghentikan laju jemarinya di atas surat kabar. Hingga akhirnya jantung Nda berdenyut lebih cepat, seperti nyaris menjebol rusuknya, ketika Bram telah menyentuh ujung deretan angka di surat kabar, dan lelaki itu menghentikan pencariannya. Bukan karena menemukan apa yang ia cari, tapi karena sudah tidak ada lagi nomor yang tersisa.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • drei

    Wah pembukaan yang menarik. Jadi pingin lanjut baca >.< keep up the good work

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
AUNTUMN GARDENIA
128      112     1     
Romance
Tahun ini, dia tidak datang lagi. Apa yang sedang dia lakukan? Apa yang sedang dia pikirkan? Apakah dia sedang kesulitan? Sweater hangat berwarna coklat muda bermotif rusa putih yang Eliza Vjeshte kenakan tidak mampu menahan dinginnya sore hari ini. Dengan tampang putus asa ia mengeluarkan kamera polaroid yang ada di dalam tasnya, kemudian menaiki jembatan Triste di atas kolam ikan berukura...
Cinta Tau Kemana Ia Harus Pulang
7868      1458     7     
Fan Fiction
sejauh manapun cinta itu berlari, selalu percayalah bahwa cinta selalu tahu kemana ia harus pulang. cinta adalah rumah, kamu adalah cinta bagiku. maka kamu adalah rumah tempatku berpulang.
KETIKA SENYUM BERBUAH PERTEMANAN
509      357     3     
Short Story
Pertemanan ini bermula saat kampus membuka penerimaan mahasiswa baru dan mereka bertemu dari sebuah senyum Karin yang membuat Nestria mengagumi senyum manis itu.
Light in the Dark
1706      733     3     
Romance
An Invisible Star
1847      963     0     
Romance
Cinta suatu hal yang lucu, Kamu merasa bahwa itu begitu nyata dan kamu berpikir kamu akan mati untuk hidup tanpa orang itu, tetapi kemudian suatu hari, Kamu terbangun tidak merasakan apa-apa tentang dia. Seperti, perasaan itu menghilang begitu saja. Dan kamu melihat orang itu tanpa apa pun. Dan sering bertanya-tanya, 'bagaimana saya akhirnya mencintai pria ini?' Yah, cinta itu lucu. Hidup itu luc...
The Last Mission
566      333     12     
Action
14 tahun yang silam, terjadi suatu insiden yang mengerikan. Suatu insiden ledakan bahan kimia berskala besar yang bersumber dari laboratorium penelitian. Ada dua korban jiwa yang tewas akibat dari insiden tersebut. Mereka adalah sepasang suami istri yang bekerja sebagai peneliti di lokasi kejadian. Mereka berdua meninggalkan seorang anak yang masih balita. Seorang balita laki-laki yang ditemuka...
Bee And Friends 2
2301      870     0     
Fantasy
Kehidupan Bee masih saja seperti sebelumnya dan masih cupu seperti dulu. Melakukan aktivitas sehari-harinya dengan monoton yang membosankan namun hatinya masih dilanda berkabung. Dalam kesehariannya, masalah yang muncul, ketiga teman imajinasinya selalu menemani dan menghiburnya.
I Can't Fall In Love Vol.1
2408      960     1     
Romance
Merupakan seri pertama Cerita Ian dan Volume pertama dari I Can't Fall In Love. Menceritakan tentang seorang laki-laki sempurna yang pindah ke kota metropolitan, yang dimana kota tersebut sahabat masa kecilnya bernama Sahar tinggal. Dan alasan dirinya tinggal karena perintah orang tuanya, katanya agar dirinya bisa hidup mandiri. Hingga akhirnya, saat dirinya mulai pindah ke sekolah yang sama deng...
Aku dan Dunia
343      259     2     
Short Story
Apakah kamu tau benda semacam roller coaster? jika kamu bisa mendefinisikan perasaan macam apa yang aku alami. Mungkin roller coaster perumpamaan yang tepat. Aku bisa menebak bahwa didepan sana ketinggian menungguku untuk ku lintasi, aku bahkan sangat mudah menebak bahwa didepan sana juga aku akan melawan arus angin. Tetapi daripada semua itu, aku tidak bisa menebak bagaimana seharusnya sikapku m...
Memoreset (Sudah Terbit)
3378      1301     2     
Romance
Memoreset adalah sebuah cara agar seluruh ingatan buruk manusia dihilangkan. Melalui Memoreset inilah seorang gadis 15 tahun bernama Nita memberanikan diri untuk kabur dari masa-masa kelamnya, hingga ia tidak sadar melupakan sosok laki-laki bernama Fathir yang menyayanginya. Lalu, setelah sepuluh tahun berlalu dan mereka dipertemukan lagi, apakah yang akan dilakukan keduanya? Akankah Fathir t...