Motor vespa putih itu merapat ke halaman parkir. Tepat saat kendaraan itu berhenti, Karel tengah melangkahkan kaki melewati lorong kelas. Dari sana ia dapat melihat lapangan parkir dimana Nda turun dari boncengan Bram. Karel melihat pemandangan itu dengan wajah datar. Alih-alih cemburu dan merasa bahwa Bram adalah musuh yang harus segera ditumpas. Karel malah mempercepat langkahnya untuk segera sampai kelas dan bertemu Bram.
“Pagi, Bram.” Sapa Karel yang melihat kedatangan Bram di kelas.
“Oh... Pagi.” Bram agak terkejut dengan perubahan sikap Karel yang tak sedingin kemarin.
“Kau berangkat bareng terus dengan Nda. Kalian pacaran?” tanya Karel berpura-pura santai.
Bram yang masih terkejut dengan sikap Karel menjawab sambil tertawa. “Hah? Enggak lah. Cuma nebeng motor aja biar hemat.”
Karel mengangguk sok mengerti meski dalam hati bersorak sorai.
“Udah kenal lama emang sama Nda?” tanya Karel lagi. Dalam benak Karel tersimpan beragam ekspektasi. Jika Bram dan Nda adalah sepasang sahabat kecil yang sulit dipisahkan, maka akan ada kemungkinan salah satu dari mereka menyimpan rasa. Tentu ia yang merupakan ‘orang baru’ akan sulit merobohkan dinding kenyamanan persahabatan dua orang itu begitu saja.
Mata Karel memicing menunggu jawaban dari Bram. Sementara Bram malah menyisir rambut dengan jari, santai.
“Enggak juga.” Bram menguap. “Baru kenal pas kelas sepuluh. Sama kayak lu. Gue dulu juga orang pindahan.”
Mendengar itu, Karel langsung meletakkan bukunya di atas meja. “Oke. Akhirnya aku bisa menjalankan misi tanpa mengusik kehidupan siapapun.” Lelaki itu berkata kepada diri sendiri.
“Hah? Apa?” Bram menyahut. Ia seperti mendengar suara bisik-bisik tadi.
Karel menggeleng.
***
“YES!” Bram berteriak kegirangan saat bola berwarna oranye dengan mudah masuk ke dalam ring.
“Dua puluh.” Nda berbicara dengan suara kecil. “Dua puluh three point dalam semenit.”
“Keren, kan?” Bram yang tadi asyik melompat-lompat sendiri mendadak menoleh ke samping kanan lapangan tempat Nda duduk.
Pandangan Nda yang sedari tadi tertuju ke Bram bertemu. Ia tak menyangka Bram akan menyadari pengawasannya. Memang sedari tadi Nda memegang buku. Tapi konsentrasinya terusik saat dentuman bola basket dan ring yang bertubi-tubi. Perempuan itu pun malah keasyikan nonton Bram yang latihan three point. Nda tak pernah sadar bahwa Bram ternyata memang sekeren ini. Dan ia baru benar-benar menyadari bahwa selama ini ia dekat dengan lelaki yang dijuluki bintang lapangan, kapten basket tahun lalu. MVP se-SMA Bandung. Haha, Oke, Nda, kemana saja kau selama ini?
Dan lihat, Bram kalau sedang berkeringat begini terlihat semakin maskulin. Nda mengamati kulit kecoklatan Bram yang sudah terlihat berotot itu. Posturnya yang tinggi dan cukup atletis sangat pas dengan seragam basket yang ia kenakan.
“Hei! Nda!”
Panggilan Bram membuat Nda tersadar akan hal rancu yang bisa-bisanya ia lakukan. Tangannya buru-buru mengangkat buku dan mulai sibuk membaca. Tapi pendengarannya malah menangkap suara Bram.
“Lu kenapa, sih?”
Nda hanya menggeleng dan tak lama kemudian ia merasa harus segela pulang.
Di perjalanan pulang sekolah, Nda masih memikirkan hal-hal absurd yang sempat mampir di pikirannya tadi. Ia menimbang-nimbang banyak hal.
Kalau dipikir-pikir, apa yang kurang dari Bram? Akademis oke, non akademis oke, fisik meskipun standar tapi yah, tidak begitu mengecewakan, sosial oke, agama oke, terbukti suka sholat jamaah. Nda termenung di atas jok belakang motor. Mungkin Bram memang agak kesulitan secara ekonomi, tapi hal itu tertutupi dengan kelebihan-kelebihannya.
Laju vespa memelan, lalu berhenti di sebuah rumah minimalis. Nda turun dengan pikiran yang masih berputar. Ia menerima kunci motor yang diberikan Bram padanya. Lelaki itu hendak pamit pulang, namun tiba-tiba ia teringat sesuatu. Bram merogoh-rogoh ranselnya kemudian mendapati secarik amplop dan diberikan kepada Nda.
“Apa ini?” Nda merasa tak pernah meminjamkan uang pada Bram.
“Karel nitip tadi.”
“Hah?” Bahkan meminjamkan ke Bram saja tak pernah, apalagi ke Karel.
“Buka aja di sini.” Ujar Bram. “Gue juga penasaran apa isinya.” Lelaki itu kemudian duduk tanpa diperintah di kursi teras rumah Nda. Ia melipat tangan di belakang kepala seperti biasa.
Nda ikut duduk di kursi sebelah. Ia membolak-balik amplop itu. Putih bersih tanpa ada satu coretan pun. Masih jaman kirim surat kayak gini? Nda tak habis pikir. Antara penasaran dan curiga dengan isinya.
Jemari Nda perlahan membuka penutup surat yang tersegel rapi. Ia menemukan secarik kertas berlipat dua. Nda membuka lipatan dan membacanya:
Laut adalah langit,
namun sedikit lebih basah.
Keduanya cemburu pada matamu.
Nda kaget setengah mati usai membacanya. Namun gadis itu malah tertawa lepas. Bram yang melihat respon Nda langsung merebut kertas itu dan ikut membaca. Ia mengernyitkan dahi.
“Aan Mansyur.” ucap Nda begitu menguasai diri.
“Hah?” Bram tak mengerti yang dikatakan Nda.
“Iya, yang tadi itu puisinya Aan Mansyur.” Nda tertawa lagi. “Dan aku nggak tau kalau Karel juga suka Aan Mansyur. Sampai ngirim surat isi puisi kayak gitu. Dia berani banget ya ngerayu pakai cara anti mainstreim.”
Bram masih terbengong. “Ngerayu? Dia suka lu?”
Nda mengangkat bahu. “Mana kutahu. Kau kan teman sebangkunya.”
Bram hanya terdiam tanpa tahu harus menanggapi apa.
***
Esoknya di sekolah, Karel menyodorkan sepucuk amplop ke arah Bram.
Teman sebangkunya itu sedang menenggak air dari botol dan kini aliran air malah masuk ke lubang hidung karena kaget.
“Uhuk!” Bram mengelap mulut. “Lagi?’
Karel nyengir. Seorang siswi yang tak sengaja melewati bangku mereka tiba-tiba terbelit tali sepatunya sendiri akibat salah langkah—karena terpana melihat senyuman Karel yang sangat langka seperti kemunculan komet halley.
“Thanks.” Karel menatap Bram sejenak sebelum beranjak dari bangkunya untuk keluar kelas karena bel berdering. Bram yang belum menyatakan persetujuan langsung mencegatnya.
“Eh, bentar!”
Karel menoleh
Kali ini Bram menghela napas dan berbicara dengan suara pelan. “Lu nggak bercanda, kan?”
“Bercanda?”
“Surat-surat ini, semuanya.” Bram kini terlihat bersungguh-sungguh. “Lu suka Nda?”
Raut Karel berubah serius. “Kenapa memangnya? Kau juga suka dia?”
DEG
Bram tiba-tiba kehabisan kata. Suatu perasaan aneh tiba-tiba menyelinap di antara rusuknya, kemudian merambat hingga ke paru-paru, lalu jantung. Memenuhi rongga dadanya.
“Kupikir kau dan Nda hanya berteman.” Karel kembali duduk sehingga posisinya sejajar dengan Bram.
“Aku pernah bertemu Nda sebelum pertemuanku di syukuran. Dan dia orang yang menarik. Aku tak tahu bagaimana cara agar dekat dengannya. Aku bukan kau. Aku hanya terpikir menulis saja. Dan untunglah dia suka membaca.”
Bram terdiam. Lalu menghela napas pendek. Ia tak habis pikir bagaimana orang di depannya ini bisa hidup di jaman sekarang. Si kutu buku dingin merangkap pujangga gadungan yang disukai hampir seluruh cewek sekelas, dan mungkin cewek-cewek luar kelas juga mulai mengincarnya.
“Lu kan, bisa mengandalkan tampangmu itu buat lebih deket sama Nda.” Ujar Bram.
Karel tertawa sangsi. “Sudah kubilang, kan. Aku bukan kau.” Wajahnya kini terlihat hangat dan lebih terbuka. “Aku sulit berinteraksi dengan orang lain. Kau sendiri menyadarinya, kan? Kita sebangku. Tapi kau bahkan tak tahu latar belakangku. Kehidupanku bagaimana. Kita bercakap saja bisa dihitung jari.”
Bram masih terdiam di bangkunya, dalam hati anak lelaki itu membenarkan ucapan tetangga barunya. Melihat itu, Karel kemudian menyodorkan amplop putihnya lagi di atas meja Bram. Meminta tolong secara halus.
“Terimakasih, kau sudah membantuku sejauh ini.”
Belum sempat Bram menjawab dan mengajak bercakap lebih lama. Karel melangkahkan kaki pergi.
Malam setelah percakapan itu, Bram termenung di dalam kamar. Jendela di sampingnya terbuka. Mempertontonkan bulan purnama yang sejak tadi diam di kejauhan. Tirai jendelanya berkibar di tiup angin malam. Menimbulkan bunyi yang cukup menganggu jika angin terlalu keras mengguncang.
Tangan Bram mengetuk-ngetuk pulpen di atas meja. Buku-buku fisikanya terbengkalai begitu saja. Entah kenapa ia tak berselera lagi mengerjakan tugas mengenai fisika kuantum karena tiba-tiba saja ia mendapati sebuah amplop yang tersisip di halaman tengah buku.
Bram mengamati amplop itu. Terbersit keinginan untuk tak memberikannya kepada Nda. Dan ia sendiri belum bisa menyimpulkan alasannya. Bram kemudian teringat pertanyaan Karel. “Kenapa? Kau juga suka dia?”
Glek
Bram menelan ludah. Ada yang tak beres dengannya hari ini. Ia tak ingin memberikan surat itu pada Nda, tapi ia juga tak bisa mengkonfirmasi alasannya.
Lelaki itu meletakkan amplop, kemudian memandang keluar jendela. Tirai berkibar tertiup angin. Bulan masih terdiam. Begitupun Bram.
***
Siang itu seperti biasanya Bram membonceng Nda pulang dari sekolah. Tak lupa sebelum pulang Bram menyerahkan amplop putih yang telah dirogohnya dari dalam tas.
“Lagi?” tanya Nda.
“Yeah.” Bram mengangguk malas.
Nda terdiam, mengamati Bram. Ada sepercik rasa kecewa ketika Bram masih menerima titipan Karel untuknya. Bukankah Bram sudah tahu kalau isinya adalah tentang perasaan Karel kepadanya?
Pandangan Nda kini mengosong. Perempuan itu tertawa dalam hati. Menyadari suatu kemungkinan konyol yang mampir di pikirannya. Ya jelas saja Bram mau. Dia kan tak memiliki perasaan apapun padanya. Tak memiliki. Camkan itu Nda! Kau bukan siapa-siapanya. Hanya tetangga yang mempunyai misi sosial kepada anak yatim piatu.
Entah kenapa, menyadari hal itu, hati Nda terasa berat. Seakan ada berkilo-kilo batuan mulai menggelayuti rongga dadanya. Nda menghela napas panjang, sebelum akhirnya menerima amplop yang sedari tadi disodorkan Bram.
Di luar dugaan, Bram kaget saat tangan Nda meraih amplop itu. Lelaki itu tadinya berpikir bahwa Nda tak akan lagi menerima surat dari Karel setelah kemarin perempuan itu membaca isi surat berisi puisi—yang menurut Bram terlalu gombal—itu. Dan lagi Nda seperti menimbang-nimbang banyak hal tadi, karena suratnya tak langsung diambil.
“Lu ambil?” tanya Bram ragu.
“Kenapa enggak?”
“Kenapa iya?”
Bram berdehem pelan. “Lu tertarik sama Karel?” lanjut Bram dengan suara yang dibuat biasa saja.
Nda tak langsung menjawab begitu mendengar pertanyaan Bram.
“Yah, Karel memang langsung populer sih di kalangan cewek-cewek.” Lurus Bram agar tak terlihat aneh mempertanyakan privasi Nda yang biasanya tak pernah ia bahas sama sekali.
Nda tertawa kecil. “Kau pikir aku tipe perempuan yang tertarik pada lelaki yang jadi rebutan cewek sedunia?”
Bram mengangkat bahunya. Ia sendiri juga tak tahu.
“Lalu karena cewek-cewek lain suka, aku jadi ikut-ikutan suka gitu? Dan memanfaatkan kesempatan karena ternyata Karel tertarik padaku?”
Bram kini diam saja. Tak tau harus menjawab apa.
“Aku sedang tak ingin terikat pada siapapun sekarang.” Lanjut Nda membuat Bram menatap lurus padanya. “Bagiku ada hal-hal yang lebih penting, yang harus kulakukan, selama aku masih muda, daripada sekedar memikirkan urusan perasaan, Bram.”
Nda memandang Bram sambil tersenyum simpul. “Aku menerima surat Karel karena aku menghargai usahanya.” Perempuan itu mengacungkan amplop putih di tangan. “Tapi tolong beritahu Karel tentang apa yang aku katakan tadi. Supaya besok dan besoknya, ia tak lagi menaruh harap padaku melalui amplop-amplop ini.”
Nda menghela napas kemudian menatap Bram lekat. “Siapapun, berhak untuk jatuh hati kepada orang lain Bram. Tetapi belum tentu berhak untuk bersama saat itu juga.”
Bram terdiam. Nda berbalik punggung, melenggang masuk ke pintu rumah. Sementara Bram masih berdiri di tempat melihat punggung perempuan itu menjauh lalu hilang ditelan daun pintu. Bram merasa seluruh kata-kata Nda menelusup halus hingga ke dalam dadanya. Seperti angin sepoi-sepoi yang semilirnya menyejukkan.
Malamnya di rumah Nda
“Kamu deket nggak, sama si Karel itu?” tanya Ibu Nda saat makan malam petang itu.
“Beda kelas.”
“Dia sekelas sama Bram, kan? Kok nggak pernah main ke sini kayak Bram, sih?”
Nda mengangkat bahu. “Kurang tau, Ma.”
“Kapan-kapan undang ke rumah dong, Nda.”
Nda menghela napas. Kemudian menyilangkan garpu dan sendok di atas piring. Ia menatap ibunya aneh. Ini pasti ada maunya. Pikir Nda.
Ibu Nda berdehem pelan. “Kamu juga sih, kurang sosial ke tetangga. Kerjaannya di kamar mulu.”
“Kenapa sih, Ma?”
Ibu Nda kini berubah serius. “Kamu ndak tau kan, Karel itu jenius Nda. Anak jenius!”
Nda bergidik mendengarkan ibunya yang meluap-luap.
“IQ nya itu di atas rata-rata. Dia dulu kelas akselerasi waktu SMP. Pokoknya nilainya selalu bagus di kelas. Mama tadi tuh habis ngbrol sama ibu-ibu tetangga. Ada ibunya Karel juga yang wajahnya bule-bule gitu, kan. Dia cerita banyak soal Karel.”
Nda mengangguk berusaha memahami.
“Nah, Mama itu pengen kamu dapet nilai matematika bagus.”
Nda mendesah malas. “Ya, kan aku juga udah les sama Bram juga, Ma.”
“Ya apa salahnya, kan? Kamu nambah satu pengajar lagi. Biar mantep! Bram pinter, Karel jenius! Aman UNAS mu, Nda.”
“Apa?” Nda ternganga tak percaya. Ibunya kini sudah mulai memberskan meja makan. “Pokoknya, nanti mama undang Karel ikut belajar sama kamu dan Bram, ya. Mama nggak mau kamu nggak lulus UNAS gara-gara nilai matematika aja yang jeblok. Percuma nilaimu bagus di mapel lain kalau matematikamu nggak lulus.”
Nda menghela napas ketika ibunya sudah berjalan ke arah dapur tanpa memberinya waktu untuk menyela.
***
Pagi ini adalah akhir bulan Januari 2011. Itu berarti besok sudah masuk bulan Februari. Dan artinya lagi, UNAS tinggal sebulan lagi. Karena kabarnya ujian yang paling menentukan itu dilaksanakan di bulan Maret. Dan di hari Minggu ini, tak seperti hari-hari sebelumnya. Ibu Nda ternyata benar-benar serius dengan perkataannya kemarin malam. Terbukti pagi-pagi pukul 9 begini sudah ada tamu di rumah Nda. Tak tanggung-tanggung, dua orang sekaligus.
Nda menggeleng-gelengkan kepala saat mengetahui realita bahwa Bram dan Karel sudah duduk rapi di sofa ruang tamu. Satu lelaki sedang mebolak-balik koran rubrik olahraga. Satunya lagi membaca novel Anak Semua Bangsa-nya Pramoedya. Nda bingung bagaimana cara menyapa mereka berdua. Semuanya sedang asyik dengan dunianya sendiri.
Nda lantas hanya ngeloyor ikut duduk di sofa di sisi lain. Kemudian membaca The Alchemist-nya Paulo Coelho yang belum diterjemahkan.
Bram yang mengetahui kehadiran Nda segera melipat korannya. Kemudian melihat dua anak yang duduk di antara kursinya sedang sama-sama menopang lengan di sofa, asyik membaca buku masing-masing. Bram menghela napas datar. Kok bisa-bisanya ya, gue sekarang ada di antara dua maniak novel ini. Entahlah, ia tak tahu kenapa hidupnya mendadak dikelilingi orang-orang aneh. Pertama Nda, kemudian Karel. Dan mereka spesies yang hampir sama! Pemakan buku! Yang rakus!
“Kita mau ngapain, ya, sebenernya?” Bram akhirnya membuka suara.
Nda menatap Bram datar. “Bisakah belajar matematikanya nanti saja setelah aku menyelesaikan satu bab lagi?”
“Kita belajar matematika?” Karel malah baru tahu.
Bram mengangguk. “Tanyakan kepada dia kenapa kita harus ngumpul di sini.” Tangan lelaki itu menunjuk wajah Nda.
Karel menoleh ke arah Nda. Tapi sejenak kemudian raut wajahnya berubah. Tangan kanannya mengepal kemudian digunakan untuk menutup mulut. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya Nda menyadari keanehan itu.
“Kau kenapa?” Nda melihat Karel yang masih mengamatinya. Tapi perempuan itu sadar, bahwa bola mata hazel milik Karel tidak benar-benar lurus menatapnya. Bola mata itu menatap lurus menembus ke belakang Nda.
Tiba-tiba Nda bergidik. Ia lantas mengikuti pandangan Karel, menoleh ke arah belakang punggungnya sendiri.
“Ada apa, Rel?” tanya Nda lagi. Ia tak melihat apapun di belakangnya.
Bram ikut mengernyit heran. “Lu kenapa?”
“Aku melihat sesuatu.” Karel menjawab datar.
“Hah?” Bram spontan.
“Lihat apa?” perasaan Nda kini benar-benar tak enak. Tapi dia penasaran.
“Yang ngikutin kamu.”
“Apa, sih. Nggak lucu tau.” Nda kini tertawa. Garing.
Bram cengo. “Nggak paham, Rel. Suer.”
Karel menghela napas. Ia kini menutup bukunya. “Udah ilang, kok.”
“Sebenernya kamu, tuh, kenapa, sih?”
Karel akhirnya menceritakan rahasia terbesarnya selama ini. Yang tak setiap orang yang mengenalnya tau. Karena selama ini Karel selalu tertutup.
“Semacam indigo?” Bram masih tak percaya apa yang barusan didengarnya.
“Entah.” Karel mengangkat bahu. “Aku tak tahu bisa disebut indigo atau bukan. Yang jelas kadang penglihatan itu ada, kadang juga tak muncul. Tapi biasanya aku hanya melihat di saat-saat tertentu saja.”
“Lu nggak bisa lihat masa depan juga, kan?” tanya Bram
“Enggak, lah.”
“Nggak bisa baca pikiran orang juga, kan?” kini Nda menimpali.
“Ya enggak, lah.” Karel tertawa. “Cuma kadang lihat sesuatu yang astral aja.”
Nda menelan ludah. “Berarti yang tadi juga?”
Karel mengangguk. “Tenang. Nggak bisa dibilang serem juga sih. Tadi yang ada di belakangmu itu malah kayak putri keraton. Cantik banget.”
Nda tak percaya. “Malah kok, kedengerannya serem, ya.”
“Yah. Aku ini kan dikasih kelebihan IQ 140. Tapi dikasih juga kekurangan, kayak hal-hal gini. Sebenernya ini juga sih, yang membuatku dari dulu jadi anak pendiam. Karena kadang apa yang kulihat berbeda dengan yang dilihat orang-orang kebanyakan.”
Karel ini tertawa kecil. “Entah kenapa aku bisa berbicara sebanyak ini pada kalian. Nggak pernah kulakuin sebelumnya.”
Nda dan Bram bertatapan. Kemudian tersenyum. Mereka berdua merasakan suasana perlahan menghangat.
“So, mau mulai ngajari math darimana, mister jenius ber IQ 140?” tanya Nda sambil tertawa.
Bram menimpuk Karel dengan bantal sofa. “Nah sekarang giliranmu ngurusin pembenci math yang satu ini!”
“Eh?” Karel mendadak merasa dirinya diserang bertubi-tubi.
***
“Lu yakin mau masuk situ?”
Bram menguji kemantapan hati gadis yang sedang menjilati ice cone di sebelahnya. Nda mengangguk pasti menjawab ucapan Bram. “Kenapa Cuma aku yang ditanyai, sih? Karel tuh, pilihannya anti mainstream.” Nda melirik Karel yang menenggak air mineral dalam botol.
Bram, Nda, Karel. Ketiga anak yang akan mengkahiri masa putih abu-abunya sebentar lagi itu tengah melakukan pertemuan rutin sepulang sekolah di warung seberang sekolah mereka yang berhadapan langsung dengan jalan raya. Ini juga dampak akibat pertemuan ketiga anak itu setiap malam minggu belajar matematika atas perintah ibunda Nda. Akibatnya Karel kini memiliki dua orang teman di sekolah barunya. Dan Nda akhirnya memiliki dua orang teman dekat cowok di kehidupannya. Sementara Bram akhirnya memiliki dua orang teman dekat dari spesies langka di kehidupannya.
“Rel, lu yakin nggak ada unsur paksaan milih jurusan itu?”
Karel menggeleng datar.
“Kenapa sih, Bram? Sastra itu keren tau.” Nda membela Karel atas pertanyaan Bram yang tidak habis pikir, kenapa lelaki ber IQ 140 itu malah ingin memasukkan jurusan sastra indonesia di urutan pertama formulir PMDK.
“Bukan gitu.” ralat Bram. “Ya aku Cuma pengen realistis, Karel kan jenius. Masuk Teknik Perminyakan juga bisa kalau dia mau. Kenapa malah—
“Nah justru itu,” Sahut Nda. “Karena dia bisa masuk kemana pun, makanya dia nggak mau mainstream. Iya, kan, Rel?”
Bram kini menatap Nda sebal. Entah kenapa hatinya tiba-tiba merasa kecewa Nda melakukan pembelaan terus-terusan kepada Karel. Sementara Karel sendiri hanya mengangguk seolah tak peduli dengan masukan Bram.
“Terserah kalian dah.” Bram mulai badmood. “Dan lagi, mending lu urus itu nilai matematika daripada sibuk belain orang lain. Katanya mau masuk Hubungan Internasional Unpad. Passing Grade nya nggak main-main itu.” Ujar Bram sok menasehati.
Nda tertawa kecil. Ia melihat perubahan ekspresi Bram yang sepertinya sedikit...cemburu. “Iya, iya tau, calon anak Teknik mah beda pemikirannya sama kita-kita, ya Rel.” Lanjutnya lagi. Ingin memastikan bahwa Bram memang benar-benar tidak suka ia membela Karel terus-terusan.
Bram mengangkat bahu acuh. Sementara Karel hanya tertawa kecil menanggapi perdebatan Nda dan Bram.
Mereka bertiga memang sudah memutuskan pilihan untuk melanjutkan studi masing-masing. Tak ada yang mau pergi jauh-jauh dari Bandung. Nda memilih HI Unpad, Bram sudah pasti ingin melanjutkan ke ITB, dia mendaftar ke Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara atau FTMD dengan bantuan program Bidikmisi. Di luar dugaan, Karel memilih Sastra Indonesia Unpad sebagai pilihan pertama. Meski Karel sendiri sebenarnya belum memastikan apakah pilihannya ini akan membuat orang satu rumahnya gempar atau tidak.
***
Malam itu Nda memikirkan kata-kata Bram siang tadi. “Lu yakin mau masuk situ?”
Nda mengangguk pasti. Menjawab pemikirannya sendiri. Gadis itu menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi lampu tidur, kemudian matanya beralih menatap dinding kamar yang berhiaskan stiker dinding Big Ben dan London Bridge yang ukurannya nyaris memenuhi seluruh dinding kamar saking besarnya.
Aku ingin ke sana. Sebentar lagi, semoga cepat sampai. Ujar Nda dalam hati mengamini mimpinya semenjak kecil. Diplomat wanna be! UK IM COMING! Tulisan tangan di atas sterofoam warna-warni terbentang di samping gambar Big Ben. Nda tersenyum. Memvisualisasikan impiannya sendiri. ia membayangkan akan mengikuti pertukaran pelajar ke negera Ratu Elizabeth itu dalam waktu dekat, setelah ia menjadi mahasiswa HI tentu saja. Lebih jauh lagi, ia membayangkan dirinya tengah keluar dari kantor Kedubes RI di London tempatnya bekerja beberapa tahun mendatang. Sungguh indah membayangkannya. Rasanya Nda terlalu bersemangat memvisualisasikan cita-citanya. Namun tiba-tiba bayangan itu terusik dengan adanya satu suara, “Lu yakin mau masuk situ?”
Itu lagi? Pikiran Nda mendadak terusik karena suara Bram masih saja terbawa hingga kini. Whats going on with me? Gadis itu tak habis pikir ketika ia mulai mengingat perdebatannya dengan Bram siang tadi. Nda terkikik geli begitu mengingat betapa wajah Bram tadi seperti menyimpan kecemburuan karena dirinya membela Karel.
Oh tidak, mengapa jadi menyenangkan saat mengingat hal itu? Nda tertawa sendiri mengingat momen tadi. Tertawa dan tertawa. Namun kemudian terdiam. Nda seperti tengah menyadari sesuatu. Ia merasakan hatinya tiba-tiba berdesir saat mengingat wajah Bram.
Gadis itu langsung menggeleng-gelengkan kepala. Ayolah, Nda. Tidak sekarang. Ingat Big Ben. Ingat London. Ujarnya mengingatkan dirinya sendiri agar tidak memikirkan hal yang belum seharusnya terjadi.
Yah, siapapun berhak jatuh cinta pada orang lain. Tapi belum tentu berhak bersama saat ini juga. Karena...
Nda berdiri dari atas kasur, dan perlahan mendekati gambar Big Ben yang setinggi tubuhnya.
Karena, ada impian yang berhak ditunaikan. Ujar Nda sambil menyentuh gambar Big Ben yang menjadi fokus utamanya saat ini.
***
Karel hanya terdiam ketika kedua orang tuanya menanyakan pilihan jurusan yang akan ia masuki. Kedua orang tuanya hanya tahu bahwa anak itu sudah memasukkan Teknik Informatika—seperti yang diminta papinya ke dalam formulir PMDK. Mereka tak pernah tahu bahwa jurusan itu masuk ke pilihan kedua Karel, sementara pilihan pertama anak itu adalah jurusan Sastra Indonesia yang sama sekali tak pernah terlintas di benak kedua orang tuanya.
Karel memandang papinya yang merupakan orang Jawa-Sunda, pensiunan konsultan bisnis di salah satu perusahaan multinasional Ibukota, yang kini sepanjang sisa hidupnya mendamba ketenangan di Kota Bandung dan berharap anak satu-satunya dapat membanggakan keluarga kecil mereka.
Karel kembali menenggelamkan diri pada buku kumpulan sajak Sapardi Djoko Darmono.
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Karel membaca halaman yang kini terbuka di depannya, nyaris berulang-ulang. Ia tersihir oleh barisan kata yang kini seolah menari di kepalanya. Apakah ia kini seperti hujan bulan Juni? Semenjak Nda menolak baik-baik seluruh pendekatannya dua tahun silam, perasaannya pada gadis itu tak serta merta hilang seluruhnya. Ada rasa hangat dan antusiasme yang muncul setiap ia akan bertemu dengan Nda. Tapi Karel paham, bahwa untuk ukuran bocah seusianya, dan meski pacaran amatlah lazim, ia selalu mengurungkan niat untuk mencoba mendekati Nda kembali. Gadis itu punya alasan kenapa tidak begitu tertarik dengan hubungan romansa di masa remaja. Ia pun kini paham, bahwa siapapun, termasuk dirinya berhak jatuh cinta pada orang lain. Tapi belum tentu berhak bersama saat ini juga, karena...
Karel mengangkat kepalanya dari buku yang ia baca.
Lelaki itu terdiam, lalu melanjutkan perenungannya.
Karena, masih banyak hal yang perlu dilakukan.
Dan Karel memutuskan akan menghapus jejak-jejak perasaannya.
Yah, seperti hujan di bulan Juni.
***
“Jadi milih apa kamu, Nak?”
Bram menunjukkan formulirnya yang telah terisi. Neneknya manggut-manggut sambil menahan batuk.
“Pokoknya, nenek mah selalu doain cucu nenek yang paling pinter ini.” wanita tua itu mengacak rambut Bram seoalah cucunya itu anak berusia tujuh tahun. “Cukup orang tuamu aja yang dulu susah, karena nggak mau lanjut sekolah. Cucu nenek jangan. Harus lanjut, kalau bisa sampai S3.”
Bram hanya nyengir menanggapi neneknya yang kini tertawa, kemudian terbatuk, kemudian tertawa lagi.
Lelaki itu menatap neneknya lurus-lurus. Seakan seluruh harapan wanita renta itu kini menggelayut di pundaknya.
Bram mengingat kedua teman sekaligus tetangganya, Nda dan Karel yang bisa memilih jurusan apapun yang mereka suka, dan tak perlu khawatir soal biaya. Bram merasa dirinya adalah satu-satunya orang yang paling harus berjuang, sekeras mungkin kalau bisa, agar ia bisa menatap masa depan yang ia tuju selama ini, kehidupan yang serba cukup; tak perlu kesana kemari mencari beasiswa, tidak menggantungkan uang pensiunan dari neneknya yang tak seberapa, atau tak perlu menumpang motor tetangga.
Ngomong-ngomong soal tetangga, sedetik kemudian Bram teringat kepada Nda, gadis sekaligus tetangga yang membuat hidupnya random sekaligus menyita pikirannya selama duduk di bangku SMA ini. Lelaki itu mengakui bahwa ia menaruh sedikit perasaan pada tetangganya. Tolong garis bawahi kata sedikit tadi.
Lamunan Bram terusir ketika melihat keriput neneknya semakin jelas. Dalam pikiran lelaki itu, kata-kata Nda terngiang di benaknya.
Siapapun berhak jatuh cinta pada orang lain. Tapi belum tentu berhak bersama saat ini juga karena—
Bram sendiri tak bisa membayangkan jika ia belum memenuhi harapan neneknya, sementara keluarga yang satu-satunya peduli padanya itu tutup usia.
—karena...ada keluarga yang berhak dibahagiakan.
Bram akhirnya mengambil kesimpulan paling logis atas alasan kenapa perasaannya saat ini belum menjadi prioritas yang harus ia penuhi.
Wah pembukaan yang menarik. Jadi pingin lanjut baca >.< keep up the good work
Comment on chapter PROLOG