“Lo beli bir?”
Aya mendecakkan lidah, sudah terlalu banyak kejutan yang dapat ditanganinya hari ini. Entah itu dari kedatangan murid pindahan yang ternyata adalah orang yang menggagalkan usaha bunuh dirinya, rencana konyol Lily untuk meluluhkan hati Farel, obsesi Ayahnya pada alkohol yang semakin buruk, hingga kini Aya tertangkap basah membeli bir.
Setelah meneguhkan hati, gadis itu membalas tatapan mata Farel. “Terserah gue,” jawabnya singkat selagi berjalan ke arah kasir, berharap bisa menyelesaikan urusannya dengan cepat. “Beli 2.”
Merasa diabaikan, Farel mendekati Aya dengan wajah khawatir. Dari tampangnya, lelaki itu tampak takut bila perbuatan Aya saat itu, membeli bir, adalah salah satu langkahnya untuk meregang nyawanya. Yang pastinya salah besar.
Dicengkeramnya lengan Aya ketika gadis itu hendak pergi. “Gimana caranya lo beli bir? Pasti lo masih di bawah umur kan,” tanyanya dengan serius sambil sesekali melirik tajam penjaga kasir yang tampaknya tidak peduli dengan sindiran Farel. “Lo suap? Ancam?”
Kesal dengan ocehan Farel, Aya menarik lengannya hingga terlepas dari genggaman Farel. “Sudah cukup lu ganggu gue dulu di kali, sekarang gak usah lagi!” serunya dengan lantang, bahkan Aya sendiri terkejut dia bisa teriak sekencang itu. Kenapa nyalinya hanya keluar ketika dia berhadapan dengan Farel? “Gausah ikut campur lagi.”
“Gue bakal ganggu lagi,” ucap Farel yang membuat langkah Aya terhenti. “Gue bakal tetap ke kali itu setiap jam 4 sampe lo janji gak bakal ke sana lagi.”
Mendengarnya membuat Aya bingung, untuk apa lelaki itu repot-repot mengurusi perkara hidup matinya? Farel tidak tahu apa-apa tentang Aya, tapi dia berlagak seakan-akan menjadi pahlawan.
Apa dia kira Aya butuh dirinya untuk menggagalkan rencananya?
“Dengar.” Aya memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Farel. Tangannya sibuk memastikan maskernya tetap menutupi identitasnya dengan baik dari lelaki itu.
“Entah berapa kali pun lu ngenyoba buat ngehentiin gue, itu semua gak bakal berhasil tapi malah ngebuat gue semakin sakit. Lu gatau rasanya depresi, jangan berlagak pahlawan!” serunya dengan tatapan tajam.
Dengan itu Aya mencengkeram dadanya dengan kuat selagi lari keluar dari toko, melintasi udara dingin dengan hati yang sesak. Segala sakit dan penderitaannya dibawa Aya pergi dalam setiap langkahnya menuju rumahnya. Segala kesedihan dan kehancuran.
Aya tidak menyadari bahwa Farel diam-diam mengikutinya, tapi untungnya kehilangan jejaknya berkat pekatnya malam. Lelaki itu menghela napasnya, lelah karena gagal mencari tahu tujuan gadis itu.
“Farel?”
Lelaki itu menoleh ke arah suara, Lily berdiri tidak jauh darinya, mengenakan masker dan berpakaian sangat mirip dengan Aya. “Lo siapa ya?” tanya Farel bingung, dia yakin gadis yang dikejarnya sudah lari jauh.
Lily tersenyum dari balik maskernya sebelum berusaha membukanya, memperlihatkan wajah manis yang penuh rencana penaklukan. “Siapa lagi? Gue yang selama ini lo cari, gadis yang mau lompat ke kali,” ujarnya dengan jelas, seperti ingin dipercaya.
“Nama gue Lily, kelas X-A.”
***
Layaknya badai yang mendadak datang dan memorak-porandakan seisi kota, berita bahwa Farel telah resmi berpacaran dengan Lily menggemparkan satu sekolah. Awalnya berita itu hanya lah kabar burung, dibisikkan dari satu cewek ke cewek lainnya berkat penampakan kedua sejoli itu berpegangan tangan ketika memasuki gerbang sekolah di pagi hari. Namun pada saat istirahat pertama, Farel dan Lily mengiyakan kabar tersebut, sontak membuat banyak hati perempuan di sekolah mereka patah. Patah hati nasional.
“Jangan bilang lo ngancem Farel?” tanya Aya selagi menyeruput kuah baksonya di kantin, menginterogasi kesuksesan Lily dalam menjalankan rencananya. “Bagaimana ceritanya?”
Lily cengengesan dengan gaya yang menyebalkan, sepertinya gadis itu juga bangga kepada dirinya sendiri. “Jadi kemaren malem gue sempet ngeliat gadis yang mau bunuh diri itu pergi pakai baju training,” ujarnya dengan senang hingga dia lagi-lagi melupakan mie ayamnya yang mendingin.
“Lalu?” tanya Aya dengan cuek.
“Terus tiba-tiba gue liat ada Farel di belakangnya jadi gue mikir, apa sekarang kesempatan buat pura-pura jadi gadis depresi itu?” Mendengar Lily mengatakan kata depresi membuat hati Aya serasa ditusuk sembilu. Namun ada hal lain yang mengganggu pikirannya, Farel mengikutinya dari awal?
“Gue langsung ganti baju semirip mungkin sama gadis itu terus pakai masker,” jelasnya selagi memain-mainkan mie ayamnya, tersenyum ketika mengingat kejadian semalam. “Pas dia lari dari Farel, gue muncul deh. Dengan gampangnya Farel percaya ucapan gue, terus nerima gue!”
Aya terdiam sejenak. “Pasti ada syaratnya kan?”
Sahabatnya itu cemberut, bagai hal tersebut sungguh mengganggunya. “Iya, dia minta gue gak bunuh diri lagi. Ya gak apa-apa sih, gue juga ngancem bakal ke kali lagi kalo gak dipacarin hehe,” jawabnya dengan asal bagai perkara hidup mati seseorang tidak mengganggunya sama sekali. Bagai tidak ada beban.
Aya masih ingin menanyakan sesuatu, seperti sejak kapan Farel mengikutinya malam itu. Tapi sayangnya Farel datang di saat yang menentukan, mengajak Lily untuk ikut dengannya.
Gadis itu dengan cepat menyetujui ajakan kencan dari pacarnya, melirik Aya dengan tatapan minta maaf lantas pergi bersama Farel.
“Enak ya, bisa pura-pura jadi gue,” bisik Aya dengan pelan hari itu. Hari dimana dirinya sudah sedikit berubah. “Jangan khawatir Ly, Aya yang dulu sudah berubah.”
Dengan senyum nestapa Aya menghela napas memikirkan rencananya pulang sekolah nanti. Dia tidak akan pergi ke kali itu, bukan karena Aya ingin mendukung cinta Lily, tapi karena gadis itu sudah lelah melarikan diri. Aya akan menghadapi ketakutannya yang terdalam malam ini. Tepat malam ini.
***
Sepertinya memang benar jika kita sedang memikirkan sesuatu, waktu berjalan dengan kecepatan yang aneh. Bel pulang sekolah berdentang ketika Aya sudah merangkum segala rencananya dengan matang, selesai menyusun segalanya serapi mungkin.
“Mau pulang bareng?” Merasa diajak pulang bersama, Aya menoleh pada Lily. Nyatanya gadis itu sedang bertatapan dengan seseorang, dia menawarkan Farel untuk pulang bersamanya.
Farel tentunya mengangguk. “Yuk!”
Aya tersenyum kecil, hilang sudah segala hal yang dimilikinya di dunia. Tidak ada lagi yang tersisa bila tempatnya digantikan oleh Farel. Tidak ada lagi bila Lily pergi meninggalkannya, Aya akan benar-benar sendirian sekarang.
“Hai, lo Aya kan? Gue sudah dengar banyak hal tentang lo dari Lily,” sapa Farel ketika Aya hendak pergi, lelaki itu mengulurkan tangannya. “Gue Farel.”
Melihatnya, mata Aya langsung berkaca-kaca. Padahal lelaki itu dulu peduli padanya, mengkhawatirkan hidup matinya. Namun sekarang segala pikiran itu sudah berpindah pada Lily, hanya gadis itu yang kini ada di kepalanya. Hilang, tidak ada lagi tempatnya baik di hati Lily maupun Farel.
Aya tidak akan kehilangan apa pun bila rencana ini gagal ataupun berhasil.
Dengan cepat Aya pergi meninggalkan ruang kelas tanpa menjabat tangan Farel, pergi sebelum air matanya tumpah. Memang menyakitkan bila kehilangan teman, tapi lebih sakit lagi jika tempatnya digantikan. Harusnya Lily tidak berpura-pura menjadi dirinya, ini tidak adil. Gadis itu punya segalanya, sedangkan Aya?
“Tapi berkat Lily, gue yakin bisa ngelakuin hal itu,” bisik Aya pada dirinya sendiri selagi berjalan menuju arah rumahnya. “Pasti bisa.”
Aya tidak berjalan menuju rumahnya langsung, dia mampir terlebih dahulu di sebuah toko. Dan kali ini bukan toko bir.
“Saya mau beli alat itu,” ucap Aya dengan tegas, mukanya tampak datar.
Penjaga kasir di toko ini kini berbeda dengan kemaren, dia meragukan keputusan Aya. “Yakin dik? Tahu kan kalo ini berbahaya?” tanyanya dengan khawatir, tidak biasanya dia mendapat pelanggan seorang anak SMA yang masih berseragam.
Aya mencengkeramnya kuat. “Oh, tahu banget.”
Dengan cepat transaksi dilakukan. Memang aneh jika ada anak sekolahan yang membelinya, tapi bisa saja untuk keperluan yang batas wajar. Namun penjaga kasir itu untungnya tidak bisa membaca pikiran Aya, bila bisa, pasti lelaki itu tidak jadi menjualnya.
Saat itu sudah pukul 4, tapi Aya belum ingin pulang. Dia sudah mengingat baik jam pulang yang tepat agar rencananya dapat berjalan dengan lancar. Gadis itu kini menunggu di salah satu cafe, memesan es krim dengan banyak rasa.
“Maaf dik ini sudah mau jam 8.” Aya sontak terbangun ketika tiba-tiba salah satu penjaga cafe menggoyang-goyangkan tubuhnya, rupanya dia tertidur. “Cafe mau tutup.”
Dengan cepat Aya melirik jam tangannya, pukul 7 lewat 55. Seketika dia menghela napasnya, lega bahwa rencananya masih bisa dijalankannya. Aya pun segera pergi setelah membayar es krimnya, berjalan cepat di malam hari menuju rumahnya. Udara di malam hari terasa menusuk kulitnya, namun dia sama sekali tidak terganggu.
“Semoga sudah tidur,” gumam Aya selagi membuka pintu rumahnya, segera memandang botol-botol bir yang berserakan di lantai disertai beberapa pecahan vas bunga. Diliriknya sepenjuru ruangan, menanti seseorang yang entah kenapa masih dipanggilnya Ayah. “Gak ada.”
Lega, Aya segera mengeluarkan benda yang telah dibelinya. Dengan cepat Aya melangkah melewati beling-beling yang bertebaran menuju kamar Ayahnya, detak jantungnya semakin cepat semakin dia mendekat.
Ketika Aya sudah berada di kamar lelaki itu, tampak dirinya sedang tertidur di atas tumpukkan botol birnya, tidak menyadari bahaya yang mengincarnya.
“Selamat tinggal, Ayah,” ucap Aya dengan tegas, diangkatnya belati hitam tajam yang sudah dibelinya tadi sore. Hanya dengan sedikit tenaga, dia bisa membolongi leher Ayahnya semudah itu.
Tekad Aya sudah bulat, jika dia tidak bisa membunuh dirinya sendiri hari itu, seharusnya mengakhiri nyawa dalang dari segala kepedihannya lebih mudah. Seharusnya Aya langsung menusukkan belatinya ke leher Ayahnya.
“Bisa, pasti bisa.” Tapi tangannya tak berhenti bergetar.
To be continue~
Makasih banyak ya masih ngikutin Jika Aku Bertahan!
Jangan lupa kesan pesannya ya guys
Awal bca lgsg tertarik
Comment on chapter Hidup yang Membosankan:D