Untuk kamu pemilik hatiku. Tak ada yang sempurna di dunia ini. Begitupun denganku dan hubungan kita.
-Dua Sisi-
***
Masih bertelanjang dada dengan handuk yang bertengger di leher dan celana renang pendek, Chandra mendengar pengarahan pelatih bersama teman sesama perenang.
"Latihan hari ini cukup, seperti biasa Chandra akan mewakili nomor gaya bebas 100, 200 dan 400 meter sisanya tunggu evaluasi berikutnya. Latihan selesai. Kalian boleh pulang."
Usai pelatih mengakhiri sesi evaluasi latihan, para perenang putra itu lantas berjalan menuju ruang ganti.
"Oho, seperti yang diharapkan. Selamat ya hiu jenius,"seorang pemuda jangkung merangkul Chandra. Kebetulan mereka seumuran diantara perenang yang lain, jadi mereka lebih akrab satu sama lain.
Chandra tersenyum kikuk.
"Lesu amat bro, latihan selesai cepet harusnya lo seneng bukannya sepet gitu,"ucapnya lagi. Ditepuknya bahu Chandra sekali.
"Engga dapet jatah sama pacar ya?"duganya.
Chandra memicingkan mata lantas hendak menoyor kepala pemuda itu kalau saja si jangkung bernama Kevin itu tidak keburu kabur.
"Anjir, otak lo ya Vin! Kayaknya harus dibersihin!"
Drrt drrt..
Baru saja Chandra membuka loker, handphonenya sudah bergetar. Ada panggilan masuk.
Dari sekolah adiknya.
Chandra menghela, pasti adiknya berulah lagi di sekolah.
"Selamat siang, iya dengan saya sendiri.. eum, iya baik. Saya akan datang. Iya sama-sama."
Chandra menundukkan kepala, rasa-rasanya pusing tiba-tiba menyerang Chandra. Diremasnya handuk di tangan dengan erat. Dadanya terasa sesak seperti ada batu besar yang mengganjal disana. Sungguh menyesakkan. Dia tau hidupnya telah berubah. Tidak ada lagi keluarga bahagia dan harmonis seperti dulu. Tak ada lagi yang berbagi kebahagiaan dengannya sehabis memenangkan perlombaan. Tak ada lagi yang menyambutnya ketika lelah latihan. Tak ada pelukan hangat. Obrolan hangat. Semua kebersamaan itu telah lenyap seiring waktu yang ada kini tinggal sepi. Chandra sendirian. Sendirian menjalani kenyataan jika hidupnya tak lagi sebahagia dulu.
Chandra mengacak rambutnya kasar. Dia tak ingin pertahanannya runtuh. Cukup dulu saja dia begitu merasa hancur kini dia harus tegar. Berjuang menjalani pahitnya hidup dengan punggung yang tegap. Dia tak boleh lemah, untuk orang-orang yang dia sayangi. Dia tidak boleh rapuh
Rose is calling
"Selamat siang, alis pitak!"
Chandra tersenyum melupakan sejenak sesak yang sempat menggerogoti hatinya.
Rose adalah obatnya. Rose membuat Chandra sadar jika masih ada seseorang yang mau berada disampingnya. Rose benar-benar obat yang ampuh. Kehadiran Rose membuat Chandra menyadari jika dia tidak benar-benar sendiri.
"Tebak sekarang aku ada dimana?"tanya suara disebrang sana mencoba bermain teka-teki.
"Kampus?"
"Salah, aku sekarang ada di tempat pelatihan kamu."
"Ngapain?!"kaget Chandra. Dia pikir Rose masih ada jadwal kuliah. Dia hanya takut Rose membolos hanya karena dirinya.
Rose terkekeh, "ciyee, yang panik. Ciyee."
Chandra berdecak,"aku lagi engga mau bercanda ya."
"Eum, iya maaf. Aku udah engga ada jadwal kuliah nih. Karena bingung mau ngapain ya aku mutusin kesini, mau nemenin pacar aku yang lagi latihan. Emangnya engga boleh ya?"
Chandra diam. Masih tersisa efek tadi. Airmatanya tiba-tiba jatuh. Dia selalu bersyukur memiliki Rose disisinya. Rose selalu ada ketika dia butuh sandaran.
"Eh, beneran engga boleh ya? Eum, Chan? Chandra? Halo? Kamu masih disitu'kan?"
"Boleh kok,"jawab Chandra dengan suara serak.
"Oh, masih bernafas toh. Syukur deh. "
Chandra tersenyum, dihusap pipinya yang basah.
"Chandra?"
"Tunggu di lobi dulu ya? Sepuluh menit lagi aku kesitu."
"Ayeye, Kapten!"
Chandra tidak bisa untuk tidak tersenyum. Rose benar-benar obat mujarab untuknya.
***
Mereka berdua turun dari Rosemary-motor kesayangan Chandra- ketika mereka sudah sampai di sekolah Johan-adik Chandra-.
Chandra melepas helm yang dipakai Rose lalu meletakkannya di spion.
"Ayo."
"Eh, Chan,"panggil Rose.
"Kenapa?"
Rose menunduk sambil menggigit bibir bawahnya namun sedetik kemudian kembali menegak, "kalau kamu engga keberatan, biar aku aja yang masuk."
"Kok gitu?"tanya Chandra tidak mengerti.
Rose menghela nafas,"aku engga mau kamu meledak nanti didalam sana. Terakhir kamu kesini, kamu hampir ngehajar Johan."
Rose paham betul. Chandra itu pemuda yang tidak mudah marah. Tapi ketika sekali marah akan sangat berbahaya. Chandra bisa saja tidak bisa mengontrol emosinya. Dia tau jika Chandra kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri karena gagal dalam menjadi seorang kakak. Itu sebabnya Chandra mudah meledak jika menyangkut kenakalan Johan.
"Aku yakin kali ini engga akan meledak, 'kan ada kamu. Obatnya Chandra."
Rose mendesis malu, "apaan sih? Sempet aja ngalus."
Chandra tersenyum, dihusapnya pucuk kepala Rose,"ayo masuk!"
***
"Ayo pulang!"ajak Chandra tapi Johan sudah menepis tangan Chandra sebagai bentuk penolakan.
"Engga usah. Gue engga mau bareng sama pembunuh."
Tangan Chandra mengepal erat. Hampir-hampir kehilangan kendali kalau saja Rose tidak sigap mengusap-usap tangan Chandra. Menenangkan pemuda itu.
"Han, engga papa kalau kamu engga mau pulang bareng. Tapi kakak kamu akan selalu menerima kedatangan kamu kapanpun. Mengulurkan tangannya ketika kamu terjatuh bahkan rela melakukan apapun saat kamu butuh bantuan,"jelas Rose.
Johan menatap Rose, tatapannya meneduh karena sadar Rose gadis baik. Yang dia benci sang kakak bukan kekasihnya.
"Johan, lo engga papa?!"seorang gadis berseragam datang dari arah koridor sambil berlarian.
"Lho, teteh?"
"Sharon?"
Iya. Satu fakta lagi. Rose punya satu adik lagi. Yang berbeda satu tahun dengan Jasper. Namanya Sharon. Ibu kebobolan setelah Jasper baru berumur beberapa bulan itu juga alasan ibu berhenti jadi perawat. Dan dunia begitu sempit. Adik Chandra ternyata berteman baik dengan adik Rose.
"Engga papa,"Johan menjawab pertanyaan Sharon setelahnya berjalan pergi tanpa repot berpamitan dengan sang kakak.
"Eh, mau kemana?! Han?! Johan??"Sharon menghela nafas lantas menatap kakak dan kekasih kakaknya.
"Teteh Oce, bang Chan. Aku nyusulin Johan ya, tenang aja. Aku pastiin dia engga berbuat macem-macem lagi hari ini. Dah."
Setelah kedua murid SMA itu menghilang diujung koridor. Rose melihat Chandra yang memandangnya kosong.
Dielusnya bahu Chandra, "kita pulang aja yuk. Soal Johan, kamu tenang aja. Ada adik aku yang jagain dia."
Chandra menghela panjang lantas mengangguk. Kemudian mereka berjalan bersisian menuju tempat parkir.
Rose memandang Chandra, menyadari beban berat yang tengah dipikul pemuda berusia duapuluh itu. Rose menelusupkan jari tangannya disela-sela jari tangan Chandra kemudian menggenggamnya erat.
"Aku masakin kamu ya, aku tau kamu lebih banyak makan junkfood atau engga mie instans akhir-akhir ini. Engga baik tau, kamu 'kan atlet."
"Kok kamu tau?"
"Taulah, apa sih yang engga aku tau dari kamu?"
Chandra tersenyum dicubitnya hidung Rose,"iya deh yang tau segalanya tentang aku."
"Tapi kita beli bahannya dulu ya."
***
Chandra daritadi tidak bisa berhenti tersenyum, dia sekarang tengah mendorong troli sambil mengikuti setiap langkah Rose. Rose sudah seperti ibu rumah tangga, sibuk memilih bahan masakan kemudian menaruhnya di troli.
Rose melirik Chandra, "kenapa sih kamu? Lagi iklan pasta gigi ya? Senyum-senyum engga jelas, udah kayak orang gila tau."
"Hehe, aku gini 'kan juga karena kamu."
"Lho kok aku?"heran Rose.
"Iya, habis kamu serius banget, kayak istri yang lagi belanja bulanan. Nah, aku suaminya."
"Idih, halunya kejauhan!"
"Bodo sih. Kamu sendiri yang buat aku halu sampe situ."
Rose mendengus,"udah ah, engga mau dengerin halu kamu. Ayo cepet dorong trolinya lagi."
"Siap laksanakan, nyonya Birendra!"
Rose kembali menatap Chandra,"ih, kamu tuh! Udah ah!"
Chandra sudah terbahak, senang sendiri karena berhasil menggoda Rose.
"Kalau kamu ngambek gitu kita udah kayak pengantin baru yang istrinya ngerajuk karena engga dapat jatah morning kiss tau."
"Bang Chan! Ih!"
Setelahnya sekotak tisu melayang, untung saja Chandra dengan gesit menangkapnya sebelum benar-benar mencium dahi.
"Kamu, Chandra yang perenang itu 'kan?"
Chandra berhenti mendorong troli, seorang pria berkemeja rapih dengan tas belanjaan di tangan tiba-tiba bertanya.
"Iya."
"Wah, kebetulan sekali kita bertemu disini. Sudah lama sekali saya ingin menghubungi kamu. Tapi cukup sulit dapat kontak kamu."
Chandra mengernyit bingung setengah curiga. Takut orang jahat.
"Tenang, tenang, saya bukan orang jahat,"ucap pria itu seolah tau maksud dari tatapan Chandra.
"Saya dari media periklanan mau jadiin kamu model disebuah iklan. Atlet yang sedang bersinar seperti kamu cocok jadi bintang iklan kami,"ucap pria itu lagi sambil menyerahkan kartu namanya.
"Maaf, tapi saya tidak tertarik jadi bintang iklan, "tolak Chandra tapi pria itu memaksa Chandra mengambil kartu namanya. Mau tidak mau Chandra menerimanya.
"Engga papa. Kamu pegang aja kartu nama itu. Barang kali kamu berubah pikiran. Hubungin aja nomer yang tertera di kartu itu. Saya pergi dulu. "
Setelah pria itu pergi, Rose yang baru sadar Chandra tidak mengikutinya datang menghampiri Chandra.
"Siapa?"
"Dari kantor periklanan."
Rose menatap kartu nama yang tengah dipegang Chandra, "coba liat."
"Wah, ini sih kantor periklanan gede. Kamu ditawarin jadi model iklan?"
Chandra mengangguk, "tapi aku tolak."
"Lho kenapa?!"kaget Rose tak menyangka Chandra melepas kesempatan berharga.
"Aku itu atlet, Rose. Bukan model."
"Ya terus? Lagian ini kesempatan bagus. Honornya pasti besar."
"Engga ah, dia aja nemuin aku di supermarket."
Rose gregetan sendiri, "ya, itu sih namanya takdir. Rejeki masa kamu tolak gitu aja sih?"
"Udah ah, yuk belanja lagi. Atau udah selesai?"
Rose berdecak. Lantas kembali berjalan menyusuri setiap rak. Dia belum selesai berbelanja.