Jam dinding menunjukkan pukul 3, saat yang paling ditunggu adalah jam pulang. Dhilla merapihkan bukunya ke dalam tas. Ia baru ingat, Dhilla akan belanja bulanan yang menjadi kegiatan rutinan anak kost. Alfi menawarkan untuk mengantar Dhilla, namun ia menolaknya dengan sopan.
Ada rasa khawatir ketika melihat mata Dhilla yang cukup sembab, kentara dengan wajahnya yang agak merah. Alfi, ia melihat Dhilla menahan tangis sambil menggenggam erat diary dari Windi ketika ALfi ke kelasnya. Alfi merasa bersalah, terlebih lagi minggu depan merupakan tanggal kelahiran Dhilla. Seharusnya ia-Alfi tidak membuat gadis itu sedih.
Dhilla berjalan di trotoar, sesekali ia berhenti dan menatap langit. Entah, apa yang gadis itu fikirkan. Akhir akhir ini kota tempat ia tinggal mengalami penurunan suhu. Angin meniup lembut ke arah Dhilla, ia tak menghiraukannya. Dan masuk ke dalam supermarket untuk belanja bulanan. Supermarket dengan 4 lantai itu menjadi tempat langganan Dhilla untuk belanjan bulanan. Dhilla tidak pernah membandingkan harga antar market. Lagipula ia memiliki jatah untuk belanja satu bulan hanya sekali dengan uang 200 ribu, dan itu lebih dari cukup.
Kini, Dhilla menaiki lantai 4, tempat tujuannya untuk belanja kebutuhan bulanan. Ia menggunakan lift, karena ia takut tergiur ketika melihat baju muslim yang lucu. Harganya sesuai dengan kualitas bajunya. Walaupun begitu, tetap saja bagi Dhilla lebih baik tidak membeli baju muslim baru dari pada tidak makan semingguL.
Sesampainya di lantai 4, Dhilla sibuk memilih barang yang ia butuhkan. Kerap kali, Dhilla sengaja tidak menuju rak di mana barang yang ia buthkan ada. Karena saat itu, ada pelayan supermarket yang berdiri disana, masalahnya adalah karena pelayan tersebut seorang pria, dan nampak dari seragamnya merupakan siswa PKL (Praktikum Kerja Lapangan) dari salah satu sekolah yang cukup dekat dengan sekolah Dhilla, yakni SMKN Pelita.
Setelah semuanya cukup, dan keranjang Dhilla pun sudah penuh. Dhilla langsung menuju kasir, sambutan salam disertai senyuman dari petugas kasir perempuan tersebut membuat Dhilla tersenyum juga. Ia memperhatikan bagaimana petugas tersebut dengan telaten menghitung semua belanjaannya dengan alat yang tidak Dhilla ketahui namanya.
Namun, Dhilla lebih memperhatikan petugas kasir itu. Nampak taka sing bagi Dhilla, rasanya mereka pernah bertemu, bahkan sering bertukar pesan. Dhilla memberanikan diri untuk bertanya. “Maaf, apa nama kakak adalah Delia?” Petugas itu berenti sejenak sambil menatap Dhilla, ia seakan mencari sesuatu, dan Dhilla sadar akan hal itu.
“Kenapa kak?” tanya Dhilla.
“Bagaimana kamu tau? Padahal, saya lupa menggunakan tanda pengenal” Senyum merekah dibalik masker yang Dhilla kenakan. “Apa kakak kenal aku? Aku Dhilla, kita sering bertukar pesan”
Keadaan supermarket yang tidak ramai seakan mendukung mereka untuk berbincang dahulu. Bahkan Delia-petugas kasir itu pun mengenali Dhilla.
Mereka berbincang cukup lama, sampai akhirnya antrian ada lagi. Dhilla mengucapkan salam sebelum akhirnya pergi.
Dhilla memasuki lift saat terbuka, namun ia cukup terkejut kala melihat Rio ada disana. Ia tidak sendiri, melainkan dengan seorang perempuan yang cantik menurut Dhilla.
Dhilla, gadis itu hanya tersenyum sebagai bentuk sapaan terhadap Rio juga kepada perempuan di samping Rio. Walaupun menggunakan masker hitam, senyum Dhilla tetap terlihat dari matanya yang menyipit dan pria itu membalas senyum Dhilla.
Dhilla berdiri persis dekat dengan tombol lift, sehingga membelakangi mereka. Sesekali Dhilla tidak sengaja memperhatikan obrolan mereka. Dan bagaimana Rio dengan mudahnya melontarkan gurauan kepada perempuan itu. Dengan mudahnya, Dhilla langsung berfikir bahwa mereka adalah saudara.
“Kamu dari mana Dhill?” pertanyaan Rio tidak ditanggapi oleh Dhilla yang kini memperhatikan tomblo lift. Fikirannya melayang dan dipenuhi pertanyaan, ‘bagaimana bisa tombol ini mempengaruhi kerja lift’, ‘siapa yang menemukan lift pertama kali?’, ‘apakah lift ini berat? Bagaimana bisa dengan mudah naik dan turun?’ . Semua itu pertanyaan yang Dhilla fikirkan.
Rio menyadarinya, pria itu sedikit menarik tas Dhilla membuat gadis itu menoleh. “Apa?”
Lift itu berbunyi, menandakan mereka telah berada di lantai tujuan mereka. Dhilla keluar lift, disusul Rio dan wanita yang Dhilla anggap saudara Rio. Dhilla—gadis itu sedikit membungkuk dan memberi salam sebelum akhirnya pulang.
“Kenapa dia membungkuk?” tanya wanita di samping Rio.
“Siapa? Dhilla maksud kamu?” wanita itu mengangguk, Rio masih memperhatikan Dhilla dengan senuman, sebelum jauh dari pandangan matanya.
“Itulah yang membuatnya lucu, tingkahnya yang terlalu polos untuk usianya. Dan kebiasannya ketika gugup selalu menutup wajahnya. Dia..” belum selesai Rio bicara, wanita itu memotongnya.
“Diakah yang sering kamu ceritakan?” Rio mengangguk.
“Vera, dia berbeda. Dan perbedaannya membuatnya menjadi orang yang dikagumi banyak orang”
Wanita bernama Vera itu mengernyit heran, pasalnya tiap kali Rio menceritakan tentang Dhilla, pria itu mengatakan bahwa gadis itu tidak populer di sekolah.
“Bukankah dia tidak terkenal? Bagaimana bisa dia dikagumi banyak orang?”
“Aku pun tidak mempercayai hal itu. Tapi, teman temanku di tim basket mengenali Dhilla. Bahkan mereka menyukai sikap Dhilla, sulit dipercaya awalnya. Karena Dhilla tidak mudah akrab dengan pria” Vera menanggapinya dengan senyum jahil.
“Kau menyukainya benar? Dan kamu cemburu karena kenyataannya banyak yang menyukai Dhilla” Rio memberikan tatapan datar pada Vera tiap kali gadis itu mulai mengolok-oloknya dan meninggalkannya menuju parkiran, membuat Vera harus berlari karena Rio berjalan dengan cepat.
Vera duduk, dan menatap Rio tajam. Pria itu tetap fokus menyetir, membuat Vera mendengus kesal. “Pasti Dhilla salah paham. Mungkin dia juga ada perasaan juga sama kamu Yo, atau kamu bukan tipe dia?” Vera sengaja mengatakannya, membuat Rio berdecak kesal dan menatap Vera tajam. “Turun di sini aja gimana?” Rio menepikan mobilnya, dan membuka pintu mobil Vera.
Vera dengan cepat menutup pintu mobilnya dan memukul lengan Rio “Gak bisa diajak bercanda!” kesal Vera. Rio malas menanggapi dan melajukan mobilnya kembali.
Vera membuka handphone milik Rio, pria itu mengijinkannya. Vera tersenyum jahil saat melihat kontak di handphone Rio. Tertera inisial ‘A’ di kontaknya, Vera ingat betul bahwa Rio pernah bercerita kalau ia ingin memanggil Dhilla dengan panggilan Ara.
Vera mengetikkan nomer Dhilla di handphone miliknya, Vera ingin berkenalan dengan Dhilla.
“Kenapa? Jangan buka yang aneh aneh Ver”
“Gak ada yang aneh di sini. Galerinya penuh sama foto pemandangan. Jangan berfikir aneh Yo”
“Siapa yang berfikir aneh?”
“Kamu!” Rio tidak menjawabnya.
Mereka telah sampai di rumah Vera, “Mau mampir dulu gak?”
“Enggak, nanti ibu nyariin. Titip salam buat om sama tante ya Ver”
“Iya, bang Rio makasih ya udah anterin sama nomer nya juga”
“Telat, harusnya sejak tadi kamu panggil aku abang. Umur kita beda setahun, gak sopan!
Bilangin ke mamah kamu tau rasa!”
Vera selalu kesal tiap kali Rio mengancam akan di laporkan pada mamahnya. Ia langsung masuk ke rumahnya dan membanting pintu keras, membuat Rio memberikan tatapan kesal.
Di dalam rumah, Vera masih menggerutu tentang Rio. Mamahnya sesekali terkekeh melihat kelakuan Vera.
“Kamu yang salah karena panggil Rio nama saja” ucap Mamah Vera.
“Kita di tingkat yang sama mah, lagipula hanya beda usia satu tahun”
“Tetap saja kamu yang salah, itu etika Vera. Rio itu anaknya om Farhan, dan dia itu kakaknya mamah.” Vera mengiyakan ucapan ibunya dan pergi ke kamar.
Vera langsung mengirim pesan pada Dhilla. Ia kemudian menyertakan namanya dan menyatakan bahwa ia adalah perempuan yang tadi bersama Rio.
Akhirnya Dhilla membalas pesannya, Vera senang bukan main. Ia ingin menjadi teman Dhilla sejak pertama kali mendengar cerita Rio tentang Dhilla, dan kini ia mempunyai kontak nya bahkan bertemu dengan Dhilla.
“Apa Dhilla mau berteman denganku?” tanya Vera kepada dirinya sendiri, fikirannya melayang jauh, ia melamun sesaat. Pesan dari Dhilla masuk berkali kali, namun Vera tidak menyadarinya.