Waktu terus berlalu, tanpa Windi yang menemani Dhilla, dan tanpa ada kabar sedikitpun dari Windi. Tidaklah pernah tenang hati Dhilla, ia berada dalam posisi hamasah, yakni posisi ketika masa semangat dalam glora hijrah, terus memperbaiki diri, namun seringkali masih merasa putus asa. Hal ini terjadi karena tidak adanya sosok yang biasa menemaninya dalam berhijrah. Apabila melakukan hijrah sendirian, maka akan terasa berat, berbeda jika melakukannya dengan sahabat dekat, yang insyaallah dapat bersama sama dengan kita sampai syurga-Nya.
Sejak Windi pergi, Dhilla tidak ingin larut dalam sedih. ia mencoba melanjutkan perjalanan hijrah sendirian, atau terkadang gadis itu mencoba untuk mencari teman hijrah baru. Namun, setiap kali Dhilla merasa mendapatkan sosok pengganti Windi, saat itu juga orang tersebut justru telah memiliki sahabat hijrah.
Ada rasa iri yang bersarang di hati Dhilla, gadis itu iri kepada mereka yang mampu menjalankan proses hijrah dengan baik. Bahkan mereka tampak lebih baik dari hari ke hari. Dhilla menyingkirkan fakta bahwa, semua yang dilakukan mereka hanyalah Allah yang mengetahuinya. Dhilla hanya memperdulikan apa yang ia lihat dengan matanya, walaupun hal itu belum tentu sesuai dengan kehidupan nyata mereka.
Dhilla harus menjalani kehidupannya sebaik mungkin, ia belajar seperti biasanya. Namun bedanya, ia tidak pernah lagi ke perpustakaan ataupun ke kantin. Dan sejak Rio menyuruhnya untuk menjauhi Riska, Dhilla tidak menemui Riska lagi.
Hari ini Dhilla diam di kelas, beberapa temannya mengajak gadis itu ke kantin. Dengan halus, Dhilla selalu menolak ajakan temannya, Dhilla membawa bekal nasi karena ia tidak pernah ke kantin. Tanpa Dhilla sadari, Rio selalu menanyakan keadaan dirinya kepada teman sekelasnya. Rio, pria itu tidak bisa menahan dirinya untuk tidak khawatir pada Dhilla yang tak pernah lagi ke kantin ataupun ke perpustakaan.
“Seharusnya aku tak menyuruhnya untuk menjauhi Riska” gumam Rio. Tanpa disadarinya, Kiki telah berada di belakangnya sejak tadi.
“Yo” panggilan Kiki, membuat Rio menoleh.
“Berubah itu memang berat ya kan? Apalagi harus menjauhi wanita yang berhasil menempati ruang hati lo untuk pertama kalinya” Rio terkekeh mendengar ucapan Kiki.
“Tapi, apa salah kalo kalian berteman? Kayanya Dhilla selalu sibuk dengan dunianya tanpa Windi. Lo bisa jadi temen pengganti Windi untuk Dhilla” lanjut Kiki.
“Gue gak berani” Kiki menaikkan sebelah alisnya, ketika mendengar pengakuan Rio.
“Gak mudah untuk dekat dengan orang yang kita suka, sedangkan kita harus menahan untuk tidak menyatakannya”
“Kalo gitu, gue aja yang jadi pengganti Windi” ucap Alfi yang entah sejak kapan bersama mereka.
Rio menatap Alfi heran, akhir akhir ini Alfi terlihat mengkhawatirkan Dhilla dengan segudang pertanyaan yang Alfi tanyakan pada Rio. Namun, Rio selalu menepis pemikirannya mengenai hal itu.
“Gimana?” Pertanyaan Alfi membuat Rio dan Kiki tidak mengerti arah pembicaraannya. “Maksudnya?” Kiki bertanya dengan nada penasaran, dan membuat Alfi tersenyum kemudian memandang Rio.
“Gimana Yo? Keberatan gak kalo gue jadi pengganti Windi buat Dhilla” ujung bibir Rio tertarik keatas, menampakkan senyum sinis yang jarang Rio perlihatkan, tanpa sepatah kata pun, Rio pergi begitu saja disusul oleh Kiki.
Dhilla, gadis itu menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya. Ia tidak menyadari kehadiran Alfi yang sejak tadi memperhatikkanya sambil bersandar pada papan tulis kelas Dhilla. Padahal, pria itu berkali kali memanggil namanya. “La” panggilan Alfi untuk kesekian kalinya masih juga tak dihiraukan oleh Dhilla. Tiba tiba, Alfi berfikir lain kenapa Dhilla tidak menampik kehadirannya. “Itu udah lama La, lagipula aku sudah melupakan perasaan itu, walaupun belum sepenuhnya”. Ucapan Alfi kali ini cukup berhasil, karena Dhilla bangun dan melihatnya.
“Kak Alfi? Sejak kapan di sini?” Ucapan Dhilla membuat ALfi berfikir bahwa gadis itu baru bangun dari tidurnya. “Apa aku menganggumu?” pertanyaan Alfi membuat Dhilla mengernyit heran.
“Ganggu gimana?” Dhilla tidak mengerti pertanyaan Alfi. “Kamu sedang tidur bukan?” Dhilla menjawabnya dengan gelengan sekali.
“Aku memanggilmu dari tadi” ucap Alfi langsung.
“Benarkah? Maaf kak, tadi aku memakai headphone. Ada apa kak?” Pernyataan dan pertanyaan dari Dhilla membuat Alfi tertawa kecil sejenak, namun kemudian membicarakan apa tujuannya. “Bagaimana dengan Windi? Apa kamu mendapatkan kabar darinya?” pertanyaan Alfi membuat Dhilla kembali tertunduk lesu. Sehingga, Alfi langsung tahu jawabannya.
“2 minggu lalu, tepatnya hari Minggu. Ada paket di rumah, dan ternyata dari Windi”
“Benarkah? Tapi, kenapa dia tidak mengabariku? Kenapa justru mengabari kakak?”
“Ada baiknya, kamu lebih dulu menanyakan isi paket itu. Ketimbang mengira-ngira alasan Windi belum mengabarimu” Dhilla hanya diam usai Alfi bicara. “Jadi, kamu masih ingin mengira-ngira?” tanya Alfi, dibalas gelengan oleh Dhilla. Alfi mulai bercerita.
Paket kotak dengan kertas biru tua yang indah, tertera nama Windi diatas paket itu. Alfi terkejut, ia mengira paket ini salah alamat. Ia bertanya pada ibunya, dan ternyata paket tersebut pun atas namanya. Alfi membawanya ke kamar, diletakkannya paket tersebut di kasurnya. Kertas berwarna biru tua itu telah terbuka, dan menyisakan kotak berwarna cokelat, detik selanjutnya isi dalam kota tersebut membuat Alfi aneh. Isinya adalah buku diary perempuan berjumlah 6 buku dan semuanya berwarna merah jambu. Alfi sama sekali tak berniat membukanya, lagipula diary tersebut terkunci. Namun diantara buku diary tersebut terdapat kertas dan ALfi membukanya.
‘Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.. Alfi maaf sebelumnya, jika kamu aneh karena paket ini dikirim kerumahmu. Sebenarnya ini untuk Dhilla, tapi aku sengaja mengirimnya kepadamu, karena aku juga ingin minta tolong untuk menjadi sahabat pengganti untuk Dhilla, lagipula kalian satu ibu susu bukan ketika kecil? Yang berarti kalian sedarah. Bantu aku untuk memberikan diary ini kepada Dhilla. katakan padanya tidak ada yang bisa menggantikannya disini. Tentu saja, karena semua yang aku kenal disini memiliki urusan masing masing. Katakan juga padanya, untuk menjaga diary milikku. Dan lagi, katakan juga, aku pernah memberikan gelang dan aku menggantungkan kunci diary ini pada gelang itu.
Alfi, apa sahabatku itu masih seperti dulu? Jika benar, jaga Dhilla. ia terlalu polos tidak sesuai dengan usianya. Aku yakin, tanpa diminta pun kamu akan menjaga adikmu itu. Sampaikan maafku pada Dhilla, sungguh aku pun ingin menemui Dhilla. Aku dan Dhilla pernah berjanji untuk belajar berubah bersama. Katakan pada Dhilla, jika janjiku tak bisa terpenuhi, maafkan aku. Dan izinkan aku untuk tetap menjadi sahabatnya sampai syurga nanti. Katakan ini pada Dhilla :
‘Jangan membenciku, tetap jadikan aku sahabatmu. Aku ingin bersahabat denganmu di syurga yang begitu luas’
Terimakasih Alfi. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Dhilla tak bisa menahan airmata nya yang sedari tadi ingin keluar, bahkan ketika di rumah. Alfi pun menangis kala membacanya. Alfi memperhatikan keduanya sejak SMP. Mereka berdua- Dhilla dan Windi melewati fase nakal juga. Nakal yang wajar, yakni tentang tugas sekolah ataupun telat datang ke sekolah. Hingga akhirnya keduanya mengalami perubahan yang positif dari waktu ke waktu.
Namun begitu, siapa yang tau apa yang akan terjadi kedepannya.