Setelah beradu mulut berjam-jam dengan pamannya yang merupakan kepala sekolah SMA Satu Bangsa, Jeje akhirnya berhasil membuat sang Paman luluh dan mengiyakan permintaannya. Ia bergegas meminta teman-temannya berkumpul di rumahnya. Ia juga mengajak Zidan dkk ke rumahnya, hitung-hitung sekalian main dan kumpul bareng lagi. Hari ketiga menginjak liburan semester, semuanya masih stay dirumah, baru ketika menginjak 7 hari mereka semua quality time bersama keluarga, entah pergi ke luar kota atau luar negeri sesuai yang sudah direncanakan dari jauh-jauh hari.
Suara deruman motor memekakkan telinga, Jeje membuka pintu rumahnya lebar-lebar dan menemukan enam motor ninja sudah terparkir rapih di halaman rumahnya yang kelewat luas, cukup untuk dijadikan lapak usaha parkiran dadakan. Apalagi keamanan rumahnya sangat terjaga, ada sistem sidik jari, kamera di gerbang untuk melihat siapa tamu yang datang, dan satpam sangar yang siap sedia berjaga di pos. Diantara mereka ada yang membawa seseorang di boncengannya, dan ada tim ngenes yang boncengannya selalu kosong.
Jeje mengangkat pengeras suara yang ada di tembok rumahnya, yang memang sengaja disiapkan di sisi-sisi rumah sebagai penyelamat, misalnya ketakutan karena ada maling dan saking ketakutannya gak bisa teriak, tinggal minta tolong lewat pengeras suara tersebut. Ayahnya Jeje memang unik dan ajaib. Jeje mendengus, “Berisik lo pada,” Suara Jeje yang dingin dan menusuk menggema, mampu membuat bulu kuduk meremang. Jeje kesal karena Akbar, Iyan dan Azra yang tidak berhenti menggeber-geber gas motornya.
“Hampura atuh, sieun abdi suara maneh teh kos mbak kukun-ti,” celetuk Iyan yang dihadiahi tempeleng dari Adriel.
“Di datengin mampus lo, ngomong sembarangan sih!” timpal Adriel membuat wajah Iyan kian memias.
“Astagfirullahaladzim!” Iyan ngibrit masuk ke rumah Jeje. Tindakan Iyan membuat tawa teman-temannya pecah.
Jeje mengedarkan pandangannya, mengabsen teman-temannya satu persatu. Ia mengernyit menyadari Aqil, Sera, dan Belva belum datang memenuhi ajakannya.
Feyra yang peka menyahut, “Sera sama Aqil masih otw kayaknya, soalnya Sera bawa mobil dan jemput Aqil dulu,”
Beberapa detik kemudian, mobil Honda jazz memasuki pekarangan rumah. Aqil dan Sera turun dari mobil, dan segera bergabung dengan teman-temannya.
“Belva kemana ya?” tanya Aretta khawatir.
“Dia read Line gak? wait wait gue pake Line lite jadi bisa cek siders!” cetus Sera yang gercep, ia mulai mengotak-atik ponselnya. Zonk, ia pun menggeleng pelan, “Dia gak read,” terangnya.
Aretta khawatir, “Perasaan gue kok gak enak ya..,” ungkapnya gusar.
Zidan berlari ke arah motornya, dan bergegas mengenakan helmnya. Namun Sera menahannya supaya tidak pergi, “Udah Dan, gue aja yang pergi. Minjem motor lo!” perintahnya, sorot matanya tajam, lewat isyarat ia mengatakan 'gak banget lo ke rumah Belva malem-malem gini’
Zidan terkekeh, “Iya-iya ampun, gue tau, gue cowok dan Belva cewek,” kemudian ia melemparkan kunci motornya ketus, untungnya kuncinya tidak jatuh ke tanah, karena Sera yang sigap.
Sera merebut helm dari tangan Zidan, ia menatap Zidan kesal. “Alamatnya? Ini kunci mobil gue, lu pakai aja kalau gue belum balik pas lo dan yang lain udah mau pulang, asalkan lu anterin Aqil ke rumahnya dengan selamat tanpa ada lecet sedikitpun. Lo gak usah izin kalau mau bawa Aretta juga,” paparnya dan membalas perilaku Zidan yang semena-mena, ia melemparkan juga kunci mobilnya songong.
“Blok M no 12, Gracefulgrass queen, kamarnya Belva di lantai dua yang ada balkonnya,” bisiknya agar hanya Sera saja yang mendengar, Mata Sera melebar mendengar Zidan menyebutkan nama perumahan yang sangat ia hafal diluar kepala.
“Lah, itu sih deket sama rumah gue!” Sera menggeber-geberkan gas motor kencang untuk melampiaskan emosinya, dan ia nyelonong pergi begitu saja. Tapi sebelum itu, ia sempat memutar motor dan menyerang Zidan lewat asap dan pencemaran bunyi knalpot motor.
Zidan terbatuk-batuk di tempatnya, “Sera biadab!” umpatnya.
Sedangkan semua teman-temannya melongo, otaknya baru saja memproses apa yang terjadi, dan baru loading setelah Jeje berucap lagi di pengeras suara.
“Mau sampai kapan elo pada masang muka tablo?” semburnya, dan tanpa mau mendengarkan respon teman-temannya ia masuk saja ke dalam rumahnya.
———
“ASSALAMUALAIKUM!!" Kelima kalinya Sera berteriak di depan pintu rumah Belva seraya terus-menerus memencet bel. Tadi memang satpam bilang di rumah tidak ada orang, tapi Sera tetap keras kepala.
“ASTAGFIRULLAH, DIBILANG GAK ADA NON BELVANYA, KEPALA BATU BANGET NENG!” Satpam yang Sera ketahui namanya Pak Dadang mengoceh lagi.
Kamar Belva di lantai dua, yang ada balkonnya.
Sekelibat ingatan mengenai letak kamar Belva dari ucapan Zidan hinggap, dan menjadi penerang dalam kebingungannya. Ia mendongakkan kepalanya, dan menemukan balkon yang jaraknya lumayan tinggi dari tempatnya berpijak. Kemudian ia mengedarkan pandangannya untuk mencari sesuatu, namun tak ia temukan. Ia membalikkan badannya dan memanggil satpam rumah Belva.
“Pak, ada tangga gak?” tanya Sera serius dan memasang wajah imut-imut gedeg yang ia punya.
Pak Dadang mengernyit, “Ada neng emang buat apa?”
“Minjem aja bentar doang elah, koret amat sih, ntar kuburan sempit tau rasa wle!” Sera mencibir.
“Ya iyalah harus jelas!” balas Pak Dadang sengit.
“Okeoke, saya mau manjat kesana, tenang saya bukan maling. Kalau saya curi satu barang berharga dari rumah ini, bapak bisa minta ganti rugi kepada ayah saya. Rumah saya blok N no 21,” papar Sera, menunjuk balkon kamar Belva dengan dagunya. Mata Sera tetap bergerak mencari-cari benda yang dibutuhkan olehnya, dan akhirnya ia temukan bersender di tembok yang berjarak 3 meter darinya. Secepat kilat ia mengambil tangga tersebut, dan menggunakannya untuk memanjat ke balkon, sebelum itu ia mengecek dulu keamanan tangganya, Sera sayang nyawanya, camkan itu.
Baginya memanjat segini itu cetekkk, karena Sera anak pecinta alam yang suka berpetualang.
Pak Dadang melongo, ia buru-buru masuk ke dalam rumah dan menaiki tangga untuk menyusul Sera. Kaki Sera berpijak di balkon kamar Belva, ia membuka pintu kaca kamar Sera hati-hati. Kali ini, ia berjalan mengendap-endap seperti maling. Sumpah, perasaannya langsung tidak enak waktu melihat keadaan kamar Belva yang kacau balau, penuh pecahan beling, dan foto-foto yang robek dan lusuh seperti habis diinjak-injak.
Jantungnya berdegup kencang, hawa aneh terasa saat ia memasuki kamar Belva. Bulu kuduknya merinding, suhu Ac yang begitu dingin membuat badannya kedinginan. Awalnya tidak ada yang janggal, sampai ia mendengar suara Pak Dadang yang berdiri di ambang pintu depan kamar Belva.
“NONA BELVA! ASTAGHFIRULLAH!!” teriak Pak Dadang refleks, matanya melotot berkaca-kaca, ia membekap mulutnya sendiri.
Sera berlari menuju samping kiri kasur, dan menemukan Belva yang tergeletak tak sadarkan diri. Sisi sebelah sini tidak kelihatan dari arah balkon, karena tertutupi kasur. Lengan Belva penuh lebam, dan ada bekas tamparan di pipi kanannya. Lututnya tak berhenti mengeluarkan darah segar.
“THE HACK!!” umpat Sera, ia melirik kepada Pak Dadang yang membeku. “Gendong dia ke bawah, saya akan bawa dia ke rumah sakit, minjem mobil! soalnya saya kesini bawa motor!!” perintah Sera keras, Pak Dadang bergerak cepat dan menggendong Belva ke bawah dan menyebutkan tempat kunci mobil disimpan.
“DAMN! RUMAH KOSONG DARI MANA? MATA LO GUE CONGKEL!!” bebernya, ia berlari kencang bagai orang dikejar anjing, setelah menggapai kunci mobil.
———