Aretta tersenyum simpul, ia menarik selimutnya hingga ke leher, matanya menyorot kaca jendela yang di penuhi rintik-rintik hujan, harum petrichor menyegarkan, dinginnya hujan ditambah dengan suhu Ac yang pas, semuanya adalah kesukaannya. Tatapapan matanya menurun ke arah pigura foto ibunya di atas nakas, senyumannya melebar, matanya berkaca-kaca.
“Doakan Aretta mama, supaya Aretta bisa buat Belva bahagia. Mamanya Retta memang hebat bisa sembunyikan semuanya,” air mata Aretta mengalir membasahi pipinya, senyuman tak luput dari wajahnya.
“Aretta gak bakal biarin ada korban lagi karena trauma berkepanjangan...., meskipun Aretta telat menyelamatkan mama, maafin Retta ma, maaf,” tuturnya, tangannya disimpan di dada untuk menghilangkan sesak, matanya menutup, nafasnya tercekat. Layaknya kaset rusak, memori-memori menyakitkan kembali terputar di otaknya.
Ia menghirup nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya, matanya redup penuh kepedihan. “Belva bahagia ma, dia akan bahagia dan melupakan traumanya. Retta tidur dulu, mama. Iya ma, Retta gak bakal lupa berdoa sebelum tidur, ayat kursi, surat pendek, dan pastinya mendoakan mama...,” kekehnya mulutnya mulai bergerak, tangannya menengadah, meminta kepada Tuhan, bercerita kepadaNya, karena Dia tau yang terbaik bagi umatNya.
Ia mengambil tasbihnya, menggenggamnya dan mulai bertasbih memohon ampunan. Kemudian ia membaca surat pendek seperti biasanya.
“Lindungi mama, ya Allah. Dan berikan Retta jalan lurus dalam kebaikan, semoga semua keluarga Retta bahagia dunia akhirat,” Aretta membaca doa sebelum tidur, ia memejamkan matanya.
“Malam semua readers,” tutupnya dan mulai masuk ke alam mimpi.
———
Jauh di seberang sana Zidan sedang tersenyum tipis, layar ponselnya menampilkan visual wanita yang mengisi hatinya selama ini. Wanita itu cemberut, mulutnya celemotan, kelima jarinya ditekuk ingin menyakar. Lesung pipit terbentuk di pipi Zidan, ia jadi teringat pertemuan pertama mereka. Akhirnya, setelah bertahun-tahun memberi perhatiannya untuk Tuan Putrinya di belakang semua orang alias diam-diam, sekarang waktunya ia untuk menjadi yang selalu ada di samping Tuan Putri kesayanganya.
Zidan menyentuh layar ponselnya lembut, ia akan selalu mengingat hari ini. Ia mendongakkan kepalanya dan menemukan awan gelap dalam malam. Hujan gerimis membasahi jalanan dan rerumputan, udara malam yang dingin menusuk kulit, namun hati Zidan dipenuhi kehangatan.
Zidan menghirup udara malam, merasakan kebebasannya.
“Malam tuan putri kesayangannya Zidan,” gumamnya, sedetik kemudian tawanya meledak, merasa jijik kepada ucapannya, seperti anak remaja labil baru merasakan pubertas. Meskipun Zidan juga seorang remaja, setidaknya ia tak suka hal-hal bertele-tele atau picisan, baginya hal tersebut tidak bermanfaat, malah mengundang mudarat.
———
Belva menjinjing kresek nasi gorengnya dengan berseri-seri. Mulutnya bersenandung mengikuti alunan lagu kesukaannya. Harum nasgor sangat menggoda, apalagi jika dimakan ketika cuaca dingin malam hari. Ia mempercepat langkahnya, karena hujan semakin deras. Ponselnya bergetar, awalnya ia abaikan namun kemudian bergetar lagi hingga lima kali. Terpaksa Belva berhenti dan mengecek notif yang masuk.
Rupanya ada 6 line yang masuk, kata-katanya sama persis. Wajah Belva berubah pias, semua orang akan bahagia mendapat tawaran pertemanan. Namun Belva tau diri, makanya timbul kecurigaan dalam benaknya. Ia mencubit pipinya untuk mengetes ini mimpi atau kenyataan. Sakit, ini bukan mimpi! Berbagai spekulasi bermunculan, rasa cemas dan takut, semuanya bercampur aduk.
Pesan dari Jeje, Feyra, Aretta, Marina, Sera, Aqil, Rachel.
Bsk lo tmn gue, ketemuan di lapangan basket sekolah.
Belva meneguk ludah, senyumnya melebar, matanya berbinar senang.
“Akhirnya ada yang mau jadi temen aku, meskipun aku belum tau nantinya mereka baik atau jahat. Yang penting mereka mau jadi temen ku!” pekiknya semangat.
Tanpa pikir panjang Belva membalas pesan mereka satu pesatu, mengucapkan terima kasih dan selamat malam.
Ponselnya bergetar lagi, ada undangan grup yang anggotanya enam orang yang mengirim pesan (WT/ We Trust). Pilihan accept langsung ditekan olehnya, notif-notif memenuhi ponselnya yang biasanya sepi. Kebahagiaannya membuncah, senyuman melebar pipi pegal giginya kering, ia tak peduli. Hari ini adalah salah satu hari terbaik yang Belva miliki.
Kedelapan kalinya ponselnya bergetar, menandakan ada notif baru, rasanya ingin menangis saking senangnya, dirinya di terbangkan ke langit dan Belva harap perasaannya tidak akan jatuh ke tanah selamanya.
Belva terus-menerus menatap layar ponsel, lalu mengucek mata, menatap layar lagi, begitu seterusnya. Ia loncat-loncat tak karuan, bahkan rasanya ingin menggelinding di trotoar sekarang juga.
Zidane Khairan menambahkan anda sebagai teman.
“Kak Zidan,” bisiknya, kepalanya mendongak ke arah langit, bukan bulan yang menjadi pemeran utama malam ini karena hanya awan mendung yang terlihat. Wajahnya basah, begitupun bajunya yang basah kuyup. Nasi goreng? Ia peluk erat-erat untuk menyalurkan kebahagiaannya.
———