“Terus Mama papaku terus kerja, mereka sangka uang udah cukup buat aku bahagia, padahal aku kesepian semenjak abangku meninggal. Teman-temanku tidak mencoba mengerti, loh aku kan tidak punya teman, ya...,” Belva tersenyum miris,
“Harusnya lo tetep berusaha menjelaskan yang sebenarnya ke mereka,” Zidan membuka suara, dilihatnya Belva sudah menghela nafas lega. Bayangkan saja wanita itu selama dua jam terus berceloteh, sesekali ia meneguk minuman yang diberikan Zidan lalu kembali berceloteh dengan menggebu-gebu.
“Aku gak bakal dapet kesempatan, setiap mau bicara aku diseret paksa. Susah, kak..., orang yang sudah dipandang buruk sama orang lain, apapun yang dia lakukan juga akan selalu terlihat buruk dan salah dimata orang lain,” kekeh Belva, bukan tawa bahagia tetapi tawa sumbang yang memiriskan.
“Cih, si pesimis,” Zidan berdecih.
“Bel, lo gue cariin kemana-mana taunya disini!” panggil seseorang dari arah belakang, nafasnya tak beraturan.
Belva mendongakkan kepalanya, “Kak Samara? Kenapa kak?” Belva bangkit menghampiri Samara, ia bertanya sopan.
“Vano mengundurkan diri dari perannya! Gak ada juga yang mau jadi peran itu, mereka semua ngancem bakal ngehancurin drama kalau dipaksa jadi peran pangeran! Gimana Bel? Citra lo udah buruk banget soalnya, semua yang kita bangun runtuh gara-gara lo!” marah Samara, ia memijat pelipisnya.
Belva menunduk pasrah. Ia hendak berbicara tapi ucapan Zidan berhasil membuatnya tak bergeming.
“Ganti aja,” celetuk Zidan.
Samara tersentak, “Lah elo, sejak kapan disini?”
“Kalian berisik bangunin tidur siang gue,” dalam hati, Zidan bersyukur keberadaannya yang disamping Belva tidak diketahui Samara, karena posisi mereka berdua memang diujung dan tertutupi sekat tembok.
Samara menatap Belva dan Zidan bergantian, “Oh lupakan, jadi maksud lu, lu mau jadi pemeran pangeran? Lawan mainnya dia loh..,” Samara menunjuk Belva.
Zidan menggeleng, “Bukan maksud gue, peran putrinya diganti,”
Belva tercekat, ia menggigit bibir bawahnya, hatinya berdesir entah karena apa.
Samara memutar bola matanya malas, “Diganti sama siapa lagi? Semuanya gak mau jadi peran Putri karena takut diledekin, cuma dia doang kan yang gak tau malu,”
“Gini, kalau Aretta anak kelas 10 IPS 1 mau jadi peran Putri, gue dengan senang hati ikhlas jadi pangerannya..,” tawar Zidan, mata Samara melebar ia kaget mendapat tawaran Kramat dari si pangeran dingin yang cuek dan anti sosial sejenis Zidan.
“Arreta Aurora?” Samara memastikan.
Zidan tersenyum sangat tipis "Dia gebetan gue," Samara bisa melihatn Zidan tulus mengatakannya.
“Deal, man!” Samara mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rasa bahagia membuncah, ia merasa beruntung.
“Of course, Samara,” Zidan menyeringai.
Tanpa disadari keduanya Belva sudah menangis dalam diam, tanpa berharap ada yang mendengar, dan melihatnya, agar hanya Tuhan yang tahu betapa rapuhnya Belva dalam kesendiriannya.
Begitu Samara pergi Zidan menepuk bahu Belva pelan, “Semakin rajih shalat wajib dan Sunnah, zikir, ngaji dijamin lo tenang dan tenteram. Hati-hati rooftop kan angker, gue pergi, kelas gue mau tanding!”
Dan benar ternyata Zidan pamit sebelum pergi, tapi kata yang diucapkan ‘gue pergi' bukan ‘sampai jumpa'. Zidan tahu wanita itu, sangat terlihat jelas isakannya, tapi cukup sampai disini, ia tak mau menjadi Vano yang kedua,bukan ?
"Semoga menang kak Zidan!" Belva berbisik, ia tahu Zidan sudah meninggalkannya.
Zidan menuruni tangga seraya mengetikkan sesuatu di ponselnya.
Aretta, bantu gue, ternyata si Belva anak IPA IV punya trauma, tolongin dia! Lo dan temen-temen lo haru temenin dia, supaya dia gak kesepian lagi.
Zidan menekan pilihan sent, pesan terkirim. Satu kalimat, hanya satu kalimat yang akan dapat membawa hidup Belva berubah 180°. Aretta pasti menurut, karena Zidan tidak pernah mengenal kata terbantahkan.
———
Guntur bersahut-sahutan, langit menggelap, dan angin kencang menerbangkan dedaunan. Kendaraan beroda dua mulai memacu kecepatannya agar dapat sampai tujuan sebelum hujan turun. Kemudian rintik-rintik hujan mulai turun, membasahi jalanan yang kering, wiper mobil mulai bergerak menyapu air hujan yang membasahi kaca. Gadis itu merapatkan jas hujannya dan menggosok-gosok tangannya yang dingin. Earphone tak lepas dari kedua telinganya, tangan kanannya memegangi payung erat. Sedangkan tangan kirinya menjinjing kresek putih.
Alis Aretta bertaut, matanya menyipit, wajahnya terlihat serius. Ia melepaskan earphone, dan menggantungkan jas hujannya. Aretta duduk di sofa dan membuka pesan dari Zidan. Awalnya ia biasa saja, tapi setelah otaknya mulai bereaksi, Aretta cengo, ia kaget.
“Belva? Anak itu punya trauma?” Aretta bergumam, “gue harus nolongin dia! Jangan sampai trauma berkepanjangan!!” serunya.
Secepat kilat ia membuka grup 'We Trust/ yang anggotanya berisikan teman-temannya di sekolah, kebanyakan anak-anak yang famous. Tanpa berpikir panjang, Aretta menekan pilihan Video call dan satu persatu dari temannya pun mulai join.
“Tumben lo mulai vc ada paan nih?” celetuk Marina, mulutnya penuh dengan chiki, ia duduk bersila di atas sofa hitam bigsize.
“Iya, si parah! Pasti penting ada apa, Ta?” timpal Feyra di sebelahnya Jeje sedang memakan baksonya dengan anteng. “Je, nyapa kek!” paksa Feyra tatapan juteknya menghunus Jeje.
Jeje malas yang kala itu lapar dan malas berdebat menurut saja, “Hai,” Sapa Jeje tanpa ekspresi dan nada datar.
“Aduh, Sera, Rachel, sama Aqil lama.., gue mulai aja kali ya!” Aretta bergumam, “Oke semuanya dengerin gue, ini penting!” instruksinya seketika teman-temannya yang berisik langsung diam mendengarkan.
“Gue dapet Line dari Kak Zidan, ternyata Belva itu punya trauma! Dan sekarang kita harus bantuin , supaya dia gak trauma berkepanjangan!!” beber Aretta.
“Apa?!” pekik temannya serempak.