Terik matahari tak menyulutkan semangat supporter masing-masing kelas, terutama kelas 10 IPA III. Jeje dan Feyra berdiri paling depan bergoyang-goyang lincah dan bernyanyi yel-yel penuh semangat. Calsmeet kelas sedang dilaksanakan, ini kesempatan emas untuk menunjukkan seberapa solidnya murid kelas.
“Kami siap menang, tak perlu siap kalah. Karena IPA III akan selalu menang. Meski ketek bau basah kena keringat, solid solid ini hanya milik kami, IPA III!” Feyra meneriakkan yel-yel yang menggunakan lagu Siti Badriah serempak dengan yang lainnya.
Nyanyian itu dilanjutkan oleh Jeje, “ We're ready too, for win again together. Baby, don't cry you lose. We win again, and for forever, em em em em emm,” Jeje memukul drum box mengikuti nada-nada lagu Lunatic— Weird Genius dengan semangat yang membara, IPA III semakin berisik dan menggila. Bendera hitam bertuliskan War IPA III dikibarkan oleh Kevin, banner besar dipegang oleh cewek-cewek yang berdiri berjajar di belakang Jeje dan Feyra.
Kelas IPA IV pun tak kalah semangatnya, semua murid kelas ikut berpartisipasi untuk mendukung yang sedang bermain, kecuali Belva. Ya saat ini kelasnya sendiri bahkan menganggapnya tidak ada.
“Jadi untuk apa ia menganggap kelasnya itu ada?” pikirnya. Belva terduduk di bawah pohon rindang di taman belakang sekolah. Matanya menatap kosong ke depan, ia terus menyesap susu kotak coklat kesukaannya, sudah 5 kotak yang habis dan berceceran di rerumputan.
“Woy!” Suara keras bariton laki-laki berhasil menyadarkan Belva dari lamunannya.
Belva mengernyit heran, Damar si ketua OSIS berdiri dihadapannya, oh salah apa lagi Belva kali ini. “Ke-kenapa, kak?” tanyanya sopan.
“Jaga kebersihan, susu kotak itu pasti sampah lo, lagipula classmeet semua murid harus di lapangan atau aula,” papar Damar tegas.
Belva mengangguk pelan, “Iya kak, maaf,” tuturnya, ia mulai berjongkok dan memunguti sampah satu persatu.
Damar belum pergi, ia masih mengawasi Belva sampai gadis itu selesai memungut sampah, dan membuangnya. “Gue kenal lo, anak IPA IV, kan? Itu kelas lo lagi tanding kok gak dukung?” celetuk Damar.
Belva menjawab, “Mereka aja nganggep saya gak ada toh, saya juga nganggep mereka gak ada jadinya...,” sifatnya yang suka ceplos dan to the point kembali muncul di saat yang tidak tepat. “Kakak pasti tau saya karena gosip-gosip buruk, ya?”lanjutnya.
Damar mengangguk mengiyakan, “Ya, tapi mungkin lo gak seburuk mereka bicarakan. Dan satu lagi lo harus belajar cara berpositive thinking. Sana ke lapangan!” perintahnya, tanpa ingin mendengarkan ocehan Belva lagi, Damar bergegas pergi untuk melanjutkan pengintaiannya yang tertunda.
Belva menghela nafas berat, “Semua orang Cuma dateng, mengucapkan kata-kata bijak, lalu pergi tanpa pamit. Gak ada yang bener-bener peduli sama aku!” ungkapnya bermonolog, dan ia sudah biasa beribu-ribu kali berceloteh, menangis, bergurau tanpa ada yang mendengarkan.
Tanpa permisi Belva maju ke barisan depan dan ikut menyanyikan yel-yel kelasnya, wajahnya terlihat ceria, ya, biarkanlah Belva memakai topengnya saat ini.
“Apaansi lo Bel, jangan nyanyi ntar kelas kita jadi sial,” sindir Sella si ketua kelas.
“Kenapa gitu? Kan aku juga mau support...,” jawab Belva, senyuman masih tak luput dari wajahnya.
“Memangnya ada yang mau di-support sama lo?! Sana lo di aula aja!” bentak Renaya.
Mata Belva yang berbinar-binar jadi redup, “Kan aku juga mau dukung tim kita ada Vano juga soalnya!” ia bersikukuh.
“Seret aja seret!!” Varel mengompori jadilah Belva ditarik oleh Sella dan Renaya.
“Lepasin dong, sakit tau!” Belva terpekik, tangannya dicengkram dan ditarik kasar.
“Lepasin!! Iya aku mau ke aula kok! Ngapain dukung Vano dan temen-temen yang gak pernah nganggep aku!” Belva menghempaskan tangannya, akhirnya cengkraman Sella dan Renaya terlepas.
Belva berlari sekencang-kencangnya menuju tempat yang paling nyaman untuk menyendiri, rooftop. Ia menaiki tangga cepat seperti orang kesetanan, tak peduli seberapa orang yang mengumpat atau meneriakinya.
Angin sepoi-sepoi seolah menyambutnya, kursi sofa lusuh menunggu untuk diduduki, tembok-tembok kotor menjadi saksi bisu akan tangisan sekaligus pendengar yang baik.
Belva menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya untuk melepaskan penat. “Aku takut ekolah, Mama papa..,” gumamnya. “Kapan kalian ngerti aku? Yang ngerti sama aku cuma abang, yang sayang sama aku cuma abang tapi Allah lebih sayang sama abang. Aku hanya jadi orang bego yang nyari-nyari sosok abang di sekolah. Saat aku nemuin diri abang di seorang Vano, dan aku ingin dia jadi milik aku, dia gak mau. Sekarang semuanya benci aku, maki aku, dan natap aku layaknya sampah, mereka seperti mengatakan lewat isyarat mata bahwa aku gak pantas hidup.” paparnya diikuti isak tangis. Bahunya berguncang hebat, “Bang Arga ngajarin Belva untuk selalu ngungkapin apa yang kita rasakan, tapi gimana Belva ngungkapinnya, bang? Gak ada yang sudi dengernya...,”
Tubuh Belva yang bersender di dinding merosot, ia memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan kepalanya kemudian menangis sejadi-jadinya. Merasa ada benda dingin yang menyentuh tangan, Belva mendongakkan kepalanya, matanya melebar.
“Lo egois, lo memaksa menggenggam apa yang gak bisa lo genggam. Dan lo gak pernah bersyukur atas apa yang lo miliki dan dapatkan. Lo selalu mencari kebahagiaan sendiri tanpa peduli sudut pandang orang lain. Lo ribet, terpacu sama satu objek, padahal diluar sana gue yakin pasti ada orang yang berusaha buat lo bahagia. Obsesi,” laki-laki itu meletakkan minuman dingin itu di hadapan Belva, dan duduk disebelahnya.
Belva menangis lagi, parasnya yang cantik sudah kehilangan auranya. Ia mirip anak kecil yang habis menangis kencang, berguling-guling di mall dan tak mau pulang karena tidak dibelikan permen.
“Gimana aku gak terpacu sama satu objek, karena objek berharga yang kupunya cuma abangku dan sekarang yang tersisa hanya bayang-bayang dan memoriku bersamanya, kak! Aku harus gimana? Aku juga gak mau gini terus, aku takut, kak,” tandas Belva berani.
“Lo egois, lo obsesi!” kesal lawan bicaranya.
“Sok tau kamu, kak!”
“Karena gue juga pernah ketemu orang yang seperti lo, dan gue cukup mengerti.., jangan dipendam, keluarin aja unek-unek lo,” sahut si laki-laki tanpa ekspresi.
“Gak ada yang mau dengerin kak!” teriak Belva keras-keras, ia menutup telinganya ketakutan.
“Gue bakal disini dengerin lo, sampai lo selesai dan puas ngomong!” cetusnya, ia menyenderkan tubuhnya dan melipat tangannya di dada bidangnya.”Silahkan, dimulai,” lanjutnya.
“Benarkah? Janji ya, namamu siapa, kak? aku belum tahu..,” secercah harapan muncul di wajah Belva, senyuman tipis terbentuk.
“Zidan, minum dulu sebelum ngoceh! Lo utang kata maaf karena udah ganggu tidur siang gue di rooftop ini!” seru Zidan.
“Jangan tidur lagi loh, kak! Udah janji mau dengerin aku!” timpal Belva mencebik.
Zidan mendengus, “Bacot, cepetan!!”
Akhirnya untuk pertama kali hati Belva merasakan kehangatan, kakak kelas ini rupanya berbeda ia tidak berucap kata bijak lalu pergi tanpa pamit. Zidan bersedia menemaninya, dan mungkin nanti jika pergi ia akan pamit juga, kan?
———