Hari ini kericuhan di kantin SMA Satu Bangsa kembali terjadi karena penyebab yang sama.
Gadis itu menyodorkan sebuket bunga ke arah laki-laki yang sedang makan di salah satu meja. Semua penghuni kantin langsung berbisik-bisik menghina, ada juga yang langsung merekamnya dengan kamera handponenya.
“Arvano Ghazni, ini buat kamu,” ucap Belva keras, meski beberapa orang sudah mencacinya ia sama sekali tak gentar.
Vano diam, nampak risih menjadi pusat perhatian. Matanya memicing, rahangnya mengeras, “Jadi cewek kok gak punya harga diri?!” tukasnya tegas bermaksud menyadarkan Belva. Umpatan, cacian, dan makian terhadap Belva semakin menjadi-jadi, bahkan ada yang tak segan melemparinya dengan kulit kacang dan kuaci. Ada juga yang menatapnya iba, dan ada yang malas ikut campur, hanya menikmati tontonan gratis.
Belva menunduk, nyalinya mulai menciut, “Tapi kan Vano, kamu sering banget godain dan deketin aku,” cicitnya agar hanya terdengar oleh lawan bicaranya.
Vano mengernyit, “Gue lakuin itu supaya kita dapet chemistry. Lo tau kan kalau gue ‘dipaksa' jadi pemeran pangeran sama si ketos sok tau itu,” sahutnya telak, dan sangat menohok Belva. Vano melanjutkan, “Jadi cewek jangan baperan, alay!” gerutunya lalu bergegas meninggalkan kantin.
Belva terduduk memeluk kakinya sendiri, ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan isakan, rasa takut merambat dalam benaknya.
Tidak ada yang membelanya, ia selalu sendirian. Ia mau punya teman, tapi dia juga cukup tau diri. Hanya saja Belva tidak seburuk yang mereka lihat, ia juga tidak merasa lebih baik dari orang-orang yang membicarakannya. Karena ia percaya setiap orang ada kelebihan dan kekurangan.
“Sampah!” maki gadis berparas cantik. yang duduk di pojokan kantin, Feyra.
“Lu mah bukan murahan lagi, tapi gratisan!” sahut Jeje disusul tawa dari penghuni kantin, Jeje dan Feyra sama-sama anak hitz di sekolah.
“Malu-maluin disekolahin, tapi gak ngotak,” timpal Genta anak yang menjabat sebagai sekretaris OSIS, suaranya datar.
“SMA Satu Bangsa gak butuh anak kayak lo!” celetuk Rafael seraya melempari Belva dengan kulit kuaci.
“HUUUUUUUUHUUUUUU!!” Suara sorakan bergemuruh di penjuru kantin, dan pada akhirnya isakan tangis itu mengalir, spontan Belva berlari keluar kantin. Entah kemana ia hanya mengikuti kata hatinya, asalkan ia bisa menjauhi tempat menakutkan itu.
Tatapan mata itu terus mengikuti punggung Belva yang sudah mengecil, tangannya mengepal kuat, wajahnya merah padam, alisnya bertaut. Baginya cemoohan tadi sama sekali tidak lucu, malah menjijikkan. Ia menggeram marah, ia bangkit berjalan tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Dan, mau kemana?” tanya Akbar, tapi yang dipanggil terus berjalan, tak berniat sama sekali untuk menyahut.