Ririn, Surabaya, 2011.
Akhirnya kubisa merasakan bagaimana rasanya bermalam minggu bersama cowok. Namun entah mengapa hatiku khawatir juga takut, namun bahagia. Semua perasaan itu bercampur aduk bagai es buah di hati.
Kurapikan baju lengan panjang kotak – kotakku, sembari kupastikan jika sepatu vans biruku sudah tertali dengan baik. Sambil berayun kaki ku mencoba rileks, namun gagal. Ku kebingungan, terus memikirkan apa yang akan terjadi nanti, delusi dan fantasi menjadi satu, membuatku mulai berkeringat.
Kuhela nafasku perlahan saat mencoba memejamkan mata, siapa tau bisa menenangkan diri dari gempuran hati dan otak yang berkolaborasi mengacau dalam tubuh. Mulai tercium aroma bunga bagai aroma terapi menenangkan, lambat namun pasti kudapat mendengar saura dedaunan yang tertiup angin, seiring sejuknya hembusan angin menerpa wajah membuat jiwa mulai tenang. Setelah yakin hati ini tenang, perlahan kubuka mata tersenyum memandang sebuah pohon beringin besar menaungi taman bunga berwarna-warni.
Perlahan kudengar saura langkah lambat mendekat. Semakin dekat langkah itu mulai tercium bau sirih yang kukenal. Langkah itu berhenti dan kurasa helusan halus sebuah tangan keriput pada tengkukku, elusan bergerak perlahan memelukku hangat.
Kulihat ibu berdiri di sebelahku, memandang hangat memberi ketenangan yang susah didapat. Aku bagai anak kecil yang manja memeluk ibu, merasakan kehangatan kasih sayangnya juga mendengar suara lembutnya. "Kamu mau ke mana? Kok tumben penampilanmu manis sekali sore ini?"
Tanganku menggaruk kepala. "Uhm, anu uhm itu bu."
"Sudah enggak usah dijawab, ibu mengerti kok. Ibu hanya mau mengingatkan kamu nanti pulangnya jangan malam-malam ya, kalau bisa jam sembilan sudah di rumah. Ayahmu pulang jam sepuluh hari ini, jika dia tau kamu keluar malam bisa marah nanti."
"Iya bu, Ririn nanti pulangnya enggak sampai malam kok."
"Enggak terasa ya ... sekarang pohon itu sudah semakin besar. Kamu masih ingat, dulu di sana ada ayunan dorong buatan kakakmu?"
"Iya bu, aku masih ingat kok. Aku yang merusakknya."
"Ya, waktu itu kamu membuat kakakmu murka karena merusak ayunannya. Sekarang kalian sudah besar dan ibu harap kamu segera menyusul kakakmu untuk berumah tangga."
Tercium ikan goreng gosong. Nampaknya ibu meninggalkan kompor dalam keadaan menyala saat beliau menemuiku.
Kulihat beliau terburu-buru masuk ke rumah mengangkat daster bawahnya, bukan bermaksut kurang ajar tapi melihat hal itu aku tertawa cekikikan sampai tertunduk. Kukembali menghela nafas memandang Pohon beringin memikirkan keinginan beliau.
Aku bukannya tak mau, namun aku terlalu pilih-pilih. Lagipula hatiku sudah berhasil ditaklukan oleh seorang pria bodoh yang kadang sulit untuk di mengerti. Seorang pria yang tak bosan kumenemaninya semenjak SD dulu.
Tiba-tiba Kurasa getaran android dalam saku baju. Sebuah telepon dari nomor tak dikenal masuk. Aku bingung akan menjawab atau tidak.
Nomor siapa ini? apa Yudi ganti nomor lagi? Ah rasanya enggak deh. Apa ini nomor si Rio? Dari mana dia tau nomorku?
Kuputuskan untuk mengangkat telepon itu. "Halo, ini siapa ya? ada perlu apa?"
Kudengar suara Rio. "Saya sudah ada didepan gang rumah ibu, apa saya menjemput ibu di rumah_"
"Sudah enggak usah, biar saya saja yang ke sana. Kau duduk santai dulu saja, tunggu di warung kopi."
Langsung kusudahi telepon itu. Debaran di dada semakin kencang tak beraturan. Telapak tangan basah oleh keringat, kupegang dada ini mencoba mengatur nafas. Segera kuberdiri merapikan celana jeans panjang dan baju kotak-kotak lengan panjang yang kujadikan luaran smeentara dalaman kaos oblong hitam.
Ingat Rin, kau hanya menonton saja. Jangan meminta lebih. Jangan beri dia pesan yang salah dengan meminta lebih, yup, semanga! "Ibu, Ririn berangkat dulu!"
Kulihat ibu berjalan cepat, langsung menyodorkan tangannya. Aku terbiasa mencium tangan ibu, walau hanya hendak pergi bermain sekalipun pasti tak lupa berpamitan kepada beliau.
Ibuku memandang pintu gerbang. "Loh, mana cowoknya? Kok enggak ke sini? Kamu naik apa?"
"Ah, uhm dia menunggu di warung kopi depan gang kok, bu."
"Oh, yasudah. Salam ya buat nak Romi."
Mataku membesar, menunduk mencium tangan ibu. Kumencoba bersikap normal. "Iya, nanti Ririn sampaikan."
Kubergegas meninggalkan rumah dua lantai bercat putih itu. Kaki ini berjalan cepat menyusuri gang paving bersih dan rapi. Beberapa wajah yang kukenal tersenyum lekat memandangiku. Aku memang sudah lama tak berpenampilan tomboyis seperti sekarang, biasanya aku selalu berpenampilan layaknya wanita karir.
Entah mengapa kumemikirkan perkataan ibu. Kenapa dia bisa menganggapaku hendak pergi bersama Romi? Aku sadar, bukan hanya ibu, namun ayah dan kakak mereka bagai terhipnotis oleh Romi. Mereka memujinya sebagai lelaki yang mempunyai etos kerja keras. Ketika kubersama Romi, mereka tak keberatan anak gadisnya ini dibawa jauh bahkan sampai keluar kota sekalipun. Asal bersama Romi, mereka merasa anaknya akan aman. Kuakui, Romi sangat pintar mengambil hati orang tuaku, namun sayang sekali si bodoh itu tak pernah pintar membaca perasaanku kepadanya.
Tak terasa kusampai di ujung gang. Aku tak perlu melangkah memasuki warung kopi karena sudah melihat sosok pemuda duduk di jok motor vespa biru, pemuda itu asik mengutak-atik androidnya. Kulihat dia sangat menawan dengan baju hem kotak-kotak merah dan celana riped jeans berhiaskan sepatu skets biru, penampilan khas kid jaman now.
Mata dan hati bersatu menjadi satu. Yatuhan dia bagai seorang malaikat yang berkunjung ke bumi, tampan sekali. Wajahku memanas, dada ini seperti mengadakan konser. Sadar Rin, dia itu muridmu!
Rio tersenyum begitu manis, membuatku mati kutu. Dia meloncat turun berjalan mendekat memberikan helm. "Bu," ucap Rio. "Uhm enggak, hari ini aku ingin memanggil Ririn saja, enggak apa-apa kan, bu?"
Kumembuang wajah. "Terserah kau saja."
Kulihat dia naik ke motor menepuk jok belakang memandangku. Tatapan matanya begitu indah mampu menghipnotisku menuruti perkataannya. Kulihat senyum manis dari bibir tipisnya bergabung luwes dengan senyumnya.
"Bu nyabuk ya," pinta Rio. "Kalau kamu enggak nyabuk nanti aku takut kalau kamu jatuh."
Entah apa yang merasuki diri ini, mendengar suara lembut penuh perhatian membuatku bagai anak bebek manja, tanpa sadar aku menurutinya memeluk pinggang Rio. Saat kusadari tangan ini sudah melingkar pada perutnya. Aku dapat merasakan perut pria kurus yang kekar penuh tonjolan otot, walau tak sengaja meraba namun cukup untuk membuat jantung berdetak tak beraturan, membuat panas tubuhku membayangkan seperti apa bentuk perutnya jika tanpa busana.
Bagai ingin menikmati pelukanku, walau jalan kota Surabaya sore itu tak padat, dia sengaja memacu lambat kuda besinya. Dia sengaja mengulur waktu untuk tiba di mall Royal Plaza. Aku sendiri tak bisa berkata apapun membuat kami terjebak dalam situasi canggung penuh keheningan.
Walau Matahari bersinar cerah, namun tak terasa terlalu panas karena sejukannya angin menerpa twajah ini. Untung aku mengenakan baju lengan panjang sehingga terhindar dari sinar Matahari juga dari debu jahat selama perjalanan.
Aku memang gila, entah apa yang membuatku menjadi gila. Parfum cokelat Rio? bentuk perutnya yang enak untuk diraba? atau imajinasiku akan dirinya saat ini? aku menyenderkan kepalaku pada punggung Rio yang lapang. Tak kusadari bibir ini mulai tersenyum sendiri, mataku mulai memejam dan menikmati hal ini.
Jadi seperti ini rasanya memeluk cowok ganteng nan sexy? duh sadar Rin sadar dia muridmu! Bodoh amat lah, dia memang muridku namun dia cowokkan?
Tak terasa kuping mendengar sindiran. "Hah, dasar anak muda jaman sekarang. Tuh lihat ceweknya napsu tuh sama yang cowok!"
Panas kupingku mendengar ucapan itu, kumembuka mata mendapati motor kami berhenti di lampu merah. Di sebelah kumelihat sebuah motor berhenti dan dua pengemudinya tertawa memandang kami.
"Sudah Rin," ucap Rio. "Enggak usah didengar ucapan orang enggak penting seperti mereka."
Aku sudah sangat murka. Namun mereka beruntung karena sekarang aku sedang membonceng muridku dan berada di lampu merah, andai saja kami berada di tanah lapang sudah kutampar mereka berdua. Tak lama lampu hijau datang, Rio mengegas cepat motornya berbelok memilih jalan lain untuk menuju mall agar terhindar dari kedua setan jalanan itu.
Rio mengelus punggung tanganku. "Rin, kamu sidah makan apa belum?"
"Belum, kenapa memangnya, mau kau traktir makan?"
"Hmmm bolehlah kalau kamu mau, memangnya kamu suka makan apa?"
"Aku suka makan segalanya."
"Kalau begitu kita makan dulu ya sebelum nonton. Aku lapar banget nih dari siang belum makan."
"Lah kok enggak makan sih kamu dari siang?" ck, kenapa aku jadi perhatian kepada Rio sih? ingat Rin dia itu muridmu, jangan terbuai suasana! Dan jangan kau beri harapan semu padanya!
"Aku enggak napsu makan, kepikiran kamu terus soalnya. Jadi, kita makan dulu saja ya, aku traktir kok. Kamu mau ya, Rin?"
"Terserah kau aja, aku ikut."
*
Kami akhirnya sampai di parkiran Royal Plaza, salah satu mall dari berpuluh-puluh mall di Surabaya. Sebuah mall yang tak terlalu besar, namun terbilang pas untuk tempat anak muda menghabiskan waktu.
Ketika kami masuk, kulangkahkan kaki pada lantai marmer bersih memantulkan cahaya terang dari langit-langit juga dari jejeran toko. Samar-samar kudapat mencium bau kesukaanku, bau roti bakar big boy yang kucium aroma makanan itu berasal dari sebuah stall kecil menjualnya di sudut pintu masuk mall. Udara dingin langsung terasa menembus baju ku, Mata ini melihat mall sudah ramai oleh pengunjung yang ramai, telingaku disambut suara musik latar mall mengiringi suara obrolan dari pengunjung mall.
Tiba-tiba langkah Rio terhenti, membuatku juga ikut berhenti. "kok berhenti?"
"Rin," Rio menunjukan telapak tangannya. "Gandengan tangan boleh?"
Aku bingung, sadar jika Rio adalah murid dan aku guru SMA yang seharusnya mengajar, bukan bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih yang tengah kasmaran dengannya.
Namun Rio tak butuh jawabanku, dia adalah tipe pria pemimpin. Tangan Rio bagai elang langsung menerkan tangan Kiriku, menggandeng erat sambil melangkah menuju food court di lantai atas.
Aneh, aku tak menolak juga tak melawan malah sesekali memandang Rio yang bertubuh lebih tinggi dariku, impianku untuk berjalan dengan pemuda tinggi sewaktu SMP menjadi kenyataan. Walau terlambat namun tetap membuat tersenyum dan hati berbunga-bunga.
Kami berjalan berdua pasangan merpati putih. Banyak mata memandang, beberapa berbisik sambil tersenyum, beberapa memandang jengah. Aku tersenyum geli, mungkin mereka menganggap aku ini tante-tante yang tengah menghabiskan waktu bersama berondong.
Sesampainya di food court, Kulihat beberapa meja tersebar tak beraturan. Meja-meja itu ditemani empat atau dua kursi. Mulai tercium aroma beraneka makanan, terasa udaranya tak terlalu dingin, mungkin karena bercampur uap dari makanan.
Rio mengajak masuk kesebuah ruangan kaca, kami duduk di sudut ruangan menghadap kota Surabaya. Aku melihat langit mulai gelap, gemerlapan lampu rumah-rumah juga penerangan jalan mulai menghiasi jalan. Dari tempatku duduk terilhat rel kereta api juga stasiun Wonokromo yang padat oleh pengunjung. Kulihat Jalanan mulai macet dibawah sana, namun lampu-lampu kendaraan yang terjebak macet menambah indah pemandangan dari tempatku duduk, membuatku betah untuk terus memandang.
Rio mengelus rambutku. "Rin, aku pesan makanan dulu ya, kamu tunggu di sini saja."
Aku mengangguk. "Jangan lama-lama ya."
Mataku bingung, ingin melihat pemandangan atau melihat tubuh Rio yang menjauh pergi. Terus terang dari sore hati ini terus berdebar, entah mengapa diri ini seperti melayang diudara ketika memikirkan Rio.
Aku mengambil android dari kantong baju, melihat beberapa pesan masuk. Aku kaget melihat panggilan tak terjawab dari Romi dan Yudi, panggilan berulang-ulang yang tak kusadari dari tadi, juga pesan dari kedua sahabatku yang menanyakan keberadaanku saat ini.
Duh, aku enggak tau jika mereka terus berusaha mengkontakku. Ada apa ya? apa ada masalah?
Aku sangat penasaran, cekatan segera mengirimkan SMS balasan bagi kedua sahabatku itu.
Setelah membalas pesan, kutermenung memandang kemacetan bertambah panjang dan sebuah kereta lewat, menambah keindahan pemandangan kota dengan kepulan asap putih keluar dari kepala lokomotif. Aku tertawa membayangkan nasib pengendara roda dua yang terkena asap kereta.
"Rin, kok melamun?" tegur Rio duduk di depanku menyajikan makanan yang dia beli di depanku, bagai butler yang menyajikan hidangan untuk tuannya. "Nih, aku beliin ayam keju, terus ayam pedas, sama_"
"Kok banyak banget sih, kau ini enggak bisa hemat ya?" ucapku terbelalak memandang semua makanan.
Rio menggaruk kepalanya. "Uhm enggak apa-apa kok, ini aku beli semua, karena aku enggak tau kamu suka pedas, keju atau yang manis. Ayo lekas dimakan yang kamu suka. Kamu adalah ratuku Rin... ijinkan hamba melayanimu, ya."
Wajahku memanas, tersenyum tak sadar mencubit pipinya. "Duh muridku ini, pandai sekali ngomongnya. Tapi aneh, kok kau belum punya cewek sih? kau kan ganteng, jago ngegombal, punya badan bagus, mana tinggi pula, kriteria semua cewek, tapi kok_"
"Ya mau bagaimana lagi, aku sukanya sama kamu. Pertama kali aku melihatmu... dadaku..." Rio memegang dadanya. "Berdetak kencang, kamu selalu saja muncul di mimpiku atau saat aku terbaring di kamar sendirian."
"Hah, muncul di mimpimu? saat berbaring di kamar sendirian? Jangan-jangan kau jadikan aku objek fantasimu ya!" kucubit hidung mancung Rio. "Nakal kau ya, saya hukum besok kau di sekolah."
"Enggaklah Rin, enggak mungkin aku melakukan hal itu." menunduk, mencuri pandang diriku. "Sedikit sih, sekali dua kali aku membuatmu menjadi bahan imajinasiku dikala aku sedang sendiri."
"Dasar, kid jaman now!" aku menjewer kuping Rio. "Pasti ada dong cewek yang mendekatimu?"
"Oh, bukan hanya ada tapi banyak banget. Mulai dari anak kelas delapan SMP, siswi SMA, bahkan anak kampus juga banyak loh!"
Seperti anak kecil yang mudah di pancing. Ternyata Rio memang masih kecil. Kupandang Rio sambil memiringkan sedikit kepalaku. "Oh iya? sampai anak kampus juga? terus kalau tante – tante ada?"
"Iya lah, itu kakak-kakaknya teman-temanku suka godain aku, mereka suka menelepon kalau malam, hanya sekedar menanyakan sudah makan apa belum, gitu. Uhm, kalau tante-tante sepertinya belum deh."
"Dasar kid jaman now, jamanku dulu enggak ada handphone... kalaupun ada enggak ada yang seberani itu sama anak cowok."
Rio tersipu malu. "Terus juga ada cewek yang selalu perhatian sama aku, namanya."
"Hayo, siapa namanya? Nita kan?"
Kulihat wajahnya terbelalak. "Eh, kok ibu, eh maksutku kok kamu bisa tau sih?"
"Ya jelas taulah, kan aku cewek." Menghela nafas, Taulah, karena Nita mengingatkanku pada diriku sendiri. Aku memandang Rio sambil tersenyum. Jika Nita adalah aku maka pemuda ini adalah Romi. menurunkan alis.
"Kenapa Rin?"
"Enggak kenapa-napa kok. Yasudah ayo makan dulu, kau tadi mengajakku makan, sekarang kau malah mengajakku bergossip. Aku lapar nih."
"Oh, ya...yasudah yuk kita makan dulu," ucap Rio gugup mulai makan.
Kutersenyum mencuri pandang Rio yang makan seperti anak kecil, celemotan.
Rio, pemuda ini masih muda... sangat muda. Fisiknya saja yang nampak seperti anak SMA, namun ketika kau kenal lebih dekat dengannya, dia seperti anak SD. Mungkin cocok untukku saat ku masih SMA, cocok untuk menghabiskan waktu bersenang - senang bersama dengannya. Namun aku sekarang sudah menjadi wanita... sudah bukan waktunya untuk bersenang-senang. Ah, yang penting sekarang biarlah dia bahagia... apa salahnya jika ku juga mencicipi kebahagiaan ini bersamanya?
Tak tahan kumelihat bibirnya yang belepotan, segera aku mengambil tisu dan mengelap bibir anak didikku, membuatnya berhenti makanmemegang tanganku.
Kusipitkan mata. "Kok di pegang sih tanganku, itu bibirmu celemotan mau aku bersihkan!"
Rio tersenyum, memejamkan matanya, "Sebentar saja, aku ingin merasakan kehangatan tanganmu." menggosokan pipinya pada punggung tanganku.
Terasa halus pipinya terwata, kenyal dan hangat, membuat pandanganku sayu sambil menggigit bibir bawahku sendiri
Aku pasrah tak menarik tangan ini. Namun kepasrahanku tak berlangsung lama. Langsung kutarik tangan ini ketika Rio berusaha mencium punggung tanganku. "Jorok banget, celemotan gitu bibir kau main mengelap saja ke tanganku!" Aku tersenyum dengan aksi Rio, dia mengingatkanku akan tingkah Romi.
Rio ikut tersenyum, dia mengambil tisu dan mengelap bibirku perlahan. Sontak aku kaget dan risih. "Rio, apa yang kau lakukan? Malu ah dilihat orang loh..."
"Gantian, aku juga ingin mengelap bibir kamu yang celemotan. Enggak adil dong kalau cuma kamu saja yang boleh mengelap bibirku, ya kan?"
Pantas saja gadis jaman sekarang membiarkan cowoknya meraba, mencium, seperti ucapan Yudi kala itu. Cowok jaman sekarang sangat hebat dalam memanjakan gadis mereka...
Pipiku memanas, wajah ini tertunduk mengatur nafas yang berat. Semakin lama berdua dengannya bisa-bisa pertahananku runtuh dan akhirnya aku hanya akan menjadi seorang gadis yang takluk oleh seorang pemuda tampan, menjadi seperti cewek jaman sekarang.Aku gelengkan kepalaku, lalu kutepuk pipi. Enggak Rin! Sadar! Kamu sudah tua dan Rio itu anak didikmu!
Rio menghentikan aksinya. "Oh iya Rin, aku mau menunjukkan sesuatu kepadamu." mengambil sesuati dari saku dalam bajunya.
Aku memiringkan kepala mengusap daguku. "Eh, menunjukkan? Mau memperlihatkan apa kau memangnya?"
Rio mengeluarkan secarik kanvas yang dia lipat kecil. Dengan bangga dia menyerahkan kanvas itu kepadaku.
Ketika kubuka, nafasku terhenti sesaat, mulut juga terbuka lebar dengan mata terbelalak memandang sebuah lukisan yang indah. Namun kucemberut ketika melihat paraf Romi dan nilai C-.
"Nih si kupret ya, yang memberi nilai uhm maksutku pak Romi yang memberi nilai C-?"
"Iya Rin, itu pak Romi yang memberi nilai. Katanya jelek banget yang jadi modelnya, gitu."
Kuping ini bergerak naik turun jengkel mendengarnya. "Dasar Romi, lukisan sebagus ini kok diberi nilai C- sih. Seharusnya diberi A+!"
"Jika begitu kamu beri nilai saja di kanvas itu. Nanti aku perlihatkan kepada pak Romi. agar dia tau jika penilaiannya itu ternyata salah."
Sontak aku terdiam. Ah, dasar kids jaman now. Dia mau mengadu dombaku dengan Romi ternyata. Segerak kulipat kembali lukisan itu dan mengembalikan kepada Rio.
"Kenapa Rin? Kok sepertinya kamu menjadi aneh seperti itu?"
Ck. "Pak Romi sebagai guru kesenian, dia yang berhak memberi nilai lukisanmu. Aku enggak boleh memberikan nilai di kanvas itu. Kamu juga sih yang salah, kenapa kok enggak melukis menggunakan model lain saja? Kenapa harus ibu yang kamu jadikan model?"
"Karena yang paling cantik, yang paling pas di hati, yang aku suka ya cuma kamu."
"Kau ini pandai sekali menggombal."
"Rin, ayo lanjutin makannya. Sebentar lagi mulai loh filmnya."
"Iya, iya Rom. Aku lanjutin makannya."
"Rom? Kok Romi sih Rin."
Aku membatu mendengar ucapan Rio. Kenapa aku malah memanggilnya Romi? situasi menjadi keki. "Uhm, eng sudahlah ayo cepat dihabiskan makanannya, nanti terlambat loh kita nontonnya. Ingat, jika sekarang gagal menonton, enggak ada konspensasi loh ya!"
Terus terang aku takut membuatnya sedih, sesekali aku mengintip bagaimana reaksinya. Untung saja raut wajahnya tak berubah, membuatku bernafas lega.
Setelah makan, dia mengajakku menuju bioskop. Dia sengaja memilih tempat paling atas dan paling ujung membuatku sedikit jengkel juga berdebar membayangkan apa yang akan terjadi di dalam nanti. Bukan tanpa sebab rasa kekhawatiranku ini, sudah banyak kudengar cerita tentang kursi sudut atas di dalam bioskop yang sering di jadikan tempat bermesraan pasangan muda-mudi.
Kucubit lengannya. "Kau kok milih tempat duduk di sudut atas sih? ibu enggak suka ya kalau kau seperti ini."
"Maaf Rin, Jadi bagaimana, mau beli tiket lagi?"
Aku paling tidak suka membuang-buang uang, terakhir kali aku membuang uang adalah dengan membuang es yang dibelikan Romi, itupun sampai sekarang membuatku menyesal.
Aku menepuk keningku. "Ok deh aku mau duduk sesuai nomor tiket itu, tapi awas kalau kau macam-macam didalam sana!"
"Kok pikiranmu seperti itu sih Rin. Atau jangan-jangan kamu sebenarnya berpikir seperti itu karena kamu ingin itu terjadi ya Rin?"
Kuinjak kaki Rio, membuatnya melonjat dengan kaki satu dan memegangi kaki yang aku injak, "Sakit bu, eh Rin maksutku. Kok kamu tega sih Rin... duh." Memegang kakinya.
"Biarin! rasain tuh, makannya jangan macam-macam denganku, tau kau sekarang aku orangnya jahat!"
Rio tersenyum menggandeng masuk ke bioskop. Kami berhenti di pintu masuk studio karena antrian begitu panjang. Kulihat poster Film romantis yang akan kami tonton nampaknya film Romance komedi. Dari panjangnya antrian pengecekan tiket, dapat kupastikan banyak peminatnya.
Rio menepuk pundakku. "Rin, kamu duduk dulu saja. Biar aku yang mengantri."
Kumengangguk menurut. Entah mengapa perut ini terasa mual, terasa ada burung pelatuk yang mematuk perutku dari dalam, jantung berdebar juga nafas tak beraturan. Rio, dia sangat memanjakanku, beruntung wanita yang bisa memilikinya. Gawat, kenapa aku bisa menikmati semua ini? ada apa denganku? Rin sadar, dia itu muridmu!
Ditengah hembusan angin AC yang dingin, kumalah berkeringat. Tubuhku bergetar memikirkan seorang guru berduaan dengan muridnya. Apa pantas aku melakukan hal ini?
"Kenapa Rin?" tegur Rio. "Kok kamu sepertinya ketakutan seperti itu? Yuk masuk, sudah dicek nih karcisnya. Uhm, kuharap kamu meyukai film ini ya Rin, filmnya romantis kok, bukan horror."
"Tau saja kalau aku enggak suka nonton film horror. Kau stalkingin aku ya, hmm?"
"Ya iyalah, aku kan kid jaman now."
Akhirnya ku buang jauh-jauh rasa takutku, kami masuk kedalam ruangan gelap itu. Tercium bau popcorn keju dari kursi sebelahku. Ku memandang pocorn itu, bukan berarti aku ingin.
"Bang!" Rio memanggil penjual makanan keliling bioskop. "Popcorn jumbo satu, sama soda dua ya."
Anak ini..."Eh Rio, enggak usah beli makanan. Hemat sedikit dong!"
"Sudahlah, kamu nikmati saja ya Rin. Kalau belum makan popcorn, berarti belum nonton bioskop dong."
Film baru berjalan dua puluh menit, namun seperti anak muda seumurannya, Rio aktif mendekatiku. Dia sudah berani memegang tangan ini. Entah karena aku terlalu fokus pada film atau memang dalam lubuk hati kecil ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi anak muda jaman sekarang, kubiarkan semua tindakan Rio pada tanganku. Tangan Rio terasa halus dalam melakukan aksinya, membuatku terbuai, terlena tak menepis malah menikmati. Lama kelamaan dia berani meremas tanganku dengan lembut, mungkin dia sedang menikmati impiannya selama ini yang menjadi kenyataan.
Aku sudah tak terlalu memperhatikan layar bioskop. "Rom, jangan kencang – kencang....shhh.... pelan saja." aku langsung tutup mulut. Kenapa Romi lagi sih yang ku ingat?
Rio menghentikan remasannya. "Rom?"
Aku memejamkan mata, tak kuasa memandang Rio. Rasa malu bercampur sungkan. Tiba-tiba kusakan kehangatan di pipiku, segera kubuka mata memegang pipi. Kupandang Rio jengkel.
"Rin, aku Rio, bukan Romi..."
"Ka...kamu tadi menciumku?"
"Maaf ya, aku ingin menyadarkan kamu jika aku bukan Romi, tapi Rio."
Kupandang dia, nafas ini kembang kempis saat tangan mengepal. Ingin kutampar anak kurang ajar di sebelahku. Namun aku sadar, sekarang berada dalam keramaian. Kutak ingin membuat gaduh dikeramaian dan membuatku serta bocah ini malu nantinya.
Aku menghela nafas mencoba fokus pada layar bioskop. Entah mengapa marahku dengan mudah surut. Setengah hatiku menginginkan lebih, mungkin terbawa suasana film bioskop, mungkin juga situasi yang mendukung atau karena Rio benar-benar mencurahkan perasaannya membuatku terhanyut, terbuai, atau mungkin kumulai memberi tempat Rio di hati ini.
Yang jelas kubiarkan dia berkuasa atas tangan ini. Lama dia melakukan aksinya, kutersenyum membalas menggenggam tangannya yang terasa hangat, membayangkan tangan itu adalah milik Romi. Rio terus melancarkan aksinya meluluhkan hatiku. Dia bisikan rayuan bercampur candaan, membuatku tertawa, mulai terbua tersenyum. Bayangan Romi mulai pudar.
Ya Tuhan, seperti inikah perasaan gadis jaman sekarang? hatiku berdebar, kuingin lebih, aku ingin dia, persetan dengan statusku sebagai guru! kuingin dia melakukan lebih, aku ingin dia menjadikanku gadisnya!
Tidak! apa yang kupikirkan! aku bukan wanita seperti itu, aku... aku ini Ririn! gurunya.
Kurasakan hembusan nafas Rio di leher ini, sungguh kutak sanggup melawan. Kupejamkan mata, meremas tangannya yang sembari tadi asik meremas tangan ini. Tanganku yang lain meremas lengan kursi dengan kencang.
Kulupa dengan tangannya yang bebas, dia mengelus pipi lalu menghembuskan nafasnya di pipiku, bergerak ke kuping. "Rio...shhhh."
Jantungku berdebar sangat hebat, sudah tak tenang dalam dudukku, ingin kupeluk Rio sekarang, agar kubisa membalas perbuatannya. Entah apa yang akan dia lakukan setelah ini, kudibuat gila oleh perlakuan pemuda ini.
Ririn...
Suara Romi? mengapa ku bisa mendengar suara itu? apa dia berada di sini? Seperti orang bingung, kumenoleh ke kiri dan kanan, ke belakang dan terus berusaha mencari Romi.
Kudapat mendengar suara lain dalam gelap, suara Rio yang halus. "Kenapa Rin? Kenapa kamu kok seperti orang bingung?"
Astaga apa aku gila? kupejamkan mata menggeleng. "Enggak apa-apa kok. Nikmati saja... uhm, nikmati saja filmnya Ro, eh Rio."
Rio kembali meremas tanganku. Kali ini dia mencium lengan ini. Aku tak kuasa melawan, karena aku juga wanita. Wanita yang lemah dan bisa terhanyut oleh perlakuan seorang cowok tampan seperti Rio yang membuatku mabuk kepayang.
Ya tuhan, tolong aku! aku tak mau berakhir mencintai Rio. Tidak, jika memang ini takdirku untuk menyerahkan hatiku padanya, maka biarkanlah ... berikan yang terbaik untukku ...
Apa benar?
Kembali kudengar suara Romi. Nampaknya pikiran dan hati ini mempermainkanku. Inikah yang disebut gejolak jiwa?
Tiba-tiba lampu sayup menyala, menyinari seisi ruangan. Tak terasa film yang kutonton telah usai, Kumenghela nafas lega, segera kulepaskan remasan tangannya dan segera bangkit. Kami keluar berdesakan dengan penonton lain.
Aku mencoba bersikap normal. "Ramai sekali ya filmnya. Ini kita langsung pulang kan?"
"Nanti dulu," jawab Rio. "Kalau pulang jam segini jalanan masih macet. Dari pada nanti kita buang-buang waktu di jalan, lebih baik kita keliling mall saja dulu, gimana?"
Aku mengangguk, sependapat dengan alsan logis Rio. Terlihat dari jendela mall, jalanan memang sangat padat dan jika nekat ingin pulang pun, kami hanya akan menghabiskan waktu lama di jalan.
Rio mengajakku berputar-putar ber-shoping window berdua. Setelah puas, dia mengajakku kembali ke food court. Perlahan dia menunduk dihadapanku, membuat seisi food court memandang kearahnya, membuatku bingung dan canggung.
"Rin... ini... aku ada hadiah buat kamu..." Rio mengeluarkan sebuah cincin dari dalam kotak kecil merah yang selama ini dia simpan di dalam sakunya. "Ini hadiah untuk gadis yang paling aku cintai..."
Aku menutup mulutku, tak berkedip melihat sebuah cincin yang indah, hadiah dari Rio. Ya tuhan... cobaan apa lagi ini? "Rio, kau apa-apaan sih?"
"Rin, aku sangat suka kamu ... aku enggak peduli dengan umur ... aku bisa terus mencintaimu, berusaha membahagiaka dan menjadi pria yang bertanggung jawab penuh_"
"Rio, kau sudah janjikan padaku, kita hanya nonton saja! Aku sudah menurut ya sama kau, aku mau kau ajak makan, aku mau kau ajak jalan – jalan keliling mall tanpa protes. Ibu sudah katakan kan kepadamu... kau jika benar suka sama ibu, kau harus fokus belajar_"
"Itulah penyebabnya, aku enggak bisa fokus belajar sebelum kamu terima cintaku ini... aku mau kamu menjadi penyemangatku... menjadi tujuan dari semua usahaku, Rin... aku minta dengan tulus kepadamu... maukah kamu menjadi pacarku?"
"Terima, terima, terima." Sorakan dari beberapa pengunjung terdengar membahana.
Sebagai seorang wanita, kutak bisa menyangkal jika Rio adalah sosok pria tampan, Rio memiliki kriteria sebagai cowok idaman. Sekarang hati dan otak tak bisa memutuskan, semua kembali pada diri ini.
"Rin ayo, beri jawabanmu sekarang," pinta Rio, memandang sayu kepada. Sebuah pandangan yang membuatku mabuk dan susah berpikir jernih.
***