Kenangan Romi, Surabaya, 2001.
Aku ingat, suara geluduk itu menemani saat diriku duduk merenung di pos ronda seorang diri. Aku melihat langit mulai kelam, sekelam hati saat itu yang tengah dilanda badai Katrina terhebat sepanjang masa. Hawa dingin mulai menusuk bagai jarum sampai ke sanubari, tanganku meraba tiang penyangga pos ronda yang terbuat dari bambu, terasa halus sehalus tangan Anggi, langsung kupukul tak sekali namun terus penyangga itu hingga tanganku berteriak sakit meminta ampun dan meneteskan darah merah.
Kala itu kuingat diri ini masih mencoba menenangkan diri dari kesedihan yang teramat sangat ketika mata ini melihat Anggi, gadis yang kudambakan ternyata dimiliki oleh orang lain, dibelai dan dinikmati pria lain. Anggi, seorang gadis yang kukira polos ternyata sehina itu, gadis yang mudah untuk di cium, di raba oleh pria lain dan malah menikmati diperlakukan seperti itu oleh seorang lelaki yang bukan suaminya. Namun semakin lama kuratapi, semakin sedih hati, kupejamkan mata menelungkup di ujug pos Ronda.
Walau mulut membisu, namun hati bernyanyi sendu. Tuhan, kenapa kau tega menyakitiku seperti ini? aku hanya minta kau memberiku cinta, kenapa kau berikan racun? ... Tuhan jika kau masih ada, kirim kanlah bidadari untuk menghiburku...
Kudengar hujan turun deras sederas air mataku di iringi gluduk yang kencang sekencang jeritan hati. Kulihat air hujan mulai menetes deras, mulai tercium bau khas air hujan turun menghantam bumi bagai batu meteor menerjang atsmorfer. Hidung ini mendengus, kembali menunduk dengan kedua kaki melipat, seakan menjadi tempatku membenamkan kepalak, kuratapi nasibku sembari menunggu hujan reda.
Nampaknya Tuhan benar-benar jahat ... aku hanya meminta bidadari, bukan hujan ... apa salah?
"Romi..."
Kudengar suara halus itu, namun tak bergeming diriku. Ya aku hanya meminta seorang bidadari dengan suara semerdu itu untuk menghiburku, untuk setidaknya meneduhkan hatiku yang tengah terombang-ambingkan ombak di lautan lepas. Ijinkan hati ini berlabuh walau hanya sesaat saja.
Ditengah ricauan hati menghujat Tuham, tiba-tiba kumerasa sesuatu yang hangat, perlahan dengan lembut menyentuh kulit tanganku. Lama kurasa tangan itu basah, Hidungku mulai mencium aroma baju basah.
"Kamu kenapa?"
Terdengar lembut suara itu merayap memasuki telinga menuju hati, kutau suara lembut siapa itu. Walau kuhujan kupersalahkan serta kucaci-maki, Tuhan tetap mencintai umatnya, tak pernah Tuhan meninggalkan umatnya, Tuhan masih mendengar curhatan hatiku, masih sayang kepada manusia menjijikan seperti diriku. Namun kala itu kumalu untuk memandang pemilik tangan halus itu. Aku Romi, si monster kejam tak berperasaan yang telah tega menipunya, memanfaatkannya, membuatnya marah juga mungkin sedih, menyakiti kati lembut seseorang yang sangat sayang padaku. Aku terlalu hina untuk menatap wajahnya saat itu.
Tiba-tiba kurasa baju basah memeluk tubuhku, Tak kuasa diri untuk tidak menoleh. Mataku dengan sayu melihat Ririn bagai mandi hujan, baju seragamnya basah kuyub hingga berubah warna, wambut indahnya basah oleh air dan dia dengan erat memelukku bagai Hawa memeluk Adam saat dibuang ke bumi.
Aku mengelus dia dengan halus, kurasakan tubuhnya dingin menggigil. "Kamu kenapa basah-basahan seperti ini?" ucapku menerawang dari ujung rambut hingga ujung sepatunya.
Ririn masih bisa tersenyum hangat ditengah deritanya, "Mencarimu. Orang tuamu khawatir kau belum pulang-pulang." duduk disebelahku.
Aku enggak boleh terlihat menangis, segera kubasuh air mata di pipi. "Maaf, aku terjebak hujan. Jadi_"
"Jangan bohong kau! aku sudah memperhatikanmu semenjak sebelum hujan turun. Katakan, kenapa kau menangis di sini seorang diri?"
Aku menunduk, menggeleng, merasa hina karena seorang yang kujahati malah sangat perhatian padaku. "Enggak ada apa-apa kok, aku cuma capek jadi istira_"
Ririn menunjukan kanvas yang kusobek jadi dua, walau basah dan luntur tetap bisa kukenali dengan baik kanvas hina itu. "Apa dia merobek karyamu ini?" ucap Ririn dengan wajah serius, memandang tajam diriku. "Ayo jawab jangan cuma diam seperti sapi!"
Aku menggeleng tak berani menatapnya. "Dia enggak merobek lukisan itu, aku yang menyobeknya sendiri..."
"Kenapa? Bukankah kau bermaksut memberikan lukisan kepadanya sebagai hadiah ulang tahunnya, hmm?"
Aku tersenyum kecut, menghela nafas dalam. "Aku benci dia ... gadis itu tidak seperti yang ku bayangkan ... Maaf, karena aku sudah menipumu, memanfaatkanmu, membuatmu marah dan_"
Dia menutup mulutku dengan telunjuknya, "Shhh sudah, tak usah kau minta maaf. Yang penting sekarang kau jangan sedih lagi ya. Lekas pulang, orang tuamu khawatir menunggu anak semata wayangnya belum pulang juga." menjentikan jarinya.
Aku menoleh ke belakang dan kulihat orang yang tak kusangka akan datang menemuiku. Yudi tersenyum memandangku membawa payung besar untuk kami berdua, sementara dia sendiri membawa payung lain. "Nih, untung saja di mobil Ririn ada dua payung. Buruan pulang, kasian tuh si Ririn, sampai basah kuyub seperti itu cuma gara-gara mencari kamu."
Kusipitkan mataku, mencariku? kuturunkan alis ini memandang Ririn. "Kenapa kamu sampai basah kuyub seperti ini? katakan kenapa."
Ririn menggaruk kepalanya tersenyum berlagak bodoh. "Hah, uhm tadi aku, uhm."
Yudi langsung menyaut. "Tadi tuh si Ririn mengamuk seperti gorila di depan rumah Anggi, terus lari-lari enggak jelas nyariin lo_" Yudi langsung kesakitan memegangi kakinya. "Sakit Rin, wah lo nih bukannya terima kasih sudah dibawakan payung malah main injek kaki gue. Kebiasaan nih anak ya main injak sembarangan!"
Kulihat wajah Ririn yang basah memerah, "Bodoh amat! Kaki yang punya aku ya terserah aku mau kubuat injak atau tendang. Yasudah yuk sekarang pulang!" mengambil payung dan membukanya, mengulurkan tangannya padaku. "Ayo buruan, kemalaman nanti kamu pulangnya bisa nangis ibumu! Atau kamu ingin dihajar ayahmu, hmm?"
Aku mengangguk menggapai tangan itu, berbagi payung berdua. Saat itu kuingat sakit hati ini berangsur-angsur berkurang, hanya dengan berbagi payung diri ini merasa lebih baikan sekarang. Namun tubuh ini bergetar menggigil walau tak basah oleh hujan. Kubayangkan betapa dinginnya tubuh Ririn sekarang dengan pakaian basah ditengah udara sedingin es, kurangkul dia mencoba menghangatkan tubuhnya, kala itu dia tak menepis tanganku malah seakan menikmatinya.
Kubisikan lantunan kata pada telinganya. "Rin, maaf ya. Gara-gara aku kamu jadi seperti ini."
"Enggak apa-apa Rom, lain kali kamu jangan seperti ini lagi. Kasianilah dirimu juga orang tuamu."
Kugosok tangan ini pada lengannya, tak peduli jika bajuku turut basah. "Rin, tubuhmu dingin sekali. Maaf ya karena aku_"
"Sudah tidak usah meminta maaf seperti itu. Kamu harusnya tau kami berdua adalah sahabatmu dan akan selalu ada untukmu sampai kapanpun juga."
"Rin, kamu memang..."
"Hmm? Memang apa?"
Saat itu seharusnya diriku sadar jika dia adalah orang spesial di hidupku yang singkat, mungkin dia adalah utusan Tuhan untuk menemani hidupku, mungkin dia adalah tulang rusukku yang selama ini kucari. Namun pikiranku kala itu bimbang untuk menyatakan isi hati yang kurasa. Bukan hanya takut jika dia nanti menolak, namun takut jika andaikan kala itu dia menerima. Aku hanyalah seroang Romi, anak pegawai negeri rendahan yang hanya bermodal nekat mendekati anak seorang pejabat. Apa yang akan orang tuanya katakan nanti? seorang anak lelaki miskin mendekati putri mereka yang kaya raya, mungkin mereka menganggapku hanya seorang lelaki miskin pencari keberuntungan memacari si kaya.
"Memang sahabatku yang terbaik. Kuberuntung mengenalmu ... " Kuingat semenjak itu kupendam dalam-dalam rasa sukaku padanya, tak pernah kuucap sepatah kata cintapun kepadanya.
**
Romi, Surabaya, 2011.
Terlambat, andai kumemiliki keberanian, andai diri ini bisa membaca perasaannya lebih cepat, maka ceritanya tak akan seperti ini, semua akan berbeda, mungkin aku akan tertawa sekarang. Namun semua datang terlambat ... Ketika tekat sudah bulat semuanya sudah usai ... semuanya sudah berakhir ... hanya penyesalan dan kenangan yang tersisa ...
Kubasuh pipi. Apa ini, air mata? Sekarang kubeanr-benar menangis? Apa pantas aku menangis. Tuhan, kutau kau adalah penciptaku. Kepadamulah aku meminta, kubingung apa yang harus kulakukan sekarang? beri petunjukmu ya Tuhan.
Tubuhku bergoyang, kusadar jika Yudi mendorong-dorong lenganku bagai kucing meminta susu induknya. Dia berkata setengah berteriak. "Iya enggak Rom! Rom, Romi!"
"Hah! Hoh? Ah? Uhm ada apa Yud?" ucapku setengah sadar.
Yudi menepuk pundakku. "Iya kan?"
"Hah? Iya? Iya deh!"
Yudi menghela nafas, kulihat dia tersenyum memandang Nita. "Sekarang loe taukan, bagaimana bu Ririn berjuang demi menolong pria yang dia sukai, walau pria itu bodoh dan malah mencintai gadis lain?"
Nita termenung, mengangguk halus tak berkedip memandang kosong lapangan.
Yudi menepuk pundak Nita. "Kamu bisa bayangkan, Ririn sama seperti lo. Dia berkorban perasaan untuk membantu cowok soalan itu dekat dengan Anggi, walau hatinya tersiksa namun dia tetap membantu pria tak berotak itu. Itulah pengorbana cinta sejati Nit, terkadang cinta itu buta."
Nita mengangguk, matanya mulai berkaca. "Lalu, kenapa bu Ririn tidak memberitaukan perasaannya pada pria tolol itu? andai dia mau mmeberi tau mungkin si bodoh itu mengerti kan?"
Yudi memandangku, lalu menepuk pundak Nita "Pertanyaan yang sama yang harus lo jawab, kenapa lo enggak mau menyatakan isi hati lo kepada Rio?"
Yudi, sebenarnya apa yang sedang kau rencanakan? Aku tau dia bukan seorang yang bodoh, setiap ucapannya selama ini selalu bermakna. Apa yang sedang dia coba katakan? Semakin giat telinga ini menguping, mengirim data pada otak kiri dan kanan agar dicerna dengan baik. Matapun ikut membantu, mengirimkan sebuah visual untuk otak mencerna.
Kulihat mereka berdiam diri cukup lama. Nampaknya pertanyaan Yudi membungkam Nita. Gadis itu memandang lapangan di mana murid-murid masih berlatih basket. Lama keheningan itu berlangsung, sampai suara hentakan basket dapat terdengar beraturan pada telinga, bercampur dengan teriakan anak-anak basket yang membahana dari lapangan.
Nita tersenyum mengangguk memandang Yudi. "Lalu bagaimana pak, apa sebaiknya yang harus saya lakukan sekarang?"
Mataku terus mengawasi Yudi dan hatiku ikut bertanya. Iya Yud, apa yang harus kulakukan sekarang? jangan kau gunakan kiasan lagi dan to the point saja! tak terasa kaki ini berderap kencang.
"Pak ayo dong, di jawab. Ish kok malah diam saja sih," rengek Nita.
"Iya Yud! Kok diam saja sih?" Langsung kututup mulut.
Mata mereka langsung tertuju padaku, memandang diri ini dengan tatapan aneh.
Ku menggosok hidung dengan wajah memerah. "Maaf, lanjutin deh ngobrolnya..."
Yudi memandang Nita sambil tersenyum puas. Dia menepuk pundak gadis itu, "Kejar dia, sebelum cintanya diterima oleh bu Ririn. Katakan isi hati lo sekarang juga, jangan mencontoh bu Ririn yang memendam rasa hingga lebih dari dua puluh tahun." tersenyum mengelus kepala Nita. "Lo mau jadi perawan tua seperti bu Ririn?"
Dih, Yudi kesempatan megang-megang anak gadis. Dasar mesum akut!
Kuperhatikan wajah Nita mulai memerah, dia tersenyum menggeleng. "Tapi, aku takut pak. Lagian... aku enggak berani sendirian menemui mereka diacara malam mingguan mereka, takut mengganggu."
Tanpa kusadari kepala ikut mengangguk, seakan ingin segera mengetahui jawaban Yudi.
"Emang itu tujuannya, ganggu mereka!" Yudi menepuk pundak Nita. "Ayo, lo harus berani. Bukankah kids jaman now itu semuanya pemberani dan tak kenal takut, selalu mencoba sebelum pasrah? Masak lo mau keder seperti anak jaman dulu sih. "Memandangku dengan tatapan menghina, kembali tersenyum memandang Nita. "C'mon girl you can do it!"
"Tapi pak, Nita takut sendiri. Lagian Nita kan enggak bawa motor."
"Halah, urusan gampang itu." memandangku "Rom, temani nih si Nita mau nembak Rio!" teriak Yudi.
Aku kaget karena dia mendadak berteriak, hampir androidku terjatuh. "Eh, ehm nembak? Ya aku mau nembak dia!" sadar akan kesalahanku, wajah ini memanas dan kuyakin jika sekarang juga memerah. "Uhm, maksutku Nita mau nembak Rio? ya sudah ayo, ke mana memangnya mereka rencananya mau malam mingguan?"
Nita menggelengkan kepalanya. "Enggak tau pak."
"Ririn ke Royal Plaza," jawab Yudi. "Sudah buruan susul!"
Gadis itu menepuk halus lengan Yudi, membisikan sesuatu pada guru olah raganya itu namun tetap sadar terdengar olehku. "Pak enggak ah, aku malu sama pak Romi. Sama bapak saja ya ke sananya."
Yudi memandang Nita dengan pandangan misterius. "Ya enggak usah malu lah, kan pak Romi juga ada kepentingan di sana. Lagian gue sedang mengawasi anak-anak latihan." Kembali memandangku yang terlihat gugup dan malu. "Rom, Ririn ada di Royal plaza, buruan sana, anterin Nita gih!"
Iya, aku harus mengantar gadis ini. Dia akan mengurus Rio, sedangkan aku bsia membawa kabur Ririn nanti. "Iya deh iya. Tapi kenapa kok kamu ngomong jika aku juga ada kepentingan? maksutmu apa?"
"Udah deh, nanti juga lo akan tau maksut gue. Sekarang kalian segera ke Royal Plaza, ntar aku menyusul jika murid-murid sudah selesai latihan. Nih bawa motorku!" melempar kunci motornya kepadaku.
Dasar Yudi, semua perkataan selalu ambigu. Ya, aku faham Yud, akan kunyatakan isi hatiku ini. Tak akan kubiarkan siapapun mengambil tulang rusuku! Aku yang sudah mengerti mengangguk pasti. "Nit, ayo bapak temani, buruan ayo!" perintahku penuh semangat.
Akhirnya setelah mengenang semua kejadian masa lalu, kudapatkan jawaban dari masalahku. Jawaban yang selama ini terkubur dalam hati dan tertutupi kabut tebal.
Segera kutunggangi motor Vixion Yudi. "Nit, ayo buruan. Pakai helm itu." menunjuk sebuah helm di motor sebelah.
"Uhm," Nita terhenti. "Tapi ini helm siapa?"
"Sudah pakai saja," potong Yudi. "Nanti biar bapak yang tanggung jawab. Semangat ya kalian berdua, jangan sampai kecewa karena terlambat!"
Terima kasih Yud, kau adalah sahabatku yang baik. "Nit, pegangan yang kencang!"
***