Romi, Surabaya, 2011.
Hari ini aku sangat tak semangat walau bel pulang berdering kencang, kaki terasa lemas berjalan lunglai tanpa gairah, membuat murid-murid dapat dengan mudah mendahuluiku berjalan menuju tangga. Kusenderkan tubuh ini pada tembok pembatas di lantai tiga sekolah. Kutermenung memandang langit yang tak pernah berubah, dari dulu tetap biru indah berlapis awan putih berbagai rupa. Tangan ini memegang dada, merasakan hati yang tercabok-cabik oleh capit raksasa.
Batin dan otak bekerja sama menghancurkanku dengan delusi Ririn berpelukan dengan Rio. Namun delusi itu perlahan sirna saat kumendengar suara tawa dari arah lapangan. Terlihat murid-murid tengah asik bercengkrama, membuat iri melihat kebahagian tanpa beban dari wajah mereka, namun entah mengapa lama kelamaan bibir ini tersenyum memandang mereka. Satu persatu mereka hilang, lambat namun pasti kegaduhan berkurang hingga menjadi tenang.
Kuputuskan untuk keruang guru melalui tangga belakang sekolah. Entah apa yang membuatku begitu suka melewati tangga ini, mungkin karena merdunya suara kicauan burung dari taman belakang atau mungkin karena tangga ini tenang dan sepi serta bersih.
Langkahku terhenti, Mereka lagi, kenapa mereka selalu menghabiskan waktu di sini? kembaliku berpapasan dengan gerombolan Riki di tempat sama saat menemukan mereka dulu sebelum mulai mengeluh di kantor guru. Seperti biasa, mereka asik merokok dengan santai tanpa beban.
Mereka menyadari kehadiranku, namun tak takut malah melambaikan tangan menegur seakan bertemu dengan teman sebaya. Mereka nampaknya sudah menghapus dinding batasan antara murid dan guru ini.
"Tumben lesu gitu," sapa Riki. "Pasti sedang ada masalah ya?"
Aku tak peduli dengan asap rokok, segera duduk berselonjor kaki di sebelah Riki mengelus kepalanya. "Ya gitulah Rik, aku sedang galau nih." Kuambil rokok daro bibir Riki. "Bagi rokoknya dong."
Ku pandanganeh rokok di tangan, segera kuhisap merasakan bagaimana rasa rokok di bibir. Ketika asap masuk keringga, sontak batuk datang menyerang. langsung kukembalikanrokok itu ke mulut Riki.
Riki tertawa. "Dasar wong tuo. Galau kenapa sih bro? kok sampai nekat merokok? habis diputusin cewek?"
Kududuk bersender lemas. "Memangnya kamu tau rasanya diputusin cewek?
"Wah kasian, ternyata benar tebakanku. Tapi maaf ya, aku eggak tau rasanya diputusin, karena biasanya aku yang mutusin cewek, jadi enggak tau rasanya galau seperti apa."
Teman Riki menepuk pundak Riki. "Putus, putus, jadian saja enggak pernah kok bisa putus sih Rik. Kamu kan tau guru kita yang sangat baik ini memutuskan untuk menjadi biksu yang enggak mau pacaran apa lagi menikah."
Sontak gerombolan itu tertawa terbahak bagai menari di atas penderitaan guru mereka, seperti berusaha menabur garam pada luka di hati.
Entah kenapa bibir ini malah ikut tertawa menertawai nasibku. Kutepuk paha Riki. "Kamu kok hobby merokok sih, kenapa? apa enaknya merokok? cuma menghabiskan uang saja."
Riki menghembuskan asap rokok dari mulutnya ke atas. "Biar keren pak!"
"Keren, keren, malah kere nanti kamu kalau merokok terus. mencari uang belum bisa sudah jadi ahli sebul. Ayahmu tau kamu merokok?"
Riki menggeleng. "Kalau dia tau, aku bisa diusir dari rumah."
"Duitnya Riki banyak kok pak," celetuk teman Riki. "Bapaknya kan pejabat. Nanti kalau duitnya mulai menipis tinggal ambil duit Negara, easy kan?"
Riki menepuk kepala temannya. "Ndasmu, bapakku anti korupsi, cuk!"
Ternyata benar apa kata Ririn, mereka merokok agar terlihat keren. Kutersenyum kecut. "Rik, bapak kasih tau ya. Keren itu biasanya berkaitan dengan sikap, bukan karena rokok. Coba kamu tanya cewek-cewekmu, mereka lebih menyukai cowok yang tak merokok atau yang merokok. Mana ada cewek yang mau sama cowok yang merokok, walau cowoknya kaya dan cakep sepertimu."
Riki menahan tawa menepuk pundakku seakan seumuran. "Lah, buktinya bapak saja yang enggak merokok tetap enggak laku-laku, tetap menjadi jomblo. Padahal bapak cakep dan keren."
Gerombolan itu tertawa terbahak menggelegar bagai halilintar, menggema di koridor sepi ini.
Aku meratapi diri ini, tak bisa membantah dengan bukti nyata yang mereka jadikan bahan ledekan untukku. Walau tak mau mengakui namun kusadari jika tak pernah berpacaran seumur hidup.
"Astaga, Romi!" bentak Yuni tiba-tiba sudah berdiri memegang pinggang dengan mata melotot. "kamu ngapain sama anak-anak di sini?"
Tanpa peringatan dia langsung menepuk kepalaku, sampai berbunyi nyaring menggema. "Ee, kamu ini guru, malah ngajarin murid-muridmu enggak benar seperti ini sih, mana tanggung jawabmu sebagai guru? Kalau ketauan kepala sekolah atau wali murid bagaimana? Kamu bisa di pecat!"
Kami sudah tertangkap tangan, tak bisa kabur karena Yuni hafal wajah kami. Tubuh ini bergidik, keringat langsung berlomba membasahi baju.
Urat mulai terlihat dari kening Yuni. "Sekarang kalian semua ikut ibu ke ruang guru!"
Kaki ini melangkah santai namun kutersenyum melihat gerombolan Riki saling memandang takut. Mereka saling berbisik menyalahkan satu sama lain. Dasar kids jaman now, keder juga nyali mereka.
Ruang guru terasa berbeda, kumerasakan hawa dingin yang membuat bergidik. Namun bukan karena AC yang terlalu dingin, namun lebih cenderung pada situasi canggung yang kuhadapi.
Sekarang aku berdiri di depan Yuni seperti memory waktu SMA. Sudah lama kutak merasakan perasaan ini. Terakhir kali seperti ini saat semasa masih menjadi murid, perasaan yang menghinggapi ketika kuberbuat salah, terintimidasi, gugup, bingung juga takut menjadi satu bagai rujak cingur.
Yuni menatap tajam. "Ee, siapa yang mengajari kalian merokok? Apa pak Romi?"
Kutersenyum. Enak saja nih Erebos nyalahin aku.
"Ee, kenapa kau senyam-senyum seperti kodok? Sudah tua enggak sadar tua, bukannya memberi contoh baik malah ikut merokok."
Sontak diri ini menunduk, kedua tanganku saling meremas di belakang badan sementara badan ini bergerak pelan maju mundur menerima pasrah.
"Ayo jawab siapa yang mengajari kalian merokok." Yuni memukul meja keras. "Ayo jawab! kok malah pada diem sih, kalian bisu?"
Nasib, jika murid salah pasti gurunya yang disalahkan. Jika mereka berprestasi orang tua mereka yang dielu-elukan.
"Ehm," Riki mulai menjawab. "Bukan pak Romi kok bu, kami belajar dari ... TV ... ."
"Dari TV? orang tuamu mengetahui jika kamu merokok?
Kedua tangan Riki bergetar, saling memegang di balik badan. "Tau bu, mereka mengetauhi jika saya merokok."
"Benar mereka tau? Ee, kau jangan bohong sama ibu ya ... ibumu itu teman kuliah ibu dulu ... aku telepon sekarang, kumau tanya apa dia benar-benar tau kalau anak semata wayangnya ini merokok."
Pffft. Tak sadar bibir ini naik setengah mendengar ucapan Yuni. Ternyata taktiknya enggak berubah dari dulu.
Yuni mengkerutkan kening memandangku tajam. "Ee, Romi, kenapa bibirmu?"
Bibir ini bergetar bagai vibrator di handphone nokia lawas, "Awawm, enggak kok bu. Ini mulutku agak garing saja. Uhm, saya minum dulu ya." langsung mengambil gelas teh di atas meja, meneguk setengah isinya.
Yuni mengeluarkan android dari tasnya. "Ee, Riki. Sampai kamu bohong, bukan hanya ibumu, tapi ayahmu juga akan murka. Ditambah lagi jika mereka tau kamu merokok, mungkin kamu enggak akan di kasih uang jajan seumur hidupmu atau mungkin diusir dari rumah."
Kuperhatikan tubuh Riki bergetar, bola matanya membesar. Tetesan keringat membasahi wajahnya. Tiba-tiba tangannya menggenggam erat pinggiran meja di depannya. "Ampun... ampun bu, Riki bohong sama ibu. Kedua orang tua Riki enggak tau jika saya merokok bu, tolong jangan beri tau mereka bu. Riki enggak mau mereka sedih."
Segitu saja kemampuanmu Rik? batinku.
Bagai Thor yang marah Yuni menggebrak meja. "Dasar tukang bohong! Aku akan mengadukanmu pada kepala sekolah, juga bapakmu! Biar tau rasa kau!"
Riki mulai meneteskan air mata, menunduk lemas. "Ampun bu, Riki menyesal bu..."
"Halah, air mata buaya. Ee, memang kamu pikir ibu enggak tau tingkahmu? ibu dapat laporan dari pak Ahmad, guru Bahasa Indonesia, kau juga sudah bersumpah kepada beliau kan untuk tidak merokok lagi? tapi nyatanya kau tetap merokok kan!"
Riki bergetar hebat, semua temannya terdiam takbisa melakukan apapun.
Hah, kalau kepala sekolah sampai turun tangan bisa tambah besar nih. Kumenepuk pundak Yuni. "Bu, ini semua salah saya. Saya gagal mengingatkan mereka, sehingga mereka jadi seperti ini. Saya mohon beri mereka kesempatan sekali lagi."
"Ee, Romi. Kamu memang salah, aku_"
Kutau Yuni di hari sabtu tak ingin berlama-lama berada disekolah. Dia punya keluarga dan ingin menghabiskan waktu bersama keluarganya di rumah. Kukedipkan mata ini. "Ijinkan saya yang menangani masalah ini bu, jika sampai kepala sekolah tau masalah ini bisa bertambah panjang. Lagi pula saya yakin Riki adalah anak yang baik, dia tak pernah menimbulkan masalah lain selain merokokkan? Jika mereka masih merokok saya bersedia dipecat tanpa pesangon bu."
Yuni menggaruk kepala melihat jam dinding. "Ok, kamu yang tanggung jawab ya. Ee, sampai aku lihat mereka masih merokok. Kau yang kulaporkan kepala sekolah. Yasudah, aku mau pulang." mengambil tas bergegas pergi meninggalkan ruangan.
Syukurlah semua bisa segera berakhir, batinku.
Riki menarik lengan bawah bajuku. "Pak, makasih ya..."
Kumengelus kepala Riki. "Berjanji kalian jangan merokok lagi."
Serempak mereka menganggu. Namun Riki masih tak melepask genggamannya. "Pak maaf ya, Riki selama ini jika kurang ajar kepada bapak, tak menghormati bapak. Kenapa bapak mau berkorban dem_"
Kutepuk pundaknya. "Santai saja, namun kamu harus berhenti merokok. Bapak enggak mau kamu..."
"Kenapa pak?" ucap Riki dengan mata berbinar, dan bibir bergetar. "Beri tau alasan bapak kenapa bapak menolong Riki."
"Pokoknya jangan buat bapak kecewa ya ... berhenti merokok sekarang .... Bapak menolong ya karena bapak ini gurumu kan?" kumelangkah dengan mata berkaca.
"Pak Romi, kenapa bapak menangis? Jangan bohong pak atau Romi akan tetap merokok!" ancam Riki.
Kumenghela nafas. "Ayahku meninggal karena terlalu sering merokok."
Riki menghentikan langkahnya, begitu pula teman-temannya. "Serius pak? saya enggak tau_"
"Sudah, santai saja. Semua sudah lama terjadi kok. Kamu belajar yang rajin ya dan tolong jangan merokok lagi. Hargai dirimu, jangan jadi seperti ayahku yang merenggang nyawa karena rokok."
Ya, si tukang siksa itu kehilangan nyawa karena rokok. Kukembali melangkah dengan wajah memerah dan air mata terahan di mata. Semoga dengan kejadian ini mereka sadar.
Kusegera berbelok menuju pintu gerbang utama sekolah ingin segera pulang, tidur di ranjang yang empuk dan mengakhiri hari ini. Langkahku terhenti ketika seseorang meneriaki namaku.
Dari arah belakang, Yudi mendekat menepuk pundakku dengan kencang. "Tumben jam segini lo baru mau pulang. Biasanya lo paling cepat pulang setelah bel pulang berbunyi, ada apa?"
"Ya biasalah tadi habis dipanggil bu Yuni, katanya dia kangen sudah lama enggak ceramah," jawabku santai. "Gimana, anak-anak basket rajin enggak latihannya?" memandang lapangan penuh oleh beberapa murid berseragam olahraga berlatih basket.
"Ya gitulah, kid jaman now sangat semangat latihannya, jarang bolos tanpa ijin." Menepuk pundakku. "Gimana, lo katanya mau minta nomor telepon si Anggi, jadi enggak?"
"Emang kamu punya nomornya si Anggi? Dapat dari mana? Katanya kemarin enggak punya, gimana sih."
Yudi mengangguk tersenyum penuh misteri. "Dari Ririn. Dia pesan, katanya gue disuruh memberi nomor telepon si Anggi padamu. Katanya, lo kangen ya sama cewek itu." Mengeluarkan androidnya. "Nih nomornya, buruan gih di catet."
Entah mengapa kutak bersemangat mengeluarkan andorid. "Ririn mana, kok enggak ngasih sendiri ke aku nomornya si Anggi, kok diumpanin ke kamu?"
"Ya gitulah Rom, tadi dia mau ngasih langsung. Tapi dia terburu-buru pulang, katanya mau luluran dulu. Biasalah, dia mau tampil sempurna malam ini. Kan ada janji mau malam mingguan sama si brondong.Udah buruan deh catet nih nomor bidadarimu." Yudi membacakan nomor telepon Anggi padaku.
Walau kusudah tak peduli pada nomor itu, namun tetap tangan ini mencatat dengan seksama. Sekarang aku telah berhasil mendapatkan nomor telepon si gadis impian, namun hati ini tak begitu senang malah terasa hampa dan galau.
Yudi tersenyum, nampak tau jika sekarang kutengah cemburu. "Lo kenapa kok cemberut? loe sakit?" menyentuh dadaku lalu mengelusnya. "Kalau lo sakit, cepat obati sebelum terlambat. Jika sudah terlambat maka obat apapun tak akan bisa mengembalikan kesehatan lo, yang ada hanya kekecewaan."
Tiba-tiba gerombolan Riki melintas. Mereka tertawa terbahak – bahak memandang Yudi menyentuh dadaku.
"Ciyee, enggak sangka ya ternyata guru-guru kita yang jomblo itu, ahak ahak," canda Riki.
Yudi langsung menarik tangannya, "Rik, jangan sampai bapak hukum loe ya!" kembali memandangku. "Dasar anak muda jaman sekarang, pikirannya enggak beres. Cepat obati sakit lo, penawarnya gampang, cukup jujur sama hati lo."
Jujur apa? "Ah, kamu ini ngomong apa sih, enggak jelas banget jadi orang."
"Rom, lihatlah anak jaman sekarang." Yudi memandang lapangan. "Mereka sehat-sehat kan?" kembali memandangku. "Kamu tau kenapa mereka sehat dan tak pernah sakit?"
"Ya karena makannya bergizi."
"Tumben jawaban loe salah, pasti gara-gara lo sedang galau jadi enggak bisa berpikir. Mereka sehat karena mereka enggak pernah memendam perasaan dalam hati mereka."
Kusadar jika Yudi berusaha memancingku. Diri ini juga sadar jika sedang merasakan sebuah gejolak kecemburuan yang menggerogoti hati juga pikiran. Namun aku tak tau apa yang harus kulakukan sekarang.
Tiba-tiba kami melihat seorang gadis duduk di kursi panjang seorang diri. Yudi menepuk pundakku. "Lihat Rom, tuh sepertinya ada cewek sedang sakit, sama sepertimu, dia pasti sakit karena memendam rasa."
Yudi mencoba mendekati gadis itu, semakin dekat akhirnya dia mengetahui jika gadis itu adalah Nita. Dia duduk sendirian merenungi sesuatu, tak berkedip, dengan mata berkaca – kaca.
Kami saling memandang. Yudi memberi kode untuk mendekati Nita, menyuruh mencari tau kenapa dia bersedih. namun kumenggelengkan enggan mencampuri urusan yang bukan urusannya.
Yudi menghela nafasnya, akhirnya mengalah dan segera pergi mendekati Nita. Dia menepuk pundak Nita. "Kenapa Nit, tumben kok belum pulang?"
Nita mengelap matanya, mencoba tersenyum. "Uhm eh, ehm enggak papa kok pak."
Terus terang aku penasaran kenapa Nita bersedih. Segera ku duduk tak jauh dari Yudi dan Nita. Kembali kugunakan skill James Bond untuk mencuri dengar pembicaraan mereka juga mencuri pandang apa yang mereka lakukan.
Yudi duduk di sebelah Nita mendorongnya agar mau bergeser, memberi sedikit ruang untuknya duduk. "Kamu kenapa bersedih. Cerita aja sini kalau ada masalah."
"Enggak papa pak, mata Nita kemasukan debu."
Yudi duduk menyender badan pada senderan kursi, memandang langit. "Cewek tuh aneh ya, enggak jaman dulu enggak jaman sekarang, selalu aja sulit dimengerti. Selalu penuh rahasia, dan memendam rasa di hati."
Alis mata gadis itu terangkat, memiringkan kepala memandang Yudi. "Maksut bapak, aneh bagaimana sih?"
"Ya gitu lah, bapak tau kok lo pasti sekarang lagi mikirin cowok bernama Rio kan?"
Nita menarik badannya, tersenyum malu, tak menggeleng juga tak mengangguk.
"Yudi menyeringai. "Kamu enggak usah ngomong pun, gua tau lo selalu berkorban demi Rio, demi cowok yang lo suka. Namun tuh cowok tak mengetahui isi hatimu dan malah dia menyukai gadis lain kan?"
"Bapak kok bisa tau sih?"
"Bisa lah, Yudi gitu loh, tau segalanya, iya enggak Rom?" menoleh kepadaku lalu kembali memandang Nita. "Kalau ada masalah jangan dipendam sendiri, share saja sama bapak, siapa tau bapak bisa bantu."
Kudibuat semakin penasaran. Kugeser dudukku menggeser semakin dekat dengan bangku mereka, berakting seperti tengah sibuk berbalas pesan dengan seseorang, namun nyatanya hanya membuka tutup kunci layar android.
Nita mendengus kesal. "Entah pak, aku bingung sama si Rio. Dia begitu menyukai guru itu, walau guru itu berulang kali menolak namun dia tak menyerah. Aku selalu saja bodoh, membantunya dalam memperjuangkan cintanya itu walau ... hatiku sakit ... ."
"Loe sudah pernah mengutarakan isi hatimu kepada Rio belum?"
Nita menggeleng. "Aku takut jika nanti Rio tak memiliki rasa suka kepadaku, malah merusak persahabatanku dengan Rio. Aku enggak mau itu terjadi"
Yudi tertawa lepas menepuk pahanya sendiri. "Lo itu sama persis seperti bu Ririn!"
Kulihat mata Nita terbelalak dan tak sengaja dia menepuk paha Yudi. "Yang benar pak!" Dia menutup mulutnya, mungkin sadar jika tingkahnya tak sopan. "Maaf pak, enggak sengaja."
Yudi tersenyum. "Santai saja, lo tepuk lagi ya enggak apa-apa kok, aku iklas ditepuk sama cewek secantik loe."
"Memangnya kenapa dengan bu Ririn pak?"
Yudi menghela nafasnya. "Penderitaan bu Ririn melebihi penderitaan loe." Yudi mulai bercerita. "Bu Ririn itu sudah menderita semenjak dua puluh tahun yang lalu, sementara penderitaanmu paling belum ada dua tahunan kan? Dia mencintai seorang pria bodoh, idiot, bego yang tak peka," ucapnya, kembali memandangku, sepert ingin memastikan sahabatnya bisa mendengar apa yang dia katakan.
"Uhm... itu pria bodoh, idiot, bego, tak peka itu satu pria atau empat pria pak?"
"Satu, semua itu ada dalam satu pria yang selalu dia bantu, hibur dan dia rela berkorban banyak untuk pria tak guna itu, korban perasaan, waktu, untung belum berkorban fisik."
Aku terdiam, tak sadar meneteskan air mata. Aku baru menyadari jika Ririn selalu ada untukku, kapanpun aku membutuhkan walau tak meminta sekalipun dia selalu ada untukku. Seperti saat itu.
***