Ririn, Surabaya, 2011.
Sudah beberapa hari ini aku tak berani bertemu Romi. Kumenghindar seperti seekor kancil menghindari singa. Entah mengapa hati kecilku terus membisikan untuk terus menghindar dari Romi. Siang ini aku bergegas mengatur langkah seribu pergi ke ruang guru. Aku masuk dengan wajah bingung, penuh lara. Di dalam ruangan itu hanya ada Yudi yang nampak tengah asik menonton TV sambil menikmati secangkir teh hangat kesukaannya.
"Yud, mana guru-guru lain?"
"Rapat di aula." Yudi tersenyum memandangku. "Kenapa lo Rin? kok seperti dikejar pocong gitu sih?"
Kulangsung duduk menaruh tas laptop berat diatas tumpukan buku. "Pocong? mana ada pocong di siang hari."
"Kenapa, lo masih M, hmm?"
"M? seperti tau saja artinya M itu apa, dasar kau Yud, Yud."
Kududuk tak beraturan, kadang tangan ini membuka android tanpa sebab lalu menutupnya. Bibir mulai berdecak tanpa sebab, bersender pada tangan lalu tersenyum sendiri. Entah mengapa kumembenamkan wajah dalam dekap tangan. Bibir ini mendesah lalu berdecak, sembari melihat layar android yang hanya kubuka tutup tanpa ada pesan atau video yang kunikmati.
Sesekali kumemandang TV atau mencuri pandang lelaki sexy bernama Yudi yang tengah memainkan remote TV. Sempat malu diri ini saat dia tersenyum memergoki kejahilan mata mencuri pandang padanya.
Kuyakin sekarang Yudi mendapat sesuatu yang lebih menarik dari berita TV, sehingga dia mematikan TV, "Loe curhats aja kalau ada masalah. Jangan dipendam dalam hati nanti malah jadi gila." membuang remote ke tumpukan buku, menggeser kursinya mendekatiku.
Langsung kubersangga uang masih asik tangan ini bermain android. "Itu tuh, sahabat setiamu, sahabat sehatimu, si Romi."
"Kenapa lagi sama Romi. Hampir seminggu ini kalian main kucing-kucingan, sekarang lo jadi sedih, kenapa? berantem lagi?"
"Enggak berantem sih, aku cuma sebal saja sama dia. Si culun itu minta nomor teleponnya Anggi. Bayangin, dia belum kapok juga dulu pernah tersakiti hatinya oleh si Anggi, sekarang masih mau berhubungan dengan dia."
Yudi tersenyum, menarik kursinya kembali kemejanya. "Yah, gue kira ada apa. Kalau dia minta nomor telepon, yasudah kasih aja. Gitu saja kok repot."
"Itu dia masalahnya, hatiku sakit. Aku selalu sakit hati jika Romi mengucapkan nama Anggi. Aku sendiri bingung, kenapa aku bisa seperti ini, perih kuping ini namun aku enggak bisa marah."
Terdengar suara Yudi mendesah. "Sudah gue bilang berapa kali." Menghitung jari kananya. "Dua belas tahun yang lalu, sepuluh tahun yang lalu, lima tahun yang lalu, tega lo sekarang nyuruh gue menasehati lo lagi dengan nasihat yang sama. Jika lo suka, katakan suka!"
Ya, sejak dulu masih gendut hingga sekarang jadi se sexy atlet renang Yudi selalu mengingatkanku dan juga menasihati untuk juju akan perasaan ini. Kutersenyum semakin asik membuka tutup layar android "Aku enggak bisa. Aku takut, enggak mau bilang ke dia kalau aku suka. Aku takut jika dia tak memiliki rasa kepadaku, rasa yang sama seperti rasaku kepadanya. Aku takut setelah aku katakan isi hatiku, maka hubungan kami enggak akan sama lagi seperti sediakala."
"Tau dari mana jika dia enggak memendam rasa kepadamu? tau dari mana jika hubungan kalian tak akan sama lagi kelak jika lo jujur akan perasaanmu? jangan sok tau deh. Coba dulu, baru beri komentar nanti."
Kulihat Yudi seperti orang kebingungan, dia kembali menyeret kursinya mendekat, mulai membisikan sesuatu, "Seperti gue, yang jujur akan perasaan gue ke lo lima tahun yang lalu." mengelus tanganku.
Ah ya, dulu dia pernah menembakku. Kejadian yang sangat membuatku merasa seperti berada di surga, namun hati kecilku sadar dan menolaknya secara halus. Bibir ini tertawa sembara tanganku menyibak rambut pendak ini lalu mencubiti lengan kekar Yudi. "Masih ingat saja kau, maaf ya, aku benar-benar enggak ada rasa kepadamu. Aku hanya menyukai seseorang dan aku sabar menunggunya."
Yudi mengangguk, "Nah ... lihat kan, lo sama gue gimana sekarang? apa kita berhenti berteman? Apa kita berhenti bertegur sapa? Menjadi kaku? Enggak kan, malah makin akrab dan well jadi TTM seperti ini." mendekat memeluku hangat.
Entah sebenarnya aku merasa nyaman dalam pelukannya, namun dia ini Yudi, si raja porno. Entah apa yang dia pikirkan saat ini. Segera tanpa menunggu lagi, kudorong dia menjauh sambil tertawa genit. "Ish, jangan dekat-dekat, pake peluk-peluk segala, raja bokep mengambil kesempatan dalam kesempitan!"
"Benarkan apa saran gue? apa salahnya jika lo jujur beri tau dia isi hati lo. Dari pada lo tersiksa seperti ini, ngejomblo terus sampai jadi guru tua malang tanpa suami."
"Entahlah Yud, aku lemah dalam hal ini. Aku merasa hopeless dan hanya bisa memendam rasa."
"Lo udah berkorban cukup banyak untuk pria itu. Tapi gue enggak habis pikir, dia sudah banyak menyakitimu, namun lo selalu ada untuknya dikala dia dalam kesulitan atau dilanda kesedihan, kenapa?" mengelus halus rambutku.
Segera kutepis tangan itu. "Yud, jangan gitu ah... nanti kamu naksir lagi sama aku."
"Gue selalu naksir sama lo, namun gue menunggu lo buat... ah sudahlah lupakan. Oh iya, lo masih ingat, ketika dia melukis wajah Anggi?"
"Sudah enggak usah dibahas Yud, semua sudah berlalu."
"Yaudah kalau gitu, terserah lo," ucap Yudi, membuang muka. "gue bingung, loe ini aneh, sebenarnya apa yang loe lihat dari pria bernama Romi?" Yudi kembali memandangku. "Kenapa loe bisa menyukai Romi dari awal. Apa karena wajahnya? Apa karena dia jago ngelukis?"
Pertanyaan itu sudah sering dia lontarkan kepadaku dikala hanya ada dia dan diri ini. Seribu kali aku sudah menjawab, namun Yudi bagai wartawan yang kepo. Kumulai bosan untuk sekedar menggeleng, mungkin sekarang aku harus memberi tau alasanku. Sebenarnya malu untuk menceritakannya, namun si kepo tampan ini begitu memaksa, kasian jika dia jika selalu berujung tanpa jawab.
Kembali kumenggeleng untuk terakhir kalinya pada pertanyaan konyol si mantan pemilik tubuh gendut itu. "Wajah? Jago lukis? bukan, bukan karena itu aku suka padanya. Namun ada sesuatu di hati kecilku yang selalu mengumandangkan namanya."
"Halah hati kecil apaan, emang lo masih punya hati? Galak seperti mak lampir gitu."
Segera kuangkat kakiku. "Yud, mau ngerasakan injakan kakiku, hmm?"
"Ogah Rin, ampun." Melihat sepatuku. "Kamu pakai skets? Tumben? Habis jogging?"
"Enggak, ini... sepatu hak tinggiku di cuci." Sebenarnya karena Romi minta supaya aku tak pakai sepatu hak tinggi lagi.
"Ok deh, terus kenapa lo suka sama Romi? kasih tau dong. Dari dulu gue selalu penasaran. Kuharap lo mau menceritakan alasannya, kenapa lo rela berkorban demi pria yang tak peka itu."
"Aku sudah mengenal dia lama sekali, lebih lama dari aku mengenalmu..."
"Ok deh, aku kasian sama kamu. Dengerin, jangan di potong ditengah atau ku injak-injak kakimu sampai gepeng."
**
Kenangan Ririn, Surabaya, 1991.
Perkenalanku dengan Romi terjadi jauh sebelum aku bisa membaca atau mengeja huruf R. Tuhan memberikan Romi kepadaku saat itu sebagai seorang penolong.
Di tengah hiruk pikuk taman SD, kuseorang diri duduk termenung memandang kedua sepatuku yang tak tertali, menyebabkan diri ini tak bisa ikut bersenang-senang bersama teman-teman. Kala itu kumencoba meminta ibu untuk menalikan kedua tali sepatu, semakin tangan ini menarik lengan bajunya, semakin jauh dia bergeser duduk. Kala itu ibu cuek, lebih mementingkan obrolannya dari pada putrinya.
Tak pupus harap, kuberpaling memandang kakak lelaki, "Kakak!" teriakku. "Bantuin Yiyin pakai sepatu!" namun si tolol itu tak menoleh, kuakui dari dulu kakaku memang bodoh, yang dia tau hanya bola itu bundar dan untuk dikejar lalu untuk ditendang dan saat masuk ke gawang berteriak Gol.
Hmmp! Memangnya aku enggak bisa apa pakai sepatu sendiyi? batinku.
Aku berusaha mengikat tali sepatu sendiri, tangan ini sampai merah karena terlalu kuat memegang tali sepatu yang selalu gagal ku tali. Kembali mata ini memandang kakakku yang masih gila mengejar bola, "kakak! Bantuin Yiyin masang tali sepatu dong!"
Kakaku menoleh hanya untuk menyakiti hatiku. "Dasar Cadel manja, pasang sendirilah!"
Sontak batin ini berkata. Sial kau! Awas saja kuadukan ayah sepulang sekolah nanti!"
Aku tak menyerah, sekali dua kali aku gagal, sampai sembilan, sepuluh kali tetap gagal. Diri ini tetap tak mau kalah oleh tali sepatu, kembali kuberusaha memanggil ibu, "Bu, bantuin Yiyin menali sepatu dong." namun dia tak menoleh.
Kala itu tubuhku mulai bergetar, mata mulai berkaca – kaca, sedih namun juga sebal karena tak bisa mengikat tali sepatu sendiri.
"Kenapa tak ada yang peduli padaku? Aku ingin beymain beysama anak-anak lainnya ... ya Tuhan, datangkanlah seorang malaikat untuk Yiyin," gumamku.
Tuhan mengabulkan permintaanku. Seorang anak lelaki berjongkok di hadapanku. "Kenapa menangis?" tegurnya.
Kumelihat anak itu tersenyum, menghangatkan hati yang mulai dingin. "Aku enggak nangis! cuma aku enggak bisa mentali sepatuku sendiyi..."
"Kenapa enggak minta tolong sama orang tuamu?"
Aku menggeleng, menunduk sedih. "Meyeka enggak mau noyong aku ... meyeka jahat sama aku dan lebih memilih untuk beymain bola dan mengobyol sendiri, aku benci meyeka ... ."
"Kamu enggak boleh begitu sama mereka."
"Biayin, meyeka jahat kok ... lihat saja nanti sesampainya diyumah aku lapoyin ayah!"
Anak itu menepuk-nepuk kepalaku. "Kamu enggak usang nangis, aku paling enggak suka melihat cewek nangis. Sini, coba aku ikatkan tali sepatumu."
Kubasuh air mata dipipi, "Kamu bisa?" ku julurkan kakiku. "Kalau kamu bisa, aku minta tolong ya."
"Aku coba ya, kamu jangan banyak gerak." Perlahan dia mencoba menali tali sepatu itu, namun gagal. Kulihat anak itu tak menyerah, dia mencoba mengingat cara mentali tali sepatu dan dia mencoba kembali untuk menali tali sepatuku.
Aku terkejut dan bertepuk tangan bahagia. "Hoyee, kamu hebat sekali! Uhm, satu lagi ya, nih yang kiyi belum diikat."
"Iya tuan putri, hamba siap mengikat tali sepatumu." Anak itu kembali mengikat tali sepatu. Kali ini dia langsung berhasil menali tali sepatuku tanpa gagal.
"Udah nih, udah semua aku tali sepatumu. Oh iya, Nama kamu siapa?" anak itu tersenyum mengulurkan tangan.
Saat itu ku menjabat tangannya dengan malu-malu mau. "Aku Yiyin, salam kenal ya. Kamu siapa?"
"Yiyin?" anak itu memiringkan kepalanya ke kiri. "Namamu kok aneh begitu sih."
Enak saja aneh, jika bukan kayena dia sudah menolongku sudah kuinjak sepatunya! Batinku kesal. "Namaku Yiyin!"
"Iya, Yiyin kan?"
Kutepuk keningku, Kala itu aku yang bodoh tersadar jika masih cadel, belum bisa mengucapkan R. Aku segera megambil sebilah ranting pohon dan menuliskan namaku di tanah.
"Oh Ririn ya, nama yang bagus. Kenalin, namaku Romi. Salam kenal ya!"
Wajahku memerah malu, kala itu adalah kali pertama kali jantung ini berdetak kencang tak beraturan. Perasaan yang baru pertama kurasakan, perasaan yang aku sendiri tak tau perasaan apa itu. Namun perasaan itu membuatku senang dan berbunga-bunga, bahagia dan selalu tertawa hingga saat ini.
Aku langsung menjabat tangan Romi. "Uhm Yomi, main bayeng yuk ... aku kesepian nih, enggak ada teman main."
"Iya, yaudah yuk kita main bareng!" Romi kecil menggangandeng tanganku.
Hari itu kami menghabiskan waktu bersama dan entah mengapa semenjak kejadian itu aku selalu betah untuk berada di sampingnya.
**
Ririn, Surabaya, 2011.
"Gituloh ceritanya Yud."
Mendengar ceritaku Yudi tertawa keras. "Aneh-aneh aja lo Rin, bisa suka sama cowok cuma gara- gara hal sepele. Mentali sepatu ternyata bisa berujung pada cinta ya."
Kutepuk kepala Yudi kencang. "Ye, memang butuh alasan seperti di drama korea apa, buat suka sama cowok? Apa cowok itu harus ganteng, kaya, punya ilmu sihir atau pelet gitu?"
"Mungkin, tuh buktinya Romi sukses mempelet kamu. Enggak kebayang deh kamu memendam rasa suka ke Romi hampir seumur hidupmu."
Kuterbahak mendengar responnya. "Tapi perasaan suka itu baru kusadari di SMA kok. Jadi gimana nih Yud, apa aku harus memberikan nomor telepon Anggi kepadanya?"
"Coba lo pikirkan lagi, apa untungnya lo kasih nomor itu ke Romi. Cuma bikin sakit hati saja."
"Tapi aku tak bisa kucing-kucingan terus seperti. Aku kangen dengan suaranya, juga tingkahnya."
Yudi memejamkan mata, namoaknya dia memikirkan sesuatu hingga dia tersenyum dan membuka kembali matanya. "Sini nomor telepon si Anggi, biar gue aja yang kasih ke dia."
"Serius Yud?"
"Iya buruan!" jawabnya, memandang layar android.
Kumengangguk, segera memberi nomor telepon Anggi pada Yudi. Kembali kumenyenderkan kepala di atas meja.
Yudi kembali bingung, dia berdecak. "Kenapa lagi loe?"
Hah ..."Nonton, pulang sekolah ini aku diajak nonton nih sama cowok ganteng."
"Cie-cie, yasudah bagus dong. Mencoba membuka hati untuk cowok lain."
Kulirik tajam Yudi. "Gundulmu ... yang mengajakku nonton itu si Rio, siswa di kelasku itu loh."
Yudi melotot tak percaya. "Hah, Rio, dia lagi? Luar biasa, tuh si terong-terongan tak menyerah memperjuangkan cintanya. Anak muda jaman sekarang hebat-hebat ya."
"Hebat apanya, kalau hebat dia enggak akan memaksakan sesuatu yang absurb seperti ini." Kumengangkat kepala memandang Yudi. "Padahal masih banyak cewek yang lebih muda, seumuran dengannya yang suka sama dia. Kenapa dia memilih aku?"
"Pertanyaan yang sama untukmu. Kenapa lo memilih Romi?" Yudi menyeringai memandangku. "Mungkin lo lebih baik jadian sama si Rio, dari pada lo sama Romi enggak jelas."
Aku terdiam, terus terang aku bingung. Mata ini memandang kedua tangan di atas meja. "Cinta itu absurb, ya, mungkin kamu benar Yud. Mungkin sebaiknya aku beri kesempatan Rio untuk membuktikan keseriusannya."
"Bagus itu, umur bukan masalah. Gue pernah nonton film ceritanya ada cowok mencintai cewek yang umurnya dua puluh tahun lebih tua dan kisah cinta mereka ya happy ending saja tuh."
Kubangkit lalu perlahan berjalan keluar. "Tapi sayangnya, cinta di dunia nyata berbeda dengan cinta karangan sutradara, Yud."
***