Romi, Surabaya, 2011
Bibirku terus tersenyum ketika mengunggah kembali kenangan kala itu, aku tak habis pikir kenapa diriku bisa sekeji itu kepada Ririn. Sedang asik-asiknya mengenang masa lalu, seorang pemuda datang mengganggu. Pemuda itu datang mengumpulkan lukisan yang dia buat, dengan santai tanganku menerima lukisan Rio, namun sontak terbelakak melihat lukisan Rio.
"Rio," kataku. "Ini kamu yang lukis? kamu melukis bu Ririn?"
"Iya pak," jawab Rio, terlihat bangga. "Saya yang melukis dan benar itu adalah bu Ririn. Kenapa memangnya? ada yang salah? enggak boleh?"
Brengsek! Pemuda sialan ini kenapa berani-beraninya melukis Ririn? ah, mana lukisannya bagus pula. Lalu kenapa aku menjadi marah? tenang Rom, dia itu murid, kamu guru, toh ini hanya lukisan. "Uhm, enggak apa-apa sih."
Mata kuterpana pada lukisannya, entah mengapa hati bagai di panggang. Namun kuberusaha menjaga ke profesionalitasan sebagai seorang guru dengan tetap bersikap selayaknya guru pada muridnya.
Kumengelus dagu. "Masalahnya begini, kamu sudah ijin sama bu Ririn jika kamu menjadikannya model lukisanmu belum?"
"Belum pak, namun bagaimana menurut bapak? baguskan lukisan saya, seperti aslinyakan?"
Tak sadar kumeremas kanvas, "Bagus sih, tapi jika bu Ririn tidak tau kamu melukis dirinya, itu namanya tanpa ijin, apa dia enggak marah nanti? Sebagus apapun hasil lukisanmu, jika yang menjadi modelnya enggak mengijinkan kamu melukis dirinya, maka nilaimu bapak kurangi satu." dengan kasar kuberi paraf dan nilai dilukisan Rio, hampir merobek lukisan itu dengan bullpoin-ku.
"Santai saja pak, aku akan memberitaukan bu Ririn sepulang sekolah jika aku menjadikannya model lukisanku." Mengambil lukisannya. "Saya akan berikan lukisan ini untuk bu Ririn sebagai bukti cinta saya kepadanya, sebelum kami nonton bioskop berdua nanti sepulang sekolah."
Mataku tak kuasa bertahan pada ukuran normal, tiba-tiba membesar sebesar bola golf. "No...nonton bareng, bioskop, bu...bukti cinta? Kalian mau menghabiskan malam minggu berdua saja?"
Rio mengangguk. "Iya pak, aku dan bu Ririn berencana akan nonton bioskop. Kan hari ini hari sabtu dan kami hendak menghabiskan malam mingguan bersama. Lagian, bu Ririn juga setuju kok aku ajak nonton bioskop. Dia single dan aku juga single, jadi enggak ada masalah, ya kan pak?"
"Tentu saja ada masalah! Kamu sadar, berapa usiamu sekarang, kamu sadar posisimu sebagai murid disini? Kamu sadar jika bu Ririn itu gurumu sendiri?" Membesar nadaku. "Apa yang kamu pikirkan? apa tujuanmu?"
"Saya hanya memikirkan kebahagiaan untuk bu Ririn, membahagiakan wanita yang saya sayangi. Saya sayang, suka kepadanya, cinta kepadanya dan cinta adalah sesuatu yang suci, benarkan pak?"
"Ka...kamu, kamu sadar apa artinya cinta, sayang, suka itu?" Dancok. Ku elus dadaku. Yatuhan, kasih kuat diri ini. "Maksutku nak, kamu ini masih kecil, masih muda. Banyak gadis muda yang seumuran denganmu di luar sana yang dapat kamu pacari, jangan main – main dengan cinta!"
Rio menggeleng. "Pak, saya tak main-main dengan cinta. Bukankah cinta itu tak mengenal usia?" Rio tersenyum lalu membalikan badannya, berjalan perlahan menuju bangkunya.
Setelah kembali duduk, kudapati Rio tersenyum sinis memandang puas ke arahku, seorang guru yang mungkin juga dia jadikan sebagai saingan dalam mendapatkan Ririn. Merasa di atas angin dia menggulung kertas kanvasnya dan memasukannya ke dalam tas ransel miliknya. sengaja membesarkan volume suara. "Ah, pasti nanti bu Ririn akan mengerti jika aku tidak main-main dengan perasaanku ini padanya."
Aku yang memproklamirkan diri sebagai Mc Gyver, pandai bersilat lidah, dibuat tak berkutik oleh seorang pemuda bau kencur yang umurnya masih seumur jagung.
Nafas ini tak beraturan, terasa berat, aku sendiri bingung kenapa menjadi seperti ini. Rasa sakit hatiku nyata, rasa yang pernah kualami dulu. Rasa yang tak akan pernah bisa dilupakan, sesuatu yang berusaha untuk kupendam dalam-dalam akhirnya kembali kepermukaan.
Kau tau apa yang sangat menyakitkan hati? Sesuatu yang membuatmu bahagia di pagi hari namun membunuhmu di sore hari. Itulah yang terjadi kala itu.
**
Kenangan Romi, Surabaya, 2001
Kala itu aku ingat sangat bahagia bagai anak kecil yang hendak pergi ke taman safari, tak sabar untuk sampai ke rumah Anggi. Walau jaraknya cukup jauh dari sekolah, aku tak peduli, Karena kuingin segera memberikan hasil maha karya yang baru tercipta.
Tuhan kala itu sudah memberi pertanda, seperti hendak mencegahku untuk tidak datang menemui Anggi. Kala itu jalanan macet total, membuatku menghabiskan waktu lama dalam bus yang panas, pengap, penuh sesak. Aku terpaksa berhimpitan, membuat tangan kotor terkena debu juga kotoran yang menempel pada telapak tangan saat memegang pengangga tubuh. Bisingnya suara bus dan gerakan bus yang tak teratur ditambah aroma tak sedap khas bus kota, membuat mual ingin muntah.
Akhirnya setelahturun dari bus, kubisa menghirup udara segar, walau tak sesegar seperti udara di daerah Batu Malang, namun lebih segar dari udara dalam bus. Kurenggangkan badan berjalan lunglai masuk gang sepi menuju rumah Anggi. Kubertahan berusaha tetap kuat membayangkan wajah bahagia Anggi ketika mendapatkan hadiah ini. Dengan kasih sayang kupeluk tas berisikan kanvas, bagai memeluk bayi menjaga kanvas agar tak rusak.
Duh, kenapa kok senyumannya terbayang selalu sih. Ah, Anggi kumanis yang kusayang, Anggiku cantik penguasa hati, bidadari tak bersayap yang kutemui tak sengaja, mungkin dia dikirim Tuhan untuk menemaniku.
Dadaku bergetar hebat, berbunyi kencang. Wajah juga terlihat sumringah dari pantulan kaca rumah yang kulalui kala itu. Pandanganku menuju depan memandang jalanan bersemen, memandu kaki ini melangkah riang seperti kancil hendak menuju telaga air di musim panas. Kuikuti jalan berbelok memasuki sebuah gang lain, sebuah gang yang memanjang sampai di depan rumah Anggi, gang yang becek, namun tak ada sampah yang berserakan. Suara keramaian jalan raya sayup-sayup mulai menghilang, seiring langkahku mendekati rumah Anggi, tergantikan oleh suara nafas yang tak beraturan. Kuingat saat itu perut ini seperti di kocok dengan kocokan telur.
Tuhan bagai ingin memberikan isyarat bagiku kala itu. Angin berhembus kencang kearahku hingga dapat kudengar suara pepohonan dengan dedaunan bergoyang hebat. Angin seperti mendorongku untuk menjauh, tak mengijinkanku melanjutkan langkah. Mataku di invasi debu, membuat menyipit juga memaksa tangan menutup aliran angin. Ada apa ini, angin aneh ini kenapa berhembus kencang ke arahku?
Namun seorang manusia tak akan kalah oleh angin, kaki ini perlahan menentang angin melakukan pemberontakan terorganisir, melangkah perlahan namun pasti. Akhirnya semakin dekat dengan rumah Anggi dan angin nampak menyerah, berhenti mengusikku.
Angin hilang malah kaki yang mulai membatu ketika mata melihat sebuah motor Honda CB biru yang seringku lihat di sekolah, sekarang terparkir di depan rumah Anggi. Kukerutkan wajah dan alis ujung dalam tertarik kebawah, melanjutkan langkah perlahan mendekati rumah itu. Kudapat melihat Anggi, namun gadis itu tak sendiri di teras rumahnya.
Bagai James Bond melihat musuhnya, langsung bersembunyi bagai seorang mata-mata dalam misi pengintaian. Kumelihat seorang pemuda gagah duduk di teras rumah itu, telinga ini tajam seperti vulcan, mendengar percakapan mereka dan juga mata setajam mata elang, dapat melihat apa yang mereka lakukan, bibir ini membisu tak terucap satu lafaspun. Namun mereka tak mengetahui keberadaan diriku yang bagai bayangan senja. Siapa dia? kenapa mereka sepertinya begitu dekat? Saudaranya Anggi kah?
Pria bertubuh kekar itu bergeser, duduk mendekati Anggi. Pria itu tak malu memegang tangan Anggi, dia berucap mesra, "Anggi sayang, selamat ulang tahun ya." sembari mencium pipi Anggi.
Cium? Pipi? Pria itu mencium pipi Anggiku!
Kala itu sebuah petir menyambar tepat di hati ini, memporak-porandakan jiwa ragaku. Sekujur badan ini mendadak kaku, tubuh ini bergtear hebat, udara begitu dingin namun aku malah bermandikan keringat dingin. Mulut ini menganga lebar bagai terowongan kereta api, tanpa kusadari air mata mengalir membasahi pipi. Mata ini tak henti melotot, tak berkedip dengan bola membesar terus mengawasi kedua setan di teras rumah dengan seksama.
Tampar dia Nggi, usir dia dari kediamanmu!
Anggi tak bisa mendengar jeritan hatiku, nampaknya memang hati kami tak ditakdirkan menyatu. Anggi memandang sang pria, tak marah atau menampar, malah wajah Anggi memerah. "Makasih ya sayang," ucapnya, tak berkedip mengelus pipi pria itu, menarik leher si pria, membuat wajah pria itu semakin dekat dengan wajahnya.
Kupegang dadaku yang mendadak terasa sangat sesak. Kala itu aku sangat naik darah dan lunglai. Aku merasa seperti seekor keledai dungu yang membawa lukisan untuk gadis yang kusukai gadis yang diri ini cintai. Namun sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan, bukanlah cinta yang kuimpikan atau dambakan selama ini. Namun kala itu aku masih penasaran tak meninggalkan tempat kuberdiri, malah semakin fokus memandang si setan dan peliharaannya yang tak kuketahui namanya. Tatapan ini membara bagai api yang sengaja disiram minyak.
Anggi menyipitkan mata, senyuman manis yang kuimpikan terlihat jelas. Namun bukan untuk diriku, melainkan untuk pria lain.
Pria itu tersenyum mengecup bibir Anggi, lama dia mengecup hampir tiga menit. "Lagi ya, Nggi."
Anggi mengangguk. "Iya mas... aku cinta kamu, mas."
Pria itu tersenyum puas. Tangan kanan pria itu mengelus kepala belakang Anggi dan mereka kembali berciuman dengan mesra. Dunia bagai milik mereka berdua, alam semesta bagai panggung mereka, sementara aku hanya seonggok daging pelapis kulit yang berduka.
Kala itu aku benar-benar terpukul dengan apa yang kulihat. Seorang gadis yang kuanggap polos ternyata sudah dimiliki oleh pria lain, ternyata tak sepolos yang kukira. Aku sangat kesal, kurobek lukisan di tangan, sebuah lukisan mahakarya itu kubuang di depan pagar rumah Anggi.
Setan! ternyata dia itu setan yang tega menghancurkan hatiku! sial! ... Kenapa semua ini terjadi padaku? apa ini karma karena selalu bertindak seenaknya sendiri?
Kala itu nafsu hidupku lenyap, terbayang bagaimana diriku ingin mengakhiri hidup. Mungkin terjun ke selat madura akan seru, tenggelam di sana berenang dalam tumpahan minyak kapal. Mungkin berdiri di tengah jalan menanti pengendara malang untuk menabraku. Mungkin lebih baik kuteguk racun tikus, mencicipi rasa detik-detik terakhir tikus yang malang atau pisau juga pilihan lain selain tali jemuran untuk penghias leher. Namun bayangan ibu dan ayah datang, bayangan teman-teman datang, bayangan seorang gadis datang, gadis yang kuliciki dan kutipu, Ririn. Urung semua niatan itu, setidaknya aku harus tetap hidup sampai Tuhan berkata lain.
Lunglai terseok kaki ini melangkah lemas, tak bersemangat. Pikiran yang biasa penuh akan semua hal dunia mendadak kosong, pandangan yang biasa menyiratkan sebuah cerita dunia menjadi hampa, hati yang biasa menjadi tempat konser dangdut juga tempat bermain burung-burung kecil hancur. Kududuk di sebuah pos ronda tak jauh dari rumah Anggi. Tak sadar air mata semakin deras menetes, namun tak bersuara, tak terdengar hisak tangis, bukti kesedihan jujur tanpa ujung.
Kala itu kubersender pada sebuah bongkahan tiang bambu memandang langit mulai gelap. Awan berkumpul bertarung hebat di atas sana menimbulkan gemuruh hebat. Awan di langit kelam bagai kelamnya hatiku, terbayang senyuman indah yang dulu kupuji dan menjadi madu, kini terasa sakit dan pahit bagai racun. Terniang suaranya dulu saat bernyanyi melafaskan suara kasih, sekarang terasa bagai suara hujatan, bagai tusukan pedang.
Ditengah hiruk pikuk gemuruh langit dan hati, terbesit wajah seseorang yang selalu ada untukku, namun dengan kasar tanpa hati kusakiti. Saat itu kutermenung mendengarkan suara batin. Ririn, apa mungkin karena aku selalu bersikap jahat kepadanya hingga Tuhan menyentilku dengan semua ini? ya, jika ingatan tak menipu, kudulu pernah mendengar pertanyaan Yudi kepadanya tentang isi hatinya,tentang rasa dirinya padaku namun tak terjawab. Apa mungkin sakitnya Ririn sesakit yang kurasakan saat ini? kurasa lebih ... pasti lebih sakit dari hatiku ... .
**
Romi, Surabaya, 2011
Kenangan itu membuat air mata tak sadar menetes, kumasih berpejam mata meratapi perasaan yang terluka. Membayangkan bagaimana Rio akan menjamah hati Ririn membuat luka di hati setelah mengenang masa itu bagai di siram cuka, sakit berkombinasi perih yang teramat.
Ada apa denganku. Memegang dada ini. Hati ini, serasa di sayat silet tajam tak bertuan. Ya Tuhan apa yang harus kulakukan sekarang.
"Pak, kok tidur sih?" Sentuhan hangat terasa di pundakku, "Pak, bangun pak masih jam ngajar oi." suara lembut itu menyadarkanku dari segala hal yang berkecamuk di hati juga pikiran.
Terlihat sesosok gadis muda tersenyum manis, Ririn? Bukan, dia bukan Ririn. Terlalu muda untuk menjadi Ririn. Mata ini terbuka lebar berkombinasi dengan senyuman di bibir. Kusilangkan kedua tangan di depan dada, masih tak sadar diriku jika air mata mengalir bebas melintasi pipi.
"Bapak nangsi?"
Nangis? ah sial. Kuusap air mata di pipi. "Bukan, ini bunga kantuk bukan tangisan. Ada apa Nit?"
Wajah oval itu terlihat bingung, namun dia tak terlalu memusingkan kenapa diriku menangis, segera Nita menyerahkan lukisannya, sebuah lukisan yang kembali membuat kukaget. "Ini lukisanmu?" ujarku. "kok wajahnya mirip dengan wajah si sialan Rio? eh anu, maksutku wajah si Rio sih?"
Nita mengangguk malu. "Memang itu wajahnya Rio pak. Aku sudah minta ijin ke dia kok. Rio sendiri setuju untuk kugunakan sebagai model dalam lukisanku."
Sebuah lukisan nyaris sempurna, andai wajah si brengsek tak ada di lukisan ini. Segera kugoyangkan bullpoinku memparaf dan memberi nilai untuk lukisan itu, sebuah nilai hampir sempurna. "Bagus sekali lukisanmu, kamu ada bakat menjadi pelukis."
Kembali mata ini memandang wajah Rio yang semakin meyebalkan. Entah mengapa kucemburu pada pemuda itu. Sekarang diri ini, jiwa ini menjadi tak menyukai murid itu sama sekali.
Apapun yang terjadi, waktu tetap berjalan maju. Jam pelajaran berlanjut, jam kesenian masih berlanjut. Pikiran dan hati terus saja memikirkan apa yang akan terjadi dengan kedua manusia itu saat menonton film di bioskop nanti. Yang pasti pemuda itu akan mulai beraksi, mengeluarkan kemampuan anak muda jaman sekarang.
***