Romi, Surabaya, 2011.
Waktu adalah sesuatu yang tak bisa berhenti, terus maju tanpa pernah mau mundur. Tak terasa sudah hampir seminggu berlalu semenjak diriku mengemis nomor telepon Anggi kepada Ririn. Aku yang biasanya tak pernah lepas dari Ririn sekarang malah tak bisa mendekatnya sama sekali. Entah mengapa Ririn sangat susah untuk kutemui, seperti menghindar ketika melihat diriku.
Seperti hari ini, hari sabtu yang cerah. Gadis itu bagai tupai bergerak cepat menghindariku. Ketika kumelangkah masuk ke ruang guru, Ririn pergi ke kantin, Ketika kaki ini melangkah menuju kantin, Ririn pergi ke perpustakaan, sampai membuat pola yang teratur dan terbaca oleh beberapa murid yang mau tak mau ikut memperhatikan tingkah guru mereka.
Aku selalu gagal meminta nomor telepon Anggi bukan karena kemampuan bersilat lidahku hilang atau Mc Gyver ini menjadi tua sehingga tak sanggup menyusun untaian kalimat rayu, namun mulutku tak sempat merangkai kata, mataku hanya melihat klibatan tubuh mungil itu sebelum menghilang bagai angin.
Waktu memang tak lelah berjalan maju, pagi hampir menjelang siang dan diriku tengah duduk santai di kelas. Tercium aroma cat air yang sangat menyengat hidung juga terdengar suara candaan dan obrolan dari murid-murd dalam kelas, membuat telingaku gatal. Walau kelas sudah tak kondusif, namun kutak begitu memikirkannya. Bagiku yang penting para murid tak keluar kelas dan mengerjakan tugas dengan baik.
Bagai droid pengintai, mata mengawasi seisi kelas yang telah kusulap tampilannya. Semua meja dalam kelas sudah mepet dinding, sementara di tengah kelas puluhan easel berdiri berjejer teratur menggantikan meja. Murid-murid antusias melukis, tangan mereka tak henti bergerak bahagia menari pada kanvas putih berdansa dengan kuas, membuat kumenarik ujung bibir ke arah telinga mengangguk bangga.
Kembali kupandang AC namun bukan karena merasa gerah melainkan hembusannya terlalu menusuk kulit, bagai hembusan angin kutub selatan, sangat dingin hingga membuat sum-sum beku dan kulit telapak tangan mengkerut. Kubukan pria tanpa aksi, Ingin segera mengatur tingkat dingin dalam kelas, namun tak bisa kutemukan remotenya, entah main ke mana remote itu sekarang. Sebenarnya tak baik melukis diruang tertutup, apalagi ber-AC. Membuat cat air cepat kering, namun apa boleh buat. Murid-murid meminta dan tentunya itu juga alasan remote tak bisa kutemui, mereka sengaja menyembunyikannya. Jika pintu kubuka, aku takut akan mengganggu ketentraman kelas lain dan akhirnya aku juga yang ditegur guru lain.
Sedang asik-asiknya melamun, tiba-tiba bergidik diriku melihat sepasang mata memandang tajam bagai hendak mencabik-cabik raga. Pandangan seorang murid yang tak pantas ditujukan pada gurunya, pandangan mencela penuh permusuhan terpancar dari mata Rio, Bodo amat, memang aku pikirin. Dia mau memandang bagaimanapun juga, aku guru di sini. Jika kuladeni bisa-bisa aku masuk TV menjadi terduga penganiayaan murid. kutersenyum membuka buku, Ya, dia hanyalah seonggok daging yang terawat berisikan cairan merah, tengah memasuki masa-masa puber, membuat bukan hanya mental namun juga otaknya mungkin tak stabil. namun tangan ini gregetan hendak menabok wajah yang memang tak diragukan tampan itu.
Jengah mata membaca buku yang sudah dibaca berulang kali. Seperti kucing mencari ikan, kukembali menyisiri seisi kelas hingga pandanganku terhenti pada gerombolan pemuda gaul yang dulu kupergoki merokok di belakang sekolah.
Mereka adalah sumber kegaduhan di kelas, dari pada terus menjadi objek pandangan si sial Rio, kuputuskan untuk mendekati gerombolan Riki. Terlihat mereka tak takut ketika kakiku melangkah mendekat, malah membuat mereka tersenyum menyapa dengan hangat penuh persahabatan.
Kuelus rambut Riki, terasa lengket oleh gell, "Gimana Rik, sudah selesai belum tugasmu?" menunduk melihat easel Riki.
"Sudah dong, Riki gituloh." Memperlihatkan lukisan seekor monyet bertubuh manusia. "Bagaimana pak, mantab enggak lukisanku? sangat artistik-kan karyaku?"
Bibirku sontak tersenyum mengangguk mengamati lukisan itu. "Kamu kok bisa melukis seperti ini? badannya manusia kok kepalanya bisa jadi monyet? tugasmu melukis objek yang real kan? bukan objek fantasi seperti ini?"
"Itu real kok, aku pakai foto si Nita tuh, terus kepalanya aku ganti sama kepala monyet dari foto majalah hewan, lebih cocok menurutku. Kan keduanya real, real ditambah real jadi real kan pak?"
Jawabannya membuatku terkekeh, bergeleng kepala. Kid jaman now pintar bersilat lidah.
"Heh!" bentak Nita. "Mulutmu dijaga dong, sudah mengambil foto orang enggak ijin, sekarang buat mainan pula!"
Bibir Riki naik sebelah. "Dih, siapa yang membuat jadi mainan. Kan aku buat menjadi sebuah maha karya, harusnya kamu berterima kasih kepadaku, bukannya malah nyolot gitu. Enggak semua orang bisa jadi model untuk lukisanku, faham?"
Ya tuhan, debat dua kids jaman now seperti debat kusir kuda. Segera kumelerai. "Kalian berdua enggak usah bertengkar. Rik, ini nilainya aku kurangin satu ya."
RAsa kecewa terlihat dari wajah kotak Riki. "Lah, kok gitu sih? kan saya melukis sesuai aturan yang bapak berikan, harusnya dapat nilai lebih ini, kan orisinil!"
Nita tersenyum puas. "Kasih nila nol saja pak! biar kapok tuh!"
"Apa? nol? ya lukisanmu itu yang di kasih nol! lukisanku bagai karya Leonardo Da Vinci kok!"
"Sudah enggak usah bertengkar," potongku. "Lukisanmu bagus dan orisinil, tapi kamu menggunakan foto Nita tanpa ijin darinya. Sudah ya, jangan bertengkar lagi atau bapak kasih nol kalian berdua."
Kaki ini melangkah kembali ke singgahsanaku, bibirku tersenyum mengingat masa lalu. Tubuh berbeda dengan wajah, ya seperti itulah lukisanku dulu.
**
Kenangan Romi, Surabaya, 2001
Hari itu lonceng berbunyi lebih awal, kuseorang diri pergi ke kelas XI-IPA yang telah kosong. Dengan tenaga kerbau seorang diri berusaha mendorong semua meja dan kursi mepet ke tembok, menyulap kelas kala itu menjadi sebuah studio lukis kecil dengan sebuah easel terpajang di tengah kelas menghadap ke sebuah kursi untuk calon model lukis duduk kelak. Aku membasuh keringat dengan lengan baju, walau jantung terasa berat namun bibir ini tersenyum puas.
Kubergerak kencang membuat tubuh menerobos angin, bergegas mencari Ririn, Dia pasti berlatih paduan suara di lapangan. semakin dekat lapangan semakin kecewa diriku. Ternyata lapangan sudah sepi, tak mau membuang waktu, segera kumelangkah bagai pelari marathon menyusuri koridor sepi, hanya terlihat satu dua murid kala itu. Suara decitan sepatu terdengar nyaring, akhirny kumelihat Ririn dari kejauhan. Kakiku bagai dinamo bergerak cepat dan berhasil berjalan beriringan dengannya.
"Rhin," tegurku, dengan nafas terengah. "Thunggu dulhu dhong."
Ririn tak berhenti namun menoleh. "Hmm? Kok kau engos – engosan? Ada apa?"
Fisik kumemang lemah, berlari tak ada seratus meter sudah berat nafasku. Bahkan terdengar suara jantung berdetak kencang. "Rhin bhantu akhu melhukis dhong."
Kening Ririn mengkerut, dan alis ujung dalamnya menurun. "Hah, melukis? melukis apa? kau taukan aku enggak bisa melukis."
"Kamu memang enggak bisa melukis, tapi kamu bisa membantuku untuk jadi model lukisan. Please, aku enggak bisa melukis tubuh manusia tanpa ada model. Kamu kan temanku yang paling baik hati, suka menolong."
Mata Ririn berputar. "Kalau ada maunya saja kau langsung jadi baik. Tapi aku bukannya enggak mau, tapi maaf aku memang enggak bisa jadi modelmu sekarang. Aku mau les di tempat bimbingan belajar, kalau mau besok saja aku usahakan untuk jadi modelmu, bagaimana?"
Di hari normal pasti mau menunggu namun ini adalah hari spesial, kutak bisa menunggu bukan tak mau menunggu. Jangan panggil Mc Gyver jika tak bisa membuatnya menuruti keinginan ini.
Dengan sudut bibir tertarik ke bawah mata ini memandang sayu dirinya. "Rin, kamu itu seorang gadis manis tanpa topeng. Dibalik wajah jutek itu hatimu lembut, tak mungkin tega membiarkan sahabat tersiksa. ... Entah jadi apa aku tanpamu, bagai ikan tanpa insang, bagai bumi tanpa Matahari ... ."
Jalan Ririn melambat. "Kan kau bisa minta bidadari surga untuk membantumu, jadikan dia sebagai model lukisanmu. Dia lebih cantik dari aku, lebih manis dan yang pasti lebih kau sukai dari aku kan?"
Ngomong apa sih si ikan cupang ini? "Bidadari surga? bidadari surga yang mana sih, aku enggak faham deh."
Ririn memutar badan memandangku sembari berjalan mundur, "Ya siapa lagi kalau bukan nyonya Anggi yang terhormat, dia kan bidadari surga dimatamu Bidadari idamanmu yang kau puja dan sembah, bidadari yang kau impikan dan selalu kau bangga-banggakan." langsung memaliingkan wajahnya.
Ada apa dengannya? Kenapa dia seperti tak suka kepada Anggi? Kenapa dia marah?
"Minta dia saja," gerutu Ririn. "pasti dia mau banget kalau kau jadikan model untuk lukisanmu."
Bukan hanya fisik namun jiwaku letih menghadapi Ririn yang tak mau menurut. Kakiku sampai terseok hanya untuk mengimbangi langkah kakinya yang cepat dan lebar. Namun kuberusaha tetap sabar, karena aku butuh dia saat ini.
Kembali kutarik tangannya menghentikan jalannya. "Enggak, enggak mungkin aku minta dia untuk jadi model lukisanku, please. Kita sudah kenal dari kecil, masa kamu enggak mau membantuku sih."
"Kenapa harus aku, banyakkan temanmu yang lain? Minta si kentung saja, dia pasti bisa, habis pulang sekolah dia nganggur di rumah."
Terpaksa. "Tapi, cuma kamu yang cocok untuk lukisanku. ... Hanya kamu gadis yang pas untuk mahakaryaku ... Aku butuh kamu, aku minta tolong sebagai seorang sahabat."
"Cuma aku yang cocok untuk kau lukis? Kenapa kau mau aku menjadi modelmu? ayo jawab jujur."
Ucapanku kala itu membuat nada bicara Ririn tinggi dan terdengar marah, namun juga membuatnya tersenyum. ... Wanita memang aneh. Tak jelas. Sulit dimengerti ... .
Kutersenyum semanis yang kubisa. "Karena kamu adalah sahabatku yang spesial."
Smart Ass. "Yasudah, kau siapkan gih tempatnya. Aku mau memberitau kakaku jika ada kegiatan tambahan di sekolah dan ijin enggak masuk les dulu untuk hari ini."
Bagai mendapat sebuah mobil sport, hati mendadak berbunga-bunga bahagia tak karuan. Kepala ini terasa ringan sekarang, semua capek dan letih hilang entah ke mana.
Alisku tertarik ke atas dengan mata sipit dan senyumn manis di bibir ini. "Makasih banyak, kamu memang malaikatku yang paling baik, sahabat sejati yang benar-benar baik! kutunggu di kelas IPA"
Saat itu diriku seperti berada di surga. Hanya dengan membayangkan maha karyaku jika telah usai kelak membuatku penuh semangat, mempersiapkan kanvas, menyampur cat air dengan air.
Tak sadar kala itu jika sepasang mata harimau memandang tajam diriku. "Ee, Romi! Kamu mau buat acara apa di kelas ini? kok bangku sama meja kamu pepetkan tembok semua? kamu tau kan ini sudah jam pulang sekolah?"
Hampir kumeloncat kaget melihat Yuni sudah berada di depan pintu kelas, memandang kesal. Bingung menjawab apa, kuputuskan untuk berlagak bodoh dengan menggaruk kepala memandang Yuni. "Ini bu, saya mau latihan melukis. Biar saya jago melukis kelak dan menjadi seniman hebat atau setidaknya menjadi guru kesenian yang jago melukis."
"Latihan? Yasudah kalau gitu enggak apa - apa, tapi ingat, jangan membuat kotor dan itu meja sama kursi tolong dirapikan lagi kalau sudah selesai. Ee, sama rambutmu itu loh, harus berapa kali ibu bilang, dipotong!"
Mata ini terpejam sembari tangan mengelus dada ketika Yuni pergi.
Ini bukan pertama kali kumelukis, namun ini pertama kali kala itu kumelukis makhluk hidup. Gugup, berdebar, juga senang ingin segera melukis, saking senangnya diriku jadi sedikit mual, seperti habis naik roller coaster ingin muntah. Tangan juga basah oleh keringat, namun tubuh dingin bagai es. Sekarang kutau, mungkin seperti itu perasaan pelamar kerja yang akan tes wawancara.
Semangat Rom! semangat, semangat, semangat! kembaliku mengecek semuanya, dari perlengkapan hingga kenyaman tempat duduk untuk si model duduk.
Kudengar suara langkah kaki berat menekat, mulai tercium bau keringat yang kukenal siapa pemiliknya, hanya satu orang pemiliki bau khas seperti ini. Bau keringat seperti campuran sate dan tai ayam.
"Woei," tegur Yudi. "semangat sekali lo?" Masuk kelas membawa bungkus chiki.
Aku menyipitkan mataku. "Lah, kamu kok ke sini? enggak pulang?"
Yudi duduk kursi mepet dinding. "Kenapa memangnya, enggak boleh apa gue main-main dulu ke sini? Lagian gue kan juga mau lihat lo melukis Ririn."
Ririn berdiri didepan pintu kelas, matanya terbelalak, alisnya terangkat naik dengan mulut menganga melihat isi kelas berubah rupa. "Ya ampun Romi, kau mau ngapain? kok kelas dirombak seperti ini?"
"Kan mau melukis gadis tercantik di kelas."
Wajah Ririn memerah, dia pasti malu dan disaat yang sama bahagia mendengar pujianku, sebuah pujian dari lubuk hati yang paling dalam.
Tanpa aba-aba, Ririn duduk di kursi tengah kelas yang sudah kupersiapkan sebelumnya.
Tersenyum kumengaduk cat di palet, kuas di tangan segera berdansa bermandi warna. "Rin, makasih banyak kamu sudah mau menjadi model lukisanku."
"Iya santai saja, yang bagus loh ya melukisnya!"
Lama tanganku menari. Tak sadar waktu silih berganti. Bagai jack melukis Rose di film Titanic yang kukagumi. Sungguh nikmat melukis sahabat sejati. Kanvas putih mulai berwarna-warni. Berpadu membentuk karya seni.
Tangan berdansa, asik berkarya, pikiran tersita, kupandang dia, dengan seksama. Tak terasa hati ikut berdansa, entah mengapa hati berbunga-bunga, berdebar tak terkontrol karena memandangnya.
Aku melihat dengan jelas senyumannya, diri kudapat merasakan kebahagiannya, entah aku harus bersikap bagaimana, terus terang ini adalah yang pertama, kumelihat sebuah senyuman yang berbeda.
Terbesit sesalku melakukan hal ini, pasti ada yang sakit hati, namun udang sudah menjadi trasi, tak mungkin diri ini kembali, hanya bisa kuatkan mental ini, bersiap untuk bersikap tak peduli, menerima apapun yang akan terjadi, bagai seorang pria sejati.
Matahari turun dari langit biru. Tetesan keringat kumembasahi baju, namunku tetap fokus melukis mahakaryaku, membuat karya indah dengan kemampuanku.
Ririn terlihat bosan menunggu tak bergerak. "Udah selesai belum?"
Kumengangguk. "Sudah selesai kok."
Ririn dan Yudi menuju tempatku berdiri, memandang kanvas ini. Namun, Ririn sangat marah karena lukisan ini tak sesuai expectation-nya.
Yudi cekikikan memandang kanvas di easel. "Wah ngawur lo, tapi keren juga sih, bagus bener deh. Wajahnya cantik banget, sesuai sama yang asli."
Aku tak peduli ucapan Yudi, bulu kudu ini berdiri, jantung ini berdebar, agak merinding melihat urat mulai keluar dari kening dan leher Ririn.
Wajah gadis itu mulai memerah, nafasnya tak teratur. "Apa-apaan kau ini? kenapa wajahku berubah jadi wajahnya Anggi sih?"
Ririn menepuk kencang kepalaku berulang-ulang. "Kau sengaja ya, dasar brengsek, sudah capek-capek aku duduk tak bergerak, bahkan tak ikut les sore ini cuma demi untuk menolong kau dan ini yang kuterima? ini yang kau beri untuku?"
Diri kuberusaha menenangkan Ririn, menjelaskan semuanya dengan kepala dingin, "Uhm gini, hari ini dia ulang tahun jadi aku sengaja melukis dirinya. Aku sebenarnya mau membuat suprise untuk Anggi." kumenggenggam kedua pundak Ririn. "Tapi, aku enggak mungkin menggunakan Anggi sebagi modelku untuk hadiah suprise ulang tahunnya sendiri. Jadi aku butuh model untuk melukis badan Anggi. Duma kamu teman cewekku selain Anggi yang memiliki lekuk tubuh sempurna!"
Ririn terkulai lemas, dia kala itu berhenti berdebat dan memilih bungkam. Kulihat dia berjalan sempoyongan dan duduk di sudut ruangan. Dia jengah memandang, nampak kesal, seperti ingin memakanku hidup-hidup.
Apa yang kuinginkan sudah di tangan, segera diri ini merapikan peralatan. Kala itu diri ini sangat bahagia karena berhasil melukis Anggi. "Makasih ya Rin, mohon doanya ya teman-temanku, semoga Anggi suka dengan lukisanku ini, dan tolong rapikan kelas ini."
Aku berlari kencang tak sabar ingin menunjukan mahakarya ini untuk gadis yang menjadi bidadari hati kala itu.
***