Ririn, Surabaya, 2011.
Kuawasi Romi pergi tanpa ucap. Apa mungkin karena ucapanku keterlaluan? meminta es cream kepadanya?
"Ee Rin," tegur Yudi, menepuk pundakku. "Si cungkring mau ke mana tuh?"
Bingung memang, Romi pergi tak pamit. "Entah, mau beli makan kali."
"Mungkin dia ngambek lo pajakin beli es cream."
"Ya memang dia dulu janji, sudah lebih sepuluh tahun masih saja enggak ditepati! malah sok membelikan cewek lain es cream."
"Rin, ternyata lo masih inget sama kejadian es cream itu ya, Rin?"
"Begitulah Yud. Kejadian itu merubah segalanya." Ya, pada saat itu aku mulai menyadari isi hatiku.
"Rin, gue kasih saran. Lo mending buruan gih jujur sama perasaan lo, gue yakin tuh si kupret juga aslinya cinta sama lo." Bangkit dari duduk. "Gue beli teh anget dulu, lo di sini aja jangan kabur!"
Kuhela nafas termenung memainkan telapak tangan, memikirkan apa yang dikatakan Yudi, Apa benar hatiku menyukai Romi? aku takut jika hatiku mencoba menyesatkan diriku dengan sesuatu yang tak sesuai dengan kenyataan. "Cinta ya..." gumam bibir ini tersenyum.
Hatiku bersabdah, tak terucap mulut namun diri ini dapat mengerti. Kututup mata bersangga pada tangan merenung. ... Cinta berbeda dengan rasa sayang, jika cinta tak abadi maka sayang ini abadi ... . Cinta akan hilang seiring waktu, usia, juga seiring bergantinya sifat. Namun sayang adalah sesuatu yang abadi. Sekali sayang walau lekang waktu, bertambah tua, hilangnya wajah atau tubuh muda atau sikap orang yang di sayangi berubah sekalipun akan selalu sayang. Oh Tuhan, apa aku cinta atau sayang pada Romi, atau mungkin sangat sayang dan cinta padanya?
Saat membuka mata, kulangsung terbelalak. Di atas meja sebuah es cream yang sangat kuidam-idamkan sudah tersaji. Bentuk wadahnya sudah berubah, namun nama dan ukuran tetap sama dan kuharap rasanyapun sama. Tanpa pikir panjang langsung kusambar es itu. Tanganku bekerja sama dengan mulut melahap cepat es membuat otak bagai diterpa salju.
Bibirku serasa mengkerut, namun tak kuasa diam. Kupegang kedua pipiku memejamkan mata dengan kedua ujung bibir tertarik keatas. "Hmmmm! memang rasa ini tak pernah berubah, masih tetap mak nyuss!"
"Makannya pelan-pelan saja," kata Romi. "Nikmati setiap gigitannya di mulut. Harganya sekarang gila-gilaan tuh es cream. Sekarang sebungkus sudah dua puluh lima ribu rupiah, naiknya banyak sekali."
"Tapi kau ikhlaskan beli es cream buatku?" ujarku, sembari mengayun kaki yang bergelantungan bebas bagai anak kecil.
"Enggak ikhlas sih, tapi apa boleh buat, aku sedang ingin membelikan jajan untuk sahabatku yang paling centil yang tengah bersedih karena disukai cowok muda yang unyu-unyu." Mengelap bibirku dengan jarinya. "Hati-hati dong, sudah besar makan masih celemotan."
Wajahku memanas, menepis tangannya. "Ish, apaan sih kau ini. jangan ganggu singa yang sedang makan es cream, ah."
Yudi duduk disebelahku menaruh teh hangat. "Idih, ga malu apa dilihat murid-murid? Sudah tua masih seperti anak muda, pacaran ditempat umum."
"Yud," kataku. "Jangan paksa hak tinggiku untuk menganiaya kakimu ya."
Tak jauh dari tempat kami bercengkrama, kumerasa sedang diawasi oleh sepasang mata. Kutersadar jika pemilik mata itu adalah Rio, kulihat dia sekarang memandang Romi bagai elang memandang mangsanya. Entah apa yang dia pikirkan, mungkin jengkel, marah, namun yang pasti dia tak kuasa untuk bertindak apapun, tak punya hak apapun. Mata itu sesekali tertangkap basah memandang sayu padaku, membuat debaran di dadaku kacau. Dia tak sendiri di sana, dia duduk bersama seorang gadis manis yang kutau selalu menemaninya. Kulihat tangan gadis itu menepuk-nepuk pundak Rio, dan mulutnya nampak bagai menasehati Rio, namun mata elang itu sekarang tak lepas memandangku, membuatku sungkan.
Mata bodohku tertangkap basah oleh Rio tengah memandanginya, membuatku salah tingkah. Segera kulanjutkan memakan es cream dengan cepat, berusaha tak memandang pemuda itu.
"Lah es cream untuk gue mana Rom?" ucap Yudi. "Kok cuma Ririn sih yang lo belikan es, payah lo. Apa gue harus nangis dulu biar dibelikan es atau membuang es murah seribu rupiah?"
Sungguh panas Kuping ini bagai tersengat lebah, melihat wajahnya yang mengejek ingin segera kusembur dengan saos sambal, namun kuputuskan untuk menahan amarah. Namun otakku susah mengontrol kaki, Kuinjak sepatu Yudi menggunakan sepatu hak tinggi yang kugunakan sekarang. Membuat Yudi berteriak kesakitan hingga beberapa murid terkejut dan menoleh ke arahnya, tersenyum geli melihat tingkah Yudi.
"Lo apa-apaan sih, sakit tau!" protes Yudi, mengelus kakinya yang menjadi korban dari keganasan hak tinggiku. "Kalau sampai luka bagimana, gue enggak bisa melatih footsal dan renang anak-anak didik gue, lo mau tanggung jawab? mau mengajari mereka mengantikan gue?"
"Dih, kok aku yang harus mengajar footsal sama renang, enggak mau ah. Lagian kau juga yang salah, pakai minta es cream segala."
Romi tersenyum. "Yud, nanti kamu jadi gendut lagi kalau makan es cream, ingatkan bagaimana susahnya kamu mengurangi lemak timbunanmu di dalam badan itu dulu?"
Mungkin kedua pria idiot ini tak sadar, mereka menghabiskan waktu di kantin dengan penuh tawa dan canda. Namun mataku terus mengawasi gelagat Rio yang terus memperhatikan kami. Pandangan mata itu adalah pandangan tak suka, kuperhatikan pemuda itu memandang Romi bagai hendak melahapnya hidup-hidup. Cemburukah? Ah apa aku harus senang dan bahagia? atau sedih dan khawatir?
Gadis di sebelah Rio terlihat sangat gusar, dia menepuk pundak Rio. Bisa kudengar suaranya yang menggebu. "Rio, kamu kenapa sih?" ucap Nita Ningsaputri. "Kok jadi aneh begini kamu, kalau di putusin yasudah terima saja. Lagian kamu ini aneh banget deh jadi orang, kok bisa suka sama guru sendiri sih?"
Rio Rizki Ananda memandang sinis Nita. "Tau apa kamu, sudah enggak usah mengomentariku!"
"Kamu ini! Sudahlah aku kembali ke kelas saja."
"Kamu jangan kemana-mana, baksonya belum habis kan? habiskan dulu! kamu minta baksokan tadi, ongkos dari membantuku menjawab pertanyaan bu Ririn. Jangan membuang makanan, enggak baik."
"Masa bodoh dengan bakso itu, lepasin tanganku! menyesal aku menolongmu ... ."
"Enggak! habisin dulu baksomu, mubazir ini baksonya kalau dibuang ... sudah dibeli enggak dihabisin."
"Makan saja sendiri!" Nita melepas genggaman tangan Rio, berjalan cepat meninggalkan meja.
"Nit, Nita! tunggu Nit!" Rio mengekor pada Nita yang tak peduli kepadanya.
Sebuah tangan merangkul pundakku. "Drama di kantin sekolah," ujar Yudi. "Jadikan novel pasti seru, ditambahi garam, micin, terus kasih bumbu mama suka."
Segera tangan itu kutepis, "Eh setan! peluk-peluk anaknya orang!" menyikut lengan Romi. "Tuh loh Rom, cowok yang minta jadi pacarku tadi, gimana merutmu, aku hebatkan bisa mencuri hati cowok sekeren dia?"
Yudi berkomentar, "Duh, enggak sangka ya, lo sekarang suka sama berondong. Eh, maksutku terong-terongan seperti tuh bocah. Inget umur, inget umur Rin, nyebut, sudah tua juga, sukanya yang cute. Harusnya kamu milih yang macho dong, seperti aku."
"Yee apa salahnya cute? Mentang-mentang kau sekarang sudah macho gitu?" Kembali kaki ini tak kuasa dikontrol, hendak menginjak kaki Yudi. Namun sial, dia menjauhkan kakinya dari jangkauanku.
Yudi menjulurkan lidahnya. "Wee enggak kena wee, lo butuh latihan lagi untuk menginjak kaki gue. Yasudah gue ke lapangan dulu ya, mau mengajar nih, biar enggak makan gaji buta."
"Yasudah sana pergi jauh dari sini! jangan kembali lagi ke sini ya!" kulambai tangan pada si pria mesum.
Ternyata Romi terus memandang Rio, "Lumayan cakep, tapi aku heran, apa yang dia lihat dari gadis sepertimu, gadis pemarah, tomboy, keras kepala, tua_ aduh, sakit!" Romi mengelus kakinya yang baru saja menjadi korban sepatu hak tinggi, menatapku tajam dengan alus dalam tertarik ke bawah. "Kamu mulai besok enggak usah pakai sepatu hak tinggi lagi, bahaya itu sepatumu, bisa melukai kaki orang!"
"Bodoh amat, lagian kau ngapain pake ngata-ngatain aku tua segala?"
"Rin, sudah lama enggak lihat kamu marah, sering-sering saja ya marah seperti ini."
"Oh, jadi kamu ingin nih melihatku marah-marah terus? Ok fine, bisa diatur kok."
Romi terbahak."Rin, kamu masih ingat sama si Anggi enggak?"
"Anggi? Anggi yang mana?"
"Itu tuh, Anggi temanmu dulu yang cewek rambutnya panjang sepunggung."
"Kenapa memangnya? kok tumben kau nanyain dia."
"Kira-kira dia jadi apa ya sekarang, Rin. Aku penasaran banget."
"Kerja di bank, dia sekarang jadi supervisor."
"Kamu kok bisa tau?" Romi mulai serius. "Kamu masih kontak-kontakan sama dia?"
"Kepo banget sih kau, kenapa emangnya kok tiba-tiba kau jadi kepo kepadanya seperti ini?" dasar idiot, Romi bodoh! tolol, bego, enggak punya perasaan, enggak peka!
"Kamu punya nomor teleponnya? kalau ada aku minta dong, kangen nih ingin ngobrol-ngobrol dengan dia."
Kuremas wadah es kosong sampai hancur, "Malas ah." kubuang masuk tong sampah wadah es itu.
"Lahkan sudah aku belikan es cream tadi. Ayolah, minta momornya dong, please...."
"Sudah ah, aku masuk ke kelas dulu ya. Masih ada jam mengajar nih." Segera kutinggalkan si cowok tolol itu.
"Loh kok kabur sih. Nomornya mana, Rin!"
Kaki ini berderap melangkah kencang bagai ombak di pantai utara, kompak dengan tangan yang mengepal sseperti batu karang. Entah mengapa wajahku panas, nafas mulai tak beraturan dan hati ini berkecamuk. Dasar pria idiot! bodoh! belum kapok apa dia dulu sudah menangis seperti anak bayi gara-gara tuh cewek murahan? apa sih isi otanya? sudah semakin tua masih saja enggak pintar-pintar, masih seperti Mr.Bean! tau enggak sih jika aku ini cewek dan cewek ini selalu ada buat dia! kenapa masih cari yang lain! Banyak murid menegur namun wajah ini tak menoleh, tak menjawab, terus berjalan menaki anak tangga menuju kelas bagai seorang Kompetai angkuh nan bengis.
Sesampainya di kelas, Aku mengajar dengan bad mood. Membuat aura yang keluar dari diri ini menjadi dingin, sedingin es di kutub utara, mata ini memandang bengis seperti pembunuh keji, nafas ini juga tak beraturan seperti hembusan nafas kuda liar, "Ayo semua kembali ke tempat duduk masing-masing dan diam jangan ribut!" bentaku geram.
Aura ini nampaknya dapat dirasakan oleh seluruh murid kelas, membuat mereka mungkin bertanya-tanya, apa yang membuat guru kesayangan mereka menjadi menyeramkan seperti mak lampir tanpa make up.
Bagai kamera CCTV mataku memandang dingin seisi kelas, pandangannya dapat membuat bunga layu. pandanganku terpaku saat mendapati seoang siswi tengah menggunakan androidnya. "Kau, yang disana! bawa sini androidmu, cepat!"
Kuperhatikan tubuh siswi itu bergetar hebat, dia tertunduk tak berani memandang, maju perlahan membawa androidnya menyerahkan pasrah padaku. Diriku dapat merasakan jika telapak tangan gadis itu basah oleh keringat dingin, "Ibu sita sampai jam pelajaran sejarah habis ya. Sekarang kembali ketempat dudukmu. Baiklah, kuis lagi ya. Yang bisa jawab aku kabulkan satu permintaannya." kumenepuk kening sendiri sambil menutup mata, lalu hidung pesekku menghembuskan nafas bagai singa. Segera kupencet tombol keyboard kencang mengganti slide dari laptop, "Sebutkan dua negara yang menjadi sekutu jerman di perang dunia pertama?!" bentakku melantunkan pertanyaan. "Ayo buruan! Yang bisa menjawab aku kabulkan satu permintaannya!" Ck, sial, kenapa mulut ini selalu berkata kabulkan satu permintaan sih?
Tak terdengar sepatah katapun dari murid-muridku, memaksaku kembali menyisiri seisi kelas, bagai sensor gerak bereaksi pada gerakan sekecil apapun. Namun para murid enggan mengacung atau menjawab. Mereka sepertinya terintimidasi oleh mata yang memandang dingin menusuk hati. Aku hendak marah namun mengurungkan niat, bibirku berusaha tersenyum sembari kembali duduk di kursi.
Segera kumenarik nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ya tuhan, aku ini kenapa sih. Apa salah murid-muridku sehingga aku bentaki mereka dengan sadis? Ah, aku memang guru yang labil, membawa mood saat mengajar. Pasti mereka ketakutan, tidak, aku tak mau di cap sebagai guru killer yang bengis. "Anak-anak, mohon maaf jika membuat kalian takut, mood ibu sedang jelek, maaf ya. Karena tak ada yang menjawab maka_"
"Saya bu!" Rio mengacungkan tangannya. "Saya bisa menjawab pertanyaan ibu tadi."
Ya ampun, jangan dia lagi. Aku enggak mau jika dia menjawab benar, nanti aku terpaknya mengabulkan permintaannya. Segera mataku tanpa dikomandoi mencoba mencari kandidat lain, namun tak seorang pun selain Rio mengacung, membuatku menyenderkan tubuh pada kursi, menyilangkan kedua tangan di depan dada sembari kembali menghela nafasnya. "Iya, ayo Rio, apa jawabanmu?"
"Austro-Hungaria dan Kekaisaran Ottoman. Mereka beraliansi dengan German saat perang dunia pertama."
Ck, sial. "Benar sekali. Selain dua negara itu beberapa negara lain juga bergabung dengan German."
Kumencoba tuk tersenyum, namun gagal. Pelajaran berlanjut dengan hening, hanya suaraku yang terdengar menggema di seantero kelas. Tak terasa bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Segera kumengembalikan android yang kusita pada pemiliknya, sambil tersenyum dan menasihati siswi itu secara halus. Setelah siswi itu kembali ketempat duduknya, segeraku meringkasi laptop dan peralatan yang berada di atas meja, berharap bisa keluar dengan cepat dari kelas untuk menghindari Rio. Kumelangkah cepat dan lebar, melangkah menjauhi kelas.
"Bu, bu Ririn!" teriak suara merdu yang kukenal.
Terpaksa kuberhenti memalingkan badan. Terlihat Rio mengejarku. Segera tanganku menyilang di depan dada, menyambutnya dengan sedikit menguap menatap dingin. "Ada apa?"
"Hadiahnya bu, tadi saya berhasil menjawab pertanyaan dengan benar kan?"
Ck. "Oh iya lupa. Kau minta hadiah apa?"
"Nonton bioskop bu. Malam minggu Ibu harus mau nonton ke bioskop sama saya," pinta Rio, menunduk malu.
Anak ini maunya apa sih! sabar Rin sabar. Dia cuma seorang anak muda yang sedang dalam masa pubertas. "Rio, Ibu sudah bilang kan_"
"Rio maunya itu. Ibu sendiri yang bilang jika berhasil menjawab akan mengabulkan satu permintaan! kalau ibu ingkar janji, Rio enggak mau sekolah lagi. Lagian kitakan cuma nonton, aku hanya ingin nonton bioskop bersama Ibu."
Yasudahlah, berhubung aku juga sedang bad mood, apa salahnya meladeni si brondong ini. Toh dia juga tampan dan sexy... arrch kenapa otak ini berpikir seperti itu? Kutepuk pundak Rio, meremas sangat kencang bagai ingin meremukkan pundak kekar itu. "Nonton bioskop saja kan, enggak ada aturan lain?"
"Iya bu, cuma nonton saja enggak ada aturan lain kok."
Mata ini mencuri pandang ke arah pintu kelas Rio, terlihat seorang gadis memandang dengan pandangan berkaca-kaca, "Tuh, temanmu nungguin tuh. Temui dulu sana, ibu mau kembali keruang guru dulu." kuberpaling melanjutkan jalanku.
Penasaran, kembali kumencoba menoleh ke belakang, terlihat Rio dan Nita beradu argumen. Nita nampak memukul dada Rio, langsung masuk kembali ke kelas lalu Rio mengikutinya masuk.
Aku bisa melihat jika selama ini Nita selalu ada, selalu berkorban untuk Rio. Walau pasti sakit hati Nita membantu Rio di kelas dengan memberikan jawaban untuk pertanyaan dariku, namun walau tau apa tujuan Rio menjawab, namun Nita tetap bersedia membantu.
Nampaknya aku harus berhenti memberikan pertanyaan dengan bonus mengabulkan satu permintaan nih ... bahaya kalau begini terus ...
***