Read More >>"> Kenangan Masa Muda (Bab I \'Kenalan\') - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kenangan Masa Muda
MENU
About Us  

 

Masa-masa SMA dulu jika dipikir memang tak beda jauh dengan murid jaman sekarang. Namun yang membuat kubahagia adalah sebuah memory yang terlupakan mulai teringat kembali, sebuah memory tentang pertama kali hatiku merasakan getaran cinta. Semua berawal dari hari itu atau tepatnya pagi itu.

**

Kenangan Romi, Surabaya, 2000.

Aku ingat suara burung terdengar merdu kala itu, namun tak cukup menghibur. Saat itu diriku sedang sial, gara-gara mengikuti berita kerusuhan Poso sampai malam, jadi bangun kesiangan. Mau tak mau akhirnya harus berdiri di ruang guru bersama dua sahabatku yang juga terlambat.

Kuingat ruang guru kala itu terasa sangat pengap, tercium bau busuk kombinasi keringat kami bertiga. Mata ini menyisir ruang guru berlantai keramik putih bersih tanpa sampah, hanya beberapa meja dan rak buku terlihat berantakan oleh tumpukan buku. Kala itu tembok sebelah kiri masih ada kipas angin menempel dengan kepala kipas bergerak ke kiri dan kanan.

Aku ingat saat itu Yudi berdiri dalam posisi istirahat memandang sepatunya dengan bibir komat-kamit. Badannya yang menjadi tempat penimbunan lemak maju mundur tak karuan membuatku menahan tawa.

Ririn menyenggol lenganku. Psst. "Kenapa kau senyam-senyum sendiri?"

"Tuh lihat, si kentung mandi keringat sambil hafalan surat Yasin."

Pffft. "Ngawur kau Rom."

Terdengar suara langkah sepatu hak tinggi mendekat, setiap hentakan membuat jiwa bergetar, memaksa  kuberdiri tegap bagai tentara berbaris. Semerbak parfum gaharu menusuk hidung membuat jantung berdebar kencang. Bukan hanya tubuh bergidik namun telapak tangan mulai mengucurkan keringat membayangkan hukuman apa yang menanti.

Situasi kala itu mendadak mencekam, entah mengapa oksigen seakan menipis. Kumerinding melihat jelmaan Erebos duduk di singgahsananya, guru sadis nomor dua seantero sekolah itu menghela nafas memakai kaca mata memandang sinis kami bertiga, terutama padaku dia memandang jengah.

"Ee," ujar guru bengis bernama Yuni. "Kalian tau jam masuk sekolah ini pukul tujuh pagi tepat? sekarang sudah pukul tujuh lewat tiga puluh menit kalian baru datang ke sekolah, apa alasan kalian?" 

Kukira hanya mulutku yang diam seribu bahasa, namun telinga turut tak mendengar sepatah kata apapun terucap dari kedua bibir sahabatku.

"Kok malah pada diam, ayo jawab! Romi, Ririn dan." Yuni menyipitkan matanya. "Yudi? tumben kamu terlambat, kenapa?"

Aku mendengar suara Yudi terbata menjawab. "Uhm i...itu bu. Uhm jalanan ma...macet bu, uhm jadi tadi aku naik, naik apa ya. Uhm oh iya, busnya ramai kejebak macet di jalan jadi kesiangan deh, bu."

Yuni menghela nafas panjang. Ck."Lain kali jangan di ulangi lagi."

Tumben mak lampir enggak ceramah? apa dia lagi enggak enak badan? batinku kala itu. 

Mak lampir memandang Ririn dengan mata bagai hendak meloncat keluar. "Ini lagi, cewek kok datang terlambat. Ee, aku paling enggak suka lihat cewek terlambat! kenapa kamu datang terlambat?" Yuni memukul meja. "Ayo jawab! kamu bisu atau tuli?"

Kala itu Ririn tertunduk dengan kedua tangan memegang pinggiran meja guru, sayup hisaknya membuat simpati.

Yuni tetap marah."Ee, ayo jawab! Enggak usah nangis, jawab!"

Mulai terdengar suara lirih Ririn. "Anu bu, maaf tadi aku sudah berangkat pagi. Tapi mobilnya kakak kejebak macet jadi terlambat deh bu."

"Sudah, enggak apa-apa. Lain kali usahakan jangan datang terlambat lagi, mengerti?"

"I...iya bu, mengerti."

Sekarang hanya diriku yang belum di interogasi, bingung mencari alasan yang akan diri ini gunakan. Namun jangan panggil Mc Gyver-nya Indonesia jika tak bisa mencari alasan untuk keluar dari masalah sepele seperti ini.

Yuni menggebrak meja. "Ini lagi si cowok urakan! rambutmu dirapikan bisa enggak? mau jadi anggota band kamu, ya?! Muka saja cakap tapi baju enggak rapi seperti berandalan, mana datangnya terlambat lagi. Ayo, sekarang bajumu masukan, cepat!"

Bagai sapi dicucuk hidungnya, segeraku masukan baju juga merapikan penampilan dengan tangan gemetar. "Eng...enggak bu, aku enggak ingin jadi anggota band."

Yuni tersenyum bersilang tangan depan dadanya. "Nah begini kan bagus, terlihat lebih rapi lebih enak dipandang. Ee, kamu kenapa datang terlambat?"

"Macet bu, jadi terlambat deh datang ke_"

"Bohong! kecil-kecil sudah berani bohong! besar mau jadi apa kamu? koruptor?"

Sial! "Se...serius bu, ta...tadi macet ja...jadi_"

"Macet, macet, alasan saja kamu ini. Rumah cuma berjarak dua gang dari sekolah bisa kena macet? Ee, saya laporkan kepada kedua orang tuamu karena sudah berani bohong sama guru!"

Nasi sudah menjadi bubur dari pada mubazir kutambahkan ayam supaya jadi bubur ayam. "Be...betul bu, saya tidak bohong. Tadi, uhm tadi kamar mandi rumah saya macet. Ayah mandinya lama jadi saya tunggu sampai dia keluar baru saya masuk untuk mandi."

Yuni menghela nafas memandang jengkel padaku sembari memundurkan badannya. Dia mengeluarkan dua carik kertas, telinga ini sayup mendengar suara bulpoin bergoyang di atas kertas lalu memberikan pada Yudi dan Ririn. "Ee, kalian berdua langsung masuk ke kelas ya, kalau kalian besok terlambat lagi ibu pulangkan kalian ke rumah masing-masing, mengerti?!"

Yudi dan Ririn mengangguk mengambil kertas mencium tangan Yuni lalu kabur meninggalkanku sendiri. Bagi mereka hukuman sudah usai. Namun bagi diriku semuanya baru mulai.

"Ee, ayahmu itu teman kuliah ibu dulu," Yuni mengambil gagang telepon. "Sekarang ibu telepon ayah kamu ya, jika kamu bohong, ibu pulangkan saja agar ayahmu yang memberi hukuman."

Sontak tubuhku lunglai bahkan dengkulpun mati rasa. Pertama aku takut pada Tuhan, kedua pada ayahku. Jika ayah marah bukan hanya main tangan namun juga ekor ikat pinggang bisa mendarat di pantat. "Ampun bu, Romi berjanji enggak akan terlambat lagi datang ke sekolah dan enggak akan bohong lagi kepada ibu, tapi tolong jangan beri tau ayah Romi ya bu."

Yuni tersenyum menaruh gagang telepon ketempatnya. "Ok, sekarang kamu berdiri di lapangan sampai ibu suruh masuk. Ee, sampai ibu keluar kamu menghilang, Ibu laporkan kamu ke ayahmu, mengerti?"

*

Aku ingat kala itu seorang diri berdiri di lapangan gersang di bawah langit biru tanpa awan panas bagai neraka memanggang bumi. Kuberharap bisa berdiri di sudut lapangan, setidaknya di sana pepohonan rindang meneduhkan diri ini dari teriknya Matahari.

Entah sudah berapa lama tubuh ini dijemur bagai ikan asin, membuatku bermandikan keringat hingga bisa kuperas keringat dari baju ini. Syukurlah angin sembunyi-sembunyi berbaik hati menghembuskan hawa surga. Terdengar suara kicauan riang burung-burung kecil berusaha menghibur hati, namun tingkah mereka malah seperti menghina dengan melompat kegirangan membuatku jengkel.

Sesekali mata ini menerawang ruang guru, berharap guru berbadan besar mendapat hidayah memanggil murid nakal ini masuk. Namun tidak, mak lampir kala itu nampaknya masih bersemedi di dalam sana.

Bosan menikmati sauna alam, kupejamkan mata. Bibir tak kuasa berdiam mulai menyiulkan lagu Dewa 19 berjudul Kangen. Nikmat siulan merdu membahana membuat malu burung-burung yang pasti memandang iri.

"Semua kata rindu semakin membuatku tak berdaya, menahan rasa ingin jumpa ... ."

Suara siapa itu? suara indah yang tak pernah terdengar sebelumnya. Tanpa aba-aba mata ini terbuka. Pertama kukira itu hanya halusinasi, namun suara itu tak henti dan terdengar cocok mengikuti irama siulan. Penasaran kumenoleh ke arah sumber suara, ternyata gadis manis berambut panjang dengan wajah tilus bersenandung indah. Seketika hati berbunga,  siulan ini terhenti, tergantikan suara hati. Apa dia bidadari surga? kenapa hampir sempurna? ya tuhan inikah maha karyamu? sungguh kau maha pencipta.

Gadis itu berhenti bernyanyi, mengkerut keningnya memandangku. "Kok berhenti Mas? padahal siulannya enak, pas sekali dengan nada lagu Dewa 19, lanjutin dong Mas."

Mata genitku melakukan kontak dengannya,  bibir mulai pamer senyum memikat. Segera dada ini membusung agar nampak gagah di mata sang biduan. Walau mulut mulai mengering, demi permintaan bidadari tak bernama tetap rela bersiul  sesempurna mungkin.

Dia kembali bernyanyi memejamkan mata. "Percayalah padaku, akupun rindu kamu."

Kala itu kuingat mata ini tak henti bergerilya mencuri pandang. Nampak panah asmara telah mendarat di hati, membuat pikiran selalu memikirkan si gadis misterius. Namun kebahagian selalu tak abadi, sepertinya bu Yuni sudah mendapat wangsit  memanggil kami masuk.

*

Biasanya menunggu itu membosankan, namun menunggu bersama bidadari itu berbeda. Mata ini tak bosan menikmati memandangnya walau dia menunduk tak membalas pandangan, entah mengapa kala itu diri ini seperti orang gila tersenyum tanpa sebab.

"Ee, ini surat buat kalian berdua." Yuni memberikan sepucuk kertas pada kami. "Kasih guru kalian agar boleh masuk. Sudah sana kembali ke kelas, belajar yang rajin."

Tanpa basa-basi kami mencium tangan kasar berbau trasi mak lampir, segera melaju menuju kelas berbekal surat darinya.

Terus terang hati dan mulut saat itu bagai dua Korea yang bermusuhan. Sang hati ingin menyapa gadis misterius, namun si mulut bungkam tak mau membantu. Kala itu aku hanya bisa berjalan mengekor sembunyi-sembunyi bagai ninja, berharap setidaknya bisa mengetahui keberadaan kelasnya.

Tanpa disadari kelasku terlewat. Tangan melambai bagai miss universe pada Ririn yang memandang bingung dalam kelas. Langkah ini tak berhenti mengikuti sampai sang gadis berbelok masuk ke kelasnya.

kutersenyum bangga sembari menggosok hidung. Ternyata dia anak kelas 2 IPS-3. Kita sama-sama IPS apa mungkin ini takdir?

Segera kuberputar balik menuju kelasku. Sesampainya di depan kelas, suasana kelas berlantai keramik sangat hening, kulihat dua puluh meja tersusun empat memanjang telah penuh oleh murid dan seorang guru sibuk menghabiskan kapur putih untuk menulis pada papan hitam.

Mengikuti sabdah bu Yuni, kuberi surat kepada guru bahasa Inggris. Ternyata benar, surat itu mujarab. Sang guru mempersilahkan untuk duduk tanpa omelan atau hukuman sama sekali.

Ririn tersenyum menepuk pundakku. "Tumben kau dihukum lama sekali, kenapa?"

"Entahlah, mungkin mood mak lampir sedang jelek. Minjem dong buku PR-mu, kamu sudah mengerjakan PR matematika kan?"

Ririn mengangguk memberi bukunya. "Buruan salin, keburu masuk jam pelajaran matematika kalau kau kelamaan nulisnya."

Dari dulu Ririn selalu perhatian, dia mengelap keringatku dengan tisu. Dia juga mengipasi tubuh ini selama kumenyalin, sungguh Ririn adalah sebaik-baiknya teman. Seingatku kami sudah berteman sejak SD, entah mengapa kami selalu bersama walau terkadang diriku suka seenaknya sendiri. Aku lupa bagaimana dulu bisa berkenalan dengannya, namun  kubersyukur bisa mengenal seorang sahabat sebaik Ririn.

Aku masih ingat bagaimana nyaringnya dentingan lonceng istirahat berbunyi, suaranya membuat banyak murid berhamburan keluar kelas.

Aku diliputi rasa penasaran akan nama gadis itu juga mata ini selalu mengeluh ingin memandangnya lagi. Sebenarnya diri ini bisa mendatanginya, namun malu, takut malah melakukan hal konyol yang membuat tertawa jika teringat. 

Segera kuberdiri di koridor panjang depan kelas, bersender pada dinding. Terasa terpaan angin membawa debu pada kulit. Mata ini bagai sonar mencari bidadari di tengah ramainya lautan manusia, walau susah kutetap berusaha. Lama menanti dan mencari, tak kunjung melihat wajahnya, bahkan aromanya pun tak tercium.

Lelah terpejam mata, harap datang dari hati. Keluarlah wahai bidadari, datanglah tulang rusukku, tegur aku wahai pasanganku.

Jantung ini hampir copot saat Ririn menepuk pundakku. "Woi Rom, Kau lagi lihat apa sih? pegang buku tapi mata jelalatan tak karuan."

Dasar Kepo! "Lihat apa? aku enggak melihat apa-apa kok, aku lagi baca buku."

Pucuk di cinta ulampun tiba, gadis dambaan hati akhrinya muncul juga. Pandanganku terpaku pada sosok gadis yang melangkah anggun keluar kelas IPS-3 bersama teman-temannya.

Glagapan saat itu kulangsung bersender pada tembok, membuka buku bertingkah sok cool walau badan mulai bermandi keringat juga bergetar hebat. Kala itu aku berharap dia menegurku sehingga kupunya alasan bertegur sapa dengannya.

Namun sial, nampaknya Tuhan senang mencoba umatnya. Bidadari dunia itu tak menegur, memandangpun tidak, membuat hidung ini hanya dapat mencium aroma parfum melatinya.

Gadis itu berhenti di sebelahku, membuat debaran jantung semakin tak beraturan, darah naik ke wajah membuat panas, dengkul  sontak menjadi lemas. Namun diri ini tetap berusaha terlihat cool membaca buku.

Kupandang tangan Ririn dan gadis itu saling berpegangan, saling berayun naik turun, membuatku berandai jika tangan Ririn adalah tangan ini. Telinga ini bagai radar mencuri dengar pembicaraan mereka sempurna tertangkap jelas.

Suara Ririn berkata, "Mau kemana kau?"

"Mau jajan ke kantin," jawab suara si gadis. "kamu ikut kita ke kantin yuk, nanti dibelikan chiki sama Nadine, dia ulang tahun sekarang."

"Besok-besok saja ya. Aku lagi nemenin cowok aneh itu belajar, maaf ya."

"Hmm yasudah kalau begitu aku tinggal dulu ya, bye."

Kulihat gadis itu menyusul teman-temannya melambai pada Ririn. Ingin kubalas lambaian itu, namun hati ini berkata jangan, takut nanti dikira sok kenal sok dekat dan akhirnya membuat takut gadis itu.

Ririn cekikikan. "Woi, hebat benar kau bisa baca buku terbalik, belajar dari siapa?"

kutersenyum kecut membalik buku, melanjutkan memandang sang bidadari  sampai menghilang dari jangkauan pandangku. Wahai bidadari, kuhanya ingin tau namamu, kenapa kau pelit sekali? 

"Oh," ujar Ririn. "Jadi kau itu berdiri di sini dari tadi,sok cool itu gara-gara cewek itu?"

"Kamu kenal dia?"

"Kalau kenal memangnya kenapa?" Ririn masuk kelas dengan wajah cemberut.

Payah."Lah kok malah kabur sih." Kutarik halus tangannya. "Rin, kenalin dong. Please."

"Lepas! kenalan saja sana sendiri!"

"Enggak berani. Ayolah, kamukan sahabatku, kok kamu tega enggak mau nolong aku."

"Kau cowok kan? berani sedikit dong, usaha!" 

Aku ingat, ini adalah pertama kali Ririn yang biasanya menuruti semua kehendakku melakukan perlawanan. Kala itu dia begitu teguh pendiriannya. Bagai menggerakan gunung, susah untuk membuatnya mengikuti keinginanku.

Tak terasa lonceng masuk berbunyi, murid-murid merangsak masuk kelas saling senggol juga dorong namun tetap ceria. Tak lama pelajaran dimulai, hampir seisi kelas memperhatikan juga mencatat apa yang guru tulis di papan tulis. Kecuali aku yang tak mencatat, bukan karena sudah pintar ataupun malas, namun tengah sibuk merayu Ririn agar mau memperkenalkan diri ini pada temannya.

Kugerak-gerakan lengannya bagai anak kucing meminta susu pada induknya, sampai telapak tanga ini basah keringat, dia tetap bisu. Bisik demi bisik rayuan kulafaskan padanya, bait demi bait pujian  tersusun membentuk rangkaian kalimat nan indah untuknya, namun dia tetap diam. Mulut ini terus bercuap sampai air liur hampir kering, namun Ririn tak bergeming, gadis tomboy itu cuek bebek.

Hati ini sedih,  kundah,  curiga, bertanya, ada apa dengan sahabatku? kenapa dia tak seperti biasanya. Kesal mendominasi, amarah mengambil alih, akhirnya lengan ini menyenggol lengannya dengan kencang, baru dia tersentak.

"Berisik Romi!" bentak Ririn. "Ok, aku kenalin kau sama dia, tapi please tenang dan tolong jangan goyang-goyang lenganku, kecoret semua nih buku!"

"Serius? kamu mau memperkenalkanku ketemanmu itu?"

"Iya aku serius, puas kau! Tapi tolong diam dan jangan ganggu aku, kumau konsentrasi menulis, mau mencatat pelajaran. Juga, kau harus mau membelikan aku es cream."

"Lah kok es cream, ntar kamu tambah gendut loh. Teh hangat saja gimana?"

"Kau ini, sudah dibantu pake acara tawar-menawar segala. Kalau enggak mau ya sudah, aku ya enggak mau membantu kamu."

"Jangan gitu lah, ok aku setuju. Satu saja tapi ya es creamnya."

Tak sadar kami sudah membangunkan Bishamonten. Bagai harimau mengintai mangsanya, guru matematika memandang kami. Aku sudah diam, sudah memberi kode Ririn, namun dia celometan sendiri. Tak butuh waktu lama bagi kapur putih di tangan guru melayang.

Mendaratnya kapur bagai kapal ulang alik meledak membuat Ririn terdiam. Aku bisa merasakan ketegangan dari seisi kelas. Guru itu lebih kejam dari bu Yuni, jika bu Yuni adalah mak lampir maka guru ini adalah godzilla. Jantung ini serasa lepas, tangan ini sedingin es, namun wajah ini bagai dibakar di kawah gunung merapi. Berdebar jantung ini memikirkan hal terburuk yang akan terjadi, membuat sekujur tubuh bergidik.

"Kalian yang di belakang, maju sini!" Perintah guru.

Ririn menginjak kakiku. "Kau sih, pakai acara berdebat segala, seperti calon presiden saja. Kena marahkan jadinya."

"Sakit Rin!" keluhku. "Lah, kan kamu yang membuat kita jadi berdebat tadi. Kalau kamu langsung bilang iya, enggak minta es, enggak akan jadi seperti ini."

"Lah kau ini! cowok kok enggak mau salah, di mana-mana cowok yang salah dan selalu salah!"

"Rumus dari mana itu? mengada – ada saja kamu, Rin."

Guru itu memandang tajam. "Kalian berdua! disuruh bukannya langsung jalan malah pada ngerumpi di sana, ayo cepat sini! mungkin kalian mau bapak yang ke sana?"

Kami berdua segera bangkit, melangkah saling menyalahkan kedepan kelas. Namun Tuhan berkehendak lain, lonceng berbunyi kencang tanda jam pelajaran usai. Kami mengelus dada bernafas lega, tersenyum saling memandang berjalan kembali kebangku.

"Mau kemana kalian?!" bentak guru itu. "Bawakan semua buku PR ini ke ruang guru sekarang! Kalian ambil dulu tas kalian, agar bisa langsung pulang setelah membantuku membawakan buku-buku ini, ayo lekas!"

Kami berdua menunduk, mengikuti perintah guru. Selama perjalanan menuju ruang guru, Kami saling menyenggol dan bercanda. Si tomboy terlampau senang dan entah sengaja atau tidak dia menyenggol lengan ini kencang hingga tumpukan buku di tangan jatuh. Kami berhenti dan merapikan buku itu.

Ririn menyikut lenganku. "Kau sih Rom, pakai senggal-senggol segala, jatuh semuakan jadinya."

"Kok aku sih, kamu yang senggal-senggol sampai buku yang kubawa jatuh seperti ini. Oh iya, Rin, mana, katamu mau ngenalin aku ke cewek itu."

"Anaknya saja enggak ketemu kok, nanti lah kalau ketemu aku kenalin."

"Ya dicarilah Rin, temui yuk mumpung belum sore, mungkin dia masih di gerbang atau masih di sekitar sini kan."

"Kau ini kalau sudah punya mau, kadang otaknya enggak dipakai ya! Mikir dong, ini kita lagi dihukum, mana bisa kita keluar dari sekolah dan nemuin tuh cewek idamanmu!"

Tanpa kusadari seorang gadis berjongkok ikut merapikan buku-buku yang berserakan. Entah mengapa tercium parfum sang gadis misterius, tak sengaja tangan ini mengambil buku yang sama dengan yang gadis itu ambil. Aku terkejut  tak berkedip, jantung ini seakan sedang mengadakan konser dangdut. Pemilik tangan halus dan terawat itu adalah sang bidadari hati.

Aku bagai seorang lelaki yang hidup dalam sebuah drama Korea, di mana lelaki itu bertabrakan dengan seorang gadis lalu sihir membuat mereka saling suka. Ya, itu memang harapku, namun sebatas angan. Gadis itu terlihat bingung, keki, sedikit takut memandang. 

Ririn bangkit. "Nggi, si Romi ingin kenalan sama kau. Sudah kan? sekarang ayo bawa bukunya ke ruang guru!"

Masa bodoh dengan buku, kumemandang gadis misterius sembari mengulurkan tangan. "Kenalin, Romi."

"Hmm sepertinya pernah ketemu deh. Ah iya, kamukan cowok yang di lapangan tadi pagi. Cowok yang mempunyai siulan merdu itu kan?" Gadis itu menjabat tanganku. "Namaku Anggita, Angita Anggraini, salam kenal ya."

**

Romi, Surabaya, 2011.

Yuni menepuk pundakku. "Rom, Romi, Ee, kok bengong. Bel masuk sudah bunyi tuh, cepat masuk kelas ajari muridmu dengan baik, supaya enggak jadi seperti kamu." 

Segera diri ini berpamitan, melangkah cepat menuju kelas. Yudi nampaknya tak mau di tinggal sendirian di dalam ruangan bersama Yuni, dia ikut bersamaku keluar.

Kuberkata, "Yud, Ririn mana?"

"Udah masuk ke kelas dari tadi," ujar Yudi. "Lo tadi mikirin apa kok sampai melamun sendiri?"

"Mikirin cewek Yud. Oh iya, kamu masih ingat Anggi enggak?"

"Anggi? Kenapa? Elu naksir?"

Ck. "tanya saja sih, kamu punya nomor teleponnya?"

"Enggak, coba tanya Ririn deh. Dia kan hobi koleksi nomor telepon."

Kutersenyum sambil mengangguk. Baiklah, aku akan coba minta nomor telepon Anggi pada Ririn. Entah mengapa hati ini menginginkan nomor telepon itu. 

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
I'M
8385      1676     4     
Romance
"Namanya aja anak semata wayang, pasti gampanglah dapat sesuatu." "Enak banget ya jadi anak satu-satunya, nggak perlu mikirin apa-apa. Tinggal terima beres." "Emang lo bisa? Kan lo biasa manja." "Siapa bilang jadi anak semata wayang selamanya manja?! Nggak, bakal gue buktiin kalau anak semata wayang itu nggak manja!" Adhisti berkeyakinan kuat untuk m...
MONSTER
5844      1616     2     
Romance
Bagi seorang William Anantha yang selalu haus perhatian, perempuan buta seperti Gressy adalah tangga yang paling ampuh untuk membuat namanya melambung. Berbagai pujian datang menghiasi namanya begitu ia mengumumkan kabar hubungannya dengan Gressy. Tapi sayangnya William tak sadar si buta itu perlahan-lahan mengikatnya dalam kilat manik abu-abunya. Terlalu dalam, hingga William menghalalkan segala...
CHERRY & BAKERY (PART 1)
3821      984     2     
Romance
Vella Amerta—pindah ke Jakarta sebagai siswi SMA 45. Tanpa ia duga kehidupannya menjadi rumit sejak awal semester di tahun keduanya. Setiap hari dia harus bertemu dengan Yoshinaga Febriyan alias Aga. Tidak disangka, cowok cuek yang juga saingan abadinya sejak jaman SMP itu justru menjadi tetangga barunya. Kehidupan Vella semakin kompleks saat Indra mengajaknya untuk mengikuti les membuat cu...
Back To Mantan
516      338     0     
Romance
"kenapa lagi.."tanya seorang wanita berambut pendek ikal yang dari tadi sedang sibuk dengan gadgetnya. "kasih saran.."ujar wanita disebelahnya lalu kemudian duduk disamping wanita tadi. lalu wanita sebelahnya mengoleh kesebelah wanita yang duduk tadi dan mematikan gadgetnya. "mantan loe itu hanya masa lalu loe. jangan diingat ingat lagi.loe harus lupain. ngerti?&...
Reach Our Time
9757      2268     5     
Romance
Pertemuan dengan seseorang, membuka jalan baru dalam sebuah pilihan. Terus bertemu dengannya yang menjadi pengubah lajunya kehidupan. Atau hanya sebuah bayangan sekelebat yang tiada makna. Itu adalah pilihan, mau meneruskan hubungan atau tidak. Tergantung, dengan siapa kita bertemu dan berinteraksi. Begitupun hubungan Adiyasa dan Raisha yang bertemu secara tak sengaja di kereta. Raisha, gadis...
NYUNGSEP
4495      1491     6     
Romance
Sejatinya cinta adalah ketulusan. Jika ketika hati telah 'nyungsep', terjatuh pada seseorang, apa yang boleh buat? Hanya bisa dengan tulus menjalaninya, ikhlas. Membiarkan perasaan itu di hati walaupun amat menyakitkan. Tak perlu jauh mengelak, tak perlu ditikam dengan keras, percuma, karena cinta sejati tidak akan pernah padam, tak akan pernah hilang.
High School Second Story
3732      1137     5     
Romance
Pekrjaan konyol yang membuat gadis berparas cantik ini kembali mengingat masa lalunya yang kelam. Apakah dia mampu menyelesaikan tugasnya? Dan memperbaiki masa lalunya? *bayangkan gadis itu adalah dirimu
Rinai Hati
501      267     1     
Romance
Patah hati bukanlah sebuah penyakit terburuk, akan tetapi patah hati adalah sebuah pil ajaib yang berfungsi untuk mendewasakan diri untuk menjadi lebih baik lagi, membuktikan kepada dunia bahwa kamu akan menjadi pribadi yang lebih hebat, tentunya jika kamu berhasil menelan pil pahit ini dengan perasaan ikhlas dan hati yang lapang. Melepaskan semua kesedihan dan beban.
My LIttle Hangga
755      487     3     
Short Story
Ini tentang Hangga, si pendek yang gak terlalu tampan dan berbeda dengan cowok SMA pada umunya. ini tentang Kencana, si jerapah yang berbadan bongsor dengan tinggi yang gak seperti cewek normal seusianya. namun, siapa sangka, mereka yang BEDA bisa terjerat dalam satu kisah cinta. penasaran?, baca!.
RAHASIA TONI
38411      4858     62     
Romance
Kinanti jatuh cinta pada lelaki penuh pesona bernama Toni. Bukan hanya pesona, dia juga memiliki rahasia. Tentang hidupnya dan juga sosok yang selalu setia menemaninya. Ketika rahasia itu terbongkar, Kinanti justru harus merasakan perihnya mencintai hampir sepanjang hidupnya.