Reaksi pertama kali yang Tara ingin tunjukkan antara dua, yaitu ingin tertawa sampai perutnya keram atau sedikit memberi pelototan pada ucapan asal Dave. Meski ia sendiri tidak tahu apa Dave serius atau bercanda. Tetapi mengingat Dave selalu menjahilinya, rasanya mustahil jika cowok itu bisa serius sekalipun ia mengatakannya tanpa memasang wajah tengilnya.
"Mau nggak?" Setelah lama terdiam, akhirnya Dave bersuara.
"Ngomong apaan lo? Ngawur,"
"Serius kali,"
"Ya, ya, semerdeka lo aja lah. Cepet sini balikin buku gue!" Tara menangkupkan kedua tangannya kearah Dave, menodong Dave agar segera memberikan bukunya.
"Ada syaratnya~"
Tara berdecak kecil, "Apaan, sih? Lo tuh, ya, banyak maunya."
"Ya itu tadi yang gue bilang," Dave menoleh kearah Tara dan tersenyum geli, "Gue seriusan kali."
"Lebih baik lo nyuruh gue ini itu daripada gue jadi pacar lo! Entar kalau Kak Arlan lihat bisa salah paham dia, lo mau tanggung jawab?" Sadar usahanya tadi tidak berhasil, Tara berbalik kedepan dengan kedua tangan yang bersidekap didepan dada.
Dave terbahak, benar-benar tertawa keras. "Jadi aja belum kalian. Emang dia mau sama lo?" Ujarnya disela tawanya.
Melihat Dave yang sudah menertawainya habis-habisan, rasanya harga dirinya jadi meluruh perlahan. Memang apa yang salah dari ucapannya? Toh, bukannya seperti itukan yang Tara harapkan. Lagipula ucapan itu doa, jadi wajar saja jika Tara mengucapkan hal yang baik-baik menurutnya.
"Kalau gue beneran jadian sama dia, lo bakal nyesel pernah ngomong kayak begini."
"Kalau jadiannya sama gue?" Tanyanya seraya melirik Tara dengan tatapan jahil.
"Kebanyakan berkhayal lo. Balikin cepat sih!"
Tara sadar bahwa Dave ini suka memutar-mutar topik pembicaraan jadi kebanyakan hal-hal tidak penting. Dan jika di ladeni terus tidak akan selesai-selesai.
"Kok lo diem, sih? Balikin sini!" Desak Tara.
"Okay, kalau lo menolak jadi pacar gue. Syaratnya ganti." Tara diam, menunggu Dave melanjutkan ucapannya. "Turutin semua kemauan gue,"
Sontak Tara mendengus keras. Cowok ini memang tidak kehabisan akal. Bahkan menurutnya ini tidak kalah parahnya dari yang tadi. Memang Dave pikir dia itu siapa harus dituruti semua kemauannya! Kenapa orang sepertinya hanya bisa menyusahkan saja dengan memanfaatkan kesempatan yang justru sangat merugikannya,sih?
"Heh! Lo paham, kan, maksud gue? Gimana? Eh tapi nggak ada penolakan lagi, sih. Lo harus mau."
Tara melirik tajam kearah Dave, "Lo tuh nggak bisa, ya, gak jadi orang pemaksa? Sadar nggak, kalau ini tuh ngerugiin gue! Rugi serugi-ruginya!"
Dave mengedikkan bahunya, "Ya terus mau gimana lagi? Lo dikasih opsi mudah malah nolak. Kalau mau apa-apa itu harus usaha. Nggak ada yang mudah,"
"Ya tapi itukan barang punya gue, hak gue, bukan punya lo!"
"Tapi gue yang nemu dan sudah jadi milik gue," Sahutnya enteng.
Tara tahu, melanjutkan perdebatan dengan Dave tidak akan ada hasilnya. Ia tahu Dave terlalu keras kepala.
***
Seraya membaca isi dari selembar kertas hasil sobekan dari tengah buku milik Tara yang diambil secara paksa oleh Dave, perempuan itu hanya bisa menghela napas. Seperti seolah mencoba menguatkan diri. Kesepakatan dadakan yang dibuat oleh Dave mau tak mau membuatnya menjadi menuruti kemauan cowok itu. Kesepakatan yang mereka buat sejak perjalanan menuju sekolah tadi. Meski sudah berusaha menolak dan mencari alasan, tetap saja Tara kalah. Dan akhirnya berujung dengan dirinya yang harus menuruti kemauan Dave seperti yang Dave tuliskan di selembar kertas putih bergaris di tangannya ini dengan terpaksa.
Dave bergumam, "Apa lagi, ya, kira-kira yang kurang?" Ucapnya lebih kepada dirinya sendiri. Dave sedang berdiri disamping Tara yang masih berusaha mengamati dengan malas kertas bertulisan tangan Dave yang agak bagus itu.
"Ini udah banyak tau! Nggak mau rugi banget sih, lo."
"Kesempatan nggak datang dua kali. Kapan lagi liat lo nurut sama gue,"
"Oke, gue gak bakal mau entar,"
"Masanya gue bakal tambah sehari,"
Tara berdecak, "Perjanjiannya tadi cuma dua bulan ya," Peringat Tara.
"Ya coba aja lo melanggar. Gue lebihin beberapa hari, asik juga tuh. Sekalian lo bisa modusin gue."
Tara menatapnya galak. "Nggak akan!"
"Yaudah ngikut ajasih, ribet amat."
Kemudian keduanya saling diam. Tara yang semakin kesal, Dave tersenyum tengil merasa puas. Katakanlah ini menjadi tidak wajar ketika Dave justru seperti merasa terhibur sendiri melihat wajah kesal Tara karena membaca rentetan permintaannya itu. Jujur saja, bahwa semuanya terjadi begitu saja. Ia yakin dua bulan mereka akan menyenangkan, setidaknya dari pihaknya.
"Kita mulai semuanya besok."