Hari ini, hari minggu. Sama seperti kebanyakan pelajar pada umumnya. Tentu hari ini menjadi hari favorit bagi Tara.
Di akhir pekan seperti ini, ia akan banyak menghabiskan waktu di kamar. Melakukan berbagai hal kesukaannya atau me time bahasa kerennya.
Kebetulan yang menguntungkan, hari ini cuaca juga sedang mendung. Hujan dengan intensitas rendah, rintik-rintik air yang turun dari langit pelan namun banyak, membuat hari ini terasa lebih sejuk. Sangat cocok untuk menikmati segelas susu coklat hangat yang sudah ia siapkan di atas meja belajarnya.
Di bagian pojok lainnya, ia juga sudah menyiapkan satu novel bersampul ungu. Novel milik Kinan yang ia pinjam dengan mudah. Sebagai pecinta novel, Kinan cukup pelit meminjamkan novel miliknya pada orang lain. Tidak jauh berbeda dengan Tara sebenarnya.
"Araaaa.."
Ibu berteriak dari arah ruang tamu. Belum ada lima menit ia duduk bersandar di kasurnya yang baru akan serius membaca novel, kegiatannya mendadak diintrupsi.
Meski ada perasaan enggan, Tara tetap menyahut dan bergerak untuk turun ke lantai bawah menemui ibu. Selama itu juga ia mulai berpikir, kemungkinan kesalahan atau tugas apa yang belum ia selesaikan dari ibunya. Namun seharusnya ia sudah bisa memprediksi,
"Kok belum siap-siap, sih, anak ibu yang cantik ini? Ini, loh, ditunggu sama Dave. Udah cepat sana ganti baju."
Suara ibu dari dapur bergema nyaring dari tempatnya berdiri. Dahi Tara mengkerut, berpikir. Ia tidak merasa membuat janji dengan cowok itu. Tetapi kalau dilihat dari penampilannya, ia tahu bahwa Dave sedang ingin jalan keluar. Penampilannya sudah sangat rapi dengan gayanya yang santai.
Bukannya menuruti kata ibunya, Tara berjalan kearah Dave yang duduk dengan santai di sofa seraya menonton TV di ruang tamu rumahnya. Bahkan tanpa merasa segan, laki-laki itu sudah mencomot kue kering di dalam toples berukuran sedang. Memangku toples dengan wajah polos menatap pada layar TV.
"Ngapain lo?" sergah Tara tanpa tedeng aling.
"Ngajak lo keluar. Gue udah ijin sama nyokap lo. Udah siap? Ayo pergi."
Ia tahu bahwa Dave serius dengan ucapannya, terbukti bahwa sekarang cowok itu sudah berdiri dihadapannya. Meski masih mengunyah makanan dan terus mengambil potongan-potongan kue kering lainnya di dalam toples yang isinya sudah kurang dari seperempat itu.
Tetapi, alih-alih bergegas untuk bersiap, justru Tara berdecak malas.
Serius untuk mengajaknya keluar sekarang? Dengan piyama lusuh dan wajah berminyak serta kusam setelah bangun tidur?
No way.
...ia bahkan belum mandi.
Lagi-lagi, Tara berdecak sebal. Apa-apaan mengajaknya keluar secara mendadak tanpa memberinya kabar? Lagipula, Tara selalu memiliki jadwal khusus untuk memanjakan dirinya setiap akhir pekan tanpa minat ingin diganggu. Bahkan jika itu Kinan sekalipun. Dan lagipula, memangnya Tara sudah mengatakan kalau ia mau?
Tentu saja tidak!
"Sorry, gak bisa. Gue sibuk." tolak Tara telak.
Dave memiringkan kepalanya, menyeringai seperti mengejek. "Nyokap lo sendiri yang bilang, lo lagi gabut." Seperti menilai, Dave melihat penampilan Tara yang cukup berantakan, "Memangnya apa kesibukan lo dengan penampilan lo yang sekarang?"
Meski merasa tersindir, Tara tidak ingin terlihat salah tingkah atau merasa malu di depan Dave. Bisa merasa menang laki-laki itu jika Tara menurunkan gengsinya meski sedikit.
"Biasa, lah, cewek."
Dave menyentil dahi Tara pelan dan perlakuan itu membuat Tara melotot.
"Pasti nonton drama Korea."
"Sok tahu!" Tara lalu mendorong lengan kanan Dave menuju pintu rumah. Bermaksud mengusir agar tidak mengganggu waktunya sekarang. "Udah lo pulang aja sana. Cari kesibukan lo sendiri."
"Dear Diary... Hari ini nyokap gue─"
Tara sudah membungkam mulut Dave dengan telapak tangannya ketika cowok itu ingin berbicara lagi. Jika diteruskan akan berbahaya.
"Oke, gue ikut lo,” ujar Tara cepat dengan geraman tertahan. Sementara laki-laki di hadapannya tertawa tanpa dosa. Menikmati raut wajah Tara yang mendadak kesal.
Setelah meredakan tawanya, Dave berkata, "Sepuluh menit dari sekarang."
Tara kemudian melesat menuju kamarnya untuk bersiap.
***
Tentu saja Tara tidak pernah lupa kalau Dave adalah orang yang paling menyebalkan di muka bumi.
Dave berhasil membawanya keluar dari rumah secara paksa. Merusak acaranya dan mengancam akan membocorkan isi buku harian. Walaupun laki-laki itu hanya membaca awalannya saja, Tara sudah dibuat ketar-ketir. Ia yakin, Dave sudah hapal dengan setiap catatan pribadi miliknya itu. Sehingga dengan hati yang tidak ikhlas, ia pun akhirnya harus meninggalkan novel yang baru akan dibacanya tadi. Bahkan ia baru membaca sampai di baris ketiga pada paragraf pertama!
Tara sudah duduk tenang dan damai di kursi penumpang di dalam mobil Dave. Namun sesuatu mendadak mengganggu penglihatannya.
Berbeda dengan Dave, penampilan Tara sangat biasa sekali. Kontras. Ia hanya mengenakan celana training panjang berwarna hitam dengan baju kaos biru dongker berlengan panjang. Itupun sudah sangat lemer di tubuhnya. Terlalu terburu-buru membuatnya lupa membawa jaket, atau paling tidak sweater untuk menghangatkan tubuhnya karena hari sedang dingin. Padahal tadi ia sudah melakukan aksi pembalasan kepada Dave dengan sengaja mengulur waktu lebih dari lima belas menit untuk bersiap.
Sebenarnya Tara juga menghindari salah kostum, mengingat Dave tidak memberitahu sama sekali kemana mereka akan pergi.
"Lo yakin pake baju itu?" Dave berbagi tatapan dari jalan di depannya dengan Tara.
“Lo malu?” tanpa menoleh, Dave tahu bahwa Tara sedang menantangnya, “gak usah ajak gue keluar harusnya.”
Dave terkekeh menyebalkan, “Gue cuma khawatir lo pingsan karena kedinginan dengan pakaian tipis lo itu. Meskipun cuaca hari ini nggak ada apa-apanya sama di Eropa, sih."
Tara beralih menatap kearah Dave dengan delikan kesal. Ia, kan, jadi lupa mengambil baju dinginnya karena cowok itu juga. Kebiasaan buruknya memainkan klakson ketika sudah tidak sabar menunggu, membuat Tara jadi ketar-ketir sendiri tadi.
"Lo pikir gue lemah? Udara segini doang, mah, nggak berasa apa-apa."
Padahal Tara yakin bahwa tangannya sudah mengkerut kedinginan. Meski mereka pergi keluar naik mobil dan pendingin di dalam mobil ini sudah diatur pada level rendah, nyatanya Bandung tetaplah Bandung dengan udara yang dingin.
Ia terlalu gengsi mengakuinya.
Dave tersenyum kecil dan bergumam, "Gue pikir lo butuh kehangatan."
Tara sudah menatap kearahnya dengan sarat mata ingin membunuh.
Kali ini tawa cowok itu pecah, "bisa aja, kan, lo mau minjem jaket gue. Apapun buat lo."
Tara memutar bola matanya jengah. Malas menanggapi cowok itu. Jika diladeni tidak akan selesai. Dia tipikal cowok keras kepala yang tidak mau kalah.
Seraya bersandar dan bersidekap, Tara lalu bertanya, "Mau kemana, sih? Mau cari makan? Kenapa tadi nggak minta sama nyokap gue kalau lo laper? Atau─"
"Makan ice cream."
"Hujan-hujan gini? Dengan cuaca dingin gini lo mau makan ice cream?"
Tara geleng-geleng kepala. Tetangganya ini terlalu ajaib.
"Lo nggak ngerasa dingin, kan? Nggak salah dong kalau gue ajak makan ice cream."
Tapi, kan, maksudnya Tara bukan begitu!
“Lo tahu wedang jahe?” Dave menatapnya polos, tidak mengerti. “Wedang jahe atau sekoteng, deh, gampangnya.” Tara berdecak, lupa kalau cowok itu lama tinggal di luar negeri yang pasti tidak tahu jenis minuman hangat lokal kesukaan ibunya. “Gak usah itu, teh anget! Orang-orang biasanya minum itu pas cuaca lagi begini. Bukan minum yang dingin-dingin.”
“Lagi pengen. Udah lo gak usah protes. Mending diem atau ngapain kek. Ribet.”
Tara menghela napas keras dan menghentikan perdebatan mereka yang tidak penting, "Serah lo, deh."
Suasana berubah menjadi berbeda setelahnya dan Dave tidak menyukai itu. Tidak ada suara Tara yang mengajaknya berdebat atau suasana yang mendadak hening. Ia hanya merasa aneh.
Lagipula ia memang tidak pernah mendengar jenis minuman yang dikatakan Tara tadi. Wedang jahe? sekoteng? Apa itu? Kecuali teh hangat. Minuman yang umumnya disukai banyak orang.
"Kapan lagi lo bisa jalan sama cogan? Gue membuka peluang yang besar buat lo sekarang." Ucapnya terlalu percaya diri, memecah keheningan yang sejak beberapa menit lalu memenuhi mobil. "Anggaplah ini ajakan kencan."
Tara memutar bola matanya. Ia mau muntah. "Sorry, ya, gini-gini gue pernah satu kendaraan sama cogan nomor satu sekolah. No hoax. Asli. Real."
Dave menoleh singkat merasa tertarik. Pancingannya berhasil, umpannya telah dimakan.
"Cogan sekelas Kak Arlan, nggak cuma ganteng, tapi dia juga berprestasi…”
“Terus?”
“Dia juga siswa teladan di sekolah, kesayangan guru, sederhana─" lanjut Tara menggebu.
"Sepertinya lo suka banget sama Arlan. Tapi, sayangnya, dia nggak suka lo, ya," ujarnya enteng. Sangking entengnya, dia bahkan sudah terbahak.
Sementara Tara sudah meringis dalam diam, berbeda dengan apa yang ia tampilkan di luar─wajah datar. Ucapan Dave memang sepenuhnya benar. Ia akui itu. Tapi lagi-lagi ia tidak akan mengatakan itu terang-terangan. Tidak, karena Dave akan menertawakannya habis-habisan.
Tara percaya, tidak ada yang salah jika ia menyukai Arlan. Ia tahu benar, bahwa itu bukan hal berlebihan. Masih normal sekali, kok. Menyukai satu cowok dalam waktu lama. Kecuali jika dalam satu waktu ia menyukai banyak cowok. Baginya itu aneh. Dan menjadi aneh lainnya jika Tara memaksa Arlan menjadi pacarnya─meskipun ia akan sangat dengan senang hati jika Arlan juga menerimanya.
"Kurang kerjaan banget lo suka sama cowok yang udah suka cewek lain," Dave masih menyetir ketika membagi tatapannya kepada Tara dari jalan dihadapannya, "Gak laku apa gimana lo?” lanjutnya meledek.
Tara menatapnya garang. “Apa peduli lo? Lagipula gue nggak akan percaya omongan lo. Pendatang baru yang nggak tahu apa-apa mending gak usah banyak komen.”
“Masa?”
Perempuan itu menggangguk yakin, “Setidaknya gue lihat sendiri.”
Dave tergelak di tempatnya, “Dasar budak cinta.” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya,” Ada banyak cowok yang masih available di luar sana." Ia menepuk dada kirinya bangga, "Contohnya gue."
Tara tertawa sinis, mengejeknya balik dengan sarkas. “Mungkin mata gue katarak kalau beneran suka sama lo. Gue nggak akan tertarik sama lo. Lo inget itu.”
Sekalian sajalah. Tara sadar kata-katanya tadi sudah kelewatan, tapi mendengar Dave mengomentarinya dengan ucapan pedas versinya, membuatnya kesal juga. Meledak-ledak di depan Dave hanya akan membuat tingkat kekesalannya meningkat. Mending ia balas dengan jawaban songong seperti yang dilakukan laki-laki itu.
“I cannot help if you were falling in love with me.”
"Ogah!"
"Daripada sama Ojan."
Cowok disebelahnya itu sudah terkekeh. Menikmati ekspresi Tara yang sudah sangat gondok itu. Mungkin jika bisa, Dave ingin sekali-kali membuat Tara menangis karena perasaan kesal yang disebabkan olehnya yang hari ini dilakukannya secara beruntun.