Uang lima ribu miliki Asep, Ajat belikan gorengan. Untuk kami berikan pada Pak Wasid. Saking senangnya mendapat makanan enak, kami lupa tidak menawarinya. Aku takut dia juga sedang kelaparan. Sudah hampir satu jam kami di klinik, Pak Wasid dan Dani belum juga keluar. Aku cemas.
Ajat kembali membawa sekantong gorengan. Dia memberikannya padaku.
“Biar aku sama Asep yang jaga parkiran. Kau antar gorengannya sana.” Ajat menyuruhku sambil menyodorkan gorengan yang dia beli.
“Hm, oke.”
Pak Wasid sudah tidak ada di antrean. Aku mencoba mengintip dari jendela klinik. Mereka sudah di dalam. Aku mencoba masuk. Seorang petugas klinik menghalangiku. Aku coba meyakinkannya kalau aku saudara si pasien. Dia tetap tidak membolehkanku masuk. Keras kepala sekali.
“Bu, biarkan saja, dia memang saudaranya.” Seru dokter yang sedang memeriksa Dani.
Dokter ini kan…
-----
“Sudah kuduga kalian memang berteman.” Ucap dokter yang tadi memberi kami makan.
Aku tertawa kecil, malu menatapnya.
“Kau sudah mengucapkan terima kasih belum, Ujang!?” Pak Wasid bertanya dengan nada tingginya.
“Eh, belum, hehe.” Jawabku dengan malu. “Terima kasih pak dokter.” Aku menoleh pada dokter baik itu.
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan pak.” Jawab dokter sambil tersenyum simpul.
Dia lanjut memeriksa Dani. Kuberikan gorengan tadi pada Pak Wasid. Dia langsung memakannya dengan lahap. Sudah kuduga, dia pasti lapar. Mungkin sejak pagi dia memang belum makan apa-apa.
Keadaan Dani terlihat semakin memburuk. Dia lebih lemas dari sebelum kami bawa ke sini. Aku bahkan tidak bisa mengajaknya bicara. Dia banyak diam. Entah suaraku terdengar atau tidak.
“Tenanglah, dia akan baik-baik saja.” Dokter berusaha menenangkanku.
“Kamu tunggu saja di luar, Jang.” Pak Wasid menatapku dengan mata sembap.
Aku tidak bisa membantah. Sambil keluar, aku bertanya-tanya, seperti ada yang disembunyikan dariku. Entah apa. Aku tidak paham banyak tentang orang sakit. Apalagi, melihat mata Pak Wasid yang sembap seperti tadi, aku semakin curiga. Dia tidak pernah terlihat selemah itu sebelumnya.
“Dani baik-baik saja kan, Jang?” Asep menghadangku dengan pertanyaan yang tidak ingin kujawab.
“Entahlah…” aku tidak bisa berbicara banyak.
“Hey, bukannya kau dari dalam?” Ajat menyentakku.
“Dokter menyuruhku tenang, lalu Pak Wasid memintaku untuk keluar. Aku tidak tahu apa-apa…”
“Tapi kau melihatnya kan? Kau pasti sempat melihat keadaan Dani kan?” Asep kembali menyerangku dengan pertanyaan yang tidak ingin kujawab.
Aku hanya mengangguk.
“Lalu, bagaimana?” Wajah mereka mulai terlihat cemas.
“Dia memang tidak terlihat baik-baik saja. Tapi dokter memintaku untuk tenang, katanya Dani akan ‘baik-baik saja’, sudahlah, aku tidak mau membahasnya.”
Aku berlari meninggalkan mereka. Firasatku berkata buruk. Kata-kata Pak Wasid masih terngiang di kepalaku: Kau rela membiarkan temanmu dalam keadaan seperti ini? Ini gejala tifus! Banyak yang sampai meninggal karena tifus…
-----
Kolong jembatan yang menjadi rumah kedua bagi kami berempat kosong. Aku bersembunyi di sini. Entah kenapa setelah melihat keadaan Dani seperti tadi, rasanya aku ingin menangis. Di antara kami, aku memang yang paling mudah menangis, menghamburkan air mata.
Dengan kondisi Dani yang kulihat tadi, aku putus asa. Aku salah. Kalau saja aku tidak terlambat menyadari kalau Dani sakit, mungkin tidak akan seperti sekarang. Dia anak yang riang. Dia temanku. Dia tidak pernah mengeluh, sekalipun dipukuli habis-habisan oleh para preman. Dia kuat. Anak yang kuat.
Walau tetap saja, keyakinan bahwa dia anak yang kuat tidak bisa membuatku tenang.
“Jang!”
Ajat berlari menghampiriku terengah-engah.
“Kenapa?” Jawabku sambil menyeka air mata.
“Dani… dia…”
“Dani kenapa Jat!?”
“Tenang dulu,” aku mengangguk. “Dani dibawa ke rumah sakit. Pak Dokter yang tadi membawa Dani menggunakan mobilnya. Pak Wasid ikut ke sana.”
“Dia baik-baik saja kan?”
“Daripada hanya bertanya, kita susul saja dia ke rumah sakit.” Jawabnya dengan nada kesal.
Aku mengangguk. Lantas pergi, katanya Dani dibawa ke rumah sakit Al-Islam. Asep tidak mau ikut katanya. Dia memang tidak perlu ikut. Apalagi menjadi tukang parkir penghasilannya lumayan. Aku mengerti. Bukan dia tidak peduli pada Dani. Justru karena peduli, dia bekerja untuk bisa memberi Dani makanan yang bergizi.
Agar tidak terlalu mahal, kami pergi menggunakan Bus Damri jurusan Ledeng-Cibiru. Perjalanan ke sana cukup jauh. Tidak mungkin kami menyusul hanya mengandalkan jalan kaki.
Jalanan tidak terlalu macet. Kami sampai dengan cepat. Tepat di halte seberang rumah sakit Al-Islam. Ketika hendak membayar, Pak Sopir tidak menerimanya. Dia membiarkan kami naik gratis. Dia baik sekali. Katanya: “Aku tahu kalau kalian anak jalanan. Kita sama-sama makan dari jalanan. Sesama manusia jalanan, kita harus saling memberi.” Dia baik sekali.
Setelah berterima kasih, aku dan Ajat segera masuk ke rumah sakit. Bangunannya sangat besar. Aku tidak tahu bagaimana cara menemukan kamar Dani. Ini kali pertama aku ke rumah sakit. Ajat juga, dia tidak tahu di mana Dani dirawat. Lalu seorang suster yang melihat kami kebingungan membantuku mencari kamar Dani.
“Dani apa namanya dek?” Tanya suster.
“Dani Firmansyah, sus.” Jawabku.
“Oh, dia di kamar 3Z, tidak terlalu jauh dari sini. Mari saya antar.”
Suster baik itu mengantar kami sampai di kamar Dani. Di luar kamar aku bertemu Pak Wasid. Dia terlihat amat lelah. Aku lupa tidak membawa apa-apa untuk dimakan. Dia sudah membantu kami dari pagi, sampai sekarang sudah hampir malam. Kalau tidak ada Pak Wasid, mungkin tidak akan ada yang menyelamatkan Dani.
“Dani di mana, Pak?” Pak Wasid tersadar dari kantuknya.
“Dia di dalam, tenang saja, dokter sedang berusaha menyembuhkannya.”
“Maaf jadi merepotkan Pak…” ucapku pada Pak Wasid.
Plak!
Dia menamparku dengan keras. Matanya terlihat marah mendengar ucapanku. Aku tidak mengerti, apa yang salah dengan ucapanku? Padahal aku hanya ingin meminta maaf sudah sangat merepotkannya.
“Kalau aku tidak membantumu, lalu siapa yang akan membantu gelandangan seperti kalian!? Sudah, jangan meminta maaf, kalian sudah kuanggap sebagai anak sendiri.”
Mataku berkaca-kaca mendengar jawabannya, Ajat juga. Kami memeluk Pak Wasid dengan haru. Kulepaskan segala rasa sakit yang sejak dulu melilit hatiku. Dia memang sosok ayah bagiku selama ini. Pak Wasid membalas pelukan kami.
-----
Dokter keluar dari kamar Dani. Dia Pak Dokter yang di klinik tadi pagi.
“Bagaimana keadaan Dani, Pak?” Tanyaku sambil menghampirinya.
“Dia harus dirawat dulu untuk sementara waktu.” Jawabnya lirih, hampir tidak terdengar.
“Tapi, biaya perawatan kan…” Pak Wasid menundukan kepalanya.
“Tidak apa-apa Pak, biar saya yang menanggung biayanya.” Tukas Pak Dokter, dia tersenyum padaku. “Oh iya, nama saya Azhar. Azhar Khalid.”
“Dokter serius?” Pak Wasid belum memperkenalkan nama saking kagetnya.
“Serius Pak, insya Allah. Nama bapak siapa?”
“Oh iya, nama saya Wasid. Ini Ujang dan Ajat, sedangkan yang dirawat namanya Dani, dan yang sedang di parkiran namanya Asep.”
“Iya, Asep itu yang Dokter beri makanan di warung makan.” Ucapku menambahkan.
“Oh iya saya ingat.” Dia tersenyum simpul, perangainya sangat tenang.
Dokter Azhar ternyata sangat baik. Dia memiliki dua janji kepadaku. Memberi seragam tukang parkir, dan menolong biaya perawatan Dani. Padahal kami baru kenal tadi pagi. Tidak kusangka masih ada orang baik yang mau peduli atas kehidupan seorang gelandangan.
-----
@Itikittiy aku masih muda kok kwkwk
Comment on chapter Rongsokan