Wortel, kol, dan seikat kangkung sudah ada dalam karungku. Aku mencurinya dari pasar. Sebenarnya tidak bisa disebut mencuri juga, karena yang kubawa ini hanyalah barang sisa yang tergeletak di bawah meja dagangan para penjual sayur. Biar kusebut sebagai hasil mulung saja. Aku bukan pencuri.
Asep dan yang lain mungkin sedang mandi di sungai sekarang. Aku sengaja tidak ikut dulu, ada sedikit perasaan gundah yang sejak kemarin menghampiriku. Kenangan tentang masa laluku sebelum menjadi seorang pemulung dan anak jalanan.
Entahlah, aku kembali teringat tentang itu ketika melihat seseorang yang mirip sekali dengannya. Dengan seseorang yang pernah tega membuangku. Setelah sekian lama dia membesarkanku. Aku dibuang. Di tengah keramaian kota. Dia meninggalkanku begitu saja. Berpura-pura tidak mendengar suaraku yang merengek memanggil namanya.
Hingga akhirnya Asep membawaku. Dia melatihku untuk hidup keras. Kehidupan yang berbeda jauh dengan yang pernah kualami dulu. Barang yang saat ini kupegang, adalah sesuatu yang pertama kali dia berikan padaku. Karung bekas. Karung yang sering kugunakan untuk memulung.
“Ujang! Ini ada sedikit sisa dagangan.” Kata Bu Marni, seorang penjual daging ayam sambil memberikan sekantong plastik sisa potongan daging dan usus ayam.
“Wah! Hatur nuhun bu!” (Wah! Terima kasih bu!). Jawabku sambil meraihnya.
“Iya sama-sama. Besok-besok lewat sini lagi. Siapa tahu ada sisa lagi, sayang kalau dibuang kan.” Katanya sambil mengusap kepalaku.
“Ehm!” Aku mengangguk.
Mungkin kalau orang lain yang mendengar kata-kata seperti itu akan merasa terhina. Tapi aku tidak seperti itu. Bagiku itu sebuah kebaikan yang tidak boleh kulewatkan. Ini lebih baik daripada aku harus terus-terusan mencuri. Sudah kenyang perutku ini dengan berbagai makanan haram.
Seorang anak kecil dan ibunya pernah membuatku termenung hingga hari ini dengan obrolannya yang tanpa sengaja kudengar.
“Bu, kenapa kita tidak boleh makan dari hasil mencuri?” Tanya si anak pada ibunya.
“Makanan yang kamu makan dari hasil mencuri itu haram, nak.” Jawab si Ibu singkat.
“Terus kalau haram bagaimana, Bu?” Si anak bertanya lagi.
“Kalau kamu makan makanan haram, kamu akan jadi anak yang nakal, doamu tidak akan terkabul, lalu kau akan terbiasa dengan hal buruk lainnya.” Jawab si Ibu dengan mengusap kepala anaknya.
“Aku mengerti Bu.” Si anak tersenyum riang.
Aku melanjutkan memulung. Di karungku sudah ada banyak makanan. Tercampur dengan rongsokan hasil memulung. Tidak apalah, aku sudah terbiasa makan makanan kotor seperti ini. Toh, nanti sebelum dimasak pun pasti dicuci terlebih dahulu. Itu cukup sepertinya.
Kubawa bahan makanan ini ke rumah kardus, lantas memisahkannya dengan rongsokan yang akan kutimbang di rumah Pak Wasid. Ajat pasti bisa memasaknya. Dia sangat pandai memasak. Jangankan bahan makanan seperti ini, rumput pun bisa dia sulap dengan keterampilannya menjadi masakan yang sangat lezat seperti makanan di warteg.
Hasil memulungku hari ini kembali kutabung untuk membeli gerobak. Kata Pak Wasid, tabunganku sudah cukup untuk membeli gerobak kecil yang biasa digunakan penjual baso tahu. Namun aku menolak. Aku tetap ingin berjualan gorengan saja. dan gerobak gorengan biasanya lebih besar dari gerobak tukang baso tahu.
Sebelum kembali ke rumah kardus, aku sempatkan mencari Dani, Asep, dan Ajat. Di rumah ada makanan enak. Mereka harus ikut menyantapnya. Maksudku, aku juga ingin Ajat yang memasaknya.
Di sungai tidak ada mereka.
Aku cari ke kolong jembatan. Mereka tidak ada juga di sana.
Mungkin mereka sudah pulang ke rumah kardus saat aku menimbang rongsokan tadi. Tapi, perasaanku tidak enak. Aku merasa harus melewati jalan pasar. Kuturuti perasaanku. Menyusuri jalanan, bau oleh macam-macam sayuran busuk yang terbawa hujan dan selokan. Khas aroma pasar tradisional.
Keramaian lalu lalang di hadapanku. Tawa dan canda menghiasi kota Bandung yang indah ini. Bagi kami, kota ini memang selalu indah. Apalagi ketika bulan Ramadan datang, banyak makanan gratis yang bisa kami ambil sepuasnya. Bahkan ada juga yang sengaja membagi-bagikan uang. Indah sekali, bukan.
Di pojok pasar ada kerumunan. Aku menghampirinya. Perasaanku semakin tidak enak.
“Ada apa pak?” Tanyaku pada seorang lelaki paruh baya. Entah siapa.
“Tadi ada dua entah tiga orang anak yang ketabrak mobil bak dek. Kelihatannya dia luka parah.”
Aku bergegas merangsek masuk ke tengah kerumunan orang-orang. Perasaanku tidak enak. Aku takut kalau-kalau di antara temanku ada di sana.
Jasad mereka sudah ditutup daun pisang. Katanya mereka tewas di tempat. Aku menangis. Ada tiga orang anak yang menjadi korban ternyata. Aku tahu sandal itu, sandal yang dipakai itu milik Dani.
-----
Aku berusaha mendekat walau dihadang beberapa orang. Aku ingin memastikan, apakah dia teman-temanku atau bukan. Kubuka daun pisang itu perlahan. Warga membiarkanku. Seperti mengerti kalau mereka adalah teman-temanku.
“Jang!” Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh ke perlahan. Aku tahu suara itu!
“Asep!” Teriakku sambil kembali menutup jenazah dengan daun pisang.
“Ikut kami, cepat!” Asep menarik tanganku. Membawaku keluar dari kerumunan orang-orang.
Ajat dan Dani sudah menunggu. Entah ada apa.
“Kenapa?” Aku bertanya keheranan.
“Sebelumnya, kau harus janji tidak akan memberitahukannya pada siapa pun.” Ajat menjawab dengan suara yang hampir tidak terdengar.
“Iya, aku janji.” Aku ikut berbisik.
“Begini, mumpung orang-orang pasar sedang sibuk dengan korban kecelakaan itu, bagaimana kalau kita mencuri beberapa ikan dan bahan makanan lainnya?” Ujar Ajat dengan wajah serius.
“Nah, kita bisa mencuri banyak makanan. Lihat, toko-toko sedang kosong, penjualnya ikut mengurusi jenazah itu.” Timpal Dani sambil menunjuk ke arah para korban.
Aku tertawa gelak. Mereka memandangiku sinis.
“Kau tidak mau makan enak?” Asep memukul punggungku.
“Bukan begitu, aku punya banyak bahan makanan. Makanya aku mencari kalian. Ya walaupun seadanya. Tapi ini lebih baik daripada harus mencuri. Bu Marni memberiku sedikit daging ayam. Dan aku mendapat beberapa sisa sayuran yang kupungut tadi.”
“Tapi…” Ajat menahan apa yang hendak dikatakannya.
“Nah, aku mencarimu untuk mengolah makanannya. Kau jago memasak, bukan?” Tukasku dengan menepuk pundaknya. Dia mengangguk.
Semuanya mengikutiku. Kami pulang ke rumah kardus. Aku memiliki uang dua ribu rupiah di kantong celanaku. Kubelikan penyedap makanan untuk Ajat memasak nanti. Untuk pertama kalinya kami akan makan bukan dari hasil mencuri. Biar seadanya, ini lebih membuatku senang. Entah kenapa, tapi perasaan ini muncul begitu saja.
-----
Masakan Ajat selalu nikmat. Apalagi yang kali ini dia masak daging ayam. Sudah lama kami tidak makan daging ayam. Maksudnya daging ayam yang halal. Seringnya, kami makan daging ayam hasil curian dari pasar. Entah dari penjualnya atau pembeli yang lengah dengan belanjaannya.
Sayuran yang kupunya tidak Ajat masak. Untuk nanti katanya. Biasanya kalau ada banyak bahan makanan selalu dimasak semua. Mungkin Ajat sudah mengerti apa yang kuinginkan.
<<<<<>>>>>
@Itikittiy aku masih muda kok kwkwk
Comment on chapter Rongsokan