Read More >>"> Night Wanderers (Founding Families) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Night Wanderers
MENU
About Us  

Suara mobil pickup tua dengan ringkikannya yang khas terdengar hingga ke dalam rumah besar berarsitektur Victorian style yang didominasi warna abu-abu tersebut. Seorang wanita paruh baya yang sedang mengelap perabotan keramik China menolehkan kepalanya ke arah ruang tamu yang dibatasi kaca transparan, dan ia pun menemukan sosok putranya berjalan keluar dari mobil tersebut.

“Mom, besok malam aku akan makan malam dengan Karen dan kedua orang tuanya di sebuah restoran Italia dekat universitas. Kau tidak perlu memasakkanku makan malam,” ucap Ben seraya mengambil tempat duduk di meja makan untuk memulai sarapannya. Ia tidak melihat ayahnya pagi ini. Sepertinya ia sudah sarapan dan pergi ke kandang peternakan mereka.

“Baguslah jika kau tidak memiliki masalah dengan Karen Gifford,” komentar mamanya sebelum mengunyah lagi.

By the way, Mom, kenapa kau tidak pernah bilang padaku kalau keluarga Stone memiliki seorang putri?”

Mamanya terlihat kaget. “Maksudmu?”

“Owen Stone punya saudara perempuan, namanya Julie Stone. Aku sudah bertemu dengannya beberapa hari yang lalu, tapi baru tadi pagi aku mengetahui namanya,” sambung Ben. “Ia sekarang sedang berkuliah di Dalevoux University.”

“Oh, I see,” balas mamanya singkat.

“Gadis itu mirip sekali dengan Owen. Agak mengerikan juga, jika kupikirkan lagi,” tambah Ben sambil termenung memikirkan paras Julie.

“Ben, kau adalah orang paling ambisius dan passionate dengan apa yang kau jalankan dalam hidup. Kau tidak pernah punya waktu untuk membahas hal lain selain keluarga, pekerjaan, dan Washington, D.C. Lagipula, jangankan tahu soal putri keluarga Stone. Mendengar nama itu saja, kau pasti sudah langsung kesal dan pergi sejauh-jauhnya.”

Ben tertawa mendengarnya. “Kurasa kau benar.”

Mamanya memberikan pandangan lekat. “Apa kau tertarik pada gadis itu?”

Ben hampir tersedak makanannya sendiri saat mendengarnya. “Apa? Tentu saja tidak, Mom,” jawab Ben sebelum meraih air putih di sebelahnya. “Aku sedang pacaran dengan Karen, oke?”

“Maksudku, apa kau tertarik padanya hanya agar kau bisa menjadikannya perantara atau sumber informasimu terhadap apa yang terjadi pada Billy?”

Ben memberikannya pandangan masam. “Mom, aku memang benci dengan Clint dan Meredith Stone. Tapi itu bukan alasan untukku menggunakan putri mereka demi kepentinganku sendiri.”

“Jadi apa kau mau memberitahuku kejadian dua hari yang lalu?”

“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” balas Ben seadanya, meski ia mulai cemas.

“Ben, aku tahu apa yang kau lakukan dua hari yang lalu.”

Kali ini Ben terdiam, dan ia benar-benar sudah gelisah.

“Ben, apa yang kau pikirkan? Kenapa kau tidak bisa membiarkannya berlalu saja?” tanya mamanya lagi. “Aku dan ayahmu sudah muak dengan drama mereka. Setidaknya, keluarga kita tidak perlu berhubungan lagi dengan keluarga Stone lagi sejak kejadian itu. Tetapi kenapa kau harus menghancurkan ketenangan ini dengan mencari masalah dengan Clint?”

Dua hari yang lalu, departemen kantornya mengadakan rapat kunjungan ke Stone, Inc. di pusat kota Dalevoux untuk membahas rencana peningkatan kualitas sistem dan manajemen sumber daya di Dalevoux University beserta evaluasi kuarter para karyawan. Rapat semacam ini dilakukan secara rotasi di tempat-tempat yang disarankan oleh para dewan yayasan, donatur utama atau pemegang saham universitas.

Ben menggunakan kesempatan itu untuk menyelinap masuk ke ruangan kantor Clint Stone. Ia ingin mencari bukti apapun yang bisa ia gunakan untuk menjatuhkan pria itu. Ben sadar kalau tindakannya memang tidak benar, dan ia bisa saja dijatuhi hukuman jika ketahuan. Tetapi setelah menghabiskan waktu sepuluh menit di sana, ia tidak menemukan apapun dan akhirnya pergi.

Clint pasti memiliki kamera di dalam ruangannya sendiri. What a freak.

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Sekretarisnya datang kemari kemarin.”

Ben menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tahu jelas siapa maksud mamanya. “Apa Brian mengancam keluarga kita dengan cek jutaan dolar agar aku berhenti mengganggunya?”

“Ben! Ini serius,” balas mamanya kesal. “Bagimu, ini mungkin perbuatan sepele yang tidak berarti apa-apa. Tapi kita tidak pernah tahu bagaimana Clint akan menanggapinya. Ia bisa saja membuatmu dipecat dari pekerjaanmu saat ini.”

“Mom, tenanglah. Kita masih berada dalam tangga hirarki bodoh founding families di kota ini. Bahkan jika Clint memandang rendah keluarga ini, ia tidak bisa menyentuh kita seenaknya tanpa mengikuti Konstitusi Kelahiran Dalevoux. Berterima kasihlah pada para buyut kita untuk itu.”

“Ben, apa yang membuatmu berpikir Clint akan diam saja? Dengarkanlah kata mamamu ini, setidaknya.”

“Mom, apa kau lupa kalau dia menuduh Billy secara sembarangan dan menjelek-jelekkan keluarga kita di mata semua orang? Apa yang kulakukan pada Clint bukanlah seberapa.” Ben kemudian meneguk habis air putihnya. “Jika ia memiliki masalah denganku, seharusnya ia menemuiku.”

Ben berdiri dari duduknya, tetapi mamanya segera menahan pergelangan tangannya.

“Ben, jangan melawan mereka,” ujar mamanya. “There’s nothing good if a war breaks between us. Kita tidak mau kejadian dua tahun lalu terulang lagi.”

Ben hanya bisa terdiam memandangi ekspresi cemas mamanya.

 

x-x-x

 

“Minggu depan kita akan melakukan presentasi Bab 5 secara berkelompok. Kalian bisa membentuk grup sendiri sekitar 3-4 orang, dan siapkan materi yang diminta secara lengkap dan lugas. Class dismissed.

Julie segera membenahi buku-buku dan peralatan tulis menulis di hadapannya tanpa berdiskusi dengan teman-teman di sebelahnya mengenai tugas tadi. Mereka juga tidak berani memanggil Julie dan hanya memandangi gadis itu dengan kesibukannya, sebelum akhirnya Julie berjalan pergi dari kelas dengan langkah terburu-buru.

Ketika ia melewati kantin kampus yang luas dan menjual beraneka ragam makanan dengan wangi yang luar biasa, perutnya langsung otomatis berbunyi lagi. Tapi ia tidak bisa membeli apapun karena uangnya habis, dan mamanya baru akan memberikan uang jajan minggu depan. Sambil menggerutu, ia pun berjalan melewati tempat itu dan segera menuju ke perpustakaan Dalevoux untuk menemui Max.

Siluet tubuhnya yang ramping dan warna rambut merahnya yang mencolok menangkap perhatian Ben ketika cowok itu berjalan memasuki area kampus sehabis makan siangnya. Ia pun menyipitkan mata melihat gelagat aneh Julie.

Sementara itu, posisi perpustakaan mereka yang agak jauh dari gedung-gedung kampus yang lain membuat Julie mengeluh di saat-saat penting seperti ini. Dengan sedikit terengah, Julie pun memanjat puluhan anak tangga yang mengarah menuju area perpustakaan megah mereka. Dibukanya pintu gedung tersebut dan berjalan masuk ke dalam, menuju rak buku-buku sejarah. Ia akhirnya melihat Max yang sedang duduk santai di sofa baca.

“Kelasmu sudah selesai?”

Julie hanya mengangguk singkat sembari mengambil tempat duduk di hadapan pria itu. Semakin cepat ini berakhir, semakin cepat pula ia tidak bertemu Max lagi.

Max menutup bukunya. “Baiklah, aku akan mulai dulu. Berkas yang kuberikan padamu saat itu tidak ada catatan investigasi kematian Billy Easton sama sekali. Untuk apa kau menghabiskan waktu hampir satu jam untuk mencari-cari informasi yang tidak ada, dan juga mengambil resiko dikenali oleh Chief Lee?”

“Aku benar-benar tidak berbohong saat aku bilang kalau aku tidak tahu nama belakang atau tanggal meninggalnya Billy Easton,” jawab Julie kesal. “Kau pikir aku akan mengunjungi kantor polisi jika aku tahu? Aku kan bisa tinggal cari di internet saja.”

I see. Pasti cukup frustrasi bagimu dengan keterbatasan informasi soal Billy Easton, bukan begitu?”

Julie tidak membalas dan hanya mengutuknya dalam hati.

“Kenapa kau ingin tahu soal Billy? Apa hubunganmu dengannya?”

Julie berpikir cepat untuk merangkai jawaban masuk akal yang tidak melibatkan frasa “berbicara dengan hantu” atau “membantu Billy yang sudah mati.”

“Aku bertemu Billy dari kelas coding yang pernah kuhadiri.” Ia tidak berbohong soal kelas tersebut, karena ia benar-benar mendaftar program demikian dua tahun yang lalu sebelum masuk ke universitas.

Max mengerutkan kening. “Kelas coding?”

Yeah. Sebelum aku masuk ke universitas, aku menghadirinya untuk mencari tahu apakah aku mungkin punya minat untuk bergabung ke jurusan seperti Computer Science. Kau bisa bertanya pada orang tuaku kalau mau.” Bagian yang ini juga bukan kebohongan. “Tapi aku tidak pernah berbicara dengan Billy sebelumnya.”

Namun Max masih terlihat tidak mempercayai Julie. “Lalu kenapa sekarang kau mencari tahu soal kematiannya?”

Julie memiliki satu cerita yang bisa ia sampaikan pada Max untuk ini. Ia pun memberitahunya mengenai apa yang ia dengar dua hari yang lalu dari pembicaraan kedua orang tuanya. Tidak relevan memang, tetapi setidaknya ada sesuatu yang bisa ia berikan pada Max.

Ketika Julie menceritakan hal itu pada Max, pria itu hanya mengangkat bahu. “Mungkin itu bukan Easton.”

“Lalu siapa?” balas Julie kesal. “Aku mengenal papaku. Dia tidak mudah dijatuhkan oleh orang-orang yang tidak memiliki kuasa atau pengaruh apa-apa di kota ini. Tapi ceritanya berbeda jika itu Easton. Dan aku yakin kau pasti tahu soal sejarah keluarga kami.”

“Oke, anggaplah kau benar. Lalu untuk apa ayahmu mengancam Easton? Sejauh yang kudengar, tidak ada pertengkaran apapun yang terjadi di antara keluarga kalian,” balas Max. “Apa kau mengetahui sesuatu?”

Julie menggeleng. “Sudah cukup kan? Sekarang giliranmu.”

Max menyenderkan punggungnya ke sofa. “Baiklah.”

Julie pun mengajukan pertanyaan pertamanya.

 

x-x-x

 

Kantor HRD Dalevoux University saat itu sedang cukup senggang karena akhir pekan yang menjelang dan telah berakhirnya rapat mingguan yang kerap membuat staff stres karena merekap tumpukan pekerjaan minggu itu dan menyiapkan to-do list untuk minggu berikutnya. Itu adalah siklus yang umum di sana, dan tidak hanya Ben yang telah bekerja selama setahun di situ tetapi semua karyawan dari yang paling senior hingga yang baru masuk bulan kemarin pun sudah kenyang dengan rutinitas monoton ini.

Ben sebenarnya bukan seorang lulusan dari departemen manajemen sumber daya manusia di Dalevoux University. Selama tiga setengah tahun sebelumnya, ia menimba ilmu di departemen perpajakan negara dan berencana untuk mencari pekerjaan di Washington D.C. sehabis lulus. Hanya saja, Ben tidak menutup pilihannya ketika kesempatan bekerja datang saat dirinya masih berkuliah. Tahun lalu di semester terakhirnya, Dalevoux University membuka lowongan magang di departemen human resource untuk beberapa mahasiswa saja, dan mereka tidak harus berasal dari departemen Manajemen SDM. Ternyata Ben berhasil mendapatkan posisi tersebut dan memulai fase penyeimbangan kerja dan kuliahnya hingga lulus. Ia tidak perlu khawatir menjadi pengangguran sehabis lulus karena ia memperpanjang kontrak pekerjaannya dengan Dalevoux University yang menawarkannya posisi staf kontrak selama 1 tahun.

Ben sedang mematikan laptopnya ketika dilihatnya pintu ruangan HRD terbuka dan masuklah sosok tinggi tegap dengan setelan jas birunya yang rapi. Ekspresi pria itu dingin dan tidak bersahabat, dan tidak ada siapapun yang menyapanya. Namun pria itu tidak menghiraukan keheningan aneh tersebut dan langsung melangkah menuju kantor Director HRD yang ada di sisi kanan departemen, diikuti oleh seorang pria yang sepertinya adalah sekretarisnya.

Sekali lihat saja, semua orang sudah tahu siapa dia.

Ketika pandangannya bersirobok dengan Clint, Ben merasa gumpalan amarah dan kekesalannya selama ini naik ke tenggorokannya. Clint memberikannya tatapan sinis sebelum melangkah masuk ke ruangan Mr. Harry, direkturnya.

What’s his deal?” gumam Ben pelan, tetapi malah terdengar oleh Colin, rekan kerja di meja sebelah kirinya.

“Karena dia berada di dewan direksi?” balas Colin sarkastik.

Ben tidak menjawabnya dan hanya membereskan barang-barang di mejanya sebelum akhirnya berpamitan dengan rekan-rekan kerjanya dan pergi dari situ. Beberapa karyawan dari departemen lain menyapanya saat ia melangkah di koridor universitas dan menawarkannya untuk ikut mereka ke Lunar malam nanti, yang Ben tolak dengan sopan. Ia tidak ingin terlambat menemui Karen dan kedua orang tuanya untuk makan malam mereka nanti, jadi ia akan pulang sebentar ke apartemennya untuk mandi, mengenakan setelan jas barunya dan mengambil buket bunga yang telah ia pesan dari kemarin.

Ini sebenarnya bukan makan malam yang pertama bagi Ben dan keluarga Gifford. Sebelumnya, ketika orang tua Karen mendapat kabar mengenai hubungan Ben dan Karen yang baru berjalan beberapa bulan yang lalu, mereka bersikeras untuk makan malam bersama di rumah keluarga Gifford. Dan alih-alih kikuk, makan malam mereka malah menjadi menyenangkan, dan Ben dan Karen juga jadi sering menghabiskan waktu bersama.

Pertemuan Ben dan Karen pun cukup unik, karena awalnya Ben baru tahu soal Karen dari mamanya. Mungkin mamanya sudah melihat dirinya bertambah dewasa tetapi masih sering mengganti pacar seperti anak SMA, sehingga ia jadi menyarankan Ben untuk mencoba bertemu dengan Karen dan mulai berteman dengan gadis itu. Dan awalnya Ben juga tidak begitu bersemangat dengan “kencan buta” ini, karena ia belum ingin menjalani hubungan serius untuk saat ini. Namun, pertemuan mereka ternyata malah mengubah persepsinya, dan Ben sama sekali tidak menyesali hal itu.

Siapapun akan jatuh cinta dengan Karen. Dia seumuran dengan Ben dan sekarang berprofesi sebagai pengacara di firma hukum terkenal di Dalevoux. Gadis itu sangat rendah hati meskipun ia adalah putri keluarga Gifford sebagai salah satu founding family Dalevoux. Terlebih, ia pintar dan bijaksana, melengkapi penampilannya yang cantik dan berkelas.

Sambil tersenyum karena memikirkan Karen, Ben melangkahkan kakinya keluar dari properti universitas dan melihat para mahasiswa yang telah menyelesaikan sif kelas sore berjalan berseberangan di sekitarnya, sehingga kawasan di depan kampus menjadi ramai.

Ketika Ben menoleh ke arah perpustakaan, ia bisa melihat Julie sedang berbicara dengan seorang pria bertubuh tinggi dan berkepala botak di area depan gedung yang ramai. Tidak lama setelahnya, pria itu membalikkan badan dan berjalan pergi, sementara Julie masuk kembali ke perpustakaan.

Ben tahu jelas siapa itu. Apa yang Max lakukan di sini? Dan apa yang mereka bicarakan?

Ben langsung berlari ke arah gedung perpustakaan dan setibanya di area lobi, ia segera mencari-cari di mana Julie berada. Ketika ia melihat sosoknya berjalan memasuki area bilik komputer di sayap kiri gedung, Ben segera mengikutinya dalam jarak aman agar gadis itu tidak menyadari keberadaannya. Dilihatnya Julie menduduki sebuah bangku komputer kosong di antara belasan mahasiswa lainnya, terlihat serius dengan apa yang sedang ia baca di monitor.

Ben segera berpikir cepat dan lalu meraih ponselnya dari dalam saku celana untuk menghubungi seseorang.

“Hei, Jake. Aku butuh bantuanmu. Bisakah kau mengirimkanku informasi yang diakses dari komputer perpustakaan kampus hari ini?” Ben kemudian menghitung nomor komputer Julie dari kejauhan. “Komputer nomor 19, bilik sayap kiri.”

Jake adalah teman Ben yang bekerja di departemen IT Dalevoux University. Di ujung telepon, Jake menanyai apa tujuannya meminta bantuan tersebut.

“Aku sedang menggunakan komputer ini dan melihat riwayat pencariannya, dan sepertinya ada beberapa informasi sensitif yang diakses. Aku ingin memastikannya dulu sebelum membuat laporan kepada bagian administrasi kampus.”

Jake berkata bahwa ia akan segera mengirimkan email kepada Ben dalam waktu lima menit. Ketika email tersebut masuk, Ben segera keluar dari gedung untuk menuju ke jajaran bangku di depannya. Setelah duduk, ia lalu membukanya dan memeriksa riwayat pencarian informasi artikel yang menggunakan akun login Julie. Ternyata gadis itu mencari tahu informasi tentang founding families kota ini dan Konstitusi Kelahiran, beserta artikel-artikel tentang kecelakaan Billy dan kejadian bunuh diri kakaknya sendiri.

Ben mulai bertanya-tanya lagi dalam hati. Sebenarnya apa tujuan gadis ini? Selama dua tahun ini, tidak ada seorang pun selain dirinya yang memiliki ketertarikan terhadap kejadian naas tersebut. Semua orang telah melupakan apa yang terjadi kepada Billy. Tetapi kenapa sekarang seseorang yang bahkan tidak memiliki kaitan apa-apa dengan Billy datang bertanya-tanya padanya dan kemudian melakukan pencarian internet intensif seperti ini?

Ingatan Ben jadi kembali lagi ke dua tahun yang lalu.

Ketika keluarganya dihubungi untuk memverifikasi jenazah Billy di rumah sakit, Ben hampir kehilangan akal sehatnya. Ia tidak bisa percaya adiknya yang manis itu meninggal dunia, setelah kemarin mereka saling menggiring ternak-ternak kembali ke kandang dan kemudian duduk di depan teras sambil menikmati irisan cheesecake buatan mama mereka. Ben masih ingat senyuman adiknya saat itu, senyuman yang pada akhirnya menghilang seiring dengan nyawanya.

Mamanya menangis hingga tidak sadarkan diri di rumah sakit, sehingga ayahnya terpaksa harus memanggil dokter untuk memeriksa istrinya terlebih dahulu. Di tengah-tengah kesendiriannya dengan Billy di ruang jenazah, Ben menangis sejadi-jadinya sambil menyentuh wajahnya yang sudah rusak oleh bekas luka di mana-mana. Billy yang ada di hadapannya itu sudah menjadi seonggok tubuh tanpa jiwa yang tidak akan pernah kembali lagi padanya.

Setelah mengunjungi rumah sakit, Ben dan kedua orang tuanya harus mengunjungi kantor polisi untuk memberikan keterangan. Ben sedang menunggu giliran interogasinya di luar ruangan, ketika ia melihat Clint dan Meredith Stone berjalan ke dalam ruang interogasi kedua orang tuanya bersama dengan Brian dan seorang pria berkacamata yang merupakan pengacara keluarga Stone. Itu adalah pertama kalinya Ben melihat dua orang terkemuka dari keluarga Stone itu, yang ternyata juga adalah orang tua Owen Stone, pemuda yang bernasib sama menyedihkannya dengan Billy.

Mereka berempat berjalan masuk, dan pintu ruangan interogasi ditutup kembali. Berikutnya terdengar argumen-argumen dalam suara tinggi. Seorang petugas polisi dan detektif kasus itu, Max, cepat-cepat keluar dari ruangan sebelah untuk masuk juga ke ruangan interogasi.

Ben beranjak dari duduknya dengan kebingungan luar biasa. Ia akhirnya memutuskan untuk masuk ke ruangan sebelah yang didindingi kaca dua arah untuk melihat jalannya interogasi di ruangan tadi. Sekarang ruangan itu sangat ramai.

“Mrs. Stone, tolong tenangkan diri Anda,” ucap Max.

“Jangan menyuruhku tenang, Max. Owen tidak akan mati jika dia tidak pernah mengenal Billy,” balas Meredith dengan pandangan berapi-api.

Mama Ben ikut-ikutan tersulut emosi. “Jaga ucapanmu, Meredith!”

Meredith tidak menghiraukannya. “Karena pengaruh buruk putramu itu, Owen jadi berubah. Kau pikir kenapa Owen bunuh diri, Sally? Itu karena Billy pasti telah meracuni dan menghancurkan akal sehatnya!”

Ayah Ben beranjak dari duduknya dengan kemarahan luar biasa, tetapi Clint segera menghadangnya.

“Mau apa kau, Greg? Apa kau ingin memukulku?”

Max segera menengahi kedua pria itu. “Mr. Stone, Mr. Easton. Tolong duduk kembali. Kita bisa membicarakan ini baik-baik.”

“Max, tunjukkan catatan bunuh diri Owen pada mereka,” kata Meredith dingin. “Mungkin mereka akan langsung paham jika membacanya.”

“Mrs. Stone—”

“Aku tidak akan meminta dua kali,” tambah Meredith dengan tatapan tajam.

Walau mereka masih saling terlihat ingin membunuh satu sama lain, mereka berempat akhirnya duduk kembali. Max mengeluarkan secarik kertas yang dibungkus plastik pembungkus barang bukti dari folder di atas meja dan menyodorkannya ke hadapan empat orang tersebut. Ben mendekat ke arah kaca untuk melihat isinya, tetapi posisinya terlalu jauh dan tulisan di dalamnya juga terlalu kecil.

“Catatan ini sama sekali tidak menunjukkan kalau Billy yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada putra kalian,” ucap Greg setelah membacanya.

Meredith tertawa sinis, sementara wajah Clint mengeras.

“Mr. Easton, Owen menuliskan kalimat ini,” ujar Max sambil menunjuk bagian tertentu dari kertas tersebut. “Di sini terbaca, ‘Kenapa pertikaian kedua keluarga ini tidak bisa berakhir?’

“Jadi hanya karena kalimat itu, kalian dengan santai menuduh Billy begitu saja?” tanya Sally balik.

“Oh, Sally, kami tidak hanya akan menuduhmu,” ucap Clint dingin. “Kami akan memastikan kalian berdua menggantikan putra kalian di penjara.”

Berikutnya terdengar kutukan dan sumpah serapah dari dua belah pihak, sementara Max dan dua rekannya segera menengahi situasi itu sebelum bertambah buruk.

Dan tidak ada yang pernah tahu kalau Ben ada di belakang mereka, mendengarkan setiap perkataan mereka, meresapi informasi tadi yang kembali mengoyak setiap relung hatinya hingga berdarah-darah.

Billy tidak mungkin bertanggung jawab atas kematian Owen, pikir Ben dalam hati.

Ben menangis lagi di dalam ruangan itu, menutup telinganya dari suara keras semua orang di ruangan interogasi. Tetapi satu hal yang jelas terjadi setelah itu, Ben membenci Clint dan Meredith karena telah bersikap kasar tidak hanya kepada orang tuanya, tetapi juga kepada mendiang adiknya.

Ben tersentak ketika menyadari bahwa ia masih berada di depan perpustakaan dan habis melamun. Sekarang, Ben merasa perasaannya diliputi mendung seperti saat itu. Ia menghela napas dan duduk termenung lagi untuk beberapa saat.

Beberapa menit kemudian, Ben melihat Julie keluar dari gedung itu dengan tumpukan berkas di sebelah tangannya. Gadis itu berbelok ke arah taman kampus di sisi timur yang berlawanan arah dari tempatnya berdiri sekarang, sehingga Ben mengikutinya lagi.

Karena gadis itu masih belum sadar dengan keberadaannya, Ben pun memanggilnya.

Julie menoleh dan pupil matanya yang berwarna hijau itu menatap balik mata Ben dengan sedikit keterkejutan. “Ben! Kupikir kau sudah pulang,” ucap gadis itu. “Ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu.”

“Oke, bagaimana kalau kita ke—”

“Maaf, Ben, aku sedang buru-buru. Kita bicara sambil jalan ke kedai kopi saja. Aku ingin memesan takeaway,” potong Julie cepat, membuat Ben makin bingung. “Aku tahu bahwa kita baru bertemu, tetapi aku punya seorang kakak laki-laki. Namanya Owen, dan dia juga sudah meninggal. Tetapi apa kau tahu kalau adikmu Billy meninggal di tanggal dan lokasi yang sama dengan kakakku?”

Ben terkejut bukan karena fakta tersebut, tetapi lebih kepada realisasinya akan ketidaktahuan Julie. “Tunggu, kau benar-benar tidak tahu?”

Julie berhenti berjalan dengan sangat tiba-tiba, sehingga Ben hampir melewatinya.

“Apa kau tahu?” tanyanya dengan mata membesar.

Mereka sekarang saling memandang untuk beberapa saat, masing-masing berada dalam keterkejutannya.

“Julie, berita kematian mereka dua tahun yang lalu sangatlah besar. Semua orang tahu.”

Well, jelas-jelas aku tidak tahu. Lagipula, polisi menetapkan apa yang terjadi pada Billy dan Owen sebagai dua kejadian terpisah,” balas Julie. Ia melanjutkan kembali langkahnya diikuti Ben, walaupun kali ini langkahnya terasa berat.

“Kenapa kau bertanya-tanya soal Billy tadi pagi?” tanya Ben.

Astaga, harus berapa kali aku berbohong dalam satu hari? pikir Julie frustrasi. Ia tidak tahu cerita palsu apa lagi yang harus ia rangkai untuk Benny Easton, yang jelas-jelas adalah seseorang yang berbeda dari Max. Ben adalah kakak kandung Billy, dan tentu saja ia akan tahu jika Julie berbohong soal Billy. Tetapi Julie juga belum mau berterus terang mengenai pertemuannya dengan Billy yang jelas-jelas sudah meninggal dunia. Bagaimana reaksi Ben nantinya? Bisa-bisa ia tersinggung karena mengira Julie mencemooh keluarga Easton. Lebih parah lagi, Ben bisa menjauhinya, dan Julie pun kehilangan satu-satunya kesempatan emas untuk membantu Billy mencari tahu soal kematiannya.

“Julie?” panggil Ben, membuyarkan pikiran semrawut Julie. “Apa kau bertanya-tanya soal Billy kepada Max?”

Julie tersentak dan berhenti berjalan lagi. “Bagaimana kau bisa tahu?”

“Aku melihatnya keluar dari area perpustakaan bersamaan denganmu,” jawab Ben.

“Apa kau mengenalnya?”

“Dia adalah detektif yang menginvestigasi kematian kedua saudara kita dua tahun yang lalu. Apa saja yang kau temukan?”

Julie menghela napas. “Menurutnya, semua yang ia katakan padaku adalah semua hal yang ingin kuketahui, walaupun aku masih tidak percaya padanya.”

Ben menyentuh sebelah pundak Julie. “Julie, kau tidak bisa mempercayai ucapan orang itu. Max telah membohongi semua orang selama ini.”

“Kenapa memangnya?” Dalam hati ia sangat bersyukur dengan pengalihan topik ke Max ini, memberikannya ruang untuk menghindari pertanyaan soal Billy setidaknya untuk beberapa saat. Hanya saja, sekarang ia jadi benar-benar khawatir dengan interaksinya tadi bersama Max. Dari ucapan Ben, sepertinya pria itu bukanlah orang terbaik yang bisa membantunya.

“Kita mungkin perlu bicara,” ucap Ben sambil merogoh kartu namanya dari balik saku kemeja birunya dan menyelipkannya ke tangan Julie. “Tetapi aku harus pergi sekarang. Ini kartu namaku jika kau ingin menghubungiku.”

Pemuda itu memberikannya pandangan lekat yang terakhir sebelum akhirnya ia beranjak dari situ. Julie sendiri hanya memandangi kartu nama itu untuk beberapa saat sebelum menyelipkannya ke saku jaket jinsnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (8)
  • dreamon31

    mampir juga di ceritaku yaa...

    Comment on chapter Introduction
  • yurriansan

    @DeviYulia19 sma2. aku msh berussha mnemukan rahasia kmatian bily, xixi.

    mmpir juga ya ke story terbaruku kak. apalgi klau d krisanin, hoho.

    Comment on chapter After Effects
  • DeviYulia19

    @yurriansan Makasih banyak, dear 😘

    Comment on chapter After Effects
  • yurriansan

    aku masih di chapter 3, keren, suka. yah meski, tokoh ceweknya perokok, tpi bkin pnsaran uk lnjut baca.

    Comment on chapter After Effects
  • rara_el_hasan

    @DeviYulia19 sama-sama say

    Comment on chapter Seeing the Unseen
  • DeviYulia19

    @rara_el_hasan Thank you so much buat masukannya... really appreciate it :)

    Comment on chapter Seeing the Unseen
  • rara_el_hasan

    keren ceritanya.. suka suka

    Comment on chapter Seeing the Unseen
  • rara_el_hasan

    say... Namun pakai huruf besar.. di awali titik ya

    Comment on chapter Seeing the Unseen
Similar Tags
Gue Mau Hidup Lagi
354      223     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
Blue Diamond
2573      829     3     
Mystery
Permainan berakhir ketika pemenang sudah menunjukkan jati diri sebenarnya
Something about Destiny
124      106     1     
Romance
Devan Julio Widarta yang selalu dikenal Sherin sebagai suami yang dingin dan kurang berperasaan itu tiba-tiba berubah menjadi begitu perhatian dan bahkan mempersiapkan kencan untuk mereka berdua. Sherin Adinta Dikara, seorang wanita muda yang melepas status lajangnya pada umur 25 tahun itu pun merasa sangat heran. Tapi disisi lain, begitu senang. Dia merasa mungkin akhirnya tiba saat dia bisa mer...
Manusia
1699      733     5     
Romance
Manu bagaikan martabak super spesial, tampan,tinggi, putih, menawan, pintar, dan point yang paling penting adalah kaya. Manu adalah seorang penakluk hati perempuan, ia adalah seorang player. tak ada perempuan yang tak luluh dengan sikap nya yang manis, rupa yang menawan, terutama pada dompetnya yang teramat tebal. Konon berbagai macam perempuan telah di taklukan olehnya. Namun hubungannya tak ...
Ignis Fatuus
1709      638     1     
Fantasy
Keenan and Lucille are different, at least from every other people within a million hectare. The kind of difference that, even though the opposite of each other, makes them inseparable... Or that's what Keenan thought, until middle school is over and all of the sudden, came Greyson--Lucille's umpteenth prince charming (from the same bloodline, to boot!). All of the sudden, Lucille is no longer t...
The Eye
388      254     2     
Action
Hidup sebagai anak yang mempunyai kemampuan khusus yang kata orang namanya indigo tentu ada suka dan dukanya. Sukanya adalah aku jadi bisa berhati-hati dalam bertindak dan dapat melihat apakah orang ini baik atau jahat dan dukanya adalah aku dapat melihat masa depan dan masa lalu orang tersebut bahkan aku dapat melihat kematian seseorang. Bahkan saat memilih calon suamipun itu sangat membantu. Ak...
Give Up? No!
413      271     0     
Short Story
you were given this life because you were strong enough to live it.
Dear, My Brother
807      519     1     
Romance
Nadya Septiani, seorang anak pindahan yang telah kehilangan kakak kandungnya sejak dia masih bayi dan dia terlibat dalam masalah urusan keluarga maupun cinta. Dalam kesehariannya menulis buku diary tentang kakaknya yang belum ia pernah temui. Dan berangan - angan bahwa kakaknya masih hidup. Akankah berakhir happy ending?
Daniel : A Ruineed Soul
528      300     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
PENTAS
971      593     0     
Romance
Genang baru saja divonis kanker lalu bertemu Alia, anak dokter spesialis kanker. Genang ketua ekskul seni peran dan Alia sangat ingin mengenal dunia seni peran. Mereka bertemu persis seperti yang Aliando katakan, "Yang ada diantara pertemuan perempuan dan laki-laki adalah rencana Tuhan".