Loading...
Logo TinLit
Read Story - Night Wanderers
MENU
About Us  

Pool party yang dihadiri Julie kemarin malam berakhir sangat larut, apalagi ketika semua orang menyesaki kolam renang temannya yang untungnya berukuran cukup besar dan muat untuk separuh tamu pesta itu. Ketika ia meninggalkan venue tersebut sekitar pukul tiga pagi setelah sebelumnya menyapu sisa-sisa keripik kentang di rambut dan jaketnya, ia sekarang malah bingung dengan tujuannya setelah ini saat melihat seluruh jalanan di Dalevoux yang sangat sepi dan tenang. Suara yang ia dengar hanya derap sepatu hak tingginya, desiran angin malam yang membuat dedaunan di sekitarnya saling bergesekan, dan entah suara apa lagi dari arah hutan liar yang menyusuri sekitar perbatasan kota tersebut.

Ia sudah sangat terbiasa berjalan sendirian di tengah malam seperti ini. Ia telah mengenal setiap inci kota Dalevoux di luar kepala dan tahu tempat-tempat mana saja yang harus ia hindari agar tidak kenapa-kenapa. Lagipula, kota ini selalu terlelap setelah pukul sembilan malam menjelang. Toko-toko tutup dan orang-orang memilih untuk beristirahat di rumah saja sampai esok hari tiba.

Orang tuanya tahu kalau kadang-kadang Julie keluar dari rumah malam-malam. Dan mereka sebenarnya masih tidak suka dengan apa yang ia lakukan. Namun Julie tidak ingin mengurung diri di kamar dan menatap langit-langit seraya memikirkan semua yang telah terjadi. Ia lebih memilih menghirup udara malam yang segar, menggerakkan kakinya hingga kantuk menyergapnya, baru kembali lagi ke kamar.

Julie sekarang berjalan menuju kantor pos kota yang hanya diterangi tiga lampu jalan, dan sekarang ia terlihat lebih yakin akan tujuannya. Biasanya ia akan menyelinap masuk ke perpustakaan kampus di mana ia dapat meminjam internet gratis untuk memainkan online game. Hanya saja, belakangan ini ada notifikasi perbaikan listrik di perpustakaan saat malam hari, sehingga ia tidak mau kena resiko terkurung dalam gelap saat menyalakan komputer di tempat itu.

Oleh karena itu, Julie akhirnya berbelok ke diner 24 jam yang menjual breakfast set paling lezat di Dalevoux. Lunar, nama tempat tersebut, telah berdiri sejak kota tersebut diresmikan, sehingga resep makanan mereka adalah hasil warisan turun-temurun setiap generasi. Saking seringnya ia mengunjungi tempat itu, ia sampai mengenal chef dan para pelayannya dengan baik. Lagipula, papanya memiliki peran penting dalam renovasi diner Lunar sepuluh tahun yang lalu, sehingga mereka semua memiliki ikatan bisnis yang dalam dengan keluarga Stone.

Mereka juga tahu mengenai penyakit Julie, dan mereka tidak akan kaget lagi jika melihat gadis itu mendatangi Lunar saat malam atau pagi-pagi buta begini.

“Hei!”

Pintu yang dibuka Julie tertutup otomatis di belakangnya, diiringi bunyi bel kecil yang berdentang menandakan kedatangan atau kepergian pengunjung diner. Gadis itu berjalan masuk sambil melemparkan senyum ramah pada Jamie, orang penting di balik kelezatan menu makanan Lunar. Selain pria itu, ada dua pekerja sif malam lainnya yang masing-masing sedang melayani beberapa pelanggan lain di sudut diner.

Di usianya yang sudah menginjak 50-an, Jamie sudah dikenal seisi kota sebagai sosok paling ramah dan baik terhadap semua orang, tidak terkecuali bawahan-bawahannya di Lunar. Selain itu, Jamie tidak pernah bosan untuk selalu mengabari kedua orang tua Julie mengenai keberadaan gadis itu. Setidaknya, mereka tahu bahwa Julie berada di tempat yang aman dan bersama dengan orang yang mereka percayai.

“Hai, Jamie, aku ingin sebotol bir,” jawab Julie sambil mengambil tempat duduk di depan counter. “Hai, Ron, Edward,” sapa Julie dengan lambaian singkat kepada dua pekerja tadi, yang membalas lambaiannya juga sambil berjalan masuk ke dapur untuk menyiapkan pesanan pelanggan.

Tidak butuh waktu lama, Jamie telah kembali ke hadapannya dengan sebotol bir yang telah dibuka.

“Masukkan saja pembelianku ke catatan hutangmu. Aku akan membujuk mamaku untuk mengaktifkan kembali kartu kreditku baru membayarmu kemudian,” kata Julie sebelum meneguknya.

“Mrs. Stone tidak biasanya menggunakan cara ini agar kau mendengar ucapannya,” komentar Jamie.

Julie mengeluarkan tawa tertahan. “Percayalah, Jamie, aku masih tidak mendengarnya.”

Jamie mengerutkan kening seraya memeriksa lemari minuman alkoholnya. “Mungkin kau harus introspeksi diri.”

“Urus masalahmu sendiri, Jamie.”

Jamie hanya memberikan senyuman tipis sambil mengelap gelas-gelas minuman di belakang counter. Ia sudah kebal dengan sikap Julie, dan ia tidak akan tersinggung. “Apa kau tidak akan pulang lagi?” tanyanya khawatir.

Julie mengusap-usap permukaan botol birnya dengan ibu jarinya, menerawang. “Sepertinya tidak. Jika aku mencoba tidur seperti biasanya, aku hanya akan berakhir dengan streaming film dan bungkus keripik kentang sampai pagi.”

Jamie memberikan tepukan singkat di sebelah bahunya dan kemudian masuk ke dapur untuk menghampiri Ron dan Edward. Julie mengarahkan pandangan ke sekelilingnya dan melihat ada empat laki-laki duduk di booth sudut yang sepertinya merupakan mahasiswa Dalevoux University juga jika dilihat dari atribut jaket dan aksesori gantungan tas mereka.

Julie langsung membuang muka dengan bosan ketika melihat mereka memberikan kedipan dan siulan jahil terhadap dirinya. Sekali lihat saja, ia sudah tahu betapa ingusannya bocah-bocah tersebut. Ia sudah sangat sering menghadapi hal ini juga, dan menampik cowok-cowok ini adalah sebuah insting yang keluar secara alamiah.

Ia pun menghabiskan birnya dan berjalan keluar dari diner sembari menentukan ke mana tujuannya setelah ini mengingat waktu masih menunjukkan pukul lima pagi. Langit masih lumayan gelap, dan orang-orang masih terlelap di kediaman masing-masing. The most bizzare fact is, dia bahkan belum merasakan kantuk sama sekali hingga sekarang.

Julie tahu bahwa insomnianya sudah sangat parah. Dan ia sempat berpikir bahwa mungkin jika kondisinya memburuk, ia bisa saja menyusul Owen. Ia beberapa kali menjelajah internet untuk mencari informasi mengenai apakah insomnia atau kekurangan tidur dapat berujung kepada kematian, dan banyak sumber membenarkan kekhawatirannya. 

Ketika ia pertama kali mulai mengalami insomnia, Julie sangat panik dan khawatir dengan apa yang sebenarnya melanda dirinya. Ia terjaga sepanjang malam, dan walaupun matanya terpejam, otaknya tidak. Kepalanya seakan tetap bekerja dan bereaksi terhadap sekitarnya meski matanya sudah selalu lelah walau ia tidak bisa tidur. Ia pun memeriksakan dirinya ke Dokter Okta dan mendapat obat-obatan beserta perawatan yang disetujui orang tuanya.

Tetapi, entah tubuhnya telah lama berhenti bereaksi dengan semua itu atau memang insomnianya tidak dapat disembuhkan lagi, Julie tahu bahwa ia tidak pernah merasa benar-benar membaik lagi hingga saat ini.

Gadis itu berbelok ke arah minimarket di samping kampusnya, dan ketika ia sudah berada di dalam, ia baru sadar bahwa ia tidak punya uang. Dalam hati, ia merutuki kebodohannya itu.

Good morning!” sapa si kasir minimarket pada Julie, yang sekarang kembali fokus pada ponselnya.

Julie berjalan mengitari setiap rak dengan kedua tangan di saku jaket kulitnya dan segera menuju ke rak minuman dingin untuk melihat-lihat barisan minuman yang dijual. Dipikirnya, sudah tanggung juga ia datang ke sini. Ia melirik ke kaca pantul di sudut minimarket untuk melihat si kasir dan tiga pengunjung lain selain dirinya saat itu.

Dirasanya aman, ia berjalan ke etalase rokok dengan pelan dan meraih sekotak rokok dari sana, yang kemudian dimasukkan dengan cepat ke kantong dalam jaketnya. Kali ini ia juga melirik ke arah kamera CCTV, setelah sebelumnya membelakangi benda itu.

“Hei, kalian tidak punya Sprite lagi?” tanya Julie kasual pada si kasir setelah berjalan kembali ke barisan minuman dingin.

"Sudah habis ya?" tanya si kasir dari tempatnya berdiri. “Kami akan segera menambah stoknya kalau begitu."

Julie pun berjalan keluar dari minimarket setelah sebelumnya berpura-pura kesal dengan jawaban si kasir. Minimarket ini tidak punya detektor, karena Julie tidak mendengar bunyi alarm saat melewati pintunya. Ketika ia sudah berjalan jauh dari sana dan mencapai area pembatas taman kota, Julie menoleh lagi ke belakang untuk memastikan bahwa ia tidak kepergok habis mencuri.

Bila mamanya tahu, entah hukuman apa lagi yang akan dijatuhkan kepada dirinya.

Ia membuka ponselnya dan melihat bahwa waktu sudah menunjukkan pukul empat dua puluh di pagi hari, dan sekarang matanya sudah mulai terasa berat.

Tiba-tiba ada seseorang menepuk pundaknya, dan Julie langsung terlompat saking kaget dan takutnya tertangkap basah.

Aku hanya mencuri karena uangku habis! Tanyakan mamaku! Semua pikiran itu berkelebat dalam benaknya seperti kereta api bawah tanah yang berlaju super cepat.

“Hei, hei, tenang. Ini hanya aku.”

Mata Julie menyipit ketika melihat sosok yang mengagetkannya, dan ketika ia akhirnya ingat, Julie pun langsung menggertaknya.

“Kau lagi?!”

Orang itu adalah cowok yang dengan tidak sopannya membayar rokok Julie dan mencerca dirinya beberapa hari yang lalu. Namun, cowok ini juga adalah orang yang ia cari. Ia memiliki french cuff yang sama seperti dengan milik Billy. Ia adalah satu-satunya petunjuk untuk saat ini.

“Aku melihatmu keluar dari minimarket dengan gelisah,” balas cowok itu dengan ekspresi khawatir. “Apa kau tidak apa-apa?”

Julie memandangnya dengan sedikit kaget. “Aku... aku tidak apa-apa,” jawabnya sedikit tergagap. Apa ia melihatku mencuri?

Cowok itu terlihat lebih lega dengan jawaban Julie. “Aku tahu kalau ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan ini, but I know we got off the wrong foot, dan aku ingin memperbaikinya. Bagaimana jika kita memulai semuanya dari awal? Namaku Ben,” katanya sambil mengulurkan sebelah tangannya untuk berjabat tangan dengan Julie.

Menyadari bahwa Ben sepertinya tidak tahu mengenai apa yang ia lakukan di minimarket, Julie pun jadi lega. Mungkin Ben hanya sedang berada di sekitar tempat ini, dan mungkin inisiatifnya untuk menghampiri Julie benar-benar murni tanpa ada maksud apapun.

Untuk saat ini, Julie memutuskan untuk mengenal dulu cowok tersebut, sehingga ia membalas uluran tangannya. “Julie Stone.”

Tanpa disadari Julie, Ben menjadi sedikit terperangah. Owen Stone memiliki seorang saudara perempuan? pikirnya sambil memperhatikan gadis cantik di hadapannya itu lekat-lekat.

Julie sendiri menggerutu kesal dalam hati karena Ben saat itu sedang mengenakan t-shirt abu-abu dengan jins biru dongker yang lebih santai. Julie jadi tidak bisa melihat kemeja spesialnya yang diberikan bordiran personal pada french cuff-nya seperti milik Billy, walau ia ingat jelas bahwa cowok ini adalah orang yang sama dengan orang yang ia cari-cari sejak tadi malam. Tapi jika ia bertanya pada Ben, mungkin cowok itu pernah kenal dengan seseorang yang bernama Billy dan meninggal dua tahun yang lalu.

Julie juga jadi bertanya-tanya dalam hati mengenai apa yang Ben lakukan di waktu sepagi ini. 

“Salam kenal,” ujar Ben. “Apa kau berkuliah di Dalevoux University?”

Julie mengangguk. “Kenapa? Apa kau juga mahasiswa?”

“Aku bukan mahasiswa, tapi karyawan di departemen Human Resource.”

Julie memandang cowok itu untuk sesaat, kemudian bertanya, “Ben, apa kau mengenal seseorang yang bernama Billy?”

Kedua alis mata Ben berkerut. “Billy yang mana? Apa yang kau maksud adalah adikku atau orang lain?”

Kali ini kedua mata Julie membesar.

“Adikmu?”

 

x-x-x

 

Julie dan Ben masih berdiri di tempat mereka, didampingi suara pelan gesekan dedaunan pohon-pohon di sekitar mereka yang tersapu angin pagi. Beberapa orang yang sedang lari pagi melewati mereka berdua di tengah-tengah pembicaraan itu, yang mana kebanyakan berbelok ke arah taman karena tempat itu memiliki lintasan lari dan pemandangan yang lebih asri.

“Iya, adikku,” jawab Ben bingung. “Namanya Billy. Kenapa memangnya?”

Benak Julie seakan dihampiri jutaan pertanyaan yang ingin ditembakkan seluruhnya kepada Ben, tetapi yang terjadi sekarang adalah tubuhnya yang menjadi kaku dan tidak mampu bergerak saking kagetnya dengan jawaban itu. Bola matanya sedikit bergeser ke sekelilingnya, mencoba mencari sosok Billy yang mungkin mengikutinya.

“Julie, kau tidak apa-apa?” Ben sebenarnya juga kebingungan dengan percakapan ajaib ini, tetapi ia lebih khawatir dengan Julie yang sepertinya tidak hanya bingung tetapi juga kaget, panik, cemas dan entah apa lagi.

“Nama belakangmu apa?”

Tidak setiap hari Ben ditanyai pertanyaan-pertanyaan super random oleh gadis yang baru dikenalnya lima menit yang lalu seperti ini. “Easton,” dijawabnya juga.

“Billy... Easton...,” gumam Julie pada dirinya sendiri. “Maaf jika aku menanyakan ini, tetapi apakah adikmu masih hidup?”

“Dia meninggal dua tahun yang lalu. Tunggu, bagaimana kau bisa mengenal adikku?”

Julie pun berusaha mencari alasan yang tepat untuk pertanyaan Ben tersebut. “Aku kemarin mengunjungi pemakaman dan melihat beberapa nisan sedang dibersihkan. Ketika kau menyebutkan nama belakangmu tadi, aku ingat bahwa aku pernah melihat namamu terpatri sebagai "Anggota keluarga yang ditinggalkandi salah satu nisannya.”

“Oh, maksudmu nisan Billy?” ulang Ben sambil menyelidik. Ia tahu kalau Julie jelas-jelas berbohong, dan ia ingin menanyai gadis itu lebih lanjut ketika ponselnya berbunyi menandakan panggilan dari mamanya.

Excuse me,” ucap Ben sebelum menjauh sedikit dari Julie untuk menjawab panggilan itu. Ternyata mamanya hanya ingin memberitahu kalau sarapan sudah siap dan ia butuh bantuan Ben untuk segera mengangkat beberapa peralatan kandang ternak baru ke tempatnya.

Ben memutuskan untuk kembali ke rumah saja dan berbicara lagi dengan Julie kapan-kapan. Lagipula, mereka berada dalam satu lingkungan kampus Dalevoux University, jadi seharusnya akan lebih mudah bagi mereka untuk bertemu.

“Aku harus pergi.”

Julie mengangguk. “I’ll see you around.”

Sebelum pergi, Ben menunjuk saku jaket Julie seraya berkata, “Ngomong-ngomong, jika kau ingin rokok, minta saja padaku. Jangan pernah mencuri apapun yang bukan hakmu, oke?”

Julie sekarang jadi kaget. “Kau tahu?”

Ben tersenyum sambil membalikkan badannya. Dalam hati ia sebenarnya bingung kenapa seseorang keturunan Stone yang seharusnya kaya raya malah ketahuan mencuri sebungkus rokok di pagi hari begini.

“Apa kau akan melaporkanku?”

Tapi cowok itu hanya melambai dari jauh, tidak menjawab pertanyaannya sama sekali.

Julie kemudian berjalan pergi dari sana, meninggalkan Ben. Kali ini kakinya melangkah dengan mantap ke perpustakaan Dalevoux, karena tujuannya bukan lagi untuk tidur, melainkan melakukan pencarian internet berikutnya mengenai Billy Easton, yang mudah-mudahan sedikit memberikan pencerahan akan rasa penasaran dan keingintahuannya selama ini.

Mungkin saja jika ia akhirnya mengetahui cerita mengenai Billy Easton, ia pun akan tahu juga kenapa Billy disuruh mengunjunginya belakangan ini. Karena semakin Julie pikir, pertemuan mereka mungkin memiliki kisah yang lebih dari hanya sekadar death story hunting.

 

x-x-x

 

Pintu perpustakaan Dalevoux dibuka dari luar dengan suara decitan gemboknya yang khas. Si penjaga perpustakaan yang sudah mengabdi di Dalevoux University selama tiga puluh tahun, Mrs. Carnegille, berjalan memasuki gedung megah tersebut untuk menuju ke pos jaganya. Matanya sudah terlatih untuk memeriksa setiap inci ruangan perpustakaan dengan cepat dan tepat, sehingga ketika ia secara otomatis berjalan menuju ke barisan komputer yang ada di sayap samping kiri gedung perpustakaan dan menemukan Julie di sana, ia tidak kaget lagi.

“Julie, kau lagi?”

Julie menolehkan kepala saat mendengar suara ringkih Mrs. Carnegille di ujung barisan komputer, dan ia pun melemparkan senyuman lebar. “Selamat pagi.”

“Kau menyelinap lagi?” ujar wanita itu sambil geleng-geleng kepala. “Kau tidak membuat pekerjaanku lebih mudah, young lady.”

“Aku minta maaf, oke? Lain kali aku akan lebih berhati-hati,” balasnya sebelum kembali fokus pada layar komputernya seperginya Mrs. Carnegille dari situ. Jarinya menekan dan menggeser mouse untuk membaca hasil temuannya, yang ternyata cukup memberikannya ilham.

Julie tahu bahwa ketika ia mendengar nama “Easton” dari Benny sebelumnya, ia seakan menjadi sangat familiar dengan kata tersebut. Di hadapannya ada artikel mengenai founding fathers di Dalevoux, dan dugaannya tepat mengenai keluarga Easton sebagai salah satu anggotanya.

Yang Julie tahu dari kisah para pendiri Dalevoux yang sering diceritakan guru-guru sejarah dan orang tuanya saat ia masih kecil dulu adalah bahwa ada lima keluarga yang membangun kota kecil Dalevoux pada tahun 1901 dengan segalanya yang mereka punya setelah perang saudara: keluarga Stone, keluarga Carter, keluarga Gifford, keluarga Wilton dan keluarga Easton.

Dikisahkan bahwa generasi pertama keluarga Stone terdiri dari orang-orang keturunan konglomerat dari Inggris yang bermigrasi ke dataran Amerika Serikat. Ketika mereka menemukan tempat ini, mereka membantu pembangunan kota Dalevoux menggunakan harta pribadi mereka terlebih dahulu. Uang mereka dipakai untuk membeli material bangunan, peralatan konstruksi, bahan bakar dan masih banyak lagi. Julie ingat perkataan papanya kepada dirinya dan Owen saat mereka masih kecil: ibarat kucuran air, harta keluarga Stone akan selalu mengalir tanpa henti. Ibarat 1 tumbuh 1.000, jika salah satu bisnis mereka bermasalah, mereka masih ada puluhan bisnis besar lainnya yang telah mendarah-daging di setiap negara bagian Amerika Serikat. Inilah kenapa orang-orang menyebut mereka sebagai semacam imperium, walaupun Julie tidak terlalu menyukainya.

Kembali ke para pendiri kota Dalevoux, berikutnya ada keluarga Carter yang berasal dari para pemenang perang, sehingga mereka ditugaskan untuk menjaga keamanan kota dan warganya. Semua keluarga Carter memiliki gen keturunan yang sama: badan tinggi besar dengan kekuatan fisik yang mengagumkan, baik pria maupun wanita. Rata-rata dari keluarga Carter bekerja di kantor polisi, agensi investigasi swasta atau badan keamanan negara.

Keluarga Gifford terdiri dari para pemikir dan sastrawan, yang mana salah satu karya terhebat mereka adalah mendirikan Dalevoux University yang sekarang berstandar internasional. Orang-orang yang menyandang nama belakang ini bisa dipastikan adalah yang terpintar atau terhebat di kalangannya. Penduduk Dalevoux bahkan memiliki pepatah sendiri: “Bila Anda bukan keturunan Gifford, jangan berharap Anda bisa mendapatkan peringkat pertama.”

Keluarga Wilton adalah orang-orang yang hebat dalam bisnis, sehingga beberapa pendiri perusahaan-perusahaan di kota ini adalah berkat kepintaran dan kerja keras mereka. Keluarga ini adalah yang paling “muda” di antara mereka berlima, karena keluarga ini baru tiba di Amerika Serikat sekitar tahun 1930-an. Keluarga Stone membutuhkan bantuan dalam mengelola bisnis-bisnis kecil di Dalevoux pada saat itu. Para buyut Julie berhasil merekrut pebisnis-pebisnis terbaik, dan lapangan-lapangan pekerjaan bisa tersedia sampai sekarang berkat keluarga ini.

Dan terakhir, ada keluarga Easton, yang menurut cerita turun-temurun, tidak dianggap sebagai keluarga yang terlalu powerful seperti keempat keluarga lainnya. Julie agak lupa dengan cerita yang ia pernah dengar, karena papa atau mamanya jarang bercerita juga soal ini.

Setelah pikirannya disegarkan dari hasil jelajah internet tadi, Julie jadi tahu lagi bahwa keluarga ini berkontribusi pada keasrian dan kelestarian tanaman-tanaman beserta ekspor-impor ternak di Dalevoux, karena mereka kebanyakan besar adalah para petani dan peternak. Rumah orang-orang Easton biasanya lebih berada di pinggiran kota, karena selain untuk menjaga batasan area Dalevoux, mereka juga dari dulu mengabdi untuk menjadi pendengar pertama saat ada orang atau informasi eksternal yang masuk (seperti surat, kedatangan musuh, ultimatum dan sebagainya di abad 19-20).

Setidaknya, itu yang Julie ingat mengenai Easton.

Julie kemudian membuka tab baru untuk mencari berita kecelakaan Billy Easton dua tahun yang lalu, tanggal 3 September. Tempat kejadiannya adalah coast bridge Dalevoux yang belum dinamai sejak pembangunannya tiga puluh tahun yang lalu. Polisi memulai investigasi setelah adanya panggilan telepon seorang penduduk kota ke 911 yang dengan panik melaporkan kecelakaan tersebut saat hendak melewati coast bridge pada pagi hari. Kendaraan yang menabrak Billy adalah truk pengangkut Chevrolet C1500 keluaran tahun 1996, dikendarai oleh seorang pria Afrika-Amerika berusia 49 tahun bernama Hammond Stanford.

Julie melihat foto kecelakaan yang terjadi pada dini hari itu telah diberikan blur di beberapa tempat, yang tentunya bukan berarti hal yang patut dilihat secara langsung. Kecelakaan itu pasti sangatlah mengerikan. Ia kemudian membaca lagi artikel tersebut, di mana Billy ditemukan telah tewas di tempat, sementara Mr. Stanford masih bisa diselamatkan walau kondisinya sudah sangat parah.

Julie membaca artikel lain yang menjelaskan keterangan polisi bahwa Mr. Stanford sayangnya tidak dapat memberikan kesaksian apapun karena ia meninggal beberapa jam setelah operasi. Karena itu juga, polisi tidak bisa mengadili Mr. Stanford sebagai tersangka. Dokter Rumah Sakit Dalevoux menemukan sisa alkohol dalam sistem pencernaan pria tersebut yang diduga membuat Mr. Stanford kesulitan mengendari truknya.

Polisi juga telah memeriksa kenapa Billy berada di coast bridge di waktu sepagi itu. Kedua orang tua korban bahkan tidak tahu-menahu kalau putranya menyelinap keluar malam-malam, begitu juga dengan saudara laki-laki Billy. Ben Easton.

Selain itu, istri Mr. Stanford juga bersikeras bahwa ia tidak tahu suaminya hendak pergi melewati coast bridge saat itu. Ia bahkan juga tidak tahu kalau suaminya minum-minum sebelum berkendara.

Dengan minimnya bukti dan keterangan dari orang-orang terdekat, tidak butuh waktu lama bagi kepolisian Dalevoux untuk menutup investigasi kecelakaan tersebut. Mereka menyatakan bahwa kesalahan jatuh pada Mr. Stanford yang merenggut nyawa seseorang akibat kelalaiannya dalam berkendara.

Julie segera mencetak semua artikel yang telah ia baca itu. Sembari menunggu cetakannya selesai, ia jadi memikirkan soal Owen. Ia ingat jelas bahwa Owen meninggal di sekitar coast bridge juga. Dan ia masih ingat juga tanggal kematiannya yang menggoncang dirinya hingga sekarang. 3 September.

Julie segera kembali ke komputernya dan membuka tab baru. Ia mengetikkan kata kunci yang relevan dengan kematian kakaknya, dan berikutnya ia menjadi kaget.

Kematian Owen dikabarkan media beberapa jam setelah investigasi kecelakaan Billy dimulai.

Ketika para polisi sedang memeriksa area sekitar kecelakaan Billy, ternyata ada seorang petugas yang melihat tubuh Owen mengapung hampir menjauh dari bibir jembatan. Bila mereka menunggu lebih lama, Owen mungkin tidak akan pernah ditemukan. Oleh karena itu, para polisi dan beberapa penduduk segera mengerahkan seluruh tenaga untuk menarik jenazah kakaknya.

Tidak lama setelah itu, kedua orang tua Julie mendapat berita itu, dan lalu mereka memberitahu Julie. Berikutnya ia terbangun di atas ranjang rumah sakit setelah tidak sadarkan diri selama lima jam. Setelahnya ia berteriak kencang hingga pita suaranya seakan bergetar tanpa kontrol di telinganya sendiri dan darahnya seolah-olah mendidih. Kemarin ia melihat Owen tertawa, tetapi hari ini ia hanya akan melihat ekspresi terakhir kakaknya yang menyaksikan detik-detik terakhir hidupnya berjalan. Kemarin ia masih memeluk Owen, tetapi hari ini ia akan memeluk tubuhnya yang membiru dan dingin seperti es. Kemarin ia masih punya kakak, tetapi sekarang tidak lagi.

Setitik air mata terbit dari matanya, sehingga Julie pun cepat-cepat menyekanya. Dengan susah payah, ia kembali fokus kepada artikel di hadapannya.

Artikel itu menuliskan hal-hal yang sama dengan yang Julie tahu. Seperti misalnya bahwa polisi menutup investigasi kematian Owen dengan menyatakan bahwa Owen melakukan percobaan bunuh diri.

Ketika Julie kembali dari rumah sakit setelah diberikan obat penenang dan kemudian didatangi polisi untuk dimintai keterangan, ia langsung pergi ke kamar kakaknya untuk duduk di sana dan merenung selama berjam-jam. Ia lalu memeriksa ransel Owen untuk membongkar isinya, awalnya berniat untuk memeriksa apakah ada sesuatu yang bisa ia simpan dan bawa setiap hari untuk mengenangnya. Tetapi ia malah menemukan secarik kertas yang ada di dalam salah satu buku tulis Owen, dengan pesan mengerikan yang diketik rapi:

 

Ini adalah sebuah peringatan. Kenapa tidak ada yang mendengarku? Aku tidak bisa menerima semua ini lagi. Semuanya terlalu berat, dan aku terlalu lemah. Aku sudah memilih dan memilih, dan sekarang aku akan memilih lagi. Aku tidak ingin hidup lagi.

 

Julie memegangi kepalanya yang mulai sakit. Setiap kalimat catatan bunuh diri kakaknya itu telah berada di luar kepalanya. Padahal ia sangat ingin sekali menghapus memori buruk itu.

Setelah ia menemukan catatan itu, ia kembali berteriak-teriak sambil melemparkan kertas itu sejauh mungkin darinya. Tubuhnya seakan kehilangan kontrol saat kakinya beranjak dan tangannya terarah ke setiap benda apapun yang bisa ia singkirkan dari hadapannya. Ketika mamanya naik ke atas, ia langsung terpana melihat kamar Owen yang telah menjadi kapal pecah. Yang ia ingat setelah itu, beberapa orang berjalan ke arahnya untuk menarik dirinya keluar dari sana. Berikutnya, ia merasakan sengatan kecil di lehernya, dan ia jatuh tertidur.

Kepalanya sekarang bertambah sakit. Ia tidak ingin mengingat-ingat lagi seluruh waktunya yang kemudian dihabiskan di rumah sakit dengan preskripsi obat-obatan tanpa henti. Ia tidak ingin melihat dirinya kehilangan kendali akan pikirannya.

Setelah semua cetakan informasi yang ia butuhkan selesai dikumpulkan, ia pun beranjak dari bilik komputer perpustakaan. Ia tidak hanya tahu soal rincian kecelakaan Billy sekarang, tetapi ia juga tahu fakta bahwa kematian kakaknya terjadi di waktu dan tempat yang hampir bersamaan dengan Billy. Julie mulai curiga apa jangan-jangan dua kejadian terpisah ini sebenarnya malah terhubung satu sama lain. Tapi apa?

Ketika ia hampir melewati pintu gerbang menuju perpustakaannya, ia dapat mendengar seseorang memanggil namanya sehingga ia pun menoleh.

Betapa kagetnya ia ketika melihat bahwa itu adalah Detektif Braighton dengan t-shirt dan jins kasual, alih-alih jaket hitam dengan lencana di sabuknya di kantor polisi. “Mr. Braighton. Fancy seeing you here.”

“Panggil saja Max,” ujar pria itu. “Saya sedang mencari Anda, Miss Stone.”

Mendengar Max menyebut namanya seperti itu, Julie mulai menegang.

“Apa Billy yang Anda cari sebelumnya adalah Billy Easton?”

Sesuatu di dalam pikiran Julie menyuruhnya untuk bersikap waspada terhadap detektif di hadapannya ini. “Ya, benar sekali.”

“Oh, I see. Kupikir Anda akan segera kembali ke kantor polisi.”

“Maaf, saya harus pergi,” jawab Julie singkat. Tetapi Max kembali menghadang langkahnya, membuat gadis itu mulai gelisah.

“Apa Billy Easton benar-benar sepupu Anda?”

Julie terdiam dan hanya memandang barisan rerumputan di depan matanya. Dari sudut matanya, ia bisa melihat Max menatapnya dengan ekspresi dinginnya yang tajam itu.

“Julie, Chief Lee belum tahu kalau kau sedang mencari tahu soal Billy Easton,” ucapnya dengan nada rendah, seakan-akan takut terdengar di tempat yang penuh dengan orang-orang itu.

Julie menoleh ke arahnya dengan sedikit terkejut. Jika Max belum melapor pada Chief Lee, tentu saja kedua orang tuanya juga belum tahu. Julie tidak tahu apa yang akan terjadi jika mereka tahu, tetapi ia ingin merahasiakan ini dulu sebelum mengambil tindakan selanjutnya. Hanya saja, ia tidak tahu apakah ia bisa mempercayai Max.

“Apa yang kau inginkan?”

“Aku hanya ingin bertanya sedikit hal darimu.”

Julie harus memastikan dulu sebelum sepakat. Max pasti akan segera mengatakan semuanya pada Chief Lee jika ia tidak menemuinya nanti. “Kau harus berjanji padaku. Jangan pernah menceritakan orang tuaku dan siapapun mengenai pembicaraan kita ini.”

Max mengangguk. “Keep your promise. Then I’ll keep mine.”

“Kalau begitu, temui aku dua jam lagi di perpustakaan kampus,” ucap Julie sebelum pergi dari sana.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (8)
  • dreamon31

    mampir juga di ceritaku yaa...

    Comment on chapter Introduction
  • yurriansan

    @DeviYulia19 sma2. aku msh berussha mnemukan rahasia kmatian bily, xixi.

    mmpir juga ya ke story terbaruku kak. apalgi klau d krisanin, hoho.

    Comment on chapter After Effects
  • DeviYulia19

    @yurriansan Makasih banyak, dear 😘

    Comment on chapter After Effects
  • yurriansan

    aku masih di chapter 3, keren, suka. yah meski, tokoh ceweknya perokok, tpi bkin pnsaran uk lnjut baca.

    Comment on chapter After Effects
  • rara_el_hasan

    @DeviYulia19 sama-sama say

    Comment on chapter Seeing the Unseen
  • DeviYulia19

    @rara_el_hasan Thank you so much buat masukannya... really appreciate it :)

    Comment on chapter Seeing the Unseen
  • rara_el_hasan

    keren ceritanya.. suka suka

    Comment on chapter Seeing the Unseen
  • rara_el_hasan

    say... Namun pakai huruf besar.. di awali titik ya

    Comment on chapter Seeing the Unseen
Similar Tags
Black World
1651      778     3     
Horror
Tahukah kalian? Atau ... ingatkah kalian ... bahwa kalian tak pernah sendirian? *** "Jangan deketin anak itu ..., anaknya aneh." -guru sekolah "Idih, jangan temenan sama dia. Bocah gabut!" -temen sekolah "Cilor, Neng?" -tukang jual cilor depan sekolah "Sendirian aja, Neng?" -badboy kuliahan yang ...
Sunset In Surabaya
362      264     1     
Romance
Diujung putus asa yang dirasakan Kevin, keadaan mempertemukannya dengan sosok gadis yang kuat bernama Dea. Hangatnya mentari dan hembusan angin sore mempertemukan mereka dalam keadaan yang dramatis. Keputusasaan yang dirasakan Kevin sirna sekejap, harapan yang besar menggantikan keputusasaan di hatinya saat itu. Apakah tujuan Kevin akan tercapai? Disaat masa lalu keduanya, saling terikat dan mem...
Edelweiss: The One That Stays
2067      871     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...
Forestee
479      338     4     
Fantasy
Ini adalah pertemuan tentang kupu-kupu tersesat dan serigala yang mencari ketenangan. Keduanya menemukan kekuatan terpendam yang sama berbahaya bagi kaum mereka.
One-room Couples
1144      569     1     
Romance
"Aku tidak suka dengan kehadiranmu disini. Enyahlah!" Kata cowok itu dalam tatapan dingin ke arah Eri. Eri mengerjap sebentar. Pasalnya asrama kuliahnya tinggal dekat sama universitas favorit Eri. Pak satpam tadi memberikan kuncinya dan berakhir disini. "Cih, aku biarkan kamu dengan syaratku" Eri membalikkan badan lalu mematung di tempat. Tangan besar menggapai tubuh Eri lay...
Aku Mau
11263      2128     3     
Romance
Aku mau, Aku mau kamu jangan sedih, berhenti menangis, dan coba untuk tersenyum. Aku mau untuk memainkan gitar dan bernyanyi setiap hari untuk menghibur hatimu. Aku mau menemanimu selamanya jika itu dapat membuatmu kembali tersenyum. Aku mau berteriak hingga menggema di seluruh sudut rumah agar kamu tidak takut dengan sunyi lagi. Aku mau melakukannya, baik kamu minta ataupun tidak.
Rumah Laut Chronicles
2654      1129     7     
Horror
Sebuah rumah bisa menyimpan misteri. Dan kematian. Banyak kematian. Sebuah penjara bagi jiwa-jiwa yang tak bersalah, juga gudang cerita yang memberi mimpi buruk.
Sang Penulis
10164      2265     4     
Mystery
Tak ada yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat menggambarkan sebuah kejadian di masa depan. Tak ada yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat membuat kehidupan seseorang menjadi lebih baik. Dan tak ada juga yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat merusak kehidupan seseorang. Tapi, yang paling tak disangka-sangka adalah penulis tulisan itu sendiri dan alasan mengapa ia menuliskan tulisan i...
Game of Dream
1419      791     4     
Science Fiction
Reina membuat sebuah permainan yang akhirnya dijual secara publik oleh perusahaannya. permainan itupun laku di pasaran sehingga dibuatlah sebuah turnamen besar dengan ratusan player yang ikut di dalamnya. Namun, sesuatu terjadi ketika turnamen itu berlangsung...
Today, I Come Back!
3884      1338     3     
Romance
Alice gadis lembut yang sebelumnya menutup hatinya karena disakiti oleh mantan kekasihnya Alex. Ia menganggap semua lelaki demikian sama tiada bedanya. Ia menganggap semua lelaki tak pernah peka dan merutuki kisah cintanya yang selalu tragis, ketika Alice berjuang sendiri untuk membalut lukanya, Robin datang dan membawa sejuta harapan baru kepada Alice. Namun, keduanya tidak berjalan mulus. Enam ...