Setelah pertemuannya dengan Miss Roselett, Julie kembali ke parkiran mobil untuk menyalakan mobilnya dan mengendarainya ke kantor polisi Dalevoux yang terletak hanya beberapa blok dari universitasnya.
Sebelum ia turun dari mobil untuk menuju area kantor polisi yang saat itu tidak terlalu ramai, Julie mengeluarkan laptopnya dari dalam tas dan melakukan pencarian untuk kesekian kalinya. Menghampiri polisi akan menjadi langkah akhir yang ia ambil. Tetapi kekuatan internet bahkan tidak berguna sama sekali jika ia hanya mengetikkan nama “Billy” diikuti kata “Dalevoux”, “kota Dalevoux”, hingga “Dalevoux, Illinois” atau “Dalevoux, IL.” Tidak ada hasil relevan.
Jika internet tidak bisa membantunya, apakah polisi bisa? Tetapi bukankah mereka akan curiga? Bagaimana jika mereka malah memutuskan untuk menyelidikinya?
Setelah berpikir panjang, ia pun menutup laptopnya dan keluar dari dalam mobil untuk berjalan ke kantor polisi. Screw this. Selama ia tidak melakukan kejahatan kriminal, tidak mungkin ia berada dalam masalah. Tetapi ia memutuskan untuk tetap berhati-hati. Ditariknya tudung jaket Adidas abu-abunya hingga menutupi seluruh juntaian rambut merah panjangnya, dan tidak lupa juga ia mengenakan kacamata berbingkai bulat tipis non-minus dengan harapan tidak ada yang bisa mengenalinya nanti.
Selain itu, ada hal yang lebih penting baginya. Apakah roh yang bernama Billy itu benar-benar mengunjunginya semalam? Tidakkah ia terlalu mabuk dan pikiran normalnya dikaburkan oleh alkohol sehingga otaknya memberikan semacam peringatan agar ia mengurangi kebiasaannya itu? Jangan-jangan, semalam ia hanya berbicara dengan angin, dan ia mungkin tidak pernah bertemu dengan Billy. Atau jangan-jangan seseorang sedang mengerjainya.
Tetapi di satu sisi, apa yang ia alami saat itu sangatlah nyata. Bulu kuduknya jelas-jelas berdiri saat itu, dan udara di sekitarnya memiliki sensasi dingin yang berbeda dari yang biasanya. Udara dingin tersebut lebih dingin dari es ataupun AC di kamarnya, tetapi alih-alih membuatnya gemetar, Julie merasa setiap partikelnya menusuk molekul tubuhnya seakan-akan siap untuk menyesap seluruh zat tubuhnya ke dalam sebuah portal tidak kasat mata dan meninggalkannya tanpa bekas.
Julie tahu bahwa ia tidak pernah takut dengan hantu. Film dan buku yang paling ia sukai adalah jenis horor, dan ia menikmati semua itu sendirian tanpa ditemani siapapun. Ia sudah menyukainya selama bertahun-tahun, dan Julie merasa dirinya kebal dengan hal-hal yang berbau supernatural.
Namun, dengan Billy, ia secara insting merasakan ketakutan yang selama ini mungkin terpendam di dalam tubuhnya, dan saat itu kakinya berusaha menopang berat badannya agar ia tidak jatuh oleh perasaan tidak menyenangkan tersebut.
Jika semalam tidak nyata, ia tidak tahu lagi.
Seorang polisi di meja depan menanyai maksud kedatangannya ketika melihat kedatangan gadis itu.
“Selamat siang, Miss.”
“Selamat siang. Saya ingin mencari tahu mengenai kematian seseorang dua tahun yang lalu,” jelas Julie, dengan perasaan was-was jika si polisi malah tidak mau membantunya dan mengusirnya pergi.
“Untuk tujuan apa, Miss?” tanya si polisi dengan alis berkerut.
“Saya kehilangan sepupu saya, dan hari ini saya baru mengetahui dari kerabat saya bahwa ia telah meninggal dua tahun yang lalu. Tepat setelah ia dinyatakan menghilang. Saya hanya ingin memastikan apakah ada berkas kematian sepupu saya sebagai informasi saya saja.”
“Apa sebelumnya keluarga telah mengajukan laporan orang hilang?”
“Sepertinya tidak.”
Si polisi memandangi Julie lekat-lekat, seakan memproses apakah gadis di depannya berbohong atau tidak. “Silakan isi dulu formulir kunjungan ini, dan kemudian formulir inquiry untuk laporan orang hilang. Kami perlu menelusuri dulu data sepupu Anda tersebut, dan setelahnya Anda akan dihubungi lagi.”
Jika ia menuliskan namanya di sana, polisi ini pasti akan langsung tahu siapa dirinya dan ia tidak mungkin bisa berbohong.
“Miss?”
“Berapa lama hingga saya dihubungi?”
Polisi tersebut memberinya pandangan lekat. “Secepat yang kami bisa. Anda bisa menunggu jika mau. Tetapi para detektif sedang tidak ada di sini, dan petugas yang lain masih mengerjakan tugas yang lain.”
Tanpa mengambil dua lembar formulir di hadapannnya, Julie akhirnya membalikkan badan untuk berjalan pergi saja dari sana. Lagipula, dengan kehadirannya di sini, mungkin ada beberapa orang yang mengenalnya dan sekarang telah bergosip ria.
Ketika Julie berbelok keluar dari lobi depan, ia tanpa sadar menyenggol lengan seseorang dan jadi tersentak dengan kaget. Dilihatnya seorang pria berkepala botak dengan ekspresi keras seakan-akan ia habis bertengkar hebat dengan seseorang memandang Julie dengan sirat dingin dan tidak bersahabat. Namun bukan itu yang membuat Julie membuka mulutnya.
“Apa Anda detektif di sini?” tanya Julie setelah melirik lencana emas detektif Kepolisian Dalevoux tersemat di sabuk pinggangnya. Ini benar-benar cara terakhir yang bisa ia pikirkan.
“Ya. Ada yang bisa saya bantu?”
Julie kemudian mengulang lagi karangan ceritanya kepada si detektif, dan tidak ia sangka-sangka, si detektif mau langsung membantunya. Menurutnya, jika permintaan Julie sangatlah mendesak, ia bisa membantunya dulu dan meminta Julie mengisi formulir administrasi belakangan.
Ketika ia berjalan masuk lagi ke lobi, dilihatnya polisi di meja depan tadi sedang berbicara dengan dua petugas polisi lalu lintas di sisi kiri meja dengan serius. Julie bersyukur karena ia tidak melihatnya masuk lagi. Kalau tidak, pasti ia segera menghentikan mereka dan bertanya-tanya lebih jauh lagi.
Bagian dalam kantor polisi tersebut memang cukup sepi seperti yang ia dengar barusan, jika ditilik dari beberapa mejanya yang kosong. Ia melihat dua detektif yang sedang fokus ke komputer mereka di meja mereka masing-masing, dan beberapa petugas polisi berseragam mengitari kantor dengan beragam berkas di tangan mereka. Beberapa ruangan petinggi yang tembus pandang karena berdindingkan kaca menunjukkan beberapa aktivitas serius: presentasi kasus-kasus kriminal, diskusi internal dengan detektif dan polisi, dan pembicaraan-pembicaraan lainnya yang terlihat penting.
“Nama saya Max Braighton, ngomong-ngomong.”
“Anda bisa memanggil saya Julie.”
“Siapa nama sepupu Anda yang hilang tersebut?”
“Billy.”
“Apa ada nama belakang?”
Julie cepat-cepat mengimprovisasi alasan untuk pertanyaan itu. “Jujur saja, saya sebenarnya tidak tahu nama belakang sepupu saya. Orang tuanya sempat bercerai dan ibunya menikah lagi dengan orang lain bertahun-tahun yang lalu, tetapi ia tidak pernah menceritakan kepada kami apakah Billy mengikuti nama keluarga lamanya atau yang baru.”
“Kalau begitu, apa Anda tahu tanggal meninggalnya sepupu Anda?”
“Saya tidak tahu. Ia menghilang dua tahun yang lalu dan dikabarkan meninggal setelah kejadian itu.”
Sekarang Detektif Braighton memandang Julie dengan penuh kecurigaan. “Silakan ikut saya kalau begitu.”
Ia mengantar Julie ke salah satu ruang konferensi yang tidak dipakai dan mempersilakannya duduk di kursi yang tersedia.
“Saya perlu menuju bagian administrasi dulu untuk mendapatkan berkas yang Anda minta. Sembari menunggu, apa Anda ingin segelas kopi atau teh? Maaf, kami tidak punya banyak pilihan minuman di sini.”
“Coffee’s fine.”
Detektif Braighton mengangguk dan menutup pintu konferensi. Julie melihat kepergiannya dari dinding kaca masih dengan perasaan cemas, apalagi ketika melihat si detektif sempat berhenti untuk mengatakan sesuatu pada salah satu rekan detektifnya di situ. Tapi setelah obrolan singkat itu, rekannya ternyata berjalan menuju pantry untuk menyiapkan kopi untuk Julie.
Ketika Detektif Braighton kembali dengan satu berkas tebal berwarna biru di tangannya, ia segera menyerahkannya pada Julie. “Menurut deskripsi Anda, saya yakin catatan tersebut ada di dalam sini. Hanya saja, saya tidak tahu mana yang paling sesuai dengan yang Anda cari. Saya harap Anda tidak keberatan untuk mencarinya sendiri.”
“Tentu saja tidak.”
“Jika masih ada yang kurang atau jika Anda sudah menemukannya, silakan panggil saya lagi atau rekan saya.”
Julie melemparkan senyum penuh terima kasih pada si detektif dan kemudian membuka berkas tersebut. Ia membalik setiap halamannya dengan hati-hati, karena tidak ingin melewatkan satu sosok wajahpun yang sesuai dengan paras Billy, si hantu yang ditemuinya kemarin.
Waktu berjalan cukup lama, dan Detektif Braighton kembali menuju ruang konferensi tiga puluh menit kemudian.
“Maaf mengganggu, tapi apa Anda sudah menemukan yang Anda cari?”
Julie menggeleng. “Ada beberapa profil yang tidak dilengkapi foto, sehingga saya hanya bisa bergantung pada nama depan sepupu saya saja.”
Detektif Braighton mengangguk. “Banyak yang identitasnya palsu dan tidak benar, sehingga kami masih harus mencari tahu identitas orang-orang ini lebih dalam lagi.” Ia memberikan pandangan menyesal. “Kota kecil seperti Dalevoux memang belum bisa disandingkan dengan kota-kota lainnya dari segi basis data seperti ini.”
Julie menutup berkas itu. “Terima kasih atas bantuan Anda. Ini sangat membantu.”
“Saya bisa membantu mengakses sistem database kepolisian negara bagian untuk mencari informasi Anda. Memang sedikit sulit karena Anda harus mengisi formulir sebagai catatan kami dan untuk keperluan permohonan akan persetujuan para petinggi. Saya juga harus meminta dibukakan akses melalui ID saya. Bagaimana menurut Anda?”
Sepertinya terdengar lebih rumit, pikir Julie setelah mendengar penjelasan detektif tersebut. Ia bahkan sudah cukup lega karena si detektif tidak menanyai nama belakangnya sampai sekarang.
“Mungkin akan lebih membantu jika Anda tahu nama belakang sepupu Anda juga, karena dengan hanya nama depan saja, hasil pencarian pasti akan sangat banyak dan akan butuh waktu untuk mengeceknya satu per satu.”
Julie melipat bibirnya seraya menimbang-nimbang. “Detektif Braighton, saya akan menghubungi Anda lagi jika saya membawa informasi yang lebih lengkap.”
Ia pun menerima kartu nama si detektif, menjabat tangannya kembali dan berjalan keluar dari kantor itu. Lagi-lagi ia bersyukur karena polisi di meja depan tadi masih sibuk berbicara, sehingga ia pun cepat-cepat menyelinap pergi.
x-x-x
Julie melangkah keluar dari sebuah bangunan abu-abu dengan arsitektur Renaissance yang megah dan agung di sisi barat universitasnya dan kemudian berbelok ke arah gedung admisi di bagian timur. Sebuah gedung dengan lambang “Public Library of Dalevoux University” yang diukir besar dan terpampang dengan bangga di atas pilar-pilar penyangganya menyambut pandangan Julie, bersamaan dengan pemandangan ratusan orang yang lalu-lalang di tempat itu seperti biasanya.
Ia baru saja menyelesaikan tugas mata kuliahnya dan sekarang ingin kembali ke rumah untuk membersihkan badan dan mengganti bajunya.
Sesampainya di rumahnya yang besar dengan warna dominan merah bata—karena itu adalah warna khas keluarga Stone sejak generasi pertama, gadis itu langsung berjalan menuju dapur untuk melihat apakah ada yang bisa disantapnya untuk hari itu. Ia belum makan apapun sejak kemarin siang karena kartu kreditnya masih diblokir oleh orang tuanya, dan uang jajannya juga sudah habis untuk minggu itu. Perut Julie sudah kesakitan menahan lapar, dan ia berharap dapat menemukan banyak makanan enak yang biasanya disediakan Mrs. Mull, kepala pelayan yang sudah mengabdi kepada keluarga mereka selama empat puluh tahun.
Ketika ia membuka kulkas, wajahnya langsung sumringah. Ada sekotak pizza dingin yang segera ia keluarkan isinya ke atas wadah tahan panas dan hangatkan ke microwave. Ia meraih sekotak susu vanila dan menenggak seluruh isinya hingga tak bersisa. Setelah membuang kotak itu ke keranjang sampah, matanya menjelajah kembali setiap kompartemen kulkas. Tangannya mengambil sisa salad sayur dengan ranch dressing asam kesukaan mamanya dan dua bungkus keripik kentang homemade sebagai cemilannya nanti. Semua makanan ini akan sangat cukup baginya hingga esok hari.
Sembari mengunyah salad yang telah diaduk, Julie mengeluarkan pizza yang telah dipanaskan dari dalam microwave dan menaruhnya berdampingan dengan mangkuk salad tadi di atas meja dapur. Mungkin karena wangi pizza tersebut menyebar ke seluruh ruangan, mamanya jadi tahu kedatangannya.
Wanita itu menuruni tangga dari lantai atas dan kemudian melihat putrinya sedang menjejalkan makanan ke mulutnya. “Julie?”
Julie melihat mamanya yang berjalan menghampirinya dengan mulut penuh.
“Yang harus kulakukan agar kau kembali ke rumah adalah dengan membuatmu kelaparan,” komentar mamanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Julie menelan pizza yang telah dikunyahnya dan kemudian meneguk air putih di sebelahnya. “Ya, dengan menutup kartu kreditku. Aku tidak makan dari kemarin, Mom, jadi terima kasih,” lanjutnya sarkastik.
“Karena kau tidak mendengar kata mama lagi,” balas mamanya sambil mengambil tempat duduk di sebelah meja dapur. “Kau tidur di mana kemarin?”
“Rumah teman,” jawab Julie seadanya.
Mamanya menyipitkan matanya. “Teman yang mana?” Kemudian ia memandangi penampilan Julie. “Apa temanmu juga memiliki selera baju sepertimu?”
“Rileks, Mom, aku mengambil baju ganti dua hari yang lalu. Kau tertidur, dan aku tidak ingin membangunkanmu.”
“Kau setidaknya bisa mengirimkanku pesan atau meneleponku. Mama benar-benar khawatir.”
Julie tidak membalas ucapannya.
“Apa rumah ini adalah sebuah hotel bagimu?” lanjut mamanya lagi. “Julie, mama dan papa sangat peduli dengan kesehatanmu. Kami sedih karena insomniamu masih belum sembuh, dan kami melakukan apapun agar dirimu cepat membaik. Mungkin sudah saatnya kau mendengarkan saran-saran Dokter Octa.”
Julie masih terdiam sambil mengunyah pizza-nya lagi.
“Dan kenapa kau sangat sering merokok? Mama mendekatimu, dan yang kucium hanya bau asap rokok, begitu juga seisi kamarmu. Apa kau masih sering minum juga?”
“Mom, aku sudah dewasa, jadi tidak ada yang ilegal soal semua itu.” Julie menaruh piring pizza-nya yang telah kosong ke wastafel. “Kau sendiri juga sering minum anggur. Jadi, kenapa aku tidak bisa?”
“Bukan itu maksud mama,” balas wanita itu kesal. “Semua itu mempengaruhi kesehatanmu, Julie. Bukankah kau ingin sembuh?”
“Aku tidak tahu lagi,” jawab Julie yang sama kesalnya. “Apakah aku akan sembuh bila aku tiba-tiba berhenti merokok dan minum-minum? Entahlah, Mom, aku melakukannya dua tahun yang lalu, dan kondisiku malah makin memburuk. Kau ingat?”
Mamanya terlihat kehabisan kata-kata, sehingga ia pun hanya memandangi putrinya itu.
“Mom, aku bisa mengontrol konsumsi rokokku, oke?” balas Julie dengan perasaan melunak sebelum mengunyah salad-nya lagi. Ia merasa sedikit bersalah juga karena telah membuat mamanya khawatir.
Mamanya menatap putrinya untuk sejenak sebelum melanjutkan lagi. “Kenapa kau mendatangi kantor polisi Dalevoux kemarin?”
Gerakan tangan Julie yang sedang mengaduk salad terhenti. Kedua matanya terarah kepada mamanya dengan ekspresi terkhianati. “Detektif Braighton berpura-pura tidak mengenaliku, huh? Dia benar-benar tidak bisa dipercaya.”
“Bukan Braighton,” jawab mamanya. “Mama tahu dari Chief Lee. Dia melihat kedatanganmu kemarin dan langsung mengabari mama.”
Julie tidak tahu siapa itu Chief Lee, tetapi jika ia disuruh menebak, orang itu sepertinya adalah semacam direktur atau kapten Kepolisian Dalevoux. Bila memang demikian, mamanya pasti juga sudah tahu apa yang ia lakukan di sana.
“Catatan kematian siapa yang ingin kau lihat, Julie? Aku bersumpah, jika kau terlibat dalam masalah berat—”
“Mom! Tentu saja tidak,” potong Julie cepat. “Lagipula, kenapa Chief Lee harus menghubungimu? Itu sama sekali bukan urusannya.”
“Itu menjadi urusan mama jika menyangkut dirimu,” balas mamanya tajam. “Julie, apa yang akan orang-orang bilang soal dirimu jika mereka tahu kalau kau mengunjungi kantor polisi?”
Julie merasa kemarahannya naik ke ubun-ubun. Tetapi ia memilih untuk tidak menjawab pertanyaan mamanya itu.
“Jadi apa kau mau memberi tahu kenapa kau datang ke sana, atau kau ingin mama tanyakan saja pada Braighton langsung?”
Semudah menjentikkan jari, informasi itu akan langsung ada di tangan orang tuanya saat ini juga. Orang tuanya yang kaya dan terkemuka memang merupakan salah satu pasangan penting yang dihormati di kota ini, dan mereka memiliki banyak koneksi dengan para pejabat, petinggi dan pemimpin yang tinggal di Dalevoux. Jadi wajar saja jika mamanya mendapat informasi sepele seperti ini dengan cepat.
“Mom... leave me alone.”
Julie meraih mangkuk salad dan bungkus keripik kentangnya untuk naik ke kamarnya, ketika suara mamanya yang keras menjalar ke seluruh dapur.
“Apa itu caramu berbicara dengan orang tua?” serunya. "Aku bahkan belum tiba di topik saat kau meninggalkan sesi checkup-mu bersama Dokter Octa sebelumnya. Dan juga saat kau melanggar aturan rumah sakit untuk tidak merokok di tempat umum. Oh, atau saat kau bersikap tidak sopan saat kelas seminarmu beberapa hari yang lalu. Ada banyak hal yang harus kau jelaskan padaku, Julie."
Langkah Julie terhenti, dan gadis itu menghela napas. Mamanya sendiri berjalan ke hadapannya dan memandang putrinya dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya.
“Baiklah, aku minta maaf. Untuk semuanya.”
Mamanya masih mendengarkan.
“Aku sedang menuliskan paper tentang analisis kejiwaan seorang pembunuh bayaran tahun 2017 bernama Rupert Maddox untuk tugas Miss Roselett. Ketika polisi hendak menangkapnya, Maddox malah ditemukan meninggal di apartemennya dengan sekaleng antifreeze yang polisi tentukan sebagai penyebab kematiannya. Aku ingin menyelidiki kenapa psikopat menyeramkan sepertinya bunuh diri, sehingga aku akhirnya mencari sumber referensi dari perpustakaan kampus dan kantor polisi, karena kupikir mereka pasti punya informasi lengkap mengenai daftar korban Maddox di masa lalu sekaligus membantuku mengenal lebih jauh soal Maddox.”
Julie sedikit terkesan dengan kemampuannya menyusun karangan kilat tersebut.
Mamanya menatapnya dengan lekat. “Benarkah?”
“Mom...aku hanya minta satu hal saja darimu. Just have some faith on me, please?” tanya Julie sambil berusaha membuat nada ucapannya setulus mungkin.
Kedua sudut bibir mamanya terangkat sedikit. “Baiklah. Mama mengerti.”
Wanita itu kemudian memberikan ciuman singkat ke dahi Julie sebelum berjalan pergi meninggalkannya. Julie sendiri hanya berdiri di tempatnya sambil terus berusaha mengontrol jantungnya yang dari tadi berdetak cepat. Ia tahu kalau mamanya selalu menjaga janjinya selama ini, yang mana menjadi satu poin kebanggaannya.
Julie sekarang tahu betapa berbahayanya nama belakangnya yang terkemuka itu. Ia memang tidak perlu khawatir dengan masa depannya. Tapi ia juga tidak bisa bersembunyi, dan apapun yang ia lakukan di kota ini adalah sebuah transparansi. Dan Julie membencinya.
x-x-x
Sehabis mandi dan mengganti bajunya, Julie membuka bungkus keripik kentang yang dibawanya tadi untuk dihabiskannya sebelum nanti malam mengunjungi pool party salah satu mahasiswa dari departemen Bisnis yang dikenalnya. Untuk saat ini, ia akan menyelesaikan tugas kuliahnya terlebih dahulu sebelum mengambil kaos dan celana ganti untuk nanti beserta simpanan cemilan dan rokoknya.
Julie melihat ke luar balkon jendelanya dan menyadari bahwa tidak ada bintang malam itu, sehingga langit benar-benar gelap. Ia melongok ke arah taman di depan rumahnya untuk mencari sosok yang ia kenal, dan ketika pandangannya menangkap siluet putih tinggi berjalan mengelilingi rumpun bunga aster milik mamanya di sana, instingnya langsung keluar untuk memanggilnya.
“Billy!”
Hantu itu menoleh dan melambaikan tangan pada Julie dari tempatnya berdiri. “Bisakah kau turun ke bawah sini?”
Astaga, Billy benar-benar nyata, pikir Julie pada dirinya sendiri. Dan ia akhirnya yakin bahwa beberapa malam yang lalu ia tidak berhalusinasi.
Ketika ia menuruni tangga ganda dari lantai dua ke area foyer rumahnya, sedikit demi sedikit ia bisa mendengar kedua orang tuanya sedang berbicara. Dari nada bicaranya, mereka terdengar tegang.
“Aku akan menemui mereka besok. Mereka harus tahu mereka berurusan dengan siapa.”
“Clint, untuk apa kau menghiraukan apa yang dilakukan bocah itu? Kau jelas-jelas melihatnya tidak mengambil apapun dari kantormu.”
“Itu adalah pelanggaran privasi, Meredith.”
Mamanya hendak membuka mulut lagi, tetapi ia segera mengalihkan topik ketika melihat Julie. “Hei, sayang, kau mau ke mana?”
“Mau cari udara segar di taman,” balas Julie sambil berusaha bersikap normal. “Hai, Dad.”
Papanya hanya memberikan anggukan kecil, sementara mamanya melemparkan senyum lebar padanya. “Nikmati malammu, Julie.”
“I will,” balas Julie lagi sebelum akhirnya membuka pintu rumah dan keluar dari sana. Dalam hati ia jadi penasaran mengenai apa yang dibicarakan mereka tadi. Tidak mungkin itu soal pekerjaan. Sepertinya ada seseorang yang membuat ayahnya kesal. Mamanya menyebut orang itu “bocah”. Mungkin ada seorang karyawan magang di kantor ayahnya yang berbuat salah.
Julie dapat merasakan angin malam yang makin dingin menerpa kulit kakinya ketika ia mendekati Billy. Bulu kuduknya seperti biasa merinding, dan ini adalah efek yang normal jika seorang manusia berdekatan dengan makhluk halus. Setidaknya, itu yang Julie tangkap dari ratusan film horor yang telah ia tonton.
Akan tetapi, menurut Julie, Billy tidak memancarkan aura yang membuatnya terlihat berbahaya ataupun menyeramkan untuk didekati. Bila cowok itu adalah seorang manusia, Julie yakin Billy mungkin hanya akan terlihat seperti seorang anak remaja ingusan yang culun dan pendiam di SMA. Dan alih-alih di-bully, Billy mungkin malah akan terlihat misterius dan seksi di mata gadis-gadis berkat sikap innocent-nya, dan Billy mungkin masih punya pasangan untuk dibawa ke pesta prom.
Kesimpulannya, Julie tidak memiliki alasan untuk takut dengan Billy. Namun, dengan melihat jiwa semuda itu berkeliaran di dunia ini sebagai roh, Julie malah jadi sedih. Bagaimana Billy bisa meninggal sebenarnya? pikirnya dalam hati.
“Kenapa kau tidak masuk saja ke kamarku?” tanya Julie setelah berdiri berhadapan dengan Billy.
“Aku tidak bisa jika tidak diundang masuk,” jawab Billy kasual.
“Apa? Memangnya kau vampir, perlu diundang dulu baru bisa masuk ke rumah manusia?”
“Bukan sih, tapi aku hantu yang memiliki tata krama. You should let me in with your permission.”
Julie tidak tahu bahwa alam roh memiliki etika demikian, tetapi ia diam-diam menganggapnya cukup keren. Ia kemudian mendudukkan diri di bangku tamannya yang dingin dan sedikit lembab. “Whatever.”
“Jadi... apa kau sudah mulai mencari tahu?” tanya Billy lagi.
Julie menggeleng. “Aku sudah pergi ke kantor polisi Dalevoux, tetapi aku membutuhkan lebih banyak informasi untuk menemukan rincian datamu. Nama depanmu saja tidak begitu membantu.”
“Mungkin kau bisa meminta mereka melakukan face construct dan recognition?”
Julie menggeleng. “Aku tidak bisa mengambil resiko lagi dengan kembali ke kantor polisi. Setelah kedatanganku kemarin, mamaku langsung tahu soal itu dari kepala kantor polisi dan aku harus berbohong padanya. Jika aku kembali lagi, aku tidak tahu alasan apa lagi yang harus kukatakan. Dan jika orang tuaku akhirnya tahu mengenai apa yang sedang kualami...”
Ucapan Julie mengambang sejenak dengan pandangan tertuju kepada Billy, dan cowok itu langsung mengerti maksud gadis itu.
“Berbicara dengan hantu,” sambung Billy dengan getir.
Julie mengangguk. “Mereka mungkin akan menaruhku di rumah sakit jiwa dan membayar semua dokter dan suster di sana untuk mengawasiku 24 jam dengan dalih sebagai perawatan intensif di samping penyembuhan penyakit insomniaku saat ini.”
“Tidak mungkin mereka melakukan itu, Julie. Kau adalah putri mereka.”
Julie menggeleng. “Iya, putri mereka yang bermasalah. Aku sakit, dan aku memberontak.”
Billy berdiri dengan kaku. “Aku minta maaf.”
Julie ingin mengatakan bahwa ini bukan salahnya, tetapi entah kenapa ia tidak bisa.
“Sangat sulit buatku untuk menerima keadaan ini. Bahwa kau bukan halusinasiku semata,” ucap Julie kemudian. Ia menceritakan Billy mengenai halusinasinya melihat kakaknya, dan harapan besarnya agar ia juga bisa berbincang-bincang dengan Owen seperti yang ia lakukan dengan Billy.
“Kau masih sangat merindukannya,” komentar Billy.
Julie hanya mengangguk sambil berusaha menghilangkan genangan air matanya.
“Jadi... sekarang rencanamu apa?”
Gadis itu terdiam memandangi jalan setapak di sisi kanannya, memikirkan pertanyaan Billy untuk sejenak. Sebenarnya ia belum ada rencana lagi, tetapi malam ini ia akan mengosongkan pikirannya sejauh yang ia bisa dan besok pagi berharap beberapa ide segar memenuhi kepalanya kembali.
Ia menolehkan kepala ke arah kemeja Billy yang tersetrika rapi, dan pandangannya terarah pada french cuff kirinya yang memiliki bordiran bertuliskan “Billy” berwarna biru tua.
“Apa aku sudah pernah bilang bahwa kemejamu sangat rapi dan berkelas?” komentar Julie sambil tersenyum, berharap dapat mengalihkan perhatian Billy dari pertanyaannya tadi.
Billy menatap kemeja putihnya sendiri dan tersenyum bangga. “Ini hal terbaik yang kumiliki sejak aku meninggal.”
Julie menatap kembali bordiran di pergelangan kemeja Billy dan mengerutkan kening karena bordiran tersebut terlihat familiar baginya. Tidak banyak cowok di kota Dalevoux memakai kemeja sepas dan sebagus Billy, apalagi yang memiliki bordiran nama pribadi yang rapi seperti itu. Tapi Julie yakin bahwa ia pernah melihat bordiran kemeja di tempat dan bentuk yang sama beberapa hari yang lalu.
Gadis itu mencoba memutar memorinya kembali, sembari Billy melanjutkan celotehannya mengenai kemeja dan celananya yang sangat nyaman dan kelihatan mahal.
Kemudian gadis itu teringat pada cowok yang membayarkan rokoknya dulu di minimarket, dan langsung tersentak karena ia ingat dengan bordiran di pergelangan kemejanya saat cowok itu mengulurkan tangannya ke arah si kasir untuk membayar belanjaan mereka.
“Sepertinya aku tahu harus mencari siapa,” ujar Julie kemudian. “Bordiran kemejamu itu... there’s someone else in this town who has it.”
Billy melihat french cuff-nya.
“Aku bertemu orang ini beberapa hari yang lalu, dan aku masih ingat dengan wajahnya. Jika aku berhasil menemuinya, aku akan bertanya padanya tentang dirimu dan penjahit bordiran kemejanya. Siapa tahu mereka memiliki informasi yang kita butuhkan...”
“... dan aku pun tahu bagaimana kematianku terjadi.”
Julie juga dapat merasakan kesedihan merayapi hatinya di tengah dinginnya malam tersebut. “Kenapa kau sangat ingin mengetahuinya, Billy?”
Billy memandang Julie dengan lekat. “Anggap saja aku ingin meninggalkan dunia ini dengan damai.”
Mendengar ucapannya, Julie pun jadi terpikir kepada kakaknya sendiri.
Apakah Owen meninggalkan dunia ini dengan damai? pikirnya getir. Apa dia sudah tenang di atas sana?
Dan keduanya pun terdiam kembali, meresap setiap momen dan perasaan sedih akan apa yang telah terjadi terhadap mereka berdua.
mampir juga di ceritaku yaa...
Comment on chapter Introduction