“Jadi hanya itu?”
Julie mengangguk sebelum menyeruput kopi paginya, di mana bekas lipstik merahnya tertinggal di tepi cangkirnya dengan jelas.
Ben sendiri memberinya pandangan tidak percaya dan hendak mengatakan sesuatu, tetapi Jamie menghampiri mereka dengan satu pitcher air putih sehingga ia pun segera menghentikan niatnya.
“Air?”
Julie menggeser bola matanya untuk melihat Ben, sementara cowok itu memberikan anggukan singkat pada Jamie seraya menyerahkan gelas airnya yang hampir kosong.
Jamie pun menuangkan air ke gelas Ben. “Apa ada lagi yang bisa kubantu?”
Julie memberikan senyuman ramah. “Tidak, Jamie. Terima kasih.”
Jamie mengangguk. “Pacar baru setelah dua hari putus?” komentarnya dengan alis terangkat sebelum berjalan pergi meninggalkan mereka berdua.
Gadis itu menggigit bibir bawahnya dengan sedikit kesal, sementara Ben mengerutkan kening.
“Sorry. Tadi itu Jamie, pemilik Lunar. Aku sering kemari pada malam hari untuk satu atau dua botol bir. You know, jika aku tidak bisa tidur dan berkeliaran di luar rumah. Karena sering ke sini, aku juga jadi dekat dengan Jamie. Hanya saja, dia kadang-kadang punya masalah dengan privasi orang lain,” jawab Julie kesal sambil memotong pancake-nya lagi.
“Huh. A night wanderer.”
“Maaf?”
Julie memberikan tatapan bingung pada Ben.
“A night wanderer,” ulang Ben sebelum mengunyah sebutir blueberry di samping pancake-nya. “Entah kenapa rasanya terdengar cocok untukmu. Dan Billy.”
“Well, aku minta maaf mewakili Jamie. Jika pacarmu mendengarnya tadi, bisa-bisa aku dibunuh,” balas Julie.
“Kau tahu soal aku dan Karen?”
Julie memberikan senyum geli. “Kurasa semua orang tahu soal kau dan Gifford.”
“Oh, benarkah?” balas Ben. Memang tidak mudah menjadi keturunan para founding family di Dalevoux. Ia pun segera mengalihkan topik. “Aku benar-benar tidak bisa mempercayai Max. Ia bilang padamu bahwa kematian Billy hanya sebuah kecelakaan dari kesalahan pengendara mobil, dan Owen hanya seorang pemain sepak bola SMA yang depresi dan memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri. Bukannya itu hanya menyalin fakta dari berita dua tahun yang lalu?”
“Itu adalah salah satu dari sekian hal yang membuatku sangat marah kemarin. Menurut laporan investigasinya, kantor polisi Dalevoux menemukan sisa alkohol dalam sistem pencernaan supir mobil yang menabrak Billy, dan Owen meninggalkan pesan terakhirnya yang mengindikasi keinginannya untuk bunuh diri.” Julie terdiam sejenak sebelum melanjutkan. “Sebagai informasimu, aku yang menemukan catatannya.”
“Apa benar bahwa Owen depresi kalau begitu?”
Julie mengangguk sedih. “Owen memiliki banyak tekanan sebagai satu-satunya putra di keluarga Stone. Ia harus menjadi yang paling pintar di kelas, paling hebat di sepakbola, paling jago di kompetisi musik dan masih banyak lagi. Di usia 18 tahun, ia harus memegang anak perusahaan ayahku, ketika yang lain masih melakukan aktifitas sekolah dan mempersiapkan diri untuk masuk ke universitas.” Kemudian pandangannya menjadi menerawang sembari tangannya mengaduk pelan kopi di hadapannya. “Aku ingat saat Owen beberapa kali mengunjungi kamarku untuk sekadar bercerita mengenai apa yang ada di dalam pikirannya dan betapa beratnya ekspektasi yang harus ia capai untuk orang-orang di sekitar yang mengharapkannya. Ia tidak menangis, tapi aku tahu kalau ia terluka.”
“Aku turut menyesal mengenai apa yang terjadi pada Owen,” ucap Ben prihatin.
“My point is, mungkin Max tidak sepenuhnya berbohong mengenai Billy dan Owen,” balas Julie. “Max mengatakan bahwa ia tidak menemukan adanya hubungan antara kematian mereka dengan perselisihan keluarga Stone ataupun Easton. Supir yang juga meninggal dalam kecelakaan itu hanya seorang pekerja pergudangan di tambang batubara milik pemerintah kota Dalevoux yang ada di sisi barat kota ini. Ia memiliki istri dan dua anak perempuan yang saat ini sedang tinggal di Oregon bersama paman mereka untuk melanjutkan studi sarjana. Tidak ada satupun dari orang-orang ini yang memiliki kaitan dengan seseorang dari keluarga kita berdua.”
Ben menggerutu sebelum menenggak minumannya.
“Apa kau tahu apa yang Billy lakukan di sana waktu itu?” tanya Julie.
Ben menggeleng. “Sebelum kejadian itu, Billy seharian berada di sekolah dan tidak kembali ke rumah. Aku hanya meneleponnya untuk menanyakan apakah ia ingin ikut denganku untuk makan malam di luar, dan Billy bilang tidak. Dan keesokan paginya...”
Julie menangkap gurat sedih di dalam sorot matanya.
Ben mengangkat bahunya. “Aku tahu bahwa Billy bukan tipe yang melakukan sesuatu seperti mengunjungi perhutanan Dalevoux pada malam hari begitu saja. Sesuatu terjadi padanya, tapi kantor polisi kita menetapkannya sebagai kecelakaan biasa. Aku rasa ada sesuatu yang lebih di balik semua ini, Julie. Dan Max tidak berbuat apa-apa ketika aku mengatakan ini padanya.”
“Kau pikir Max menyimpan sesuatu?”
Ben mengangguk. “Hanya saja, aku sudah dua tahun mencoba mencari tahu, dan sampai sekarang belum menemukan titik terang. Aku tidak selalu ada untuk ini. Untuk menyelidiki kematian Billy atau Owen. Aku harus bekerja, membantu orang tuaku, mempersiapkan diri untuk—”
Kata-katanya terputus, sehingga kali ini giliran Julie yang memberikannya tatapan bingung. Sepertinya ada hal yang penting mengikuti kalimat tadi, tetapi Julie tidak ingin mendorongnya bicara. Ben pun berdehem dan melanjutkan lagi.
“Intinya, aku ingin mempercayai kebenaran yang ingin kuyakini,” sambung Ben tajam.
Julie meneguk kembali susunya sebelum membalas. “Well, dua kepala tentu lebih baik daripada satu. Menurutku kita bisa mulai dari istri supir truk tersebut. Dia masih di tinggal rumah lamanya. Max pernah menyebutkan alamat perumahannya, jadi kita bisa tinggal bertanya saja kepada orang-orang di sana. Mungkin kita bisa menemukan sesuatu darinya soal kecelakaan itu.”
“Tapi Max bilang kalau tidak ada pernyataan apapun dari keluarga si supir.”
“Itu kan menurut Max. Siapa tahu kita jauh lebih beruntung.”
“Bagaimana jika ia tidak ingin bercerita? Atau yang lebih parah, berbohong?”
“Setidaknya kita mencoba, bukan?” tanya Julie balik.
Ben tersenyum dengan dedikasi tinggi gadis di hadapannya itu. Harapannya yang sirna seakan-akan bersinar terang kembali. “Apa kau ada kelas hari ini?”
“Aku bisa melewatkannya,” jawab Julie santai.
“Tidak, aku tidak akan membiarkan itu. Kau akan menghadiri kelasmu, dan kita akan bertemu lagi di perpustakaan setelahnya,” balas Ben. “Telepon aku setelah kau selesai.”
“Kau terdengar seperti ibuku,” ucap Julie bosan.
Ben tersenyum, dan mereka terdiam lagi.
“Aku minta maaf,” kata Ben kemudian.
Julie mengangkat kepalanya dan hanya menatap cowok itu.
“Untuk pertemuan pertama kita,” sambungnya. “Aku tidak seharusnya mencemoohmu saat itu. Aku minta maaf jika aku menyakiti perasaanmu.”
“Bukannya sudah terlambat untuk minta maaf?”
“Lebih baik aku mengatakannya daripada tidak sama sekali.”
Julie mengangkat kedua bahunya. “Kalau begitu aku juga minta maaf karena melemparmu bungkus rokok yang sudah kau bayar. Jika aku di posisimu, kau pasti akan menganggapku sangat aneh dan menyebalkan.”
Ben menggumam rendah. “Sangat.”
Julie melotot padanya. “Hei, terima kasih,” balasnya sarkastik.
“Tapi aku terkesan,” balas Ben, “karena aku bisa mengenalmu melalui Billy.” Tatapannya ke Julie lekat seakan menembus tubuh gadis itu. “Billy adalah orang paling penting di dalam hidupku. Sekarang aku bisa melihat koneksimu yang dalam dengan Billy walaupun kalian baru-baru ini bertemu. Aku senang karena Billy tidak sepenuhnya sendiri meskipun ia sudah pergi dari dunia ini.”
Julie hanya terdiam, mendengarkan.
“Meski Billy telah melupakan semuanya, Billy yang kau kenal sekarang masih tetap Billy Easton. Jika kau mengenalnya lebih jauh, kau akan tahu kenapa aku sangat menyayanginya.”
Julie tersenyum. Dalam hati ia membenarkan ucapan Ben itu.
Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka pun menyelesaikan sarapan mereka pagi itu.
x-x-x
Matanya memandang ke arah mansion di hadapannya dengan lekat.
Ia sudah melakukan ini selama beberapa minggu terakhir ini, atau tepatnya sejak ia bertemu Julie. Atau ketika atasannya mengirimkannya ke sini.
Billy melangkah lagi di sekitar pekarangan kediaman Stone yang dipenuhi bunga aster, matahari dan mawar putih. Ia melihat ke atas dan menyadari bahwa langit sudah mendung.
Dan kemudian gerimis air hujan turun membasahi semua bunga tersebut, walau tidak ada satupun yang bisa ia rasakan di tubuhnya.
Akhirnya Billy pun memutuskan untuk duduk di bangku taman yang sering ia tempati jika menunggui Julie.
“Tidak menyenangkan menjadi hantu, bukan?”
Suara itu membuat Billy menoleh, dan ia melihat sesosok wanita bergaun putih panjang dengan rambut pirang berjalan menghampirinya. Ada sinar putih buram yang mengelilingi seluruh tubuhnya di balik kegelapan suasana tersebut, dan senyumannya yang ramah menghangatkan suasana di sekitarnya.
“Hai, Jade,” sapa Billy ketika wanita itu duduk di sebelahnya.
Wanita yang ia panggil Jade tersebut menjentikkan jarinya, dan beberapa detik kemudian hujan tersebut berhenti perlahan, digantikan oleh cerahnya sinar matahari yang membuat semua warna di pekarangan tersebut menonjol kembali.
“Aku tidak tahu kalau kau mengontrol cuaca,” komentar Billy sambil mengagumi transisi itu.
Jade tertawa kecil. “Aku tidak “mengontrol” cuaca. Aku hanya menjentikkan jari, dan seseorang di atas sana melakukan hal ini.”
““Seseorang”?” ulang Billy.
“Oh, Billy, you know, oke?” ucap Jade bosan sambil menyilangkan kakinya.
Jade adalah malaikat kematian yang menjemputnya ketika ajal tiba. Saat arwahnya terlepas dari tubuhnya, Billy langsung disambut kedatangan malaikat jelita ini dan dibawa ke sebuah tempat serba putih yang kosong dan tidak berbatas. Jade mengenalkan tempat itu sebagai “rumah baru sementara” sebelum ia melewati Gerbang Penentuan. Yang Billy tahu soal gerbang itu adalah bahwa setiap perbuatannya di dunia akan dinilai, dan berikutnya ia akan pindah ke rumah barunya yang lain untuk beristirahat di sana selamanya.
“Billy, aku mendengar kesedihanmu dari atas,” ucap Jade prihatin. “Bersabarlah. Aku yakin kalau kau akan segera mendapatkan jawabanmu dan masuk ke Gerbang Penentuan.”
“Kurasa Julie Stone bukanlah orang yang tepat untuk ini, Jade,” balas Billy frustrasi. “Aku sudah berhari-hari di sini, dan sampai sekarang aku belum mendapatkan jawaban apapun. Bisakah kau mengirimku kepada orang lain?”
Jade menggeleng. “Aku ingin kau mengerti melalui Julie.”
Ketika Jade menyuruhnya turun dan berbicara dengan gadis bernama Julie Stone, Billy sebenarnya skeptis. Pikirnya, siapa yang mau bicara dengan hantu? Dan belum tentu Julie Stone mau membantunya.
Walau ternyata kekhawatirannya malah berujung lain.
Suara derap sepatu seseorang menyapu jalan setapak taman rumah itu, membuat mereka berdua menoleh. Julie sedang berjalan menuju pintu masuk rumahnya sambil memandangi Billy dengan sumringah.
“Billy!” panggilnya seraya menghampirinya dan kemudian mengerutkan alis karena kulitnya merasakan sensasi hangat di sekitar cowok itu. “Aneh. Kau biasanya membuat bulu kudukku merinding, tapi sekarang...”
Billy melihat Jade yang tersenyum kepadanya, tetapi Julie sepertinya tidak bisa melihat sosok malaikat di sampingnya itu.
“Anyway, aku sedang ingin menaruh buku-buku dan meminjam mobil ibuku, karena aku belum mengisi bensin mobilku sementara ada tempat yang harus kukunjungi segera. Jika pertemuan nanti berjalan lancar, mungkin aku bisa memberitahukanmu sesuatu dan melanjutkan progress investigasi ini. Aku yakin kalau ada informasi berharga setelah ini. Kumohon kau tidak pergi ke mana-mana, oke?”
Billy hanya bisa tertegun. “Julie...”
Ketika gadis itu hendak melanjutkan langkahnya, ia kembali menghadap cowok itu. “Dan kau bisa masuk ke dalam rumahku. Kau bilang bahwa aku harus mengundangmu dulu kan?” tanyanya sambil tersenyum geli dengan gelengan kepala.
Julie sendiri sudah masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat, sementara Billy memandang Jade dengan terperangah.
“Kubilang juga apa,” kata Jade santai. Wanita itu beranjak dari duduknya, bersiap untuk naik ke atas lagi. “Billy, put your faith on her. Julie akan segera memberikanmu jawaban yang kau cari.”
“Jade, kenapa mesti dia?” tanya Billy cepat. “Apa aku memiliki semacam hubungan dengannya? Bisakah kau memberitahuku sedikit saja?”
Jade tidak menjawabnya dan kemudian menghilang perlahan-lahan seperti butiran kapas bunga dandelion, diikuti oleh keluarnya Julie dari rumah dengan tas tangannya yang lebih kecil dan sebuah kunci mobil di tangannya. Gadis itu melambaikan tangan padanya dan berbelok ke arah garasi rumahnya, bersiap-siap untuk pergi lagi.
Billy memandangi pintu rumah gadis itu yang masih terbuka sedikit dan kemudian melangkah ke sana. Dengan ragu, ia menjulurkan tubuhnya ke dalam, dan hal yang berikutnya ia tahu, ia sudah sepenuhnya berada di dalam kediaman keluarga Stone.
mampir juga di ceritaku yaa...
Comment on chapter Introduction