Waktu dzuhur sudah tiba, saatnya Muti menunaikan kewajibannya sebagai hamba Allah, biasanya Muti bersama Aldi tetapi untuk kali ini tidak. Aldi sedang ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Tanpa sengaja Tama melihat dirinya yang tengah bersujud di hadapan Allah. Betapa indahnya ia, betapa sholehahnya ia, betapa anggun dirinya, dan betapa cantiknya ia ketika sholat.
Tama, memperhatikan gadis itu sampai rakaat terakhir, ia berpikir sudah lama meninggalkan kewajibannya terhadap Tuhan yang menciptakan alam semesta ini. Tak sengaja ketika ia melipat mukena yang dikenakan dan membenarkan hijabnya yang sedikit berantakan, Muti melihat Tama dari balik kaca dan langsung saja menghampirinya.
“Eh, lo yang waktu itu hampir nabrak guekan? Ngapain lo ke sini? Mau sholat?” tanya Muti pada Tama.
“Ahh engga, gue pengen ketemu lo aja. Orang kaya gue mana pantes berhadapan sama Allah.” Ucapnya enteng.
“Kenapa? Aneh banget, lo mau ketemu gue? Kerajinan banget sih mau ketemu gue? Emang gue siapa lo?” ucapnya polos.
“Gue orang hina jadi engga pantes masuk mesjid. Memangnya kenapa? Engga boleh? Apa lo udah punya pacar? Lo itu temen baru gue sekarang.” Ucap Tama sok akrab.
“Dih temen lo? Emang lo mau berteman sama gue? Masa cowok kaya lo mau berteman sama gue? Haha, apa kata orang nanti. Pacar? Cowok hina? Tererah lo mau bilang apa aja dan inget gue bukan Tuhan yang bisa memutuskan lo orang hina atau suci.” Ucapnya dengan nada datar.
"Lo engga mau berteman sama gue Mut? Karena gue bukan cowok sholeh, cowok brutal, cowok nakal, dan satu lagi, gue bukan cowok alimkan? Emang salah kalo gue berteman sama lo? Bukannya islam mengajarkan kalo kita harus berteman dengan siapa aja, tanpa membedakan statusnya?" ucapnya. Diam sejenak di antara mereka.
"Bukan kaya gitu juga Tam. Iya gue paham kalo kita engga boleh pilih-pilih temen, tapi kalo berteman sama cewek kaya gue tentunya temen-temen lo bilang yang aneh-aneh. Setidaknya gue mau menjaga reputasi lo dan ga mau bikin lo malu karena berteman sama gue. Gue tahu lo itu siapa, kehidupan lo gimana, gue paham banget Tam. Bukannya gue ga mau berteman sama lo tapi gimana ya? Gue bingung." Jelasnya dengan sedikit berfikir.
"Lo tahu nama gue? Lo tahu tentang gue dari siapa? Hah? Tahu apa lo tentang gue? Gue kaya gini juga bukan karena kemauan gue tapi keadaan yang buat gue gini seharusnya lo juga paham mengenai itu." Ucap Tama sedikit naik pitam.
"Tomy. Si cowok rusuh yang kerjaannya bikin onar di kelas. Kadang dia suka cerita tentang temen-temennya dan lo termasuk ke dalam orang itu. Tapi sebenernya gue tah
u dari Fey, Fey sering cerita tentang Tomy ke gue dan lo juga masuk dalam topik pembicaraan gue sama Fey. I'm so sorry about that, It does'nt mean anything. Dia itu lagi di modusin sama Tomy sekarang, gue takut dia kenapa-kenapa meskipun gue tahu Tomy itu baik tapi lo sama aja kaya dia menurut gue." Ungkapnya. Tama hanya menyunggingkan senyum jahatnya.
"Oh jadi gitu, cara lo nilai seseorang cuma dari luarnya aja Mut? Gue pikir lo beda ternyata... Haha !!" ucapnya yang tertawa.
"Maksud gue bukan gitu..." ucap Muti. Dan ia berlalu begitu saja dari hadapan Muti.
Tama sangat paham, pasti ada rasa bersalah di dalam hati Muti. Ia juga tahu Muti tidak bermaksud seperti itu namun apakah Tama serendah itu? Entahlah.
Malam hari selepas shalat isya Muti memikirkan ucapannya terhadap Tama, tidak seharusnya dia berucap seperti itu.
Di sisi lain, Tama dan Tomy berkunjung ke tempat yang gemerlap. Di sana, Tomy tahu dari raut wajah Tama yang sedang tak bersahabat dengan club malam ini.
"Lo kenapa Tam?" tanyanya.
"Tuh cewek baru pertama ketemu udah ngeselin gue Tom, padahal gue cuma pengen berteman sama dia. Thats's enough." Jelasnya.
"Ngeselin? Kayanya engga deh, dia orangnya asik, emang sih dia sama gue kalo di kelas kurang bersahabat gitu. Tapikan gue udah bilang kalo dia itu orangnya cuek. Lo pengen bertema sama dia? Ga salah lo? Masa iya lo mau berteman sama cewek kaya gitu? Dia berhijab bro? Lo ga sadar kita tuh bad boy, you know? Cewek-cewek di kampus udah tahu kita, sebagian cewek mau sama kita cuma karena uang bukan dari hati!" jelasnya.
"Iya sih. Tapi kalo di pikir-pikir lagi dari tampangnya dia itu baik, bikin gue tenang kalo deket dia tadi." Jelasnya.
"Jangan bilang lo suka sama dia?" sergah Tomy.
"Dia baik bro, sholehah lagi. Tapi gue benci sama omongan dia yang tadi ga mau bertemen sama gue, iya sih gue juga sadar diri kalo gue bukan orang yang baik-baik. Setidaknnya dia mau lah berteman sama gue, apa salahnya coba. Gue juga ga mungkin ngapa-ngapain dia kok, gue sadar, dan gue tahu dia itu cewek baik-baik mana mungkin gue kurang ajar." Ucapnya dengan nada setengah marah.
"Jadi itu bro yang buat mood lo ga bagus dan galau kaya gini." Ucap Tomy.
"Pikir aja sendiri." Ucapku acuh.
Setelah kejadian tadi siang.
"Masa cowok kaya lo mau berteman sama cewek kaya gue? Apa kata temen-temen lo?" kata-kata itu selalu terbayang dan membuat hati Tama tidak karuan.
Tama mengambil satu botol WISKIE dan ditengguknya sampai benar-benar habis. Ia mabuk dibuatnya. Sampai-sampai Tama menabraki orang-orang yang ada di sekitarnya dan mengomel tidak jelas.
"Kenapa sih cowok kaya gue bisa ketemu cewek kaya lo? Hah? Padahal gue pengen berteman sama lo? Sombong lo jadi cewek. Apa gara-gara gue suka mabok, anak gang, suka make ganja. Jadi lo ogah bertemen sama gue. Salah apa sih gue? Gue kaya gini juga bukan kemauan gue." Ocehannya yang tengah mabuk berat. Teman-temannya hanya memperhatikan, enggan menegurnya.
"Pasti gara-gara Mutikan? Engga biasanya lo kaya gini? Lo parah banget sih maboknya!" ucap Tomy keheranan.
"Lo tanya gue kenapa? Lo tanya tuh sama Muti, dia yang buat gue kaya gini." Ucapnya yang tanpa sadar diri. Dan semuanya pun gelap.
Paginya di kampus.
Muti melihat ku di parkiran, ia pun menghampiriku.
"Urusan kita belum selesai!" ucapnya dari balik punggungku.
Tama menoleh ke arahnya, "Urusan yang mana? Sejak kapan gue punya urusan sama lo? Hah?" ucapku agak sedikit membentak.
"Bisa engga sih volume suara lo dikecilin dikit aja. Engga usah kaya singa juga kali." Ucapnya sok berani. Tama hanya menatap sinis ke arahnya.
"Oke oke langsung pada topik pembicaraan. Lo punya urusan sama gue sejak kemarin. Mulai dari lo hampir nabrak gue sampai lo ninggalin percakapan kita gitu aja di depan mesjid." Cakapnya.
"Masih belum sadar?" sambungnya.
"Terus lo mau minta apa dari gue? Gue harus forgive gitu sama lo?" ucapnya enteng.
"Gue ngga minta apa-apa dari lo. Tapi seenggaknya lo kan bisa....". Belum sempat Muti melanjutkan kata-katanya Tama berlalu begitu saja tanpa memperdulikan gadis yang sedang berbicara itu. Gadis yang ia sukai sejak kemarin.
"Ada urusan apa Mut sama Tama?" sergah Aldi yang baru saja melihat pertemuan aku dan Muti.
"Cuma ngomongin gue yang pernah hampir ketabrak sama dia itu loh?" jelas Muti.
"Oh yang itu. Terus gimana?"
"Males gue bahasnya." Muti acuh. "Lo juga ada kelas pagikan?".
"Iya sih, ya udah kita ke kelas." Ajaknya.
Muti sudah berada di kelasnya, ia duduk termenung di mejanya. Tiba-tiba Fey datang bersama Tomy.
"Lo kenapa Mut?" tanya Fey.
"Gue ngga kenapa-kenapa kok." Fey duduk di bangkunya, Tomy masih berdiri di hadapan Muti.
"Lo apain tuh Tama Mut? Sampe mabok berat gitu, kaya yang frustasi. Engga biasanya dia kaya gitu."Cercanya.
"Lo nanya gue? Mana gue tahu dia kaya gitu, gue engga punya urusan sama dia. Mau dia mabok, mau dia make, mau dia main cewek. Perduli amat gue sama dia." Timpalnya.
"Denger ya Mut, dia kaya gitu itu gara-gara lo. Dia pingsan di club sampe-sampe harus gue anterin pulang ke rumahnya." Ceplosnya lagi.
"Salah gue? Engga salah lo? Emang gue apain dia?" tanyanya aneh.
"Lo bilang ke dia, lo engga mau berteman sama dia kan? Dan lo juga ngomong kalo lo berteman sama Tama apa kata orang nanti, gue tahu pasti lo takut reputasi lo hancur karena bertemen sama dia. Iya kan? Asal lo tahu, dia tuh kesinggung sama lo Mut?" Muti hanya diam mematung. Meresapi kata-kata Tomy.
"Apa ucapan gue terlalu kasar sama dia kemarin? Sampe-sampe dia kaya gitu?" ucap Muti dalam hati.
"Engga tahu deh, gue ga mau bikin dia malu kalo berteman sama gue." Ucap Muti sekenanya.
Waktu dzuhur tiba seperti biasa Muti menjalankan ritual keagamaannya tanpa ditemani Fey, karena Fey kadang mau melakukannya kadang juga tidak. Di depan area mesjid tanpa sengaja, Tama dan Muti bertemu kembali. Muti menyapanya duluan.
"Mau ke mana Tam?" Diam, diam, dan diam hanya itu yang bisa Tama lakukan. Ia masih kesal terhadap perkataannya kemarin.
"Gue tahu nih, kenapa lo kaya gini ke gue! Pasti gara-gara kemarin itukan?" ucap Muti tiba-tiba.
"Gue minta maaf deh, kalo omongan gue menyinggung hati lo. Engga bermaksud kaya gitu gue orangnya emang kaya gini, ceplas ceplos kalo ngomong itu engga suka basa basi jadi sorry-sorry aja kalo gue bilang kaya gitu ke lo." Ucapnya panjang lebar dan Tama kembali terdiam.
"Ya udahlah ya, kalo lo engga mau ngomong sama gue ngga masalah juga. Gue duluan, bye." Ucap Muti beranjak pergi. Ketika akan pergi Tama menarik tangan Muti untuk bersamanya. Untuk pertama kalinya Tama menggenggam tangan itu.
"Mau ke mana?" ucap Tama dengan wajah polos.
"Mau ke kelas."
"Oh."
Muti langsung saja menarik dengan cepat pergelangan tangan yang digenggam oleh Tama dan Muti tersipu malu karena tidak biasa diperlakukan seperti itu oleh lelaki manapun. Pertama kalinya hati Muti bergetar dengan hebatnya, degupan itu mampu memporak-porandakan pertahanan hatinya. Ada apa ini? Apa yang salah dengan dirinya? Tanpa sadar Muti menyandarkan telapak tangan ke arah dadanya.
Tama tiba-tiba saja memperhatikan Muti dengan tatapan menyelidik, seolah-olah bertanya are you ok? Tentu saja jawabannya I'm not ok. Apakah kau tidak tahu bagaimana wajah Muti sekarang, seperti kepiting rebus yang sudah masak dan siap untuk disantap.
@ReonA masih baru bngt ini hehe. Makasih :)
Comment on chapter Prolog