Muti menuruni anak tangga di kediaman Pratama. Tak ada siapa-siapa, rumah yang sangat sepi seperti tak berpenghuni. Muti mencoba melangkah ke arah dapur rumah yang tak jauh dari anak tangga yang ia pijak. Di sana terlihat seorang wanita paruh baya sedang memasak hidangan pagi bersama wanita yang lebih muda darinya yang menggunakan celemek di tubuhnya.
“Assalamualaikum tante?” sapa Muti.
“Walaikumsalam.” Ucap Ibu Nora menoleh ke arahnya.
“Maaf ganggu pagi-pagi begini.” Ucapnya sangat sopan.
“Oh iya engga apa-apa. Kamu pacarnya anak tante?” ucapnya sontak membuat Muti kaget.
“Saya tante? Bukan, saya bukan pacarnya Tama sekedar temen kampus aja.” Ucap Muti seadanya.
“Tapi tante perhatiin kamu kayanya deket sama dia, dari caranya dia memperlakukan kamu, memperhatikan kamu, membopong kamu kemarin ke kamarnya. Dia itu beda banget tante bisa bedain antara yang sungguh-sungguh sama yang terpaksa.” Ucap Ibu Nora panjang lebar.
“Wajar aja tante sayakan wanita sedangkan Tama itu pria. Setiap pria pasti memperlakukan wanita itu dengan sopan.” Jelasnya.
“Oh iya nama kamu siapa?” Tanya Ibu Nora.
“Saya Muti tante, Mutia Aqila.”
“Namanya bagus sederhana, sama seperti orangnya.” Puji ibu Nora.
“Makasih tante.” Ucapnya.
“Tante boleh cerita sama kamu?” Pintanya.
“Boleh aja tante, mau cerita apa?” tanggap Muti.
“Jadi gini ... “
Ibu Nora bercerita bagaimana kehidupan Tama, kehidupan yang semula penuh kebahagiaan, tentram, damai dan suka cita. Lambat laun semua itu lenyap ketika orangtuanya mulai sibuk dengan bisnis perusahaan mereka. Tak pernah perdulikan, terabai dan terbuang. Walaupun Tama mengetahui ibunya tak bermaksud seperti itu. Tama sendiri, kesepian dan tak ada yang menemani di dalam hidupnya.
Penuh dengan kesunyian sampai akhirnya menjadi seorang pria yang brutal. Bahkan mereka tidak tahu Tama adalah seorang pemakai narkoba, setiap hari pulang dengan bau alkohol, menghambur-hamburkan uang. Tak ada yang memperhatikannya, jarang pulang hanya waktu-waktu tertentu mereka berada di rumah. Just gretting, breakfast and then go again. No time to him.
***
“Sebenarnya tante tahu, semua tentang Tama!” ucapnya tiba-tiba.
“Tentang Tama? Jadi tante tau Tama suka miras dan ... “ Ucap Muti terpotong.
“Iya tante tahu. Selama ini tante tahu itu semua dari orang-orang suruhan tante buat memata-matai dia.” Jelasnya.
“Terus tante diam saja? Tidak berusaha untuk mencegah Tama berbuat kaya gitu?” ucap Muti menekan.
“Sebelumnya tante dan papahnya Tama sudah pernah mencegah Tama untuk tidak seperti itu tapi Tama selalu bisa memojokkan tante dan om. Tama selalu bilang jangan pernah urusin kehidupan dia, dia udah punya kehidupannya sendiri tante dan om disuruh untuk mengurusi bisnis di luar kota dan di luar negri tanpa harus memikirkan anaknya. Fokus sama pekerjaan cari apa yang tante dan mau.” Jelasnya panjang lebar.
“Tante nurutin gitu aja kata-kata Tama?” tanyanya.
“Apa boleh buat, tante dan om tidak bisa meninggalkan pekerjaan gitu aja. Kehidupan para karyawan di perusahaan tergantung pada kami. Pekerjaan tidak bisa ditinggalkan begitu saja tanpa ada keterangan yang benar-benar penting.” Tegasnya.
‘Tante engga kasian sama Tama? Dia butuh sosok yang bisa menyayangi dia tante, bukan dari teman-temannya aja. Dia juga kesepian makanya Tama jadi brutal gitu. Coba tante fikirin deh perasaannya Tama.” Muti mengeluarkan pendapatnya.
“Tante juga kasian Muti sama Tama. Perasaan Tama selalu tante utamakan tapi mau bagaimana lagi tante dan om susah payah mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup Tama juga bukan untuk kepentingan kami saja. Ya, walaupun tante membuat Tama terluka dan kesepian.”
“Baiklah tante kalau memang seperti itu. Saya sebagai temannya tidak bisa terlalu ikut campur sama urusan pribadi Tama. Maaf tante sudah lancang seperti ini?” ucapnya meminta maaf.
“Tidak apa-apa. Tante juga sadar semua ini kesalahan tante, tante yang sudah buat Tama menjadi seperti ini. Tante terlalu sibuk. Tante menyesal tak pernah punya waktu bersamanya.” Sesalnya.
“Sudahlah tante, tidak usah disesali. Takdir Allah yang membuat semuanya jadi seperti ini. Kita sebagai manusia hanya bisa bersabar dan bertawakal kepadanya. Oh iya tante, aku cuma pengen minta satu hal sama tante kasih sedikit waktu untuk Tama tante kayanya dia rindu sama tante, luangkan waktu buat hangout sama Tama. Pasti Tama seneng.” Pintanya.
“Tante tidak bisa menjanjikan. Kalo di pikir-pikir kamu tahu banyak tentang Tama. Sebenernya kamu kekasihnya Tama?” Ibu Nora bertanya yang aneh-aneh.
“Oh bukan, bukan tante. Saya cuma teman kampusnya aja. Saya tahu banyak Tama dari teman-teman yang lain. Untuk orang-orang yang kaya Tama, biasanya dia itu kurang kasih sayang dari orangtuanya. Dia butuh perhatian, manjaan, apa lagi membutuhkan sosok seorang ibu di sampingnya.”
“Muti, terimakasih kamu sudah mau berteman dengan Tama. Kebanyakan temannya Tama itu orang-orang yang kurang baik. Mau ngajak Tama sholat juga tadi, tante berharap dengan berteman sama kamu dapat merubah sifat Tama yang urakkan untuk menjadi lebih baik dari yang sebelumnya.” Ucapnya tulus.
“Iya, sama-sama tante. Namanya juga teman harus membawa sikap yang positif. Saya bukan merubah sikapnya Tama tante, tapi saya ingin Tama jauh lebih baik dengan caranya sendiri selagi itu tidak melanggar norma agama.”
"Tante, titip dia ke kamu ya? Jagain dia, ingatkan dia kalau dia berbuat yang tidak baik karena tidak setiap hari tante dan om tidak ada di sini." Ucap Ibu Nora memohon.
“Saya tidak tahu tante apa bisa menjaga dan mengingatkan setiap saat karena saya juga tidak selalu berada di sisi Tama. Saya punya kesibukan sendiri mungkin kalau sekali dua kali saya bisa bersamanya.”
Dari balik tembok dapur, Tama mendengar perbincangan mereka berdua. Perbincangan yang tak terlalu formal dan tak begitu jelas, yang terdengar hanyalah perbincangan terakhir antara Muti dan Ibu Nora.
Sesampainya Muti di tempat kostnya, ia tidak berangkat ke kampus karena hari ini merupakan hari minggu. Hari di mana para manusia menyingkirkan lelah setelah beradu nasib pada semua yang terjadi di bumi yang ia pijakkan.
Minggu pagi yang tak indah dirasakan oleh Muti, baru saja ia menyelesaikan kegiatan membasuh badannya setelah melewati hari yang begitu panjang kemarin bersama Tama.
“Tiiiinnn … Tiiiiinnn … Tiiiiiinnnn.” Terdengar bunyi klakson dari depan pagar kosan Muti.
Segeralah Muti menghampiri suara klakson tersebut.
“Cari siapa?” tanya Muti pada pengendara motor itu.
“Mba namanya Mutia Aqila?” tanya pengendara motor tersbut yang ternyata adalah kurir.
“Iya. Ada apa?”
“Ini mba, ada kiriman paket.” Ucap kurir tersebut.
“Dari siapa ya?” ucap Muti penasaran.
“Saya juga tidak tahu mba. Tugas saya hanya mengirimkannya saja.” Jelas kurir tersebut.
Mutipun menerima kiriman untuknya, sangat aneh mengapa ada kiriman untuknya? Selama ini ia tidak pernah meneriman kiriman apapun dan dari siapapun.
“Ini mba (menyodorkan sebuah kerta sebagai tanda bukti), jangan lupa tanda tangan di sini!” titahnya.
“Oh iya. Terimakasih ya mas.” Ucapnya setelah menerima kiriman paket tersebut.
Muti langsung menuju kamar kosnya dan membuka apa isi paket tersebut. Sangat mengejutkan untuknya. Tak disangka sebuah ayam mati dan sepucuk surat yang berisi ancaman pada dirinya.
“Bagaimana Mutia Aqila? Apa kamu senang dengan kiriman paket dariku? Aku yakin kamu pasti terkejut. Ini baru permulaan dan untukmu aku bisa lakukan lebih dari ini nantinya. Dan jika kau tak mendengar apa yang aku katakan, lihat saja penderitaan apa yang akan dialami Tama termasuk kamu.”
Kaget bukan kepalang, ancaman itu yang membuat Muti kembali takut dan khawatir dengan Tama. Sedangkan dirinya? Ia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri. Saat ini ia hanya fokus pada Tama.
Muti dengan hati yang gusar langsung mengirim pesan singkat pada Tama melalui ponselnya.
Muti : “Lo lagi di mana?”
Tama : “Lagi di rumah. Kenapa?”
Muti : “Ngga apa-apa. Nanya aja.”
Tama : “Tumben lo nanya gitu?”
Muti : “Cuma pengen memastikan keberadaan lo aja. Gue takut lo kenapa-kenapa.”
Tama : “Gue ngga kenapa-kenapa kok. Gue bisa jaga diri.”
Muti : “Iya, gue tahu itu. Gue Cuma mau bilang lo harus lebih hati-hati lagi. Jangan bikin gue khawatir.
Tama : “Kenapa lo khawatir sama gue Mut?”
Muti : “Ya khawatir aja Tam. Wajar firasat wanita. Hahaha.”
Tama : “Udah, jangan khawatirin gue. Lo yang seharusnya gue khawatirin, karena gue sayang sama lo.”
Muti : “Apa sih Tam. Udah sana istirahat.”
Tama: “Gue serius Mut. Iya.”
Muti : “Iya, gue tahu lo serius. Gue juga …”
Tama : “Gue juga … apa itu lanjutannya?”
Muti : “Ada deh.”
Tama : “?”
Tidak ada balasan dari Muti. Tama penasaran dengan pesan yang dimaksud oleh Muti, semua masih menjadi rahasia.
”Hari ini kaulah yang terindah. Untuk esok dan seterusnya. Dan jika suatu hari nanti kau bukanlah yang menemani sisa hidupku, kau masih jadi yang terindah. Karena bahagiaku adalah ketika bersamamu.”
@ReonA masih baru bngt ini hehe. Makasih :)
Comment on chapter Prolog