"Tahun 1933, aku ditunjuk oleh pemerintah Jepang untuk menjadi seorang mata-mata. Karena kemampuanku yang cepat belajar dan sangat teliti, pemerintah Jepang mengirimku ke Indoneshia. Tujuanku dijadikan mata-mata Jepang untuk memata-matai negara yang kaya akan sumber daya alamnya ini sekaligus mencari tahu kelemahan Indoneshia dan Belanda yang saat itu masih menjajah negara ini agar Jepang bisa mengambil alih kekuasaan Belanda dan memanfaatkan Negara Indoneshia untuk kepentingan Jepang.
Misi yang diberikan pemerintah Jepang padaku ialah mempelajari seluk beluk Negara Indoneshia, bahkan aku diijinkan menikah dengan salah satu wanita disini demi keberhasilan misi. Waktu yang diberikan padaku untuk memata-matai Indoneshia selama 5 tahun."
Nakamura mulai mengungkap seluruh rahasia yang selama ini dipendamnya. Rasa bersalah pada rakyat Indonesia dan penduduk Desa Banjar yang selama ini menerima kehadirannya berkecamuk dihatinya. Pande dan Lisa menganga tak percaya mendengar cerita panjang lebar Nakamura, sedangkan Niyang Ninuk mengerutkan keningnya yang sudah berkeriput.
"Sampai...sampai segitunya, hanya ingin mengambil negara kami?!" tanya Pande tak habis pikir. Nakamura tak menjawab. Dirinya bergeming mendengar pertanyaan Pande.
"Di tahun pertama dan kedua, aku menjalankan misiku sesuai rencana. Tiap hari aku selalu menulis hal-hal apa saja yang terjadi di Indoneshia, termasuk pengalamanku sendiri. Dan diakhir tahun, aku akan kembali ke Jepang untuk memberi laporan penyelidikanku selama setahun penuh. Kupikir, misiku kali ini akan berjalan sesuai rencana. Aku dapat menyelesaikan misi yang mempertaruhkan hidupku selama 5 tahun, lalu kembali lagi ke Jepang dan berkumpul bersama dengan keluarga tercinta. Namun ternyata hal itu tidak pernah terjadi." Nakamura mengkerutkan keningnya tajam.
"Apa yang terjadi, om?" tanya Lisa membuka suara.
"Di tahun ketiga tepatnya pada tahun 1936, aku mulai jatuh cinta pada musuhku sendiri.
"In-Indone...sia..." tiba-tiba Niyang Ninuk bersuara. Semua orang diam membisu mendengar ucapan nenek berusia 80 tahun ini.
"Awalnya aku tidak menggubris perasaanku dan tetap menjalankan misi seperti biasanya. Tapi, lambat laun perasaanku tidak bisa dibohongi lagi."
"Apa...yang membuatmu jatuh cinta pada Indonesia?" tanya Pande hati-hati.
"Selain kekayaan alamnya, Indoneshia memiliki pemandangan alam yang luar biasa menakjubkan!" balas Nakamura senang. Terlihat dari binar-binar matanya yang menunjukkan betapa kagumnya dirinya akan tanah yang dia cintai.
"Budaya, suku bangsa, agama dan bahasanya yang begitu beragam, penduduknya yang sangat ramah dan murah senyum, dan juga ada begitu banyak misteri yang harus dipecahkan oleh para ilmuwan di seluruh dunia. Adanya piramida yang tersembunyi di bawah bukit, ada patung yang menyerupai manusia tengah bersujud di tepi Pantai Danau Toba, adanya emas dan harta karun milik presiden pertama Indoneshia yang tertimbun di tanah dan diperkirakan totalnya bisa sampai triliun rupiah!"
"Triliun rupiah?!" ulang Lisa tak percaya.
"Mu-Mustahil!" balas Pande menyahut.
"Tapi kenyataannya memang benar begitu!
"Apa kau ada dicurigai oleh negaramu sendiri?" tanya Niyang Ninuk satu-satunya orang yang masih berada dialam sadar.
"Selama 3 tahun aku tidak pernah dicurigai oleh negaraku sendiri. Memasuki tahun 1939, aku menikah dengan Ratih."
"Apa ini demi misi yang kau jalankan atau memang atas dasar cinta?" sela Niyang Ninuk cepat.
"Kami menikah memang atas dasar cinta. Ini tidak ada menyangkut dengan misiku! Sungguh! "jelas Nakamura panik.
"Apa Bu Ratih tahu jika kau dulu mata-mata Jepang?"
"Ratih lebih dari sekedar tahu." jawab Nakamura lesu. "Dialah penyelamatku saat tentara Jepang hampir membunuhku karena laporanku tidak memberikan hasil yang memuaskan seperti dulu. Aku tidak memberitahukan hal-hal menakjubkan apa saja yang sudah kutemukan, rahasia-rahasia apa saja yang selama ini disembunyikan oleh tanah ini dari orang asing termasuk rakyatnya sendiri.
Karena aku sudah tidak pernah kembali pulang ke Jepang dan hanya mengirim surat untuk melaporkan hasil penyelidikanku, akhirnya pemerintah Jepang mulai mencurigaiku. Satu bulan kemudian aku menerima surat dari pemerintah Jepang jika aku dipecat sebagai seorang mata-mata dan sebagai gantinya aku harus kembali pulang. Tapi, karena kecintaanku akan negara ini dan adanya istriku, aku tidak ingin pulang. Saking cintanya pada Indoneshia, aku memutuskan untuk mencabut warga negaraku dan beralih menjadi warga negara Indoneshia. Mengetahui hal itu, akhirnya aku dicap sebagai seorang pemberontak sampai detik ini."
"Tapi, om kan sudah dipecat oleh negara om sendiri! Kenapa mereka masih tetap menganggap Om Nakamura sebagai seorang pemberontak?" tanya Lisa terdengar marah.
"Karena mereka takut jika sewaktu-waktu Pak Nakamura membocorkan rahasia negara Jepang pada Indonesia. Wajar saja jika mereka mengincar Pak Nakamura." jelas Pande mulai mengerti akan situasi yang dialami oleh Nakamura. "Tunggu! Jangan bilang anak buah Maeda Yuuji ingin meneruskan tugas ini demi menyelesaikan misi atasannya?!"
"Iya. Namanya adalah Aoba Sasaki. Dia dan pasukannya adalah sisa-sisa prajurit yang kalah melawan I Gusti Ngurah Rai dan mereka berusaha menangkapku kembali agar keinginan Jepang yang sempat gagal bisa terwujud kembali."
"Lalu, bagaimana dengan pemandian air panas milikmu? Apa itu ada hubungannya dengan misimu?" Nakamura menggelengkan kepalanya lemah menjawab pertanyaan Pande.
"Pemandian air panas itu merupakan titik kelemahan kami yang sudah diketahui musuh."
"Apa maksudmu dengan titik kelemahan musuh?"
"Karena aku dan Ratih sering dikejar-kejar oleh Aoba Sasaki, kami berhasil kabur dan tinggal di Desa Banjar ini. Dengan sisa-sia uang yang ada, kami memutuskan untuk membangun pemandian air panas di kaki Gunung Lempuyang. Letaknya strategis dan sangat menguntungkan karena faktor cuaca yang dingin dan letaknya dekat dengan camp pelatihan militer Jepang." jelas Nakamura tak kenal lelah dalam bercerita.
"O-Om serius?! Bukannya kalau ketahuan oleh si mata sipit itu, om bisa-bisa—"
"Aku dan istriku ini ahli dalam menyamar." jawab Nakamura terlihat bangga. "Mereka sering terkecoh dengan penampilan kami yang suka berubah-ubah. Sekalipun pemandian air panas kami sering direnovasi oleh—"
"Kenapa..."
"Uh?"
"Kenapa pemandian air panas itu sangat berharga bagimu? Kenapa pula nama yang kau berikan Nippon-Indoneshia? Kalau begitu caranya, itu sama saja kau nekat—"
"Tempat pemandian itu berharga karena aku yakin." Nakamura berhasil membungkam mulut cerewet Lisa dan Pande yang tidak mengerti sama sekali apa yang dirasakan olehnya. Rasa sakit hati, rasa bersalah, penyesalan, pengorbanan, semua itu tak satupun dirasakan oleh orang lain.
"Aku yakin tempat itu akan menjadi saksi sejarah dimana Negara Jepang bisa berdamai bersama dengan Negara Indoneshia. Nama Nippon-Indoneshia juga kupilih karena aku percaya jika suatu saat nanti, saat dimana negara-negara di dunia memiliki kemerdekaannya dan menjadi negara maju, khususnya Negara Jepang akan bisa bekerja sama dengan Negara Indoneshia.
"Memangnya..."
Tak lama tetesan air mata turun membasahi kedua pipinya. Luapan yang selama ini dipendamnya akhirnya keluar juga. Walau dengan suara tangis tertahan, tubuhnya bergetar dan tangan terkepal erat, Nakamura tetap melanjutkan pembicaraannya. Karena disinilah kesempatan besarnya untuk dirinya bebas berekspresi, mengeluarkan pendapatnya setelah ditolak oleh negaranya sendiri.
"Memangnya salah jika aku berharap hal kecil seperti itu bisa terjadi? Apa kalian tidak lelah melihat pertumpahan darah dimana-mana? Kenapa hidup harus saling memanfaatkan jika kita bisa saling melengkapi satu dengan yang lainnya?!" bentakan Nakamura barusan membuat semua orang terkejut. Untung saja Niyang Ninuk tidak mati serangan jantung mendadak. Mereka dapat melihat wajah menyedihkan dan frustasi milik Nakamura.
"Tidakkah kalian tahu, jika Jenderal Terauchi sempat menghabiskan waktu luangnya berendam di kolam ini bersama dengan Bung Karno? Jika orang penting Jepang saja bisa mandi bersama dengan orang penting Indoneshia, kenapa hidup bersama saja kita tidak bisa?”
"Karena orang-orang Indoneshia itu sangat bodoh!"
Suara orang lain tiba-tiba saja menggema ditelinga mereka berempat. Suara derap langkah kaki yang banyak juga mengiringi kedatangan tamu tak diundang itu. Nakamura dkk sangat terkejut saat melihat Aoba muncul bersama dengan sisa-sisa anak buahnya yang selamat hadir ditengah-tengah mereka dengan perlengkapan senjata yang lengkap.
"Mereka itu terlalu lugu, polos, bodoh, dan mudah dimanfaatkan. Daripada mereka hidup tanpa tujuan sepantasnya kan kita, orang-orang Jepang yang pintar ini memanfaatkan kesempatan yang ada?" nampak senyum iblis Aoba terpanjar diwajahnya.
"Kau...Aoba Sasaki!" panggil Pande geram.
"Ah~ Kau bocah culun itu ya?" sapa Aoba meledek. "Mau kuhajar kau sampai mati? Kemarin itu hanya pembukaan saja lho!"
"Heh, mata sipit! Sadar dikit dong! Kemarin kan kau yang kalah dari kami!" teriak Lisa balas membela temannya.
"Aku akui jika kemarin itu aku kalah, tapi..." Aoba mengeluarkan benda padat dari balik saku bajunya dan melemparkannya ke arah Nakamura dkk. "Apa kalian bisa menghadapi seranganku yang ini?"
"Oh, tidak! Itu bom peledak!" seru Nakamura memberi perintah. "Semuanya, lari sejauh mungkin! Jika tidak—"
Duaaarrr!!!
Bom yang dilemparkan Aoba akhirnya mengeluarkan suara ledakan yang amat keras dan berhasil menghancurkan beberapa bangunan yang ada disana, termasuk tempat tinggal Niyang Ninuk. Tumbuh-tumbuhan seketika berubah warna menjadi hitam gosong begitu juga dengan hewan-hewan disekitarnya yang mati menjadi abu. Diperkirakan ada puluhan penduduk yang mati akibat serangan bom peledak itu.
"Aoba-sama, daijoubu desu ka[1]?" tanya salah seorang anak buah Aoba khawatir padanya. Diamatinya tubuh tuannya apakah ada yang terluka ataukah tidak.
"Mm, daijoubu[2]." jawab Aoba tenang. Karena menggunakan pelindung, dirinya dan anak buahnya tidak mati menjadi abu bersama dengan yang lainnya.
"Semuanya, cepat kejar dan tangkap mereka! Kalian bebas membunuh siapa saja yang menghalangi, tapi jangan membunuh Nakamura Sougo."
"T-Tapi, Aoba-sama, jika Nakamura Sougo sudah mati karena ledakan tadi..."
"Tidak." potong Aoba percaya diri. "Aku yakin dia masih hidup."
Catatan :
1. Apa kau baik-baik saja?
2. Aku baik-baik saja