#Wira Point of View#
“Kau...apa kau datang...untuk menyelamatkanku?”
“Syukurlah, kau—”
“Aku tidak baik-baik saja! Aku tidak baik-baik saja...jika kau juga tidak baik-baik saja.”
Tuk!
Kutaruh gelas kecil bekas arak yang tadi kuminum disampingku.
“Gagal lagi!” ucapku penuh penyesalan.
Usai makan malam, kuputuskan untuk merenungi kesalahanku tadi pagi dihalaman belakang kolam pemandian. Disana ada bangku taman panjang jadi kududuk saja disana ditemani sebotol arak yang kubeli di desa tadi siang. Aku tak menyadari jika waktu terus berputar hingga menunjukkan waktu tengah malam. Kutahu itu dari beberapa lampu di ruangan yang sebelumnya bercahaya sekarang menjadi gelap. Padahal hari ini aku ingin merenungkan kesalahanku tadi pagi, namun yang ada ingatanku malah kembali ke kejadian 20 tahun yang lalu.
20 tahun yang lalu, tepatnya dari tanggal 16-17 Agustus 1945 Indonesia dibuat kacau akibat ulah dari tentara Jepang yang menyerang rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Pemerintah Jepang mengetahui jika Indonesia tengah mempersiapkan diri dalam rangka memperebutkan kemerdekaan, makanya mereka nekat membunuh rakyat Indonesia dengan membabi buta. Jika diingat kembali, memang pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyatakan diri kalah kepada Sekutu tapi, tidak semua anggota pemerintah Jepang yang mau menyerah. Ada juga sebagian anggota pemerintah Jepang yang tetap berpegang teguh pada pendiriannya, seperti Maeda Yuuji, orang yang dijuluki Dewa Perang. Selama dirinya yang memegang kendali peperangan, tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkannya. Makanya, Maeda Yuuji nekat mengambil langkah ini dimana tidak hanya membunuh rakyat Indonesia, dia juga harus berkutat oleh tentara Sekutu karena pelanggaran perjanjian yang dinyatakan Negara Jepang.
Melihat jika rakyat Indonesia banyak yang mati terkapar tidak bisa membuat kami diam begitu saja. Bli Ngurah[1], atasan kami yang sudah memiliki banyak pengalaman dalam perperang melawan para penjajah mengajakku, Tia, dan juga muda-mudi di desa baik itu yang sudah terlatih maupun yang belum terlatih untuk melawan si keparat, Maeda Yuuji dan anak buahnya yang lain. Tanpa takut dan getar, dengan bermodalkan bambu yang kami runcingkan di waktu kepepet begini, kami semua melawan si keparat itu beserta anak buahnya. Para tentara Sekutu tidak kami lawan lantaran sudah diambil alih oleh si keparat dkk. Disatu sisi kami bersyukur pada mereka karena sudah meringankan beban kami membunuh tentara Sekutu, jadi kami tidak perlu capek-capek mengurusi mereka. Tapi, kami tidak bisa memaafkan tindakan mereka yang sudah membunuh rakyat Indonesia khususnya di tempat tinggalku ini!
Kukira membunuh si keparat itu membutuhkan waktu sekitar 1-2 tahun lamanya mengingat dia sampai dijuluki Si Dewa Perang. Mungkin dia benar-benar titisan dewa yang diberi misi khusus untuk mengubah dunia menjadi lebih baik karena selama ini bumi dipenuhi oleh manusia yang obesitas akan dosa, bukannya obesitas akan berat badan. Yah, itupun kalau tujuan yang kusebut asal-asalan tadi benar. Nah, kalau tujuan yang kusebutkan tadi salah gimana? Jadi, tindakan kami untuk membunuhnya sudah bisa dikategorikan benar dong! Satu-satunya orang yang bisa bertarung melawan si keparat itu hanyalah Bli Ngurah seorang. Tidak ada satupun orang yang bisa bertahan dari serangan si keparat itu terkecuali Bli Ngurah sendiri. Kami, para anak buah hanya membantunya dari belakang membunuh anak buah Maeda Yuuji yang menjadi pengacau akan pertarungan sengit antara si keparat dan Bli Ngurah. Butuh waktu dua hari lamanya dari tanggal 16-17 Agustus bagi kami untuk mengirim si keparat itu ke neraka.
Selama peperangan yang terjadi dua hari dua malam tanpa henti itu banyak hal yang terjadi. Satu per satu para pejuang mulai gugur dalam peperangan. Ada yang mati tertembak, ditusuk, kepala dipenggal, anggota tubuh yang terpotong, sayatan pedang di sekujur tubuh dan kehabisan darah membuat teman-temanku dan anak buah si keparat itu mulai mengundurkan diri dari perang alias mati di tempat. Satu hal yang tak dapat kulupakan dan membuat emosiku makin membludak. Saat itu kebanyakan teman-temanku mengundurkan diri akibat serangan brutal si keparat itu. Mungkin dia kesal pada kami karena kami berhasil membuat hampir seluruh anak buahnya juga ikut mengundurkan diri dari perang. Orang-orang yang tersisa hanya aku, Tia, dan juga Bli Ngurah dalam menghadapi si keparat itu. Mungkin dia tahu jika kelemahan kami adalah seorang wanita. Si keparat itu sempat mendekati Tia saat aku dan Bli Ngurah kewalahan menghadapinya.
“Wira, dibelakangmu!”
Bug!
“Hoeek!”
Sebelum musuh dibelakangku berhasil membunuhku, dengan secepat kilat kuhajar dia sampai akhirnya tersungkur di tanah.
Bruuk!
“Syukurlah, kau—”
“Tia, awas!”
Padahal sebelumnya aku yakin sudah membunuh semua anak buah si keparat itu namun karena aku kecolongan, kulihat tangan si keparat entah muncul darimana datang dan dengan cepat mengayunkan pedang miliknya kearah temanku.
Sling! Croot!
Darah pun mengalir deras dikedua matanya.
“Aakh!”
“Tia!!”
“Gek[2] Tia!”
Melihat satu-satunya teman wanita yang tersisa di medan pertempuran terluka, segera saja aku dan Bli Ngurah mengerubunginya.
“Gus[3] Wira, robek sedikit bajumu. Kita harus menghentikan pendarahannya sebisa mungkin!” dengan patuh kusobek bajuku sebanyak yang kubisa lalu menyerahkannya pada Bli Ngurah untuk mengurus sisanya.
“Mataku...mataku...” kudengar Tia bergumam antara merasa sakit akibat sabetan yang didapatkannya tadi dan merasa ketakutan. Takut-takut jika matanya akan menjadi buta.
“Gek Tia, tenangkan dirimu. Kau pasti akan baik-baik saja, percayalah!” kata Bli Ngurah sembari sibuk menghentikan pendarahan di mata Tia.
“Bli Ngurah...!”
“Si keparat itu...!” kataku geram. “Tidak bisa kumaafkan!!” kukepalkan kedua tanganku erat. Mendadak hatiku terasa sakit melihat tidak hanya Tia tapi juga teman-temanku yang lain dibuat terluka bahkan mati terkapar olehnya.
“Bli Ngurah! Tolong, beri aku perintah!” pintaku berharap agar aku diberi perintah untuk membunuh si keparat itu.
“Jangan bodoh, Gus Wira!” bukannya perintah yang kudapatkan, Bli Ngurah malah membentakku dengan keras. “Aku saja kewalahan menghadapinya, dan kau ingin menghabisinya dengan pikiranmu yang kacau itu?!”
“Tapi Bli Ngurah, aku tidak bisa diam saja melihat Tia dan teman-teman yang lain—”
Buk!
“Adududuh!” tak kusangka, disaat-saat seperti ini masih sempat-sempatnya Bli Ngurah memukul kepalaku tanpa ampun. Sialnya dia memukul kepalaku dengan menggunakan bambu runcing lagi, tentu saja kepalaku sakit dibuatnya!
“Kau pikir hanya kau saja yang tidak menerima kenyataan pahit ini?” teriak Bli Ngurah marah padaku. Bisa kulihat dengan jelas urat-urat nadi terbentuk disekitar lehernya.
“Bli Ngurah...” panggilku tertahan.
“Tsk! Tidak ada waktu berdebat disaat seperti ini! Yang harus kita lakukan sekarang adalah bekerja sama agar orang itu bisa mati.” sambung Bli Ngurah mengalihkan topik pembicaraan.
“Tapi Bli Ngurah, Maeda Yuuji sangatlah kuat. Kau bahkan bertarung melawannya selama dua hari tanpa berhenti.” jelas Tia memperingatkan. “Mustahil kau bisa mengalahkannya sekalipun dengan bekerja—”
“Jangan meremehkan yang namanya kerja sama, Gek Tia.” potong Bli Ngurah cepat. “Tidak ada yang mustahil dengan yang namanya bekerja sama. Semut saja bisa mengalahkan gajah jika mereka bekerja sama padahal tubuh mereka lebih kecil dibandingkan gajah. Sama halnya dengan kita.” kulihat senyum kemenangan terpancar di wajahnya yang mulai terlihat keriput. “Jika kekuatan kita disatukan, kita bisa mengalahkan orang yang dijuluki Dewa Perang itu.”
“Bagaimana cara kita mengalahkan mereka?” tanyaku tak sabar.
“Ikuti rencanaku.” balas Bli Ngurah serius.
Setelah kupikir-pikir, rencana ini terdengar murahan—maaf jika aku berkata seperti ini, Bli Ngurah!—tapi, sungguh! Rencana ini mudah ditebak bahkan musuh sekuat si keparat itu dapat mengetahuinya. Namun anehnya, waktu itu si keparat tidak menyadari kehadiranku. Mungkin dewi fortuna sedang berpihak pada kami hingga kami berhasil menjalankan rencana “murahan” ini walau nyawaku yang harus dipertaruhkan.
Jadi, rencana yang dibuat oleh Bli Ngurah seperti ini. Rencananya Tia—walau sebelah matanya sedang terluka, dia masih bisa bertarung menggunakan sebelah matanya yang lain—akan menjadi umpan dibantu oleh Bli Ngurah sedangkan aku yang akan membunuhnya. Bli Ngurah mempercayakan serangan terakhirku kearah si keparat itu karena dirinya sudah tidak mampu lagi berhadapan dengan Si Dewa Perang. Selagi Tia dan Bli Ngurah sibuk mengecoh, aku harus mencari kesempatan sekecil apapun untuk menusuk tepat di jantungnya dari arah belakang menggunakan golok yang kudapat entah dari mana. Sepertinya ada teman kami yang bertarung menggunakan golok. Cukup lama memang aku mencari kesempatan lantaran gerak-gerik si keparat itu yang terbilang sangat cepat, belum lagi Tia dan Bli Ngurah sudah menandakan jika mereka sudah sampai di batas pertarungannya. Aku benar-benar heran akan tubuh yang dimiliki si keparat itu. Kalau boleh tahu, sebenarnya orang itu terbuat dari apa sih? Merasa lelah dan capek juga tidak, cepat mati juga tidak walau tubuhnya sudah ditusuk sana-sini. Masa sih orang itu sebenarnya bukan manusia? Aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri jika si keparat sesekali mengeluarkan darah dari mulutnya. Jangan tanyakan padaku kenapa si keparat itu bisa sampai seperti itu tapi, setidaknya aku bisa menyimpulkan jika dirinya masih tergolong manusia. Tidak ada kelemahan yang dapat kami prediksi kecuali mencoba menusuknya tepat di jantungnya.
Melihat jika Tia dan Bli Ngurah sampai jatuh bangun berkali-kali melawan si keparat itu—tinggal mati saja mereka dibuat olehnya—aku memutuskan untuk mengambil tindakan yang terbilang gegabah ini. Dengan cepat kuberlari mendekatinya dari arah belakang, mengangkat tangan kananku yang memegang sebilah golok dan mengarahkannya tepat ke jantung Si Dewa Perang. Pada akhirnya si keparat itu mati bersimbah darah tepat dihadapanku tapi, sebelum si keparat itu tersungkur di atas tanah, aku tak mengindahkan seruan dari kedua orang yang kusayangi dan kuhormati itu.
“Wira!”
“Jangan sekarang, Gus Wi—”
Jleb!
Detik-detik terakhir sebelum kuberhasil menutup mataku, aku melihat jika aku berhasil menancapkan golok yang kubawa ke dada si keparat itu. Disaat yang bersamaan juga kurasakan rasa sakit yang amat sangat di tubuhku sendiri. Saat kulihat penyebab rasa sakit ditubuhku, rupanya itu pedang si keparat yang menancap tepat di jantungku.
Bruuk!
Tubuhku ambruk di atas tanah bersamaan dengan tubuh si keparat itu.
“Wira!”
“Gus Wira!” samar-samar kudengar jika Tia dan Bli Ngurah memanggil namaku. Kurasakan juga suara Tia sedang menangis memanggil namaku, berbeda dengan Bli Ngurah yang begitu panik menatapku.
“Wira! Wiraa!!”
“Gus Wira, bertahanlah! Kami akan menyelamatkanmu. Bertahanlah, Gus Wira!”
Saat itu aku ingin bertahan, benar-benar ingin bertahan tapi aku sudah tidak kuat lagi. Perlahan namun pasti, kupejamkan mataku erat dan tak kudengar lagi dengan jelas suara mereka di gendang telingaku.
Mungkin aku sudah mati, pikirku saat itu karena kulihat disekelilingku rasanya benar-benar gelap sampai suara itu kudengar. Suara seseorang yang sangat kukenal memanggil namaku dengan keras seakan-akan membangunkanku dari mimpi buruk.
"Wira!"
“Howaa!!”
Sontak saja aku berteriak histeris, seolah-olah baru bertemu dengan hantu ditengah jalan. Setelah kulihat ke sekeliling, baru kusadari jika sejak siang sampai sore hari, aku terlalu asyik tidur diatas ranjang milik rumah sakit.
“Kampret, aku ketiduran!” umpatku kesal. “Jadi, tadi itu cuma mimpi ya...”
Tak lama otakku kembali aktif mengingat jika sudah sebulan ini kuterbaring di atas ranjang rumah sakit akibat luka yang kudapatkan sejak peperangan itu. Indonesia sudah dinyatakan perang tepat setelah kami berhasil mengalahkan si keparat Maeda Yuuji itu. Bli Ngurah juga sempat mendapat perawatan di rumah sakit tempatku menginap namun hanya 2 minggu saja. Padahal kuyakin sekali jika tubuhnya terluka lebih parah dibadingkan denganku. Pertama kali kusadar, aku langsung mencari Bli Ngurah dan memintanya untuk menjelaskan padaku apa yang sudah terjadi selama aku “koma”, begitu katanya.
Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, kalau Indonesia akhirnya menyatakan diri jika kami merdeka dari para penjajah. Kehidupan rakyat Indonesia yang dulunya sempat sengsara akibat penjajah lambat laun sudah mengalami perubahan dengan belajar dari pengalaman-pengalaman yang lalu. Mengenai diriku sendiri, Bli Ngurah mengatakan jika aku koma selama 3 minggu dan berhasil selamat dari maut. Aku sempat mengatakan padanya jika aku ini sebenarnya sudah mati, tapi Bli Ngurah malah menertawaiku dan mengatakan jika itu hanyalah mimpi burukku semata.
“Kau itu masih hidup, tahu! Harusnya kau bersyukur masih diberi napas walau sebenarnya Tuhan malas memberimu satu kesempatan untuk hidup.” katanya disela-sela tawanya yang membahana di ruang kamar inapku.
“Kalau tahu begitu kenapa Tuhan masih ngotot juga memberiku kehidupan? Pakai cara lain kek biar aku gak hidup la—”
Bug!
“Aduuh!” padahal aku masih dalam kondisi kritis begini, tapi atasanku tak segan-segan untuk memukul kepalaku seperti kebiasaan yang selalu dilakukannya padaku.
“Kau benar-benar tidak mengerti yang namanya bersyukur ya!” sambungnya lagi. “Jika teman-teman kita yang gugur masih diberi kesempatan untuk hidup, betapa senangnya mereka semua. Tidak sepertimu yang malah mengeluh tak tahu berterima kasih!”
“Cih! Bli Ngurah sendiri sebenarnya tahu tidak sih jika kondisiku ini masih kritis?! Jangan memukulku seenaknya dong!” balasku protes.
“Aku memukulmu supaya kau sadar jika sekarang kau sudah ada di dunia nyata, bukan di dunia mimpi ciptaanmu sendiri.” jawabnya ketus padaku.
“Ah! Ngomongin soal sadar dan dunia nyata, bagaimana dengan Tia? Apa dia baik-baik saja? Sekarang dia ada dimana?” butuh beberapa menit baginya untuk menjawab pertanyaanku yang datang bertubi-tubi. Sekilas kuperhatikan bibirnya yang terkatup rapat seakan-akan bingung harus menjawab pertanyaanku yang bejibun banyaknya.
“Tia...dia sudah pergi meninggalkan desa.”
“Apa?!” aku benar-benar kaget mendengar pernyataan dari atasanku sendiri.
Tidak mungkin Tia pergi meninggalkan desa! Tidak, Bli Ngurah pasti berbohong!
“Aku tidak berbohong.” sambungnya seakan-akan tahu isi hatiku yang sebenarnya. “Tia sudah pergi meninggalkan kita dan desa. Dia sendiri yang mengatakannya padaku.”
“Untuk apa dia pergi meninggalkan desa? Kenapa dia melakukan hal itu?”
“Katanya dia mau tinggal di kampung halamannya.”
“Memangnya dia punya kampung halaman?” tanyaku penasaran. Seingatku Tia tidak punya kampung halaman. Aku tahu karena dia temanku. Bisa dibilang hubunganku dengan Tia cukup dekat, jadi aku tahu tentangnya—walau sedikit.
“Tentu saja punya! Semua orang punya kampung halaman.” sergah Bli Ngurah cepat.
“Buktinya aku tidak punya.” bantahku akan pernyataan yang diberikannya barusan.
“Berarti kau anak pungut sampai tidak punya kampung halaman.”
“Hubungannya anak pungut sama gak punya kampung halaman itu apaan coba?!”
“Sudahlah, jangan memikirkan itu lagi.” balas Bli Ngurah mengundang tanda tanya besar di atas kepalaku.
“Kenapa? Kita tidak bisa membiarkan Tia pergi begitu saja kan?” sambungku lagi terdengar tak terima dengan semua perkataan termasuk kenyataan pahit yang harus kujalani mulai dari sekarang. “Dia harus tinggal—”
“Aku sudah merekrut anggota baru lagi.” katanya mengalihkan perhatian dariku.
“Waduh, cepat sekali!” seruku tak menyangka dengan tindakan cepat dari atasanku ini. “Memangnya kita nanti akan berperang melawan siapa?” mendadak aku lupa akan protesku mengenai kepergian Tia dari desa.
“Aku tidak tahu tapi aku yakin, cepat atau lambat pertumpahan darah akan kembali menghiasi tanah tercinta ini.” sambungnya lagi terdengar tenang. “Sampai saat itu terjadi, kau harus bertambah kuat agar bisa melindungi teman-temanmu dan orang-orang disekitarmu.”
“Tapi, Bli Ngurah! Aku tidak bisa melindungi—”
“Gus Wira, kau adalah orang yang sangat kupercaya untuk melindungi teman-teman kita yang lain.” kuperhatikan Bli Ngurah menatapku penuh arti. “Kuserahkan sisanya padamu.” sambungnya tersenyum senang.
“Heh! Melindungi apanya?” tanyaku pada rumput yang bergoyang. “Untuk yang kedua kalinya saja aku masih gagal melindungi orang-orang disekitarku, dan kau masih mau mempercayakan hal ini padaku?!” sekalipun aku bertanya pada rumput yang sibuk bergoyang kesana-kemari ditiup angin malam, mereka tak kunjung menjawab pertanyaanku. Sepertinya aku sudah gila.
Kejadian tadi pagi juga membuatku syok, begitu juga dengan Lisa dan Pande. Tia babak belur dimana-mana, tubuhnya tak bergerak karena mati rasa, napasnya juga sesekali tersendat-sendat. Kupikir dia akan mati tapi syukurlah pertolongan pertama segera datang dari Pak Nakamura disusul dengan kedatangan dokter yang berhasil mengeluarkan racun dari tubuh Tia.
Karena dia butuh istirahat, untuk seharian ini aku, Lisa, dan Pande merasa kesepian. Kemarin waktu bermain kartu remi, dia yang menang. Kemarin waktu makan malam, dia yang menghabiskan sisa lauknya dibantu sama Lisa. Kemarin waktu aku mau mengintip cewek mandi di sungai, ada dia disana. Kemarin itu, hari-hariku dan anak buahku dipenuhi olehnya tapi, sejak siang hingga malam ini dia tidak hadir. Tia masih terbaring lemah dikamarnya dan belum sadarkan diri sampai sekarang.
“Kenapa tadi aku tidak menemaninya pergi ke hutan? Kenapa saat itu aku malah menyuruh Pande yang tak bisa bertarung sama sekali untuk menemaninya pergi? Kalau aku yang berada disampingnya, mungkin kejadian buruk ini tidak akan terjadi.” aku mulai meracau tak jelas, antara sedang mabuk atau bukan. “Tapi, toh kalau kejadian buruk ini tetap terjadi dan aku tetap tidak bisa melindunginya juga, bagaimana bisa aku menepati janji Bli Ngu—”
“Bang Wira!” sontak aku terkejut ketika seseorang di malam yang sunyi begini memanggil namaku.
“Oh, Pande.” kulihat Pande tengah berdiri tepat dihadapanku dengan tangan terkepal dan wajah tertunduk. “Kau kenapa?”
“Bang Wira, aku ingin minta maaf.” katanya parau. “Tadi itu, aku tidak bisa—”
“Bukan hanya kau saja, tapi aku juga.” potongku menatap rumput yang tertiup angin itu dengan nanar. Kucium bau tanah basah akibat hujan yang turun berkepanjangan hingga sore hari tadi.
“Bang Wira...” Pande kini sudah berani mengangkat kepalanya tegak sekaligus menatapku. Aku hanya tersenyum sembari menawarkan segelas arak padanya.
“Mau menemaniku minum arak? Akan kutuangkan segelas untukmu juga.”
“Aku mau menemanimu tapi, aku minum jus jeruk saja.”
Satu jam kemudian
“Begitulah yang sebenarnya terjadi.” kata Pande mengakhiri cerita dongengnya yang sama sekali tak membuatku mengantuk.
Selama satu jam—kurang lebih—aku memintanya untuk menceritakan kejadian tadi pagi secara detail mulai dari membicarakanku sampai dengan pihak musuh datang menyerang. Selama dia bercerita, aku hanya mendengarnya dalam diam. Sesekali aku terkejut namun tak lama kembali mematung. Aku bahkan sampai sulit menjawab beberapa pertanyaan Pande barusan.
“Bang Wira, darimana kau tahu kami sempat diserang oleh orang tak dikenal?”
“O-Oh, itu...” sempat beberapa detik aku kelabakan dibuatnya. “Yah, hanya pemikiranku saja. Soalnya cukup lama juga kalian gak kembali pulang. Aku dan Lisa kan jadi kepikiran.”
“Kepikiran atau khawatir?” tanya Pande mata empatnya mulai menyelidiki bahasa tubuhku.
“Aku kepikiran, Lisa yang khawatir.” jawabku berusaha terlihat santai. Kulihat Pande menghembuskan napasnya dan kembali lanjut bertanya.
“Anu, Bang Wira, aku mau tanya lagi.”
Gak usah, woy! Pertanyaanmu lebih sulit daripada disuruh jawab soal UN matematika!, teriakku membatin.
“Dulu Mbak Tia tinggal di desa mana?” sejenak aku tertegun mendengar pertanyaannya.
“Dulu dia tinggal di Desa Suka Mundur.”
“Be-Benarkah?!” tanyanya terkejut.
“Kenapa kau bertanya?” kutatap anak buahku dengan wajah keheranan.
“So-Soalnya dia tadi cerita kalau dirinya sempat pergi meninggalkan desanya karena suatu dan lain hal. Makanya aku—”
“Dia mengatakan hal itu padamu?” tanyaku tajam.
“I-Iya...” jawabnya terdengar ketakutan.
Untuk beberapa menit lamanya, aku tidak menjawab pertanyaan lawan bicaraku ini. Aku tidak menjawabnya bukan karena tidak tahu jawabannya, melainkan karena jawabannya menyangkut masa laluku lagi.
Rasanya aku ingin sekali lari dari bayang-bayang masa lalu yang menyesakkan itu. Rasanya aku ingin sekali memiliki penyakit amnesia jika mengingat kembali seluruh temanku mati di medan pertempuran 20 tahun yang lalu. Tapi, semua itu tidak bisa terkabulkan. Mungkin karena melihat suasana hatiku yang mulai memburuk, Pande segera mengalihkan topik pembicaraan.
“Sebenarnya ada apa dengan mata kiri Mbak Tia? Tiap kali berbicara sama orang hanya mata kanannya yang memperhatikan sedangkan mata kirinya—”
“Mata kirinya buta.” kurasakan napas tercekat Pande melayang di udara.
“Bu-Buta?!”
“Tia mendapatkan luka sayatan panjang di mata kirinya 20 tahun yang lalu, saat Indonesia berperang melawan Jepang.” kenangan pahit yang ingin kulupakan malah terus berputar dikedua mataku. “Si Dewa Perang Maeda Yuuji, Komandan Perang Jepang yang melakukannya, hingga membuat Tia harus kehilangan mata kirinya.” mendadak emosiku naik saat menyebut nama keparat itu. “Bodohnya aku yang gagal melindunginya waktu itu!”
“Ta-Tapi, bukannya kau lupa?” tanya Pande gagap mengingat perbincangan antara aku dengan pihak musuh tadi pagi. “Kau sendiri yang balik bertanya siapa itu Maeda Yuuji, iya kan? Tapi, orang itu bilang kau sudah membunuhnya.”
“Kau pikir aku akan melupakan siapa orang-orang yang sudah berani melukai bahkan membunuh teman-temanku di medan pertempuran?!” tanpa sadar nadaku mulai meninggi ketika membicarakan si keparat itu. Aku bahkan tak sadar apakah aku masih terpengaruh oleh arak atau tidak. “Membunuh mereka sebagai balas dendam tidak akan bisa membangkitkan teman-temanku yang semuanya sudah gugur.”
“Semuanya?!” aku mengangguk mengiyakan. “Jadi, yang tersisa hanya kalian berdua?”
“Waktu itu hanya tersisa aku, Tia, dan Bli Ngurah.” sambungku lagi. “Kalau kuingat-ingat lagi, harusnya aku sudah mati ditusuk oleh si keparat itu. Tapi anehnya, aku malah masih hidup.”
Terkadang aku juga berpikir jika punya waktu kosong. Apa benar aku masih hidup? Harusnya sudah lama aku berkumpul dengan teman-temanku di dunia lain dan mulai menjahili makhluk hidup sebagai hantu gentayangan. Tapi, semua itu tidak terjadi.
“Pande.”
“I-Iya?”
“Kau bilang Tia tidak bisa memanggil namaku lagi kan?”
“Ya, itu benar.”
Ada apa sih dengan orang itu? Tidak bisa memanggil namaku lagi katanya?! Tinggal panggil WIRA, W-I-R-A gitu saja kok! Namaku kan juga ada artinya, pahlawan. Mana mungkin ada kutu—eh, tunggu dulu. Kutukan? Apa mungkin—
“Uh, Bang Wira.” baru saja aku mendapatkan sedikit pencerahan dari alasan Tia yang tidak bisa memanggil namaku lagi, Pande malah membuyarkannya.
“Bukankah Pak Nakamura, Bu Ratih, dan Mbak Tia ada menyembunyikan sesuatu dari kita bertiga?” tanya Pande mengalihkan topik pembicaraan. Wajahnya nampak serius memikirkannya.
“Ada yang disembunyikan, maksudmu...”
“Aku tak yakin anak buah Maeda Yuuji ingin membalaskan dendamnya padamu yang sudah membunuh atasannya dan menjadikan Mbak Tia sebagai sandera. Dia tadi selalu saja menyebutkan ingin menangkap Pak Nakamura hidup-hidup. Dan juga, kalau diingat-ingat lagi, dia sudah menghancurkan tempat berharga beberapa kali.”
“Pasti yang dimaksud ‘tempat berharga’ itu pemandian air panas ini.” sambungku layaknya berpikir seperti seorang detektif.
“Kau benar. Dia juga bilang kalau Pak Nakamura itu seorang pemberontak.”
“Mungkin dia tinggal dan memutuskan untuk menjadi warga negara Indonesia?”
“Kau yakin sekarang dia itu warga negara Indonesia?” tanya Pande ragu padaku.
“Entahlah. Tapi, kalau dilihat-lihat tempat ini sudah berumur 25 tahun. Saat itu Belanda masih menjajah Indonesia. Dia pasti sudah dikejar-kejar secara sembunyi-sembunyi oleh pihak Jepang.”
“Tapi, kenapa?” aku mengangkat kedua bahuku sebagai jawaban tak tahu. “Jika benar anak buah Maeda Yuuji mengincar Pak Nakamura, berarti kedatangan kita disini bukan untuk membersihkan kolam pemandian air panas ini! Melainkan kita dijadikan pengawal untuk menjaga Pak Nakamura dan yang lainnya!” jerit Pande histeris layaknya anak perempuan.
Mendengar hal itu, bukannya membuatku marah karena sudah dibohongi atau apa, melainkan menanggapinya sebagai hal yang biasa. Mungkin karena sudah mengantuk dan merasa lelah, kuputuskan untuk segera pergi meninggalkan Pande sendiri disana dengan wajah bertanya-tanya.
“Bang Wira! Kau mau kemana?” teriaknya heboh padaku karena jarak kami yang mulai menjauh. “Apa kau terima kita ditipu dan dimanfaatkan seperti ini?!”
“Jangan menarik kesimpulan terlalu cepat.”
Entah kenapa aku merasa bumi berguncang begitu hebat. Tapi anehnya, tak kudengar teriakan heboh dari belakang yang mengatakan jika ada gempa bumi. “Kita harus menyelidikinya lebih jauh, baru kita bisa ambil keputus—”
Bruuk!
“Bang Wira!”
Karena kakiku tidak kuat lagi untuk berjalan, kubiarkan tubuh ini terkapar diatas rerumputan hijau yang terasa lembab.
“Om perjaka!” tidak hanya Pande, Lisa rupanya juga datang mengerubungiku dengan penampilannya yang sangat berantakan.
“Bang Wira, kau baik-baik saja?” tanya Pande khawatir.
“Sepertinya...aku kebanyakan minum.” suaraku mulai terdengar serak-serak becek.
“Huh~ Kau tahu, Kak Tia mengkhawatirkanmu.”
“Eh?!”
“Ap—” pernyataan Lisa—yang muncul entah darimana—tadi membuat mulut kami menganga selebar kuda nil.
“Apa Mbak Tia sudah sadar?” tanya Pande mewakiliku.
“Dia sudah sadar.” Lisa melanjutkan ceritanya lagi. “Waktu aku lagi tidur, aku dikagetkan oleh suara Kak Tia yang membangunkanku dan menyuruhku untuk mencarimu. Dia pikir kau pasti sedang mabuk berat. Eh, gak tahunya benar.” aku tersenyum miris mendengarnya.
“Dasar! Rupanya dia masih ingat kebiasaan burukku...”
“Lisa, apa kau sudah memanggil dokter untuk memeriksa keadaannya?” tanya Pande gelisah.
“Aku minta tolong Tante Ratih untuk menghubungi dokter yang memeriksa Kak Tia tadi pagi.”
“Fiuh~ Syukurlah.” bisa kulihat wajah tenang Pande dan Lisa tergambar jelas di wajah mereka.
“Yah, setidaknya malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak.”
**********
Keesokan harinya
“Adududuh! Kepalaku sakit sekali!”
Padahal aku lagi enak-enaknya bermimpi indah tinggal di Hawai dengan dikelilingi banyak wanita cantik dan seksi, tapi itu semua harus sirna dalam satu detik lantaran kepalaku yang mendadak merasakan sakit yang amat sangat. Terpaksa diri ini bangun dari pembaringan sembari berusaha melangkahkan kakiku gontai menuju ke dapur untuk mendapatkan segelas air putih.
“Huah! Setidaknya kepalaku sudah mendingan.”
“Oh, Nak Wira, sudah bangun rupanya!” tak lama kudengar suara berat Pak Nakamura menginjakkan kaki di dapur miliknya sembari membawa 2 ember kecil buah-buahan dan sayuran hijau.
“Selamat pagi.” sapaku kikuk.
“Selamat pagi juga.” balasnya ramah. “Oh iya, kudengar semalam kau mabuk.”
Eh, kampret! Siapa diantara dua bocah-bocah itu yang laporan kalau aku mabuk kemarin?!
“Nak Lisa yang menceritakannya padaku.” jawab Pak Nakamura seakan-akan bisa menebak apa yang sedang kupikirkan.
Awas saja tuh bocah sialan! Gak bakalan dapet jatah makanan dariku baru tahu rasa!, batinku kesal setengah mati.
“Jika kau benar-benar lelah, kau tidak perlu ikut Nak Lisa, Nak Pande, dan Nak Tia membersihkan kolam pemandian pria.” jawaban kali ini sempat membuatku tertegun untuk beberapa menit lamanya. Melihat raut wajahku yang mulai kehilangan binar-binar cahaya bagai Elvis Persly, kembali Pak Nakamura bertanya padaku. “Nak Wira?”
“Tadi...bapak bilang...Tia ada membersihkan kolam pemandian pria kan?” entah aku yang salah dengar atau memang faktanya begitu, aku merasakan jika suaraku sudah berubah menjadi hantu gentayangan.
“I-Iya, itu benar.” balas Pak Nakamura linglung. “Padahal aku sudah melarang Nak Tia untuk kembali bekerja, tapi ini—”
“Matur suksma, Pak Nakamura[4]. Tapi, saya permisi dulu.” setelah mendengar cerita singkat dari Pak Nakamura, kubergegas melangkahkan kakiku menuju kolam pemandian pria. “Tia, kau sudah gila ya?!” tanyaku pada rumput yang bergoyang.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk sampai disana. Dengan waktu 5 menit, aku sukses mengomeli kedua anak buahku yang tertunduk lesu ditempat mereka berdiri masing-masing.
“Kalian bego atau gimana sih?! Sudah tahu Tia masih sakit, kalian tidak memaksanya untuk kembali beristirahat?!”
Setibanya disana, tanpa peduli setan kubabat habis soto babat yang ada disana—eh, bukan-bukan! Maksudku, aku memarahi kedua anak buahku. Huh, maaf aku lagi kelaperan nih. Sudah tidak sarapan pagi, kepala masih pusing—kukira rasa pusing ini sudah hilang total—ditambah Pande dan Lisa yang mencari ribut denganku karena tidak bisa mencegah Tia untuk tidak kembali bekerja...
“Uh, anu, aku tidak apa-apa, W—” perlahan kudengar suara Tia yang makin detik makin berbisik ketika dirinya menghampiriku untuk menyentuh pundakku.
“Jadi, ceritanya kamu ingin membela mereka? Kamu itu sama begonya dengan mereka atau gimana sih?! Sudah tahu masih sakit—”
“Tapi, aku tidak bisa membiarkan kalian bertiga saja yang bekerja!” Tia mulai membantah argumenku dengan wajah pucat pasinya. Kondisi tubuh Tia sangat gampang terlihat. Lihat saja wajahnya yang pucat pasi, keringat dingin dan tubuhnya yang bergetar tak henti. Tinggal mati besok saja dia. “Aku kan juga ingin membantu!”
“Membantu juga ada batasnya, Tia. Kalau kamu mati besok gimana?!”
“Itu akan terdengar lebih bagus daripada kau yang harus mati!” teriakan Tia membuatku, Lisa, dan Pande kaget mendengarnya. Aku sampai tidak bisa berkata-kata membalas pernyataannya itu. Tia sendiri hanya menundukkan kepalanya, sepertinya dia malu tapi entahlah aku tak tahu.
Tak tahu harus membalas apa, kuambil langkah dengan menarik lengannya paksa dan menyeretnya keluar kolam pemandian pria untuk mengantarnya ke kamarnya.
“Aduh! Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!”
“Jika kau tidak mau menuruti perintahku, akan kuseret kau ke tempat tidur.” balasku setajam silet. Tia memang sempat memberontak, tapi tenaganya terlalu kecil untuk diajak bertanding denganku.
“Bang Wira!” kudengar suara dan langkah kaki Lisa menggema ditelingaku.
“Bang Wira, tunggu dulu!” rupanya Pande juga ikut dalam sinetron mendadak ini. Tak ingin kedua anak itu mengganggu ritualku, kuperintahkan mereka untuk menjauh dariku dan Tia.
“Jangan ikut campur dan jangan mendekat!” kataku galak. Lisa dan Pande hanya bisa mematung mendengar perintahku yang terdengar tak seperti biasanya.
“Bang Wira...”
Aku tak menggubris dengan panggilan luluh mereka. Kutetap pada pendirianku membawa Tia pergi dari sini secepatnya. Rasa bersalah karena sudah menyeret wanita tidak kurasakan dalam diriku, karena aku melakukan tindakan yang benar. Wanita bego ini memang harus dipaksa jika dirinya ingin selamat dari maut.
Baru saja sampai didepan pintu masuk, Tia menarik lengan bajuku dengan keras hingga membuatku terpaksa meladeninya. Bodohnya aku saat itu yang menolehkan kepala kebelakang, dan jurus pamungkasnya pun keluar. Jurus wajah imut ala anak TK jika tidak dibelikan boneka beruang dari orang tuanya.
“Aku mohon, kali ini saja. Ijinkan aku untuk membantu kalian! Aku janji tidak akan membuat kalian kerepotan!” katanya ditambah dengan suara imut-imut yang tak kalah imutnya dari suara Lisa jika sedang menggodaku untuk mendapatkan jatah makan malam. “Jika aku lelah, aku akan berhenti bekerja, bagaimana?”
“Bang Wira, boleh ya? Boleh ya? Boleh?” desakan Lisa yang sama persis dengan Tia makin membuatku tergoda. Aku benar-benar tidak bisa menolak!
“Cih! Terserah kalian saja!” jawabku lalu membalikkan badanku ke tengah-tengah kolam pemandian pria dan mulai bekerja tanpa peduli dengan kemeriahan dari para wanita diseberang sana yang begitu senang mendapat persetujuanku. Aku tak tahu bagaimana dengan Pande tapi, kubayangkan dia mendesah tenang melihat keadaan kembali normal. Ya, keadaan kembali normal sampai 5 jam berlalu dan semuanya menjadi tambah parah.
5 jam kemudian
“Haaah~ Akhirnya selesai juga!” kudengar suara seru senang Lisa menggema di telingaku. Aku yang masih marah akan kejadian tadi tidak menggubris, bahkan jarak kami sangat jauh. Tapi syukurlah pekerjaan kali ini benar-benar berakhir.
Kretek-kretek!
Kuputar tubuhku setengah lingkaran, begitu juga dengan kepalaku yang pegal-pegal akibat kerja romusha tadi. Belum saja sampai 5 menit aku memulai pemanasan, kurasakan beberapa pasang mata menatapku tajam.
“Apa liat-liat?” tanyaku acuh tak acuh pada mereka bertiga yang berkumpul di dekat pintu masuk kolam.
“Eng-Enggak kok! Nggak papa!” jawab Pande buru-buru. Mungkin takut acara debat ala Indonesia Lawyers Club—aku sadar acara itu belum ada di tahun 60-an ini—bakalan terjadi disini terlebih dahulu, Pande memutuskan untuk tidak bertanya lebih dalam.
“Terima kasih banyak atas kerja kerasnya dan juga,”
Saat itu aku tidak tahu jika permintaan maaf Tia ditujukan untukku. Saat itu aku tidak tahu jika kondisi tubuhnya makin detik makin melemah. Saat itu aku tidak tahu jika Tia bekerja tanpa henti membantu kami bertiga membersihkan kolam pemandian, padahal kami satu ruangan tapi aku mengacuhkannya. Detik itu juga, aku baru menyadari jika tubuh Tia langsung roboh ditempat.
“Aku minta maaf, Wi—”
Bruuk!
“Mbak Tia!”
“Kak Tia!”
Kudengar Pande dan Lisa berteriak memanggil nama Tia. Kudengar juga sebelum Tia roboh, ada dua kata yang disebutkannya di akhir kalimatnya, seperti memanggil namaku. Tapi karena sudah kadung roboh, aku tidak bisa mendengarnya lagi.
“Tia!”
Dan sampai dihari-hari berikutnya, Tia terbaring tanpa membuka kedua matanya.
[Catatan]
[1] Kak Ngurah. (Bli dalam Bahasa Bali merupakan panggilan untuk kakak laki-laki)
[2] Panggilan untuk wanita dalam Bahasa Bali.
[3] Panggilan untuk pria dalam Bahasa Bali.
[4] Terima kasih banyak, Pak Nakamura.