Read More >>"> Panggil Namaku! (Part 4.) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Panggil Namaku!
MENU
About Us  

Keesokan harinya, tugas mereka pun dimulai. Hari pertama bekerja Wira, Pande, dan Lisa dibantu Tia diberikan tugas untuk membersihkan kolam pemandian wanita. Mereka bertiga kira tugas membersihkan kolam pemandian air panas cukup mudah, nyatanya pekerjaan itu terlalu sulit jika dikerjakan oleh satu atau dua orang saja. Kolam pemandian air panas milik Nakamura-Ratih ini lumayan besar. Muatan yang bisa ditampung lebih dari 100 orang, maka tak heran jika mereka semua mulai terlihat lelah setelah memulai pekerjaan yang baru dilewati 4 jam yang lalu. Diantara keempat orang itu, yang paling terlihat lelah adalah Tia. Sempat Wira menyuruhnya untuk beristirahat tapi ditolak olehnya. Walau rasa lelah dirasakan tiap-tiap orang, mereka tidak pernah protes akan pekerjaan berat mereka.

Selama sesi pengerjaan, terkadang ada saja ulah jahil Lisa—sang provokator—diikuti oleh Wira dan Pande dan sial bagi Tia karena dirinya yang selalu menjadi korban kejahilan. Walau begitu, canda tawa selalu mengiringi mereka semua. Wira sendiri nampaknya sudah kembali membaik setelah kejadian kemarin di dapur. Walau sempat pikirannya terganggu akan kejadian kemarin, dirinya berusaha untuk berpikir positif dan berusaha melupakan semuanya.

Namun sekeras apapun dirinya ingin melupakan hal itu, tetap saja tidak bisa dilakukannya lantaran beberapa kali tiap dirinya diajak berbicara oleh Tia, tidak pernah Tia memanggil namanya. Jika jarak mereka jauh, tak sungkan-sungkan Tia akan pergi mendekati Wira, menyentuh pundak, tangan, atau punggungnya lalu mulai berbicara pada Wira. Seperti saat ini, dimana Tia memanggil Wira dengan menyentuh punggungnya, setelah lawan bicaranya berbalik baru Tia angkat bicara.

“Bagaimana kalau kita beristirahat usai membersihkan kolam pemandian wanita? Kurasa hari juga sudah berganti sore. Untuk kolam pemandian pria kita lanjutkan 2 hari lagi.” usul Tia panjang lebar.

Wira baru sadar jika hari sudah berganti sore, terlihat dari tempatnya berdiri awan mulai berubah warna menjadi warna jingga, matahari juga mulai bersembunyi di sebelah barat. Baik itu di kolam pemandian pria maupun wanita di desain tanpa atap, seperti alam terbuka, jadi para pengunjung bisa melihat keindahan alam bahkan bisa juga melihat Gunung Lempuyang yang menjulang tinggi. Merasa diri juga sudah lelah, akhirnya Wira mulai mengambil tindakan.

“Kau benar. Tapi, apa tidak masalah 2 hari lagi kami kembali bekerja?” tanyanya ragu.

“Tidak masalah. Kalau besok kita kembali bekerja, yang ada semua orang bisa jatuh pingsan saking lelahnya. Kita juga sudah seharian membersihkannya, jadi biarlah 1 hari kita istirahat dulu.” jawab Tia berusaha meyakinkan pria yang ada dihadapannya. Wira sendiri hanya bisa mengangguk patuh bak anjing penurut sebagai jawaban. “Lisa! Pande!” teriak Tia memanggil kedua anak buah Wira.

Eh? Kenapa...

“Selesai ini, kita langsung istirahat ya. 2 hari lagi baru kita membersihkan kolam pemandian pria.”

“Baik.” jawab mereka kompak tanpa protes.

Kenapa Tia selalu memanggil nama Lisa dan Pande, sedangkan aku tidak?

“Uh, anu, kalau begitu aku kembali bekerja dulu ya...” ucap Tia gantung lalu pergi meninggalkan Wira dengan sejuta pertanyaan.

Dan juga, kenapa dia selalu berbicara gantung padaku? Seolah-olah dia ingin memanggil namaku tapi tidak bisa.

                                                                                                                                           **********

Hari kedua yang seharusnya dipergunakan untuk bekerja dijadikan hari libur pertama Wira dkk seperti yang diusulkan oleh Tia kemarin. Bagi Lisa, Pande, dan Tia, hari ini merupakan hari libur mereka terkecuali bagi Wira.

“Sial! Katanya kita dikasi libur. Tapi kenapa masih disuruh kerja? Perbaiki atap genteng pula!” keluh Wira yang sibuk dengan pekerjaan lain didepannya ditemani Lisa sebagai asistennya.

“Jangan mengeluh terus! Pagi-pagi sudah mengeluh. Entar rejeki pada lari baru tahu rasa!” omel Lisa bagai seorang ibu-ibu tua.

“Kalau rejeki lari ya, kita kejar! Cinta saja kalau lari dikejar, masa rejeki enggak?”

“Huh~ Sekarepmu dewe lah, om.” jawab Lisa pasrah.

Dipagi hari yang menusuk ini, Wira dimintai tolong oleh Nakamura untuk memperbaiki atap genteng yang bocor sedangkan Tia diberi tugas oleh Ratih untuk mencari kayu bakar di hutan. Nakamura sempat berubah pikiran dan beralih menyuruh Wira untuk menemani Tia ke hutan karena Tia tidak pernah pergi ke hutan seorang diri. Pasti ada yang menemaninya entah itu sang istri atau dirinya. Lisa ingin sekali menemani Tia tapi Wira malah melarangnya dan menyuruh Pande yang menemani Tia, sedang dirinya sendiri dan Lisa yang akan memperbaiki atap genteng yang bocor.

“Maaf ya, Bang Wira orangnya memang seperti itu. Pilih-pilih kalau bekerja. Kau tahu sendiri kan?” ucap Pande membuka pembicaraan ditengah-tengah aktivitasnya menyusuri hutan sembari sibuk memegang beberapa ranting pohon yang ditemukannya di atas tanah.

“Iya, tenang saja. Aku malah senang jika orang lain yang menemaniku pergi ke hutan. Jika dia orangnya, mungkin suasananya akan jadi canggung.” jawab Tia malu-malu.

“Tapi, bukankah kalian sudah saling mengenal? Bang Wira itu temanmu kan?”

“Iya, dia temanku.” jawaban yang dikeluarkan Tia terdengar begitu dalam dan menyesakkan. Pande yang memperhatikannya sedari tadi menangkap ada sesuatu yang aneh dari diri Tia.

Aneh. Suaranya...kenapa dia terdengar terpaksa begitu?, tak lama dirinya menyadari sesuatu. Oh, iya. Mana ada orang yang mau mengakui Bang Wira sebagai seorang teman jika sikapnya seperti itu, tawa Pande getir. Tapi mata empatnya memperhatikan dengan saksama kedua bola mata milik Tia.

Kenapa tiap kali orang berbicara padanya, hanya mata kanannya saja yang memperhatikan? Sedangkan mata kirinya menatap entah kemana, pikirnya heran. Apa dia—

“Temanku yang sangat berharga” sambung Tia lesu.

“Eh?!”

“Saking berharganya...” tanpa sadar dirinya kelewatan bicara. “Aku...tidak bisa memanggil namanya lagi.”

 

“Haachuu!!

“Bang Wira, kau kenapa?” tanya Lisa khawatir diseberang sana.

“Entahlah. Aku rasa ada orang lain yang sedang membicarakanku.” balasnya sembari mengelap hidungnya yang meler. “Mungkin ada cewek cantik di desa ini yang sibuk membicarakan ketampananku.”

“Ketampananmu? Kejelekanmu baru benar.” balas Lisa tak niat.

“Hei hei, jangan berkata seperti itu.” bela Wira tanggap. “Asal kau tahu, sebelum kau lahir, aku ini sangat terkenal di kalangan cewek-cewek lho! Bahkan mereka sampai jatuh pingsan hanya dengan melihatku dari kejauhan.”

“Cih! Ge-er.”

“Ya sudah kalau kau tidak percaya.”

“Memang aku tidak percaya.”

 

“Tidak bisa...memanggil namanya lagi? Maksudnya?” sadar akan perkataan bodoh dirinya, Tia segera mengalihkan topik pembicaraan.

“W-Wah! Hari ini cuaca cerah ya!”

Mau kabur rupanya...

“Uh, anu, Mbak Tia. Boleh aku bertanya?” tanya Pande ragu.

“M-Mau...tanya apa?”

“Sudah berapa lama kau tinggal disini?”

“Sekitar 3 tahun mungkin?” jawabnya terdengar tak yakin.

“Wah, lama juga ya.”

“Tidak-tidak! Aku baru tinggal disini.” jawabnya buru-buru mengklarifikasi.

“Benarkah?”

“Iya. Dulu aku tinggal di desa lain. Cuman karena ada suatu dan lain hal, aku meninggalkan desa dan memilih tinggal disini.” jawab Tia polos.

“Oh, begitu.” angguk Pande paham tanpa menaruh curiga. “Ah, kira-kira kenapa ya di tempat pemandian air panas milik Pak Nakamura hanya ada satu orang karyawan?” tanya Pande berharap pertanyaannya yang ini tidak dialihkan.

“Satu orang?” terdengar suara tak setuju dari mulut Tia. “Karyawannya ada tiga orang kok.”

“Eh? Siapa saja?”

“Aku, Nyonya Ratih dan Tuan Nakamura.” jawab Tia menampakkan gigi-giginya yang putih bersih pada lawan bicaranya.

Y-Yah, itu kalau pemiliknya juga ikut dihitung. Ujung-ujungnya juga tetap sama kan, karyawannya cuma satu orang.

Sejak kedatangannya di tempat ini, ada beberapa hal yang mengusik pikiran Pande. Pertama, tempat yang terkenal baik itu dikalangan militer, pejabat, dan para turis hanya memiliki—menurut pengakuan Tia—tiga orang karyawan. Tidak mungkin tempat seramai itu bisa dikendalikan oleh tiga orang, belum termasuk juru masak di dapur yang akan menyiapkan makanan. Kedua, jika dilihat-lihat luas tempat pemandian air panas itu sebesar lapangan sepak bola. Bagaimana caranya tiga orang ini bisa membersihkan tempat pemandian itu selama 25 tahun? Dan juga, jika hanya mereka bertiga yang mengurus kebersihan kolam pemandian itu, kenapa baru sekarang mereka menyuruh orang lain untuk membantu membersihkan kolam ini?

“Pande?” panggil Tia membuat orang yang bersangkutan kembali sadar dari lamunannya.

“I-Iya?”

“Kau kenapa?”

“O-Oh, tidak! Tidak ada apa-ap—”

“Pande, tiarap!”

“Huh?”

Syuut! Tap! Gedebuk!

Tiba-tiba saja ada beberapa buah jarum melayang menuju kearah mereka yang entah datang dari mana. Tia yang menyadari jika ada bahaya segera menyuruh Pande untuk tiarap. Namun hal itu tidak dilakukan lantaran dirinya yang kebingungan menerima perintah dari teman bosnya. Karena tidak menuruti perintahnya, Tia langsung mendorong tubuh Pande hingga jatuh ke tanah menggantikan dirinya yang terkena tiga sampai lima jarum yang kini sudah menancap di beberapa tubuhnya. Pande yang melihat aksi heroik teman bosnya hanya bisa memandanginya gugup.

“M-Mbak...Mbak Tia?”

“Apa kau terluka?” tanya Tia yang berdiri membelakangi Pande sambil memegang tubuhnya yang mulai mati rasa.

“A-A-Aku...”

“Kau tahu? Padahal jarum itu berisi racun yang mematikan. Tapi kau rela mengorbankan nyawamu demi orang yang baru saja kau kenal.”

Tak lama muncul seorang pria bermata sipit diikuti beberapa anak buahnya yang membawa pedang dan siap membunuh mereka kapan saja. Pande yang sedang mati kutu sempat tak mengerti dengan beberapa ucapan pria itu lantaran menggunakan bahasa indonesia dan bahasa jepang yang dicampur-campur. Tia yang sedang mati rasa berusaha untuk tetap tenang walau ekspresi wajahnya tak terlihat seperti itu.

“Kau..! Apa yang kau inginkan dariku?” teriak Tia disela-sela rasa sakit yang dirasakan tubuhnya.

“Sepertinya racunnya sudah mulai menyebar. Melihat tubuhmu yang mulai keringat dingin dan bergetar hebat.” kata pria bermata sipit itu lagi.

Tu-Tunggu! Me-Mereka...saling kenal?!, tanya Pande disela-sela kepanikannya sendiri.

“Aku tanya, apa yang kau inginkan dariku?!”

“Aku hanya ingin Nakamura Sougo hidup-hidup.” sambung pria itu tersenyum senang. “Jika kau menghalangiku, aku tidak akan ragu untuk mengambil kepalamu.”

Ja-Jadi...mereka benar-benar saling kenal?!

“Aku tidak akan membiarkan para pemberontak menangkap Tuan Nakamura hidup-hidup!”

“Apa? Para pemberontak katamu?!” pria bermata sipit itu sedikit tertawa mendengar ucapan Tia barusan. “Tuanmu sendiri yang memilih untuk menjadi pemberontak!” sambungnya galak. “Kau pikir kau bisa melindungi si pemberontak beserta istrinya itu, huh?”

“Selama ini kami berhasil bertahan dari serangan kalian. Aku yakin kami pasti bisa terus bertahan!”

“Hoo~ Jadi, perbuatan kasar kami pada tempat pemandian air panas kalian itu belum cukup untuk membuat kalian menyerah ya? Perlu kuhancurkan lagi tempat itu?” tanya pria itu perlahan mulai mendekati Tia dan berdiri dihadapannya. Sesampainya disana, dengan satu gerakan tangannya sebagian anak buahnya mendekati Tia, menyeretnya ke tengah jalan dan mulai menghajarnya sampai babak belur.

“Mbak Tia!” Pande yang ingin menolong tak bisa berbuat banyak lantaran ada sebilah pedang tengah berdiri dibelakang kepalanya. Jika dirinya bergerak sedikit saja, bisa jadi kepalanya akan tertembus pedang dari pihak musuh.

“Si-Sialan kau!” teriak Pande tertahan.

“Kalau kau ingin selamat, sebaiknya kau diam saja. Kami tidak punya urusan dengan pria culun sepertimu.”

“Pa-Pande...uhuk! Hoek!” Tia sampai muntah darah lantaran serangan bertubi-tubi dari anak buah pria itu.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi disini?!, tanya Pande panik.

“Aku punya pilihan bagus untuk kalian.” kata pria itu memberi penawaran. “Bagaimana jika kalian menyerahkan Nakamura—”

“Ma-Maaf saja...” potong Tia terbata-bata. “Kami tidak akan menyerahkan Tuan Nakamura apapun yang terjadi. Sekalipun harus mengorbankan nyawaku.”

“Jadi, kalian lebih suka jika kami membakar tempat berharga milik kalian itu, huh?!”

Tempat berharga? Apa maksudnya—

“Cih!” nampak Tia tertawa geli mendengarnya. “Kalau kalian ingin membakarnya, langkahi dulu mayatku!”

“Huh! Jangan menyesal karena kau yang meminta.” pria itu lalu menyuruh salah seorang anak buahnya untuk membunuh Tia. “Korose[1]!

Ketika anak buah pria itu mengangkat kedua tangannya yang berisi pedang untuk menancapkannya di dada Tia, tiba-tiba saja ada sebuah kerikil mengenai matanya hingga membuat orang itu sedikit terganggu.

“Ow!”

“Siapa itu?” tanya pria bermata sipit mewakili seluruh anak buahnya.

“Aduh, Lisa! Sudah kubilang lempar pakai batu yang agak besaran!” ucap seorang pria dari balik semak-semak terdekat.

“Eh, om perjaka! Mikir dong, mikir! Kalau aku lempar pakai batu yang agak besaran dan mengenai Kak Tia gimana? Atau kalau pedangnya yang kena dan jatuh mengenai Kak Tia gimana?” omel Lisa pada pria disebelahnya.

“I-Iya juga sih.” jawab pria dibalik semak-semak itu gagap.

“Hei, aku tanya yang disana! Siapa kalian?” tanya pria bermata sipit menunjuk keasal suara dengan garang.

“Waduh, ketahuan!”

Dari tadi kalian gak sadar ya kalau sudah ketahuan?, protes Pande pasrah.

“Bang Wira, sana duluan keluar!”

Tidak ada pilihan lain bagi kedua orang itu untuk keluar dari tempat persembunyian mereka. Ketika musuh baru keluar, betapa terkejutnya mereka satu dengan yang lain melihat situasi dan kondisi yang begitu buruk.

“Tia!”

“Pande!” jika Wira dan Lisa heboh melihat Tia dan Pande yang sudah menjadi tawanan, lain halnya dengan pria bermata sipit saat melihat sosok Wira berdiri dengan gagah dihadapannya.

“Di-Dia...” seluruh anak buahnya memandangi atasannya yang menatap Wira tak percaya. “Gede...Wira...Pratama.”

“Hm? Kau mengenalku ya?” tanya Wira mulai mempersiapkan kuda-kudanya untuk menyerang pihak musuh.

“Kau...tangan kanan I Gusti Ngurah Rei dan orang yang sudah membunuh Maeda Yuuji-sama[2].”

“Hei, yang benar itu I Gusti Ngurah Rai bukan Rei, bego!” bentak Wira galak mendengar nama atasannya yang sudah gugur salah disebutkan.

“Eh? Bang Wira tangan kanannya I Gusti Ngurah Rai ya?” tanya Lisa terkejut.

“Iyalah. Masa gitu aja kamu gak tau?” balas Pande datar disambung oleh Wira.

“Namaku masuk di buku sejarah tau! Jangan bilang kamu gak pernah baca buku sejarah.”

“Yang kutahu I Gusti Ngurah Rai mati waktu lawan Belanda setahun setelah negara kita merdeka. Bulan November rasanya.”

“Itu saja yang kau tahu.” balas Wira acuh. “Tapi sebelumnya,” tanyanya lagi penuh kebingungan. “Maeda Yuuji itu...siapa?”

Krik-krik! Krik-krik!

Dia...lupa?, batin Tia heran ditengah-tengah nyawanya yang sudah terancam bahaya.

“Sialan! Berani-beraninya kau melupakan Maeda Yuuji-sama, orang yang sudah kau bunuh 20 tahun yang lalu!!” teriak pria bermata sipit itu sampai hidungnya kembang kempis dibuatnya.

“Y-Yah, bagaimana bilangnya ya?” Wira menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kau tahulah, kejadian itu kan sudah lama berlalu. Dan juga, tidak mungkin aku bisa mengingat semua orang yang sudah kubunuh.” sambungnya mulai berlagak sombong lagi. “Asal kau tahu, kurang lebih sudah 500 orang yang kubunuh waktu Indonesia lagi dijajah sama—”

“Aku tak peduli dengan ceritamu yang sudah membunuh 500 orang atau lebih! Yang aku pedulikan sekarang adalah—”

“Bang Wira, aku sudah menghajar semua anak buahnya! Perlu kuhajar juga cowok tak punya mata ini?” tanya Lisa yang sudah berdiri dibelakang pria bermata sipit itu dengan santainya.

“Ap-Apa?!”

“Kerja bagus, bocah!” Wira memberi acungan jempol pada Lisa yang tak jauh berdiri didepannya.

Pria itu baru menyadari jika seluruh anak buahnya sudah terkapar di tanah tak sadarkan diri. Rupannya pembicaraan tak penting mereka hanya sebagai pengecoh musuh dan Wira menggunakan kesempatan itu untuk memberi Lisa—yang ahli dalam bela diri—waktu guna menghajar anak buah pria bermata sipit tersebut dan menyelamatkan Tia beserta Pande dari cengkeraman sang musuh.

“Keparat kau!”

“Kali ini aku akan membiarkanmu hidup.” ucap Wira yang sudah berubah mode layaknya raja iblis. “Tapi, jika kau berani menampakkan diri dihadapan kami, akan kubunuh kau!”

“Cih, coba saja!”

Booff!

Pria bermata sipit itu pun akhirnya melarikan diri menggunakan bom asap meninggalkan teman-temannya yang terkapar di tanah. Walau sempat terbatuk-batuk akan bom asap itu, mereka bertiga bisa menguasai diri dan mulai mengerubungi Tia yang lemah tak berdaya karena tidak kuat menahan racun yang sudah tersebar disekujur tubuhnya.

“Tia! Hei, kau mendengarku kan?” Wira memeluk Tia lemah dipangkuannya. Sesekali Wira memukul pelan pipi Tia untuk menyadarkannya. “Pande, apa yang sudah dilakukan pria bermata sipit itu pada Tia?” tanya Wira panik.

“Orang itu sempat melempar beberapa jarum beracun dan menyuruh anak buahnya untuk menghajar Mbak Tia sampai babak belur begini.” dalam penjelasannya ada rasa menyesal dan bersalah dalam diri Pande karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk melindungi Tia. “Aku minta maaf. Sungguh aku minta maaf!”

“Pande...” panggil Lisa lirih.

“Aku mengerti perasaanmu tapi, sekarang bukan waktunya untuk—”

“K-Kau...” panggil Tia sekuat tenaga menyudahi perbincangan kedua pria yang ada didepannya.

“Tia!”

“Kak Tia!”

“Mbak Tia!” mendengar suara teriakan yang memekakkan telinganya membuat wajah Tia tersenyun lemah.

“Syukurlah...kalian...baik-baik saja.”

“Hei, bertahanlah, Tia! Aku mohon!”

“Kau...” suara lembut Tia seakan-akan memanggil nama Wira dan bergema ditelinganya. Tangan Tia berusaha menyentuh salah satu pipi Wira dan mengelusnya perlahan. Wira hanya diam mematung mendapat perlakuan seperti itu. “Apa kau datang...untuk menyelamatkanku?” tanya Tia parau.

“Tentu...tentu saja!” jawab Wira balas menggenggam tangan Tia yang mengelus sebelah pipinya.

“Syukurlah, kau—” ingat akan kalimat menyesakkan itu, Wira segera memotong tanpa disadarinya.

“Aku tidak baik-baik saja!” teriak Wira marah.

Tiba-tiba saja awan berubah menjadi gelap gulita, guntur mulai berdatangan silih berganti. Hujan pun mulai turun menghiasi bumi. Didalam keheningan itu, mata sayu Tia bisa melihat beberapa tetes air mata Wira bercampur dengan tetesan air hujan yang turun. Tia tak berbicara lagi, hanya mengelap tetes-tetes air mata itu perlahan. Pande dan Lisa hanya menjadi penonton sinetron gratisan.

“Aku tidak baik-baik saja...jika kau juga tidak baik-baik saja.” sambung Wira terdengar pahit.

 

 

[Catatan]

[1] Bunuh dia!

[2] Tuan Maeda Yuuji.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Power Of Bias
1055      605     1     
Short Story
BIAS. Istilah yang selalu digunakan para penggemar K-Pop atau bisa juga dipakai orang Non K-Pop untuk menyatakan kesukaan nya pada seseoraang. Namun perlu diketahui, istilah bias hanya ditujukan pada idola kita, atau artis kesukaan kita sebagai sebuah imajinasi dan khayalan. Sebuah kesalahan fatal bila cinta kita terhadap idola disamakan dengan kita mencitai seseorang didunia nyata. Karena cin...
Melawan Tuhan
2434      917     2     
Inspirational
Tenang tidak senang Senang tidak tenang Tenang senang Jadi tegang Tegang, jadi perang Namaku Raja, tapi nasibku tak seperti Raja dalam nyata. Hanya bisa bermimpi dalam keramaian kota. Hingga diriku mengerti arti cinta. Cinta yang mengajarkanku untuk tetap bisa bertahan dalam kerasnya hidup. Tanpa sedikit pun menolak cahaya yang mulai redup. Cinta datang tanpa apa apa Bukan datang...
My Teaser Devil Prince
5564      1337     2     
Romance
Leonel Stevano._CEO tampan pemilik perusahaan Ternama. seorang yang nyaris sempurna. terlahir dan di besarkan dengan kemewahan sebagai pewaris di perusahaan Stevano corp, membuatnya menjadi pribadi yang dingin, angkuh dan arogan. Sorot matanya yang mengintimidasi membuatnya menjadi sosok yang di segani di kalangan masyarakat. Namun siapa sangka. Sosok nyaris sempurna sepertinya tidak pernah me...
Finding Home
1945      914     1     
Fantasy
Bercerita tentang seorang petualang bernama Lost yang tidak memiliki rumah maupun ingatan tentang rumahnya. Ia menjelajahi seluruh dunia untuk mencari rumahnya. Bersama dengan rekan petualangannya, Helix si kucing cerdik dan Reina seorang putri yang menghilang, mereka berkelana ke berbagai tempat menakjubkan untuk menemukan rumah bagi Lost
Premium
Akai Ito (Complete)
5548      1261     2     
Romance
Apakah kalian percaya takdir? tanya Raka. Dua gadis kecil di sampingnya hanya terbengong mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Raka. Seorang gadis kecil dengan rambut sebahu dan pita kecil yang menghiasi sisi kanan rambutnya itupun menjawab. Aku percaya Raka. Aku percaya bahwa takdir itu ada sama dengan bagaimana aku percaya bahwa Allah itu ada. Suatu saat nanti jika kita bertiga nant...
Garden
4564      1476     5     
Fantasy
Suatu hari dimanapun kamu berada,selama kita menatap langit yang sama. Bolehkah aku merindukanmu?
Purple Ink My Story
5939      1300     1     
Mystery
Berawal dari kado misterius dan diary yang dia temukan, dia berkeinginan untuk mencari tahu siapa pemiliknya dan mengungkap misteri yang terurai dalam buku tersebut. Namun terjadi suatu kecelakaan yang membuat Lusy mengalami koma. Rohnya masih bisa berkeliaran dengan bebas, dia menginginkan hidup kembali dan tidak sengaja berjanji tidak akan bangun dari koma jika belum berhasil menemukan jawaban ...
Love and your lies
4650      1146     0     
Romance
You are the best liar.. Xaveri adalah seorang kakak terbaik bagi merryna. Sedangkan merryna hanya seorang gadis polos. Dia tidak memahami dirinya sendiri dan mencoba mengencani ardion, pemain basket yang mempunyai sisi gelap. Sampai pada suatu hari sebuah rahasia terbesar terbongkar
Premium
The Secret Of Bond (Complete)
5499      1236     1     
Romance
Hati kami saling terikat satu sama lain meskipun tak pernah saling mengucap cinta Kami juga tak pernah berharap bahwa hubungan ini akan berhasil Kami tak ingin menyakiti siapapun Entah itu keluarga kami ataukah orang-orang lain yang menyayangi kami Bagi kami sudah cukup untuk dapat melihat satu sama lain Sudah cukup untuk bisa saling berbagi kesedihan dan kebahagiaan Dan sudah cukup pul...
Premium
Sepasang Mata di Balik Sakura (Complete)
7103      1817     0     
Romance
Dosakah Aku... Jika aku menyukai seorang lelaki yang tak seiman denganku? Dosakah Aku... Jika aku mencintai seorang lelaki yang bahkan tak pernah mengenal-Mu? Jika benar ini dosa... Mengapa? Engkau izinkan mata ini bertemu dengannya Mengapa? Engkau izinkan jantung ini menderu dengan kerasnya Mengapa? Engkau izinkan darah ini mengalir dengan kencangnya Mengapa? Kau biarkan cinta ini da...