Sore ini Serina berada di rumah Abay. Sebenarnya Serina sama sekali tidak berpikir kalau ia akan datang ke rumah Abay lagi. Ia kira bermain di rumah Abay saat malam minggu itu untuk terakhir kalinya. Tapi nyatanya tidak. Tadi, saat ia ingin pulang ponselnya bergetar ada yang menelepon dari nomor yang tidak ia kenal. Semakin Serina menolak panggilan itu, semakin membuat orang itu terus menelepon Serina. Dan ternyata itu adalah Mamihnya Abay.
Serina langsung menuju rumah Abay ketika tahu bahwa Mamih Abay memintanya untuk membantu membuat kue. Serina pun senang karena ia juga suka bereksperimen di dapur.
“Nana kenapa jarang main ke sini?” tanya Erta ketika sedang memasukan adonan ke dalam oven.
Serina yang sedang membersihkan meja pun berhenti sejenak. Tiba-tiba ia teringat panggilan itu. Panggilan yang Abay berikan untuknya saat pertama kali bertemu mamihnya.
“Kenalin Mih, namanya Serina. Panggil aja Nana. Tapi jangan Nana Dalem ya. Nanti dia malu,” katanya waktu itu yang langsung dihadiahi bogeman dari mamihnya.
“Nana sibuk Mih,” jawabnya seraya terkekeh. Serina memang tidak memanggil tante. Karena Erta itu menyuruh teman-teman Abay memanggilnya mamih saja. Katanya, anggap saja mamih bersama.
“Sibuk apa? Sibuk marahan sama Abay?” tanyanya kembali membuat Serina telak. “Abay bandel ya Na?”
“Bukan Mih. Enggak kok, Abay nggak bandel. Cuma males aja,” jawabnya jujur. Ya, Abay memang tidak nakal. Hanya saja malas dan tukang buat onar.
Serina pamit menuju ruang tamu untuk mengirim pesan pada adiknya agar menjemputnya. Baru saja mendaratkan bokongnya di sofa, pintu utama rumah keluarga Dirgantara ini terbuka lebar.
“ASSALAMUALAIKUM! MIHHH ABAY LAP—LAH ELO?” Abay berteriak seperti sedang berada di hutan. Ketika matanya menangkap sosok Serina ia malah melotot kaget.
“Waalaikumsalam.” Jawab Serina memutar bola matanya. Abay itu memang seperti anak bocah.
“Lo ngapain di sini? Nyariin gue ya? Sori hari ini gue main ke rumah Bintang. Emang ada apa?” tanyanya dengan bingung.
Serina memutar bola matanya lagi. “Kepedean lo.”
Abay duduk di samping Serina. “Terus ngapain?”
Serina diam tidak menjawab. Ia malas meladeni Abay.
“Astaghfirullah, anak siapa sih kucel banget baru pulang sore-sore begini? Mandi dong Bay! Kasian Nana kebauan tuh deket kamu!” seru Erta yang baru saja muncul dari dapur.
Abay langsung menatap mamihnya kesal. Mulai deh cerewetnya. “Mih, ini Serina ngapain Mih?”
“Nemenin mamih bikin kue. Kenapa nggak seneng nih?” balas Erta sewot.
Abay menghela napasnya. “Ya elah Mih, kan sekedar nanya,”
“Ya udah buruan mandi! Kamu bau sampah, ih!” seru Erta membuat Abay melotot kaget mendengar itu. Untung Abay sayang, kalau enggak, udah distreples tuh mulut.
Abay mengelus dada lalu berlalu ke kamarnya. Saat ia berhadapan dengan mamihnya Abay langsung memeluk mamihnya erat. Mamihnya pun meronta-ronta dilepaskan karena tidak mau dipeluk oleh Abay yang katanya bau sampah.
***
“Pulang sama gue aja,” Abay langsung berlari kecil ketika melihat Serina sudah siap ingin pulang.
Erta yang ada di situ pun menoleh. “Tuh, Nana pulang sama Abay aja ya? Kan Nono nggak bisa jemput. Nanti kalau kenapa-napa di jalan gimana hayo?”
Serina bimbang. Jadi bagaimana ini? Apa ia harus pulang bersama Abay? Atau...
“Ah, nggak usah kebanyakan mikir. Yuk sama gue,” pun, Abay langsung menarik Serina dan berpamitan pada Erta.
Serina yang merasa tangannya digenggam oleh Abay tidak bisa menolak. Seketika rasa itu kembali hadir. Rasa yang sudah menghancurkan dirinya sendiri.
“Lo udah ijin kan?” tanya Abay seraya menyalakan radio.
Serina mengangguk.
“Ya udah, boleh kan kalau waktu lo gue pinjem selama?” tanyanya lagi.
Serina kini menoleh. “Selama apaan?”
“Ya, karena nggak sebentar. Jadi selama. Tapi bukan berarti selama-lamanya juga,” jawabnya polos.
Serina hanya tersenyum miring. Abay dan kerecehannya mulai menjadi. “Emangnya mau ke mana?”
“Sky Coffee, Cafe,” Abay pun membelokan mobilnya menuju kafe itu. Kafe yang dulu ia sering kunjungi bersama orang di sampingnya.
Dan Serina yakin Abay ingin membicarakan masa lalu itu. Lihat saja nanti.
***
Seperti biasa dan masih sama, keduanya memesan kopi yang dicampur dengan vanilla latte. Menu yang membuat keduanya merasa cocok saat berada di pertemuan pertama kala itu.
“Jadi, apa yang mau lo omongin tentang “kita” yang dulu?” ucap Serina pada intinya seraya mengutip kata “kita”.
Abay menurunkan gelasnya. “Jadi lo tahu maksud gue bawa lo ke sini?” tanyanya menatap Serina intens.
“Karena otak gue di kepala. Bukan di dengkul.” Balasnya membuat Abay meringis.
Mulutnya itu, harus disiram air panas sepertinya.
“Gue mau berdamai sama lo.”
Serina hampir tersedak saat Abay mengucapkan kata-kata itu. “Emang kita lagi berperang?”
“Na, bisa nggak sih, lo nggak memperbalikan pertanyaan gue?” Abay seketika geram sendiri dengan tingkah Serina.
“Oke-oke. Bay, kita nggak lagi berperang. Kita juga dalam keadaan baik-baik aja. Lo nggak usah terlalu memperbesarnya.”
“Menjauh dari gue selama beberapa bulan namanya baik-baik aja? Kalau nggak karena tugas Bahasa Indonesia itu, nggak bakal kita ngobrol kayak gini Na. Sadar nggak sih lo?” Abay kembali mengingat beberapa bulan lalu saat Serina mencampakannya.
Serina bungkam. Ia juga sadar. Kalau bukan karena tugas itu, ia mungkin tidak akan pernah mengobrol lagi bersama Abay. Mungkin untuk waktu yang lebih lama lagi.
“Na, lo itu kesayangannya mamih. Lo tahu? Waktu lo menghilang gitu aja mamih selalu nanya-nanya gue. Dan gue selalu jawab asal kalau lo sibuk ini itulah, jadi nggak sempat untuk main. Dan selama beberapa hari mamih murung. Dan itu bikin gue merasa gagal jadi seorang anak. Dan saat lo main ke rumah gue tempo hari, mamih benar-benar bahagia. Dan gue senang..” Abay menghela napas. “Gue mohon Na sama lo. Lupain ucapan orang-orang yang nganggap lo begini begitu ke gue. Gue udah maafin lo, dan gue juga pengin lo maafin gue Na, gue, kangen sama kita yang dulu,” jelas Abay seraya memelankan ucapan terakhirnya.
Walaupun begitu, Serina masih bisa mendengarnya. Serina menatap Abay tepat di manik matanya. Tidak ada kebohongan di sana. Dan harus Serina akui kalau dirinya juga kangen pada Abay. Pada mereka yang dulu.
“Ya udah, kita jalanin semuanya dari awal,” ucap Serina mantap. Ia tersenyum manis pada Abay.
Abay pun ikut tersenyum. Senyuman yang sudah tak pernah ia lihat lagi akhirnya kini muncul. Astaga, jangan baper lagi Bay.
“Lo emang nggak pernah tergantikan jadi kesayangannya mamih,” ucap Abay nyengir lebar.
Serina hanya terkekeh merasa malu. Namun detik berikutnya, Abay berhasil membuat pipi Serina merah padam.
“Lo juga nggak tergantikan jadi kesayangan gue,”