Matematika.
Pagi-pagi Abay sudah sarapan pelajaran yang menurutnya labil. Kadang terlihat mudah, kadang juga membuat napasnya sesak karena kehabisan oksigen. Walaupun Abay tahu, matematika dalam jurusan bahasa ini tidak sesulit yang di jurusan IPA. Itu lah yang harus disyukuri. Apalagi setelah Pak Bambang bilang kalau dirinya ada keperluan mendadak, membuat Abay semakin tersenyum ceria.
Asyik bisa bolos. Batinnya sudah berteriak.
Pak Bambang keluar kelas dengan terburu-buru, sebelum itu beliau menyampaikan agar kelas tidak berisik dan mengerjakan soal di papan. Tapi, anak SMA tetaplah anak SMA. Mereka hanya mengangguk iya, namun beberapa detik kemudian kembali berisik.
Abay menatap bangku kosong di sebelahnya. Sial, kenapa ia tidak punya teman sebangku sih. Abay berniat untuk segera ke kantin atau UKS agar bisa tidur. Namun gerakannya dicegah oleh seorang perempuan yang membawa buku paket bertuliskan Matematika Pintar dan duduk di sebelahnya. Membuat seisi kelas langsung memperhatikan apa yang akan terjadi berikutnya.
“Ngapain?” tanya Abay mengerutkan keningnya.
“Belajar,” jawab Serina santai.
Abay masih mengerutkan keningnya. “Ya udah minggir dulu gue mau keluar,”
“Belajar sama lo. Jadi lo nggak boleh keluar.” Ucapnya sinis. “Dan satu lagi, gue ketua kelasnya. Lo harus ikut perintah gue dong,”
Abay kembali duduk di bangkunya dengan kasar. Ia mengepalkan kedua tangannya. Ini cewek maunya apa sih.
“Dimulai dari sini,” tunjuk Serina pada satu soal yang lumayan mirip dengan yang di papan.
Abay hanya menghela napas panjang dan mulai menurut apa yang Serina ajarkan. Sepanjang mengerjakan soal, Abay memang banyak mengeluh. Tapi, Serina juga banyak mengomel atau bahkan mengancam Abay. Sampai akhirnya Abay bangkit dari bangkunya.
“Mau ke mana lo? Ini belum selesai!” pekik Serina kesal karena tingkah Abay.
“Mau pipis. Mau ikut?” Abay melotot tajam. Kenapa Serina curigaan sekali sih.
Serina memalingkan wajahnya dan memberi Abay akses untuk keluar dari mejanya.
Abay tidak segera lanjut berjalan. Ia malah berdiri di samping kanan Serina. Serina yang melihat itu pun geram. Bukannya cepat-cepat malah sengaja dilambat-lambatkan.
“Ngapain sih? Udah sana!” usirnya galak.
“Beneran nih nggak mau ikut? Sekedar megangin gitu,”
Mendengar itu Abay langsung dihantam dengan buku paket Matematika Pintar yang tebalnya sudah seperti ensiklopedia. Abay meringis namun berjalan dengan terkekeh sendiri.
Setelah keluar dari kamar mandi, Abay berniat ke kantin untuk membeli air mineral. Ia haus. Padahal yang dari tadi banyak mengoceh Serina, bukan dirinya.
Perjalan ke kantin itu melewati sebuah taman. Sebentar lagi kakinya masuk ke area kantin, Abay mendengar suara aneh dari arah taman. Abay yang memang memiliki sifat kepo maksimal itu langsung mengeceknya.
Dan, boom!
Ada Zoella di sana.
Abay mendekat dan duduk di sampingnya. “Hai cewek,” sapanya centil. Sedangkan Zoella tidak menengok atau menjawab. Dirinya masih menutup wajahnya karena tengah menangis.
Abay sadar kalau perempuan di sampingnya ini sedang menangis dan tidak mau diajak bercanda. Tapi mau bagaimana lagi? Kelebihan yang Abay punya hanya melawak nan receh.
“Lagi nangis ya Mbak-nya?” Iseng Abay lagi. Dan masih tidak ada jawaban.
Karena Abay kesal, ia mengalungkan tangannya di bahu Zoella. Zoella refleks memperlihatkan wajahnya. Baru saja ia ingin bicara, Abay membawanya ke pelukannya.
“Dari tadi ditanya diam aja. Sekarang udah dikasih kehangatan nggak boleh nolak ya?”
Zoella tidak menjawab. Ia malah terus menangis dipelukan Abay. Ini semua pasti karena Bintang.
***
Serina melirik jam di tangan kirinya. Ia berdecak kesal. Ke mana sih anak laknat itu? Katanya ke kamar mandi, tapi sudah setengah jam tidak kembali-kembali. Padahal tanggung, sebentar lagi Abay pasti mengerti.
Akhirnya Serina bangkit dari bangkunya berniat mencari Abay. Ia sudah tahu di mana Abay berada. Pasti kantin.
Serina melangkah dengan tergesa-gesa. Ia sudah berniat memarahi Abay habis-habisan kalau ia memang benar sedang makan enak di kantin.
Matanya menjelajah ke seluruh kantin, ia hanya menemukan seorang perempuan yang sedang menutup wajahnya. Dengan ide yang cemerlang, Serina mendekat ke arah perempuan itu ingin menanyakan Abay. Kali saja perempuan itu tahu.
“Permisi, boleh na—”
“Zoe—eh, elo?”
Belum sempat Serina melanjutkan ucapannya, sudah ada suara yang ia sangat kenal memotong ucapannya.
“Lo ngapain di sini?” tanya Abay terkejut melihat Serina tiba-tiba sudah berada di kantin. Padahal istirahat 15 menit lagi. Tumben.
“Nyariin lo.” Jawab Serina ketus. Ia bergantian memandangi Abay dan perempuan yang sekarang wajahnya bisa ia lihat jelas. Dia Zoella Alexia. Murid baru yang kelihatannya sok polos.
“Ngapa—”
“Dasar cowok. Omongannya nggak bisa dipegang. Katanya mau ke kamar mandi, ujung-ujungnya pacaran. Cih,” potong Serina cepat lalu berdecak dan pergi meninggalkan Zoella dan Abay yang masih mematung.
Zoella mengambil air dari tangan Abay. “Siapa? Cewek lo ya?”
Abay mengerjap beberapa kali. “Ha? Apaan sih, bukan. Cuma temen gue aja,”
“Kok gitu banget?” tanya Zoella bingung karena sikap Serina itu baginya terlalu berlebihan.
“Nggak usah dimasukin hati. Dia dari kecil emang sukanya ngemilin cabe. Jadinya pedes deh omongannya,” balas Abay diiringi candaan.
Zoella hanya terkekeh dan mengangguk paham. Padahal jantung Abay sudah berdetak tidak karuan.