Abay diujung kematian.
Lihat saja, pagi-pagi begini ia sudah ditelanjangi tatapan sinis oleh Ketua OSIS SMA Angkasa. Siapalagi kalau bukan sahabatnya sendiri, Arista Bintang Vandera. Bintang menatap Abay sinis. Bukan ke wajahnya, tepatnya ke seragam, yang sangat berantakan di tubuh Abay. Benar-benar anak tak terurus.
“Tang, masih pagi udah sinis aje, nanti cepat tua lho,” ucapnya dengan nada sedikit meledek.
Bintang tidak menghiraukan guyonan Abay. Ia membuka buku hijau kecil yang setiap hari selalu ia bawa dan menuliskan poin untuk Abay.
“Gusti! Hampura atuh Bintang! Janji deh, besok nggak bakal begini lagi. Hapus ya poinnya hapus...” rengek Abay menggoyang-goyangkan lengan Bintang.
Bintang dengan cepat menepisnya. “Najis. Dan nggak akan,” balasnya dingin. Ia langsung berlalu menuju lapangan upacara.
Abay menghela napas panjang. Padahal ini hari pertamanya di tahun ajaran baru. Tapi, bisa-bisanya ia tidak dibangunkan oleh mamihnya. Sudah hampir terlambat, Abay mendapatkan poin pula. Double sial ini namanya. Abay pun menaruh tasnya asal dan berlalu menuju lapangan upacara. Tidak peduli dengan seragamnya yang baru saja ditegur Bintang. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
*****
Abay berjalan menuju kantin sendirian. Di antara teman-temannya, memang hanya Abay yang tidak ada pasangannya. Rafa sekelas bersama Galang, Bintang bersama Rayhan. Sedangkan Abay? Sudah jelas jomlo. Abay langsung sumringah ketika melihat teman-temannya sudah berada di meja biasanya.
“Wassap Bro!” seru Abay membuat keempat temannya menoleh padanya.
“Jadi, bagaimana perasaan Anak Sultan ketika mendapat poin? Dan ternyata yang menulis poinnya itu adalah sahabats sendiri, apa anda bahagia?” cerocos Rayhan pada Abay.
“Waaah, saya sangat bahagia sekali! Andai kalau itu bukan sahabat saya, pasti akan saya sembelih,” balas Abay melirik Bintang sinis.
Galang, Rafa, dan Rayhan tertawa ngakak. Sementara Bintang balas menatap Abay sinis.
“Gila-gila, gue nggak kuat. Nanti Bintang malah ngeluarin sharingan-nya,” celetuk Abay tidak lagi menatap Bintang.
“Makanya Bay, kalau bapak ketua udah ngomong tuh didengerin! Jangan diabaikan, kan nggak enak kalau diabaikan,” tutur Rayhan dramatis.
Abay reflek menggeplak kepala Rayhan. “Dasar lo Raocin!”
Rafa dan Galang melongo. Raocin itu apa? Bukannya di mana-mana itu bucin ya? “Rocin apaan Bay?” tanya keduanya.
“Rayhan Otak Micin!” tawa Abay seketika menggelegar membuat keempatnya tertawa kecuali Rayhan. Lagi-lagi ia merasa ter-bully.
“Hari ini gue nggak bisa ikut kumpul,” celetuk Bintang membuat keempatnya menautkan alis.
“Tumben, ada apaan nih?” tanya Galang penasaran.
“Ada itu. Ya, pokokknya nggak bisa,”
Rayhan memasang wajah jahil dan menceletuk. “Pasti mau nge-date nih sama Bulan, iya kan?!” Bintang langsung menatap Rayhan sinis.
Rafa dan Galang tertawa. Sedangkan Abay memasang wajah kaget. “Lo... beneran mau nge-date sama Bulan, Tang?” tanyanya dengan rasa gelisah.
Bintang bangkit dari tempatnya. “Percaya aja lo sama omongan kadal. Gue duluan,” pamitnya. Lalu Bintang pergi, pastinya menuju ruang OSIS.
“Apa enaknya sih masuk organisasi?” Abay tiba-tiba bertanya pada ketiganya.
Ketiganya mengedikkan bahu bingung tidak tahu harus menjawab apa.
“Apa, Bintang cuma mau cari sensasi?”
Setelah ucapan itu, Abay langsung mendapat pukulan keras dari ketiganya. “Santai dong, santai,” Abay melindungi dirinya dengan kedua tangannya.
“Mulut lo ini ya, asal aja ngomongnya kayak ember pecah!” seru Galang. Lah, emang ember pecah bisa ngomog?
“Mana mungkin Bintang cari sensasi. Lo tahu sendiri dia emang begitu,” sambung Rayhan.
Abay mendelik. Benar juga sih. Laki-laki dingin begitu, buat apa mencari sensasi?
“Mungkin ini bentuk perubahan yang dia lakuin,” celetuk Rafa membuat keadaan hening. “Dulu kan... ya, lo tahu lah Bintang gimana. Mungkin menyibukan diri adalah hal terbaik. Kehadiran Bulan juga menurut gue sangat berguna,” jelasnya.
*****
Hari ini Abay pulang ke rumah lebih lama dari biasanya. Alasannya adalah Abay harus menemui kakeknya untuk membicarakan sesuatu. Sebenarnya Abay harus menemui kakeknya saat jam istirahat. Namun, apa daya, Abay tidak mau menjadi sorotan siswa-siswa. Walaupun mereka memang sering membicarakan Abay dengan sebutan Anak Sultan.
Abay melajukan mobilnya menuju rumah Galang. Mereka sudah berkompromi untuk berkumpul di rumah Galang. Biasanya memang rumah Bintang yang selalu didatangi. Tapi, karena Bintang ada urusan OSIS, maka rumah Galang menjadi pengungsian anak-anak laknat jaman sekarang.
Saat sedang asyik-asyiknya berkendara seraya bersenandung, tiba-tiba ada seorang perempuan yang menyebrang sembarangan. Hal itu membuat Abay dengan kuat menginjak pedal rem-nya. Abay langsung keluar dari mobilnya.
“Heh, cewek! Lo nyebrang hati-hati dong! Kalau ketabrak kan gue yang rugi!” cecar Abay kesal sendiri.
Perempuan itu merapikan rambutnya yang menutupi wajahnya sebagian. Baru saja ingin balik memarahi Abay, si perempuan malah dikagetkan lagi dengan suara Abay yang menggelegar.
“LHO? ZOELLA?”
Gila! Benar-benar gila! Zoella ada di hadapannya, kenapa Abay berseru seperti Zoella berada di Atlantis saja sih!
“Berisik banget sih!” Zoella mendengus.
Tak peduli dengan ucapan Zoella, Abay kembali berucap. “Lo ngapain sih nyebrang kok sembarangan? Emangnya nggak lihat apa ada mobil lagi jalan. Kalau—”
“IH BACOT BANGET SIH!” Zoella dengan cepat memotong ucapan Abay. “Kalau gue tahu, gue nggak akan nyebrang kali!”
Ah iya, benar juga. Dasar Abay bodoh!
“Oke-oke, jadi lo nggak pa-pa kan?” tanyanya peduli namun dengan nada meremehkan.
Zoella memutar bola matanya sebal. Dasar laki-laki tengil! “Lo nggak lihat, kaki gue terkilir?!”
Abay menganga. Dasar perempuan galak! “Ya udah, gue anter ke rumah sakit. Buruan! Nggak punya waktu banyak nih,”
“Nggak perlu. Anter gue ke rumah aja,”
Sialan! Malah nawar dia. Eh, tapi nggak pa-pa deh. Lumayan, uang Abay aman. “Ya udah, masuk,” Abay lalu berlalu masuk ke dalam mobil.
Zoella mendengus sendiri. Dasar laki-laki oon! Sudah dibilang kalau kakinya terkilir, tapi malah ditinggalkan. Kenapa nggak dibantu sih!
Abay yang melihat Zoella jalan kesusahan dengan kesal keluar lagi dari mobilnya dan membantunya masuk. Perempuan manja! Zoella duduk manis di samping Abay seraya mengelus-ngelus kakinya yang terkilir. Abay meliriknya dan tiba-tiba merasa bersalah. Tapi tunggu, Zoella juga kan salah. Ah, kalau sama perempuan, pasti yang salah tetap aja laki-laki.
“Btw, makasih ya hm... siapa nama lo?”
Abay mendadak memberhentikan mobilnya.
“Aw!” jerit Zoella. Ujung keningnya terbentur dashbor mobil. “Lo apa-apaan sih!” Zoella mendelik kesal. Kali ini bukan hanya kakinya yang terasa sakit, tapi keningnya juga.
“Sori-sori, sumpah gue nggak sengaja. Gue cuma kaget aja,” Abay panik sendiri. Lagi-lagi Abay kembali merasa bersalah. Zoella hanya diam mendengus kesal.
“Lo... lo nggak tahu nama gue?”
“Enggak.”
“Sial! Gue kira lo tahu nama orang ganteng macam gue,”
Zoella menatap Abay jijik.
Abay mengulurkan tangan kanannya. “Perkenalkan, gue Abay Ganteng Rauli Dirgantara,” sambil tersenyum sok manis.
“Oh, in yang namanya Anak Sultan,” sahut Zoella.
Seketika senyum Abay memudar. “Bukan. Gue Abay, bukan Anak Sultan,”
Zoella mengangguk paham. “Salam kenal cowok tengil,” katanya meledek.
Abay kembali tersenyum. Karena ia lebih suka dipanggil begini daripada harus dipanggil Anak Sultan. Ia benci itu.