Read More >>"> The Difference (Chapter 13) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Difference
MENU
About Us  

Delapan hari kemudian, aku semakin lelah dengan keadaan ini. Setiap aku sedang berdua dengan Davin, selalu tiba-tiba ada Otar. Aku sangat lelah seperti ini terus. Belum lagi Dion yang sering menelpon saat aku sedang berdua dengan Davin. Namun, aku tidak ingin menyudahi hubunganku dengan Davin, aku hanya ingin menyudahi semua kendala yang membuatku tidak nyaman.

Sekarang, aku sedang duduk berdua di koridor bersama Davin.

                “Vin, aku 4 hari lagi mensiversary sama Dion 6 bulan.”

                “Cie, selamat ya udah setengah tahun.” senyum Davin palsu.

                “Haha, apa sih gak usah sok sok seneng gitu deh.” aku mencubit pipi Davin.

                “Apa sih, cubit-cubit” Davin mencubit pipiku balik.

Hahaha, aku tau mengapa para produser film sering memasukan adegan ini dalam filmnya. Ternyata memang sangat membahagiakan dan cukup membuat orang yang melihatnya jadi tersenyum.

Lagi-lagi ponselku berbunyi.

                “Pasti Dion.” ujar Davin.

Ya, benar saja. Dion baru saja mengirim pesan kepadaku.

4 days to come! Yey.”

6 months!!! Masih 2 setengah taun lagi nih hahaha.”

“Haha.”

“Sini dong LA.”

“Kamu mah ngajakin ke LA mulu sih, aku gak ada uangnya tau.”

“L.”

Aku menutupnya dan tidak membalasnya lagi.

Kami berdua berdiri dan berjalan menuju pintu kelas. Saat aku ingin membuka pintu kelas, tali sepatu kiriku terinjak oleh kaki kananku, alhasil aku terjatuh. Belum sampai lantai, Davin sudah memegang badanku, mungkin posenya seperti di FTV gitu, tetapi enggak! Ini benar-benar kejadian! Mungkin kalau ini adalah FTV, setelah ini akan sering bertemu lalu jadian, seindah itu. Namun, itu tidak berlaku kepadaku. Saat seperti ini, tiba-tiba ada Otar lewat....

Otar berdiri di depan aku dan Davin bersama teman-temannya yang siap membantai kami berdua.

                “Woy! Lu ngapain woy!” teriakan Otar membuatku dan Davin kaget.

Aku dan Davin langsung berubah posisi jadi berdiri tegak. Aku berusaha menjelaskan kejadian sambil terbawa emosi.

                “Apa sih, Tar? Tadi gue jatoh terus dia nolongin!”

                “Lu ngapain berduaan?”

                “Enggak sih berempat sama Gita sama Daffa, lo aja baru dateng jadi gak liat.” pembelaanku.

                “Yaelah, Na. Tanpa lu jelasin gua juga tau kali lu berdua dari tadi ngapain, cuma gak gua tegor aja. Emang harus banget gua tegor ya?”

                “Apa sih? Sok tau!” jawabku sinis.

                “Lu gua bilangin Dion ya.” ancaman Otar.

Maaf, aku dan Dion sama-sama manusia biasa. Mengapa harus takut?

                “Loh, bilang aja! Emangnya gue takut? Dion jauh di sana kali, dia gak bisa ngapa-ngapain.”

                “Oh gitu, oke!”

Lalu Otar dan teman-temannya meninggalkan aku dan Davin. Kami berdua masuk kelas dan duduk di pojok belakang kelas. Davin terlihat gelisah.

                “Kalo Otar bilang Dion gimana?” tanya Davin gelisah.

                “Selow aja lagi, dia gak berhak ngatur aku.”

                “Ya iya sih, tapikan—“

Aku menaruh jariku di tengah bibir Davin.

                “Shht, udahlah. Yang penting itu kita, bukan mereka.”

Davin hanya terdiam dan tersenyum kepadaku.

                Setelah bell pulang sekolah, Davin mengantarkanku pulang. Ia hanya bermain sebentar di rumahku, setelah itu ia kembali ke rumahnya. Aku masuk ke kamar, berbaring di kasur sambil selimutan. Rasanya aku sangat ingin tidur panjang dan saat terbangun semua masalahku sudah selesai, sayangnya hidup tidak semudah itu. Saat aku sedang tertidur pulas, ponselku berdering. Aku mengira itu adalah Dion, makanya aku mengacuhkannya. Namun, ia menelponku lagi, akupun mengambilnya dari atas laci dan melihat layar ponselku. Itu nomor tak dikenal. Aku mencoba mengangkat dan memastikan siapa dia.

                “Hallo?”

                “Ya, hallo?”

                “Ini Nak Diana, bukan?”

Suaranya seperti orang yang sudah tua dan dalam keadaan panik.

                “Ya, kenapa? Ini siapa?”

                “Ini neneknya Davin, maaf ganggu. Nenek mau kasih tau, Davin pas sampai rumah udah babak belur dan gak sadar, ini dia dibawa sama temannya ke rumah.”

                “Siapa temannya?”

                “Gak tau siapa, pokoknya rame-rame. Kalo bisa ke sini ya, Nak. Tolong.”

Tanganku mendadak tidak bertenaga walaupun hanya untuk memegang ponsel. Ponselku terjatuh begitu saja bersamaan dengan air mataku. Beribu pertanyaan muncul di otakku secara tiba-tiba.

Apa ini kerjaan Otar dan kawan-kawannya?

Apa ini disuruh Dion?

Lalu bagaimana cara aku ke sana?

Setelah berdiam lumayan lama, aku menyadari. Ya, aku menyadari bahwa tidak ada gunanya aku berdiam lumayan lama. Akhirnya, aku keluar rumah dan mencari taksi untuk pergi ke rumah Davin. Aku sendirian naik taksi dari depan rumah. Tak henti-hentinya aku mencemaskan keadaan Davin, aku berdoa agar Davin tidak apa-apa, meskipun di satu sisi, aku tau doa ini tidak akan sampai. Kalau ini memang Dion penyebabnya, aku sudah tidak mau lagi berhubungan dengannya. Ini sudah kelewat batas, ia sudah mengingkari janjinya untuk tidak mengulangi ini lagi.

                Sesampainya di rumah Davin, aku mengetuk pintu rumahnya. Tak lama kemudian, Nenek Davin membukakan pintu rumahnya. Ia segera mengantarkanku ke kamar Davin dan meninggalkanku bersama Davin yang sedang tidak sadarkan diri. Aku melihat Davin sedang berbaring di kasur. Wajahnya pucat dan lebam. Ya Allah, mengapa keadaan Davin bisa separah ini?

                Aku duduk di tempat tidur Davin, tepat di sampingnya Davin. Aku melihat wajah Davin dengan penuh kesedihan. Aku langsung mengambil ponselku dan menelpon panggilan video ke Dion, aku tidak peduli di sana sudah larut malam. Dua kali aku menelponnya, tetapi ia tidak mengangkatnya. Yang ketiga kalinya baru diangkat oleh Dion.

                “Dion! Tell me what happenned.”

Aku menelponnya sambil menangis.

                “What happened?”

                “Kamu nyuruh Otar lagi buat ngehajar Davin?”

Ekspresi Dion berubah panik.

                “Emm, gimana ya. Aku sih, enggak nyuruh gitu ya. Aku cuma bilang aku gak suka dia deket banget sama kamu.”

                “Dion, aku tuh capek kayak gini terus. Iya aku tau Davin salah, tapi dengan cara kamu kayak gini kamu itu lebih salah daripada Davin!”

                “Iya maaf aku tau aku salah, maaf banget. Aku gak ngulangin lagi.”

                “Kamu juga bilang gitu kan waktu itu? Lagipula maaf gak akan bikin Davin sembuh dan sadar. Kamu gak tau ya? Davin itu pingsan di tengah jalan gara-gara Otar dan temen-temennya, gara-gara kamu! Percuma kamu sayang sama aku, perhatian sama aku. Tapi kamu gak bisa ngehargain perasaan orang yang juga suka sama aku, sama sekali gak bisa. Udah ya, kamu gak usah ngulangin lagi. Karena...”

Aduh, apa aku harus memutuskan sekarang juga? Aku tidak kuasa untuk melakukannya….

                “Because of?”

                “Because I want to break up with you. And now, we break up!”

Aku langsung mematikan panggilan videonya. Tak henti-hentinya aku menangis dan berpikir apakah aku salah atau tidak. Aku mematikan ponselku karena aku tau Dion pasti terus menelpon dan mengirim pesan kepadaku. Pokoknya aku sudah lega untuk berani menyelesaikan masalah ini meskipun mungkin ini salah. Aku sudah lelah dengan semua ini. Sekarang, aku tinggal menunggu sampai Davin siuman.

                Sudah berjam-jam, Davin belum siuman juga. Aku keluar kamar Davin dan mencari neneknya di rumah itu. Ternyata, Neneknya Davin ada di ruang tamu sedang duduk di sofa. Aku duduk di sampingnya dan bertanya-tanya tentang apa yang telah terjadi.

                “Tadi abis pulang sekolah, temen-temennya bawa Davin dan motornya ke rumah, mereka bilang Davin abis digebukin preman, makanya mereka bawa ke sini.” penjelasan Nenek Davin dengan nada sedih.

                “Nek, mereka bukan nolongin Davin karena digebukin preman, tapi mereka yang gebukin Davin. Mereka itu jahat, Nek. Aku sama Davin di sekolah emang selalu diancam sama mereka.”

                “Nak, Davin itu kalo udah sayang sama orang, akan terus disayang. Dia gak peduli seberapa banyak cobaan di antara dia dan orang yang dia sayang.”

Cobaan kami memang hanya satu. Ya, walaupun hanya satu, tetapi dibawa sampai mati.

                “Tadi nenek udah nelpon dokter, tadinya dia udah berdarah-darah, tapi udah diobatin sama dokter. Sekarang, kita hanya tunggu dia sampai siuman. Kita berdoa aja ya, supaya dia cepat siuman. Kamu temenin aja dia di kamar.”

Berdoa, mau doa sebanyak apapun juga doaku tidak akan sampai kepada Davin. Tuhan kami saja berbeda. Bagaimana doanya bisa sampai? Ibarat mau ke Amerika, tetapi naik kereta jurusan Tanah Abang, tidak akan sampai ke tujuan, nyasar iya. Eh, kok jadi Amerika sih.

Akupun kembali ke kamar Davin dan menemaninya sampai siuman.

Beberapa menit kemudian, akhirnya Davin siuman. Aku sangat senang dan bersyukur bisa melihatnya tersadar.

                “Davin! Alhamdulillah.” syukurku dengan penuh senyuman.

Davin menoleh kepadaku dengan mata yang masih sipit-sipit.

                “Na, kok kamu di sini?”

                “Aku dikasih tau nenek kamu. Udah kamu istirahat dulu aja ya.”

                “Na, tadi Otar berhentiin aku di tengah jalan pas mau masuk gang rumah aku. Abis itu aku gak tau apa yang terjadi. Pokoknya dia ngehajar aku sampe babak belur.” Davin bercerita dan mencoba mengingat yang terjadi.

                “Iya aku tau, tadi mereka bawa kamu ke rumah. Mereka bilang sama nenek kamu kalo kamu digebukin preman. Oh ya, aku mau bilang sesuatu sama kamu”

                “Apa tuh?”

Aku terdiam sejenak dan memikirkan apakah sekarang waktu yang tepat untuk memberitahunya?

                “Kamu gak usah takut Otar gangguin kita lagi karena aku udah putusin Dion”

Ekspresi Davin sangat kaget dan segera mengubah posisinya menjadi duduk.

                “Hah? Serius? Terus dia bilang apa?”

                “Gak tau, abis aku video call aku matiin handphone-nya”

                “Coba nyalain terus liat dia bilang apa aja”

Aku mengambil ponselku lalu menyalakannya. Sangat banyak notifikasi atas nama Dion di sana, dari panggilan video, panggilan telepon, sampai pesan masuk. Aku dan Davin melihat semua pesan masuk dari Dion.

“An, maafinn aku, An. Sumpah aku gak akan ngulang lagi, An.”

“An, kenapa akhirnya kita harus putus? Kita bisa nyelesain ini baik-baik.”

“Diana, please forgive me. Aku tau aku udah kelewatan banget, aku minta maaf banget, Annaaa.”

“Anna, mungkin keputusan kamu udah bulet. It’s ok. Aku akan nerima kenyataan pahit itu. Aku akan bilang ke mama aku, bahwa semua yang aku bilang tentang kamu itu salah. Sampai jumpa nanti lagi ya, semoga kita bisa ketemu lagi meskipun sebagai stranger.”

Aku dan Davin saling tatap-tatapan. Aku jadi sangat merasa bersalah dengan Dion. Apa yang harus aku lakukan ‘lagi’?

                “Aku takut dia bunuh diri di sana.” Davin malah semakin menakutiku.

                “Ih, Davin! Ah jangan dong, aku juga merasa bersalah.”

                “Kamu jangan pernah ngambil keputusan di saat lagi marah atau sedih, itu keputusan yang gak bagus.”

                “Ya gimana dong.”

                “Kamu minta maaf juga sama dia.”

Akupun mengirim pesan permintaan maaf kepada Dion.

“Dion, aku minta maaf, mungkin aku terlalu kasar omongannya tadi, terlalu nyakitin kamu. Tapi keputusan aku emang udah bulet. Aku mohon kamu terima ikhlas ya masalah ini, aku harap kita masih bisa temenan. Sekali lagi maafin aku ya.”

Mengapa aku masih menggunakan gaya bahasa aku-kamu? Ya sudah lah.

Aku hanya menunduk dan merasa sangat bersalah telah menyakiti seseorang yang sangat menyayangiku. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan selanjutnya.

Davin merangkulku, membuatku refleks menyandarkan kepalaku di pundaknya dan menangis.

                “Semoga ada hikmah dibalik ini semua ya, kamu yang sabar.” Davin menenangkanku sambil  mengelus rambutku.

Ya, aku harus terima keputusanku meskipun itu salah. Aku harus bisa melewati ini supaya hidupku kembali normal.

                Jam 6 sore, aku masih di kamar Davin sambil nonton TV. Lalu azan maghrib berkumandang dalam layar TV.

                “Kamu salat dulu, Na.”

                “Emang ada mukenanya, Vin?”

Davin berdiri dari kasur dan menggandeng tanganku lalu berjalan ke suatu tempat keluar dari kamarnya. Kami masuk ke suatu ruangan yang agak gelap. Davin menyalakan saklar lampunya. Terlihat lah semua yang ada di dalam ruangan itu. Di ruangan itu ada 2 rak buku yang saling bersebrangan. Di sebelah kiri ada Alkitab, kalung salib, jas, dan topi natal, sedangkan di sebelah kanan ada Alquran, tasbih, mukena, dan kerudung.

                “Yang sebelah kiri punya aku dan keluarga aku, yang sebelah kanan punya mama tiri aku. Kamu pake aja mukena mama aku.”

Entah mengapa aku merasa tentram. Tante Alissa adalah orang Islam sendiri di keluarga ini, tetapi ia tetap diperlakukan adil, tidak ada kata rasis yang muncul dipikiranku sama sekali setiap aku berkunjung ke rumah Davin. Aku jadi ingin menjadi salah satu dari bagian keluarganya.

                Aku sholat di kamar Davin karena di sini tak ada mushola khusus untuk sholat, sedangkan Davin duduk di kasurnya sambil menungguku selesai sholat. Sehabis sholat, aku berdoa, supaya ini adalah jalan yang terbaik untukku. Setelah itu aku duduk di kasur Davin dan kembali nonton TV.

Tiba-tiba, neneknya Davin membuka pintu kamar Davin. Nenek Davin bersender di pintu kamar Davin.

                “Nak, ada yang mau ketemu.”

Aku dan Davin turun dari kasur dan keluar dari kamar.Ternyata di ruang tamu sudah ada Otar dan teman-temannya. Otar melihat ke Davin dan langsung menghampiri Davin. Aku takut  terjadi apa-apa lagi, makanya aku selalu ada di samping Davin. Tiba-tiba, Otar memeluk Davin dengan penuh penyesalan.

                “Vin, gua minta maaf banget, Vin. Maaf banget, gua salah banget sama lu. Gua salah percaya sama orang, harusnya gua ngelindungin lu, tapi gua malah sebaliknya. Maafin gua ya, gua nyesel banget.”

                “Iya gak apa-apa, kan lu juga gak tau.”

Indahnya persahabatan. Mengapa Otar tidak seperti ini saja dari dulu. Dion memang merusak hubungan pertemanan Davin dan Otar.

Lalu, Otar berdiri di depanku.

                “Na, gua minta maaf ya, udah buat lu risih. Udah mata-matain lu terus. Mungkin jalan terbaiknya adalah lu putus sama Dion. Sekali lagi maafin ya, gua gak mau lagi deh kalo disuruh-suruh Dion buat mata-matain lu”

                “Iya, Tar. Selow.”

Akhirnya kami saling bermaaf-maafan.

                2 jam kemudian, sudah jam 8 malam. Papa sudah menyuruhku pulang, padahal aku masih seru memandang indahnya kebersamaan yang baru saja muncul kembali. Otar mengantarkanku pulang karena Davin belum bisa membawa motor.

                Sesampainya di rumah, aku masuk kamar. Aku tiduran di kasur sambil bermain ponsel. Ada pesan masuk dari Dion.

“Oke, An. Mulai sekarang kita udah jadi teman biasa. Makasih loh atas 6 bulan kurang 4 hari lagi. Semoga kita bahagia meski kita udah gak bersama.”

Oke, On. Aku juga ingin bilang terima kasih, semoga aku dan kamu bisa bahagia meskipun tak lagi bersama. Aku takkan membalas pesan ini, hanya membacanya. Aku bercerita kepada mama dan papa kalau hubunganku dengan Dion sudah kandas di tengah jalan beserta alasan mengapa kami putus. Aku juga bercerita tentang kejadian yang menimpa Davin serta apa isi rumahnya dan bagaimana keadaan keluarga Davin. Aku sudah sangat terbuka dengan mama dan papa terhadap Davin. Papa juga sudah mulai menyetujui hubunganku dengan Davin.

                4 hari kemudian, aku mensiversary ke-6 bulan dengan Dion. Eh salah maksudnya failed mensiversary. Sekarang hari Minggu, jam 10-an gini Davin pasti masih di gereja. Jadi, aku hanya menonton TV di ruang tamu sendirian. Aku mengucapkan ini kepada Dion atau tidak ya? Tidak usah lah, tidak penting.

                4 jam kemudian, jam 2 siang, mama dan papa sedang membeli makan di luar, Ka Lia kerja, dan Ka Elvi ke rumah temannya. Aku sendirian di rumah. Karena aku adalah anak yang penakut, aku hanya di dalam kamar dan mengunci pintu. Aku memainkan ponselku. Aku baru ingat kalau avatar dan header-ku masih berdua dengan Dion di bandara. Aku langsung menghapus avatar dan header-ku.

                Beberapa menit kemudian, ada yang mengetuk pintu rumah. Apakah itu mama dan papa yang sudah pulang beli makan? Atau Ka Lia? Atau Ka Elvi? Buka aja deh.

Aku keluar kamar lalu membuka pintu rumah dengan perlahan. Saat aku membuka pintu, hanya ada 10 tangkai bunga di depan pintu yang tergeletak di keset welcome. Saatku menunduk dan mengambilnya, tiba-tiba...

                “Haii!!!”

Teriakan Davin yang berlari dari samping dan berhasil membuatku kaget. Alhasil, aku tidak jadi mengambil bunganya dan kembali ke posisi berdiri seperti semula.

                “Ya ampun, ngapain sih, Vin? Ngagetin aja.”

Davin mengambil bunganya dari lantai dan memberikannya kepadaku.

                “Ini, ambil dong. Mama sama papa kamu mana?” Davin melihat sekitar di belakangku.

                “Lagi ke luar beli makan. Masuk aja, Vin.”

Kamipun masuk ke rumah. Pintu rumahku terbuka lebar, apalagi di rumah hanya ada aku dan Davin. Kami duduk di sofa ruang tamu. Entah apa yang kami lakukan untuk mengisi kegabutan ini. Terkadang kami bercanda, bercerita, dan berfoto memakai bunga itu. Setelah itu, aku menjadikan foto-foto kami barusan sebagai header dan avatar bersamaan seperti Davin. Padahal, baru saja aku menghapus avatar dan header-ku yang bersama Dion. Aku dan Davin keliling rumahku, kami masak-masak di dapur, meskipun amburadul dan tak jelas masak apa, tetapi ini sangat mengasyikan.

                “Ana.” panggilan Davin dari sampingku.

Saat aku menoleh ke arah panggilan itu, Davin meniup tepung ke wajahku. Aku berpura-pura saja kalau tepungnya masuk ke mataku

                “Aduh.”

Aku berpura-pura kelilipan dan mengucak mataku. Davin merasa bersalah dan menyentuh kelopak mataku.

                “Yah, kena mata ya? Aduh maaf, sini tiupin.”

Aku membuka mata dan tertawa puas karena Davin sudah berhasil aku tipu.                           

                “Gak deng boongan, hahahaha.”

                “Yeu, rese banget nih anak. Anak siapa sih?”

Satu jam kami merasakan keseruan yang terjadi di dapur dengan lantai yang licin penuh tepung. Padahal kami hanya membuat mie. Setelah itu, kami mencuci muka, tangan, dan kaki. Lalu, kami balik ke ruang tamu. Aku meminjam ponsel Davin, juga sebaliknya Davin meminjam ponselku. Aku sedang bermain game di ponsel Davin. Tiba-tiba,

                “Na, ada pesan masuk.” Davin memberikan telepon gemggamku dengan ekspresi tidak suka.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
For One More Day
441      301     0     
Short Story
Tentang pertemuan dua orang yang telah lama berpisah, entah pertemuan itu akan menyembuhkan luka, atau malah memperdalam luka yang telah ada.
Warisan Kekasih
684      469     0     
Romance
Tiga hari sebelum pertunangannya berlangsung, kekasih Aurora memutuskan membatalkan karena tidak bisa mengikuti keyakinan Aurora. Naufal kekasih sahabat Aurora mewariskan kekasihnya kepadanya karena hubungan mereka tidak direstui sebab Naufal bukan seorang Abdinegara atau PNS. Apakah pertunangan Aurora dan Naufal berakhir pada pernikahan atau seperti banyak dicerita fiksi berakhir menjadi pertu...
Hello Goodbye, Mr. Tsundere
829      600     2     
Romance
Ulya tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Natan di kampus. Natan adalah panggilan kesayangan Ulya untuk seorang cowok cool, jenius, dan anti sosial Hide Nataneo. Ketika para siswa di SMU Hibaraki memanggilnya, Hide, Ulya malah lain sendiri. Ulya yakin si cowok misterius dan Tsundere ini punya sisi lain yang menakjubkan. Hingga suatu hari, seorang wanita paruh baya bertopi fedora beludru...
the Overture Story of Peterpan and Tinkerbell
13054      8659     3     
Romance
Kalian tahu cerita peterpan kan? Kisah tentang seorang anak lelaki tampan yang tidak ingin tumbuh dewasa, lalu seorang peri bernama Tinkerbell membawanya kesebuah pulau,milik para peri, dimana mereka tidak tumbuh dewasa dan hanya hidup dengan kebahagiaan, juga berpetualang melawan seorang bajak laut bernama Hook, seperti yang kalian tahu sang peri Tinkerbell mencintai Peterpan, ia membagi setiap...
Angel in Hell
486      363     0     
Short Story
Dia memutar-mutar pena di genggaman tangan kanannya. Hampir enam puluh detik berlalu dan kolom satu itu masih saja kosong. Kegiatan apa yang paling Anda senang lakukan? Keningnya berkerut, menandakan otaknya sedang berpikir keras. Sesaat kemudian, ia tersenyum lebar seperti sudah mendapatkan jawaban. Dengan cepat, ia menggoreskan tinta ke atas kertas; tepat di kolom kosong itu. Mengha...
Here We Go Again
603      327     2     
Short Story
Even though it hurt, she would always be my favorite pain.
MAMPU
4836      1983     0     
Romance
Cerita ini didedikasikan untuk kalian yang pernah punya teman di masa kecil dan tinggalnya bertetanggaan. Itulah yang dialami oleh Andira, dia punya teman masa kecil yang bernama Anandra. Suatu hari mereka berpisah, tapi kemudian bertemu lagi setelah bertahun-tahun terlewat begitu saja. Mereka bisa saling mengungkapkan rasa rindu, tapi sayang. Anandra salah paham dan menganggap kalau Andira punya...
ORIGAMI MIMPI
28693      3244     55     
Romance
Barangkali, mimpi adalah dasar adanya nyata. Barangkali, dewa mimpi memang benar-benar ada yang kemudian menyulap mimpi itu benar-benar nyata. Begitulah yang diyakini Arga, remaja berusia tujuh belas tahun yang menjalani kehidupannya dengan banyak mimpi. HIngga mimpi itu pula mengantarkannya pada yang namanya jatuh cinta dan patah hati. Mimpi itu pula yang kemudian menjadikan luka serta obatnya d...
Tanpa Kamu, Aku Bisa Apa?
70      58     0     
Romance
Tidak ada yang pernah tahu bahwa pertemuan Anne dan Izyan hari itu adalah hal yang terbaik bagi kehidupan mereka berdua. Anne tak pernah menyangka bahwa ia akan bersama dengan seorang manager band indie dan merubah kehidupannya yang selalu menyendiri menjadi penuh warna. Sebuah rumah sederhana milik Anne menjadi saksi tangis dan canda mereka untuk merintis 'Karya Tuhan' hingga sukses mendunia. ...
Bukan Bidadari Impian
71      57     2     
Romance
Mengisahkan tentang wanita bernama Farhana—putri dari seorang penjual nasi rames, yang di jodohkan oleh kedua orang tuanya, dengan putra Kiai Furqon. Pria itu biasa di panggil dengan sebutan Gus. Farhana, wanita yang berparas biasa saja itu, terlalu baik. Hingga Gus Furqon tidak mempunyai alasan untuk meninggalkannya. Namun, siapa sangka? Perhatian Gus Furqon selama ini ternyata karena a...