Loading...
Logo TinLit
Read Story - LANGIT
MENU
About Us  

BAB 13

***

'Muka jangan dimanyun-manyunin, nanti gue tambah suka.'

***

Di kelas yang tidak bisa dibilang ramai juga tidak bisa dibilang sepi ini Bulan menginjakkan kakinya. Beberapa siswa-siswi masih mengerjakan tugas piketnya yang diawasi oleh Gibran, cowok itu bersandar di meja guru tampak bersedakap dada.

Bulan berjalan menuju bangkunya melewati Gibran yang sedang memasang muka galak, tapi malah terlihat konyol---begitulah menurut Bulan.

Bulan meletakkan tas di bangkunya. Ia mengeluarkan buku matematika bermaksud untuk mempelajarinya mengingat olimpiade matematika hanya tinggal menghitung hari.

Baru saja ia membuka lembar buku penuh angka tersebut, seseorang memasang tampak 'sok' detektif tepat di depannya. Dia adalah Gibran---si ketua kelas kepo dan suka mendramatis keadaan. Cowok itu sekarang duduk di depan Bulan, terpisah oleh meja.

Bulan berdecak kesal. "Apa lo?" Tanya Bulan ketus. "Ganggu aja. Gue mau belajar nih."

Mata Gibran menyipit, ia mengusap dagunya dengan gestur berpikir. Kemudian, memajukan wajahnya membuat Bulan juga memundurkan wajahnya dengan tampang waspada.

"M--mau ngapain, lo?" Tanya Bulan dengan menahan napas.

"Gue..." Gibran semakin memajukan wajahnya, ia kemudian berbisik pelan tepat di depan wajah Bulan. "Mencium aroma-aroma abis nangis dari elo."

Bulan mengernyit tak suka, lalu mendorong wajah Gibran dengan telapak tangannya.

"Jangan. Sok. Tau." Tekan Bulan. Lalu, mengalihkan pandangannya ke buku yang sudah terbuka di depannya. "Mending lo awasin mereka piket, gih. Terganggu gue sama muka lo."

Gibran berdecak kesal. "Ah. Lo mah gak asik Bulan. Gue kan mau tau, tuh mata bengkak kenapa?"

"Kepo lo, pantat panci!" 

Bukannya membalas, Gibran malah tertawa. "Gak ada yang lebih bagusan dari pantat panci apa?"

Bulan mengangkat pandangannya, ia menyeringai. "Gimana kalo banci Thailand?"

Gibran membelalak tak terima. "Eh, Daki nyamuk! Lo pikir gue apaan disamain sama banci?"

Bulan tergelak melihat ekspresi kesal Gibran. Bagaimana tidak, cowok itu menatapnya dengan sinis. Matanya menyipit menatap Bulan tak suka sambil bersedekap dada. Itu lucu sekali. Cowok itu tak cocok untuk berubah menjadi galak. Bulan heran kenapa cowok itu terpilih sebagai ketua kelas. 

"Lo kan kayak cewek, suka kepoin orang. Hahaha," Bulan makin tergelak, apalagi sekarang mata Gibran melotot. "Lo inget gak waktu lo molor dikelas pas jamkos, lo didandanin sama Weni. Dipakein gincu, bedak, sama maskara. Trus, Lo bangun dan langsung ngumpul sama geng Vita buat kepoin gosip si Nino waktu itu. Dan Lo..."

Bulan menggantungkan kalimatnya untuk mengusap sebulir air mata yang keluar karena terus tertawa. "Dan Lo gak sadar kalo muka Lo udah kayak banci. HAHAHA,"

Tawa Bulan semakin menjadi-jadi, tak peduli Gibran yang mengerang kesal. "Bulan, berhenti ngejek gue, Njir!"

"Hahahaha," Bulan memegangi perutnya karena tawa yang tak kunjung berhenti. Ia juga tak peduli dengan teman sekelasnya yang menatapnya heran.

"BULAN!"Panggil Gibran kesal. "Gue gak kasih contekan matematika, nih, ya!"

Bulan menghentikan tawanya, ia menatap Gibran dengan senyuman miring. Ia menggeleng-geleng sambil terkekeh kecil. "Bukannya Lo yang nyontek gue mulu?!"

Gibran berdeham, ia mengusap tengkuknya salah tingkah sambil tersenyum konyol. "Hehe, iya, ya."

Bulan tertawa kecil lagi. "Udahlah. Gue mau belajar nih. Lo ganggu aja, deh."

Gibran mencibir. "Iya, iya. Lo mah gitu mulu sama gue. Kerjaannya ngusir gue mulu."

Bulan menyengir. Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada buku matematikanya dan mencoba mengabaikan Gibran yang masih duduk tenang di depannya. 

"Bulan, lo ta--"

"Shut up, Gibran!"

***

Hujan yang cukup deras dari jam pelajaran pertama berlangsung sampai waktu istirahat sekarang membuat udara dingin semakin menusuk ke pori-pori kulit Bulan yang hanya memakai seragam sekolah.

Ia berjalan sambil membawa buku catatan untuk pelajaran matematika serta satu pulpen yang ia letakkan di saku seragamnya. 

Tempias dari hujan yang deras itu mengenai tubuhnya yang kedinginan. Memaksa dirinya untuk melangkah cepat ke perpustakaan. Ia berambisi untuk mendapatkan juara satu di olimpiade kali ini agar ia bisa membanggakan sekolah dan orang tuanya, tentunya.

Sampai ia melihat plang yang tertera di atas pintu bertulisan 'Perpustakaan', ia memasukinya cepat-cepat untuk sedikit saja menghilangkan udara dari luar yang kian menusuk.

Bulan melangkah menuju tempat duduk yang ia gunakan biasanya ketika berada di ruangan yang sekarang dalam keadaan sepi ini.

Bulan meletakkan bukunya, lalu menutup jendela di sampingnya agar menghambat angin masuk. Cewek itu menghampiri penjaga perpustakaan yang merupakan wanita muda berumur sekitar dua puluhan dan memiliki bet nama 'Diana Sari'.

"Bu," Panggil Bulan ramah pada Bu Diana yang sedang mencatat-catat sesuatu, entah apa itu.

Bu Diana mengangkat pandangannya. "Iya?" Tanyanya ramah.

"Bu Rina bilang di sini ada buku buat pelajarin materi soal olimpiade matematika, dimana ya Bu letaknya?" Tanyanya ramah.

"Iya. Ada di rak nomor 3. Trus, kamu cari bukunya di susunan paling belakang sana. Ada, kok." Jawab Bu Diana ramah. Bulan pun mengangguk seraya menggumamkan terima kasih.

Ia berbalik dan berjalan ke rak nomor 3 seperti yang disebutkan Bu Diana, lalu ia menyusuri rak itu hingga susunan buku paling belakang. Kemudian, ia teliti satu persatu buku hingga ia menemukan buku yang ia cari tadi. Bulan mengambilnya.

Saat hendak berbalik, matanya jatuh pada seseorang yang duduk bersandar di kepala kursi dengan wajah yang tertutupi oleh buku yang terbuka. Bulan mendekati cowok itu. 

Bulan kira hanya dirinya yang ada di perpustakaan ini, namun dugaannya salah. Nyatanya ada orang lain yang sepertinya tertidur nyenyak di dekat ujung rak paling belakang.

Bulan mengernyit, "Siapa, ya?" Gumamnya penasaran.

Bulan sepertinya kenal dengan cowok di depannya ini, tapi siapa?

Bulan memberanikan diri untuk membuka buku yang menutupi wajah cowok itu, ia hampir saja menarik buku itu tapi tangannya langsung dicekal dengan cepat. Bulan tersentak.

Cowok di depannya itu menegakkan punggungnya sehingga buku yang menutupi wajahnya jatuh ke lantai, sedangkan tangan kanannya masih setia mencekal pergelangan tangan Bulan.

"Langit?"

"Hm."

"Lo ngapain?" Tanya Bulan heran. Langit melepas cekalan tangannya di pergelangan Bulan. Cowok itu menyisir rambutnya dengan tangan kanannya.

"Menurut lo?"

"Tidur."

"Hm."

"Kok, bangun?"

Langit berdecak kesal. "Gue terganggu, lo grasak-grusuk dari tadi."

"Emang iya?" Bulan merasa dirinya tidak grasak-grusuk seperti yang Langit katakan.

"Ck. Lo ngapain sih? Ganggu tau nggak?" Ketusnya.

Bulan tersenyum lebar. "Cari buku buat belajar."

Langit memutar bola matanya malas. Ia menunduk untuk mengambil buku yang terjatuh di samping kaki Bulan. Seolah ada sesuatu, cowok itu terdiam cukup lama dengan posisi menunduk. Ia lalu mengangkat pandangannya dan menatap serius Bulan yang masih memasang wajah ceria.

"Lo kenapa?" Tanya Langit datar.

Bulan menyatukan alisnya bingung menanggapi pertanyaan Langit. Memangnya ada apa dengannya? 

"Maksudnya?"

"Kenapa kaki lo kurusan? Badan lo juga?" Tanya Langit serius, ia masih dalam posisinya duduk tenang di kursi dan mendongak menatap Bulan yang berdiri tepat di hadapannya. "Lo diet?"

Bulan tidak mengerti apa maksud Langit, ia tidak diet. Ia juga menenatap ke kakinya juga tubuhnya. Memang terlihat sedikit kurusan. Tapi, Bulan merasa biasa saja seperti biasanya. Tidak ada yanh berubah, kecuali nafsu makan yang menurun itu saja.

"Gak, kok." Jawab Bulan singkat.

Langit mengangguk-anggukkan kepalanya, ia berdiri dari duduknya dan meletakkan buku yang dipegangnya ke rak secara asal.

Lalu, menatap pada cewek yang masih bergeming. "Lo jangan diet, deh, seandainya lo emang diet tanpa gue tau."

"Emang kenapa?"

"Liat tubuh lo yang kurus kering sama kulit kekuningan gini buat lo mirip mayat idup." Jawab Langit dengan raut wajah datar yang menyebalkan. Tidak kontras sekali dengan kalimat yang ia ucapkan.

Bulan memberengut kesal dengan bibir maju beberapa inchi, manyun. 

Tanpa sepengatahuan Bulan, Langit tersenyum tipis. Tipis sekali, hingga susah untuk disebut sebuah senyuman. 

"Jangan manyun gitu."

Bulan berdecak kesal. Ia menatap Langit jengkel. "Kenapa lagi sih?"

Langit memajukan wajahnya, refleks Bulan memundurkan wajahnya dengan raut tertegun. Cowok itu berbisik tepat di depan wajah Bulan. "Karena lo tambah cantik."

"Eh?"

***

Istirahat kedua.

Seperti biasa, Bulan selalu menyempatkan dirinya untuk ke kelas Langit---Kelas XI IPA 3. Entah apa yang dilakukannya di kelas cowok itu, terkadang cuma ngoceh sendiri mencoba menarik perhatian Langit, ataupun cuma diam memandang wajah Langit yang kelewat tampan.

Dan sekarang Bulan melakkukan kegiatan kedua dari kalimat di atas, yaitu cuma memandangi Langit. Langit yang sekarang sibuk dengan buku tulis seraya menggaruk-garuk kepalanya karena.... bingung mungkin. Entahlah. Cowok itu tampak menyatukan alisnya tanda ia sedang berpikir keras. 

Bulan yanh sedari tadi duduk di depan Langit dengan menopang dagunya cuma bisa menatapnya, entah Langit menganggap keberadaannya ada atau tidak.

Bulan menegakkan punggungnya. "Lo ngapain, sih? Sibuk banget, ya?" Kata Bulan penasaran.

Langit melirik Bulan sekilas, lalu berdecak. "Lo udah liat kan kalo gue sibuk. Jadi, gak perlu nanya."

"Maksud gue itu, sibuk ngapain?" Tanya Bulan dengan sabar. "Siapa tau gue bisa bantu,"

Langit menatap Bulan dengan alis yang naik sebelah. Gengsi cowok itu terlalu tinggi hingga sungkan untuk sekedar meminta pertolongan. Dagu  Langit naik menantang, seolah ia memang tak perlu bantuan seperti yang di ucapkan Bulan.

"Gak perlu."

Bulan menghela napas berat. Ia kemudian membiarkan Langit bergelut dengan soal matematika di hadapannya. 

Tunggu,

Soal matematika?

Itukan pelajaran yang ia sukai.

Tanpa aba-aba, Bulan langsung menarik buku latihan dan buku paket matematika milik Langit. Tak peduli dengan tatapan protes dari cowok itu.

Kening Bulan mengernyit menatap cara yang digunakan Langit dalam memecahkan soal. Lantas, ia mengulum senyum. 

"Pantas, gak dapet-dapet jawabannya. Kalo rumusnya salah." Bulan terkekeh.

Antara malu dan harga diri yang tidak mau turun barang sedikitpun, cowok itu menegakkan punggungnya. Dagu terangkat, menantang. "Kerjain aja sendiri, kalo lo merasa benar."

Bukannya tersinggung ataupun marah karena sikap Langit, Bulan malah tertawa kecil. "Ini kan punya lo." Bulan meletakkan kembali buku latihan milik Langit. "Lo aja yang ngerjain. Gak boleh nyuruh-nyuruh orang lain."

Melihat Langit yang menatap ragu buku latihannya yang cuma berisi coretan angka tak jelas. Bulan tersenyum kecil. "Nanti gue bantu."

Langit mengangguk kecil. Ia pun mengerjakan soal matematika tadi, dibantu oleh Bulan tentunya. Terkadang Langit mendecak kesal ketika jawaban yang ia hitung salah dan Bulan tertawa kecil melihat ekspresi sebal Langit. Lucu.

Sebenarnya soal matematika yang dikerjakan Langit adalah PR. Tapi, ia lupa. Untung saja pekerjaan rumah tersebut dikumpul saat pelajaran terakhir. Jadi ada waktu untuknya mengerjakan. Dan ia sebenarnya cukup bersyukur karena Bulan datang di saat yang tepat. Yah, walaupun ia enggan mengakuinya. Langit tetaplah Langit.

"Huftt!" Bulan menghela napas lega. "Akhirnya!" 

Ia terkekeh kecil. Ada rasa bangga karena bisa membantu orang yang ia sukai. Ia merasa berguna karena dapat meringankan beban orang lain. Walaupun... bebannya sendiri sudah menumpuk di punggungnya.

Langit melihat jawaban-jawaban soal matematika yang tertata rapi penuh angka. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya kecil membenarkan jawaban itu, ada rasa tersendiri ketika melihat hasil jawaban sendiri walaupun beberapa di bantu oleh cewek si depannya ini.

Langit menutup bukunya, lalu melirik Bulan yang terus tersenyum. 

"Kenapa lo senyum-senyum? Kesambet?"

Bulan semakin melebarkan senyumannya. "Enggak."

"Trus?" Tanya Langit seraya menaikkan alisnya sebelah.

"Seneng aja bisa bantu kamu."

"Kamu?"

Bulan mengulum senyum malu-malu. "Ehm..." Ia menyelipkan helaian rambut ke belakang telinganya. "Aku kan pacar kamu."

Langit menatap datar. Lalu, mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oh."

"Kamu marah?"

"Eng--"

"Langit!" 

Langit dan Bulan serempak menatap orang yang baru datang. Seorang cewek dengan rambut kecoklatan bergelombang---terlihat sengaja dibentuk dan diwarnai---datang dengan senyuman manis, mengalahkan makanan manis yang mengandung pemanis buatan.

Langit tersenyum tipis. Senyuman yang sama sekali membuat Bulan merasa iri karena ia tak pernah mendapatkan senyuman itu dari Langit.

"Hai," Sapa Langit lebih dulu. Lalu,mengeser duduknya ke bangku sebelahnya---bangku milik temannya. Cewek itu, Keisha, duduk di samping Langit---tepat di depan Bulan yang memaksakan senyumnya pada Keisha yang juga memasang senyum palsu.

"Lo lagi ngapain?" Tanya Keisha kasual.

"Abis negerjain PR." 

Keisha tertawa kecil. "Emang PR apaan? Siapa tau aku bisa bantu?"

Diam-diam Bulan memutar bola matanya malas, rasanya ia mual melihat Keisha di depannya. Atau...

Ia merasa benar-benar mual.

Dia tidak bercanda.

Bulan mengelus perutnya, seolah dengan mengelus perutnya rasa mual akan hilang. Tapi ia coba menahannya dengan berusaha untuk tetap diam di sana, melihat pemandangan yang membuatnya terluka.

Harusnya Bulan pergi saja. Tapi... ia harus terlihat baik-baik saja. 

"Matematika. Tapi, Gak usah." Jawab Langit lembut. "Udah di kerjain, kok."

"Kalo gitu... aku boleh liat gak?" Tanya Keisha penuh harap. "Soalnya besok aku juga ada PR matematika. Siapa tau soalnya sama,"

Ck, Bulan mencibir dalam diam. Katanya bisa bantu Langit. Eh, malah dia mau contek. Apaan tuh?

"Boleh." Jawab Langit tanpa ragu. 

Bulan melempar tatapan protes. "Tapi, kan harusnya lo usaha sendiri. Jangan langsung contek gitu."

"Loh, emang kenapa? Langit kan yang punya buku. Bukan lo," Ujar Keisha sewot seraya membuka buku latihan Langit. "Lo gak punya hak buat bolehin atau enggak."

"Ya, tapi gak--"

"Keisha benar." Ucap Langit tegas. "Lo gak punya hak buat bolehin atau enggak."

Bulan menatap Langit seraya menggeleng-gelengkan kepalanyatak terima. Rasa mual yang tadi ia tahan semakin menjadi-jadi. Belum lagi hatinya yang seolah tergores dalam oleh sesuatu tak kasat mata. Kenapa? Kenapa selalu dia yang mengalah?

Bulan menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. 

Sekarang ia bisa melihat Keisha tersenyum senang setelah memoto soal dan jawaban dari buku latihan matematika Langit.

Bulan menggigit bibirnya. Kepalanya berdenyut-denyut. Matanya pun sepertinya mulai berair. Ia menatap Langit yang acuh-acuh saja. 

Keisha menatap Bulan dengan kening mengernyit. "Kenapa lo?!" Tanyanya sewot.

Bulan mengangkat dagunya dengn nada membusung, ia harus tampak baik-baik saja. Ia menaikkn sebelah alisnya pada Keisha. "Emang kenapa samaa gue?!" Balas Bulan tak kalah sewot.

Tangan cewek itu tak henti-hentinya mengelus perutnya. Tapi, matanya tetap memicing pada Keisha.

Langit sekarang menatap Bulan dan Keisha secara bergantian, ia menggeleng-gelengkan kepalanya seolah lelah melihat dua istri tua dan muda yang terus bertengkar. 

"Kalian jangan sewot-sewotan gitu." Mata Langit menatap Bulan sepenuhnya. "Lan, lo jangan gitulah sama Keisha."

Bulan menatap Langit protes, "Loh, kan dia yang duluan."

"Lo jangan nuduh gue gitu, dong!"

Langit menghela napas lelah. Ia menyandarkan punggungnya. Ia memijat pangkal hidungnya. Ia menatap Keisha yang sekarang menatapnya dengan senyuman. Ia tersenyum tipis.

"Kenapa Langit?" Tanya Keisha yang sekarang tangannya terjulur menyentuk tangan Langit yang terletak manis di atas meja.

Keisha terlihat tidak peduli dengan Bulan yang menatapnya tajam. Cewek itu seolah menganggap Bulan tidak ada di hadapannya.

"Gak pa-pa." Jawab Langit. "Lo gak istirahat? Bentar lagi waktu istirahat habis loh,"

"Enggak." Jawab Keisha manis.

Tanpa sepengatahuan mereka, Bulan sedari tadi menahan diri untuk tidak meneriaki Keisha. Bulan menahan diri segala gejolak emosi di dalam dada.

Bulan merasa napasnya naik turun, belum lagi mual yang terus menjadi-jadi. Perutnya serasa di remas dan diputar-putar. Isi perutnya meminta untuk di keluarkan.

Tahan, Bulan.

Keringat dingin bercucuran membanjiri pelipis serta lehernya. Telapak tangannya sudah basah. Bulan meneguk salivanya kasar membasahi tenggorokan yang mengering.

Tahan, Bulan.

Mata Bulan merem melek, ia merasa napasnya semakin tak beraturan. Ia kembali meneguk salivanya. Bulan mengusap pelipis yang penuh keringan denegan punggung tangannya.

Tahan, Bul--

"hue--" Bulan menangkup mulutnya cepat mencegah isi perutnya keluar sekarang. Juga meredam suara yang mana sudah menarik perhatian dua orang yanng sedari tadi berbincang-bincang entah apa di hadapannya.

Langit menatap Bulan dengan heran, apalagi sekarang Bulan tampak bersimbah keringat. Ia berdiri dan bertanya,

"Lan, lo ke..."

Bulan langsung berdiri dari duduknya dan berlari secepat mungkin meninggalkan Langit yang menatapnya... khawatir.

Juga Keisha yang menatapnya aneh.

***

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • Tataniiiiii

    Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu

    Comment on chapter EPILOG
  • dreamon31

    Hai...aku suka sama nama Langit. Aku juga punya judul cerita yang sama - LANGIT - , mampir juga di ceritaku yaa...

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
NWA
2213      898     1     
Humor
Kisah empat cewek penggemar boybend korea NCT yang menghabiskan tiap harinya untuk menggilai boybend ini
Nirhana : A Nirrathmure Princess
15154      2242     7     
Fantasy
Depresi selama lebih dari dua belas tahun. Hidup dalam kegelapan, dan berlindung di balik bayangan. Ia hanya memiliki satu harapan, yang terus menguatkan dirinya untuk berdiri dan menghadapi semua masalahnya. Ketika cahaya itu datang. Saat ketika pelangi akhirnya muncul setelah hujan dan awan gelap selama hidupnya, hal yang tak terduga muncul di kehidupannya. Fakta bahwa dirinya, bukanlah m...
Finding Home
1980      933     1     
Fantasy
Bercerita tentang seorang petualang bernama Lost yang tidak memiliki rumah maupun ingatan tentang rumahnya. Ia menjelajahi seluruh dunia untuk mencari rumahnya. Bersama dengan rekan petualangannya, Helix si kucing cerdik dan Reina seorang putri yang menghilang, mereka berkelana ke berbagai tempat menakjubkan untuk menemukan rumah bagi Lost
Gagal Menikah
4587      1499     4     
Fan Fiction
Cerita ini hanya fiktif dan karanganku semata. Apabila terdapat kesamaan nama, karakter dan kejadian, semua itu hanya kebetulan belaka. Gagal Menikah. Dari judulnya udah ketahuan kan ya?! Hehehe, cerita ini mengkisahkan tentang seorang gadis yang selalu gagal menikah. Tentang seorang gadis yang telah mencoba beberapa kali, namun masih tetap gagal. Sudut pandang yang aku pakai dalam cerita ini ...
Dua Sisi
7896      1797     1     
Romance
Terkadang melihat dari segala sisi itu penting, karena jika hanya melihat dari satu sisi bisa saja timbul salah paham. Seperti mereka. Mereka memilih saling menyakiti satu sama lain. -Dua Sisi- "Ketika cinta dilihat dari dua sisi berbeda"
Menghapus Masa Lalu Untukmu
2955      1129     1     
Romance
Kisah kasih anak SMA dengan cinta dan persahabatan. Beberapa dari mereka mulai mencari jati diri dengan cara berbeda. Cerita ringan, namun penuh makna.
LOVE, HIDE & SEEK
489      328     4     
Romance
Kisah cinta antara Grace, seorang agen rahasia negara yang bertemu dengan Deva yang merupakan seorang model tidak selalu berjalan mulus. Grace sangat terpesona pada pria yang ia temui ketika ia menjalankan misi di Brazil. Sebuah rasa cinta yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, takdir mempertemukan mereka kembali saat Grace mulai berusaha menyingkirkan pria itu dari ingatannya. Akankah me...
Junet in Book
3169      1217     7     
Humor
Makhluk yang biasa akrab dipanggil Junet ini punya banyak kisah absurd yang sering terjadi. Hanyalah sesosok manusia yang punya impian dan cita-cita dengan kisah hidup yang suka sedikit menyeleweng tetapi pas sasaran. -Notifikasi grup kelas- Gue kaget karena melihat banyak anak kelas yang ngelus pundak gue, sambil berkata, "Sabar ya Jun." Gue cek grup, mata gue langsung auto terbel...
Kala Saka Menyapa
11354      2721     4     
Romance
Dan biarlah kenangan terulang memberi ruang untuk dikenang. Sekali pun pahit. Kara memang pemilik masalah yang sungguh terlalu drama. Muda beranak begitulah tetangganya bilang. Belum lagi ayahnya yang selalu menekan, kakaknya yang berwasiat pernikahan, sampai Samella si gadis kecil yang kadang merepotkan. Kara butuh kebebasan, ingin melepas semua dramanya. Tapi semesta mempertemukannya lag...
Renata Keyla
6299      1396     3     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...