BAB 8
***
"Biarkanlah dulu segalanya bergelut dengan luka, ada masanya kebahagiaan datang sebagai penyembuhnya."
***
Bulan berjalan di koridor dengan seperti biasanya. Menyapa teman yang ia kenal dengan wajah ceria yang tak pernah luntur. Namun, ada yang aneh hari ini. Semua orang seperti tengah membisikkan sesuatu, beberapa orang juga berjalan berlawanan arah darinya dan melewatinya seakan ia tak kelihatan.
Bulan berbalik menatap kepergian orang-orang yang tampak tergesa-gesa itu. Ia penasaran, dan Bulan mengikuti mereka.
Kakinya membawanya menuju arah parkiran. Orang-orang yang Bulan ikuti tadi bergabung dalam suatu kerumunan. Bulan semakin mengernyitkan keningnya. Ada apa ini?
Bulan mencoba melihat apa yang menjadi tontonan mereka. Ia memandangi sekitar mencari celah untuk melihat, namun matanya malah menemukan Langit serta ketiga sahabatnya berjalan ke arah kerumunan yang sama.
Bulan ingin menghampiri Langit. Ia berlari kecil, hingga ia bisa mendekat.
"Langit!"
Langit tak menghiraukannya, cowok itu menembus kerumunan dengan mudah dengan tubuhnya yang tinggi tegap.
Bulan mencebik kesal karena Langit tidak mendengarkannya. Ia mendekat pada Angkasa, Dami, dan Miko yang hanya diam di belakang kerumunan itu tanpa berniat menembus lebih dalam seperti yang Langit lakukan.
"Angkasa!" Panggil Bulan.
Angkasa menoleh dengan sedikit tersentak karena tiba-tiba saja Bulan ada di sampingnya.
"Apa, Bulan?"
"Itu ada apaan, sih? Kok, Langit masuk ke situ?" Tanya Bulan penasaran tanpa menatap Angkasa, namun matanya sibuk mencari celah agar bisa sedikit saja melihat objek tontonan mereka.
"Oh... itu ada murid baru." Jawab Angkasa santai.
"Hah, murid baru?"
"Iya." Kata Angkasa dengan tangan yang bersedekap dada serta wajah yang cemberut. "Dan Lo tau? gue gak suka sama tuh murid baru."
Bulan mengernyit, "Kenapa?"
"Karena murid baru itu mantan Langit." Celetuk Miko menatap kerumunan yang ada di depannya.
"Hah!" Bulan terkejut dengan fakta itu. "Mantan kekasih Langit?"
"Hm." Sahut Dami. "Keisha Valerie. Nama yang bagus dan cocok sama orangnya."
Lagi, Bulan benar-benar dibuat terkejut dengan kejutan hari ini. Oang yang sangat Bulan tak sukai telah menjadi murid baru di sini, di SMA Pancasila.
"Terancam, deh, posisi gue sebagai pacar Langit." Gumam Bulan pelan lebih ke diri sendiri, namun berhasil membuat tiga orang yang berdiri berjejer di sampingnya ini menoleh tak pecaya.
"HAH?!" Ucap mereka bersamaan membuat Bulan meringis, dan beberapa orang yang tergabung dalam kerumunan itu menoleh sebentar pada mereka.
"Eh? Biasa aja kali." Bulan terkekeh kikuk seraya menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinganya.
"Lo serius?!" Ucap Angkasa masih dengan raut terkejut.
Bulan mengangguk pelan, ia menatap ke sekitar agar tidak bertemu dengan tiga pasang mata di sampingnya itu.
"Sejak kapan?" Tanya Miko yang memasang ekspresi kurang lebih dengan Angkasa.
"Sejak..." Ucapan Bulan menggantung ketika matanya melihat Langit dan Keisha keluar dari kerumunan dengan tangan Keisha yang bergelayut manja di lengan Langit. Senyuman tipis Langit ketika berjalan bersama Keisha seolah mengejeknya karena ia sendiri tak mampu membuat Langit sebahagia itu.
Nyesek? Tentu saja.
Sakit? Jangan ditanya.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Tidak ada, cukup berdiam diri memendam rasa sakit hati ini dan cukup sadar diri bahwa ia hanya pelarian semata.
Bulan menghela napas berat, ia melihat kerumunan itu sudah membubarkan diri. Bahkan, bisik-bisik samar salah satu siswi dapat Bulan dengar.
"Cantik, ya? Kira-kira siapa, ya, dia. Kok bisa deket sama Langit?" Bisik siswi itu ketika melewati Bulan dan ketiga sahabat Langit.
Seseorang menepuk pundak Bulan dan menyadarkannya, sehingga pandangan Bulan pada dua orang yang menjadi objek perhatiannya terputus. Bulan menoleh, ternyata tangan Dami yang menepuknya.
"Lo gak pa-pa?" Tanya Dami dengan raut prihatin.
Bulan tersenyum masam. "Gue gak pa-pa." Lirihnya.
Namun Angkasa, Dami, dan Miko tahu cewek di hadapan mereka ini sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
***
"Eh, Elo!" Panggil Bulan pada seorang cowok berambut ikal.
Cowok itu menoleh, lalu memandang ke kiri dan ke kanan. Lalu, menatap Bulan dengan raut bingung seraya menunjuk dirinya memastikan apakah ia yang dipanggil oleh Bulan.
"Iya, Elo!" Kata Bulan mendesak. "Sini, gue mau tanya?"
Cowok itu mendekat dengan raut wajah yang masih sama seperti tadi. "Kenapa?"
"Lo temen sekelas Langit, kan?" Tanya Bulan.
"Iya."
"Ada Langit gak di dalem?" Tanya Bulan seraya menunjuk ke arah kelas Langit---Kelas XI IPA 3.
"Ada, kok. Lo masuk aja ke dalem." Jawab cowok itu. Bulan mengangguk, lalu menggumamkan terima kasih. Setelah itu, cowok dengan rambut ikal tadi berbalik dan melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
Bulan melangkah menuju kelas XI IPA 3, ia memasuki kelasnya Langit yang lumayan sepi karena hanya ada beberapa orang di sana. Tampak Langit duduk sendiri dengan ponsel di tangannya. "LANGIT!" Teriaknya membuat beberapa orang di sana mendelik.
Bulan menghampiri Langit yang terus menatap ponselnya, setelah didekati ternyata ada earphone yang tersumpal di kedua telinganya. Pantas saja, cowok itu tidak mendengar teriakannya yang cukup membuat orang lain mendelik kesal.
Bulan menarik kursi di depan Langit dan menopang dagunya dengan tangan untuk menatap wajah tampan Langit yang tengah serius dengan ponselnya. Cowok itu belum menyadari adanya makhluk hidup lain di depannya.
"Langit?"
Langit diam, entah memang tidak mendengar atau sengaja menulikan pendengarannya.
Bulan mendengus kesal. Ia menarik earphone putih yang digunakan cowok itu, sontak saja Langit mengangkat pandangannya.
Ia menatap dingin Bulan. Lalu, meletakkan ponselnya di atas meja. "Lo apa-apain, sih?" Ucap Langit tajam. "Ganggu tau, nggak?"
Bulan cuma cengengesan. "Gue cuma mau ngajak Lo ke kantin? Mau?"
"Gak." Jawab Langit singkat.
"Yah, Langit kok gitu, sih." Kata Bulan dengan wajah murung. "Gue kan mau ke kantin bareng Lo."
Langit tak menghiraukan Bulan, ia memainkan ponselnya seolah Bulan tidak ada di hadapannya.
"Lo gak asik." Cetus Bulan. "Mending gue nyamperin Dami sama yang lainnya."
Bulan berdiri dari duduknya. Namun, suara dari Langit membuat ia tak jadi melangkah dan menatap cowok itu dengan pandangan yang tak dapat diartikan.
"Lo jangan nyamperin mereka." Ucap Langit. Ia memasukkan ponselnya ke saku. "Jangan ganjen jadi cewek. Baru diabaikan dikit langsung nyamperin cowok lain. Lo gak murahan, kan?"
Deretan kalimat pedas keluar dari mulut cowok itu. Perasaan menyesakkan kembali memenuhi dadanya. Sungguh Bulan sangat tidak suka dengan kata 'Murahan' itu. Bulan hanya diam, tanpa ada sedikit pun kata yang keluar dari mulutnya lagi.
Langit berdiri dari duduknya, lalu menarik tangan Bulan menuju keluar kelas.
Mereka berjalan di koridor beriringan. Ah, tidak. Lebih tepatnya, Bulan berjalan di belakang Langit untuk menuju kantin bersama. Yah... rmemang selalu begitu, sih.
Langit menoleh ke belakangnya, menatap Bulan dengan alis berkerut. "Lo kenapa diam? Biasanya, kan, nyerocos mulu."
Bulan tersenyum tipis, lalu menggeleng seolah menyatakan bahwa ia baik-baik saja.
Langit mengangguk kecil. Saat kepalanya ingin menghadap ke depan lagi, sebuah teriakan membuat langkahnya berhenti, termasuk langkah Bulan.
Langit dan Bulan menatap ke belakang mereka, seorang cewek cantik berambut panjang yang ujungnya diikalkan itu mendekat pada mereka, atau mungkin... pada Langit. Tak mungkin pada Bulan karena cewek itu adalah Keisha.
"Hai, Langit!" Sapanya dengan senyuman manis. Lalu, beralih menatap Bulan dengan raut muka biasa saja. "Ehm.. Hai, Bulan."
Bulan tak membalas. Ia hanya menatap Keisha dengan senyuman tak ikhlas. Bulan lebih mendekatkan dirinya pada Langit seolah mendeklarasikan pada Keisha bahwa dia adalah pacar Langit.
"Langit, ke kantin, yuk?" Ajak Keisha mengabaikan gelagat Bulan yang tak suka dengan kehadirannya di tengah-tengah sepasang kekasih itu.
Langit menatap Keisha dengan senyuman kecilnya. "Oke. Gue mau." Jawabnya mantap.
"Tapi, Lang--"
"Bulan, gue gak mau punya pacar manja." Potong Langit. Ia menatap Bulan dengan ekspresi yang sangat berbeda dengan saat ia menatap Keisha. "Lo bisa, kan, ke kantin sendiri?"
Bulan menghela napas pelan. Ia melirik sekilas pada Keisha yang tersenyum sinis pada Bulan tanpa sepengetahuan Langit. "Bisa, kok."
Langit mengangguk, lalu mengacak-ngacak rambut Bulan dengan pelan. Kemudian, cowok itu meninggalkannya pergi ke kantin bersama Keisha.
Bulan sempat melihat Keisha menoleh ke belakang seraya mengedipkan sebelah mata pada Bulan dan tersenyum mengejek.
Ketika Bulan sebagai pacarnya mengajak Langit ke kantin, cowok itu sempat menolak. Namun, ketika Keisha yang hanya memiliki predikat 'mantan kekasih' mengajaknya ke kantin, cowok itu bahkan tersenyum dan langsung mengiyakan.
Bulan memang pacarnya, tapi bukan pemilik hatinya.
Menyakitkan, bukan?
***
Bulan duduk di samping Angkasa dengan raut wajah muram bergabung dengan kedua orang lainnya yang siapa lagi kalau bukan Dami dan Miko.
Ketiga cowok itu bertatapan bingung.
"Lo kenapa?" Tanya Dami. "Dateng-dateng suram amat tuh muka."
Bukannya langsung menjawab, Bulan malah mengambil es teh milik Angkasa yang ada di hadapannya. Angkasa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah cewek itu.
"Gue gak pa-pa." Jawab Bulan singkat. Lalu, tangannya mengambil pisang goreng milik Miko. "Gue laper, aja."
Ketiga cowok itu masih menatap Bulan tak percaya. Lalu, menggeleng-gelengkan kepala.
"Langit mana?" Tanya Angkasa pada Dami dan Miko.
"Tadi sih di kelas. Mager katanya." Kata Miko.
"Dia di sini, kok." Celetuk Bulan sambil kembali meminum es teh Angkasa. Tak peduli, sedotan es teh itu bekasan Angkasa atau tidak.
"Emang, iya?" Tanya Dami. Bulan mengangguk.
Angkasa menoleh ke belakangnya, menatap sekitar mencari keberadaan Langit. Posisi mereka ada di pojokan dekat dinding. Angkasa dan Bulan duduk membelakangi penghuni kantin lainnya.
Sedangkan, Dami dan Miko yang duduk di hadapan mereka dapat lebih leluasa melihat ke seluruh penjuru kantin.
"Eh, kok gue liat si Langit malah mandang ke sini." Kata Miko.
Bulan yang sedang memakan pisang goreng milik Miko langsung mengernyit. Namun, tak tertarik untuk menoleh ke belakangnya.
"Oh, pantes Bulan suram mukanya, ternyata si Langit sama mantannya, toh." Ucap Dami seraya terkekeh kecil. "Cantik juga, ya, tuh cewek."
Miko mengangguk setuju. "Pantes si Langit gak bisa move on."
Angkasa berdeham. Dua orang cowok itu lantas tersadar, ada orang lain yang berstatus pacar Langit di depan mereka. Mereka berdua lantas menutup mulut setelah menggumamkan maaf pada Bulan. Namun, Bulan cuma diam saja tak bersuara.
"Gue udah kenyang, makasih minumnya, Kas. Makasih pisang gorengnya, Mik." Ucap Bulan seraya berdiri dari duduknya. "Gue mau ke kelas. Bye!!!"
Bulan berlalu pergi dari hadapan mereka yang memandang kepergiannya dengan iba.
***
Bulan memasuki kelasnya dengan wajah yang ditekuk. Lantas, hal itu menarik perhatian Gibran yang jiwa keponya keluar.
Saat Bulan sudah duduk di kursinya dengan menopang dagu dengan tangan serta wajah yang muram, Gibran datang duduk di depan kursi Bulan. Mereka hanya terpisahkan oleh meja.
Bulan mendelik pada Gibran. "Ngapain Lo?"
"Santai, aja, dong." Ucap Gibran dan diakhiri dengan kekehan. "Sebagai ketua kelas, gue harus tau masalah yang menghampiri anggota gue. Jadi... Lo kenapa, nih?"
Bulan memutar bola matanya malas. "Itu, sih, kepo namanya."
Gibran terkekeh. "Gue datang mau ngehibur, nih. Soalnya gue liat muka Lo terlipat-lipat macam pakaian belum disetrika."
Bukannya membuat Bulan terhibur, cowok di depannya ini malah membuat Bulan kesal.
"Pergi, lo!" Usir Bulan. Matanya menatap tajam pada si ketua kelas itu.
Saat Gibran ingin membuka mulutnya, tiba-tiba seseorang memasuki kelasnya Bulan dengan raut wajah yang seperti ingin memakan manusia hidup-hidup. Orang itu datang tanpa permisi dan langsung menarik tangan Bulan membawanya keluar dari kelas.
Cowok itu, Langit, membawanya ke lorong sepi yang mana tidak ada seorang pun yang akan mendengar pembicaraan mereka nantinya.
Langit menyentak tangan Bulan dan menatapnya dengan alis yang bertekuk.
"Sudah gue bilang, kan, jadi cewek itu jangan ganjen!" Bentak Langit. "Ngeyel banget sih Lo!"
Bulan diam menunduk, mencoba menguatkan hati atas kalimat Langit yang menusuknya secara perlahan.
"Lo udah dapetin gue! Trus, Lo mau apa lagi!?" Bentak Langit membuat kaki Bulan bergetar dan lemas, namun ia coba untuk tetap menopang berat badannya agar tidak terjatuh.
"Karena Lo udah milik Gue, jadi gue gak mau berbagi sama siapapun. Gue gak suka!"
"Kalo Lo gak sama Keisha tadi, gue gak bakal nyamperin sahabat-sahabat Lo." Ucap Bulan dan mencoba untuk berani menatap mata elang Langit. Namun, nada suaranya lemah sekali.
"Dia gak ada hubungannya!" Sentak Langit dengan rahang mengeras.
"Lang, pacar Lo itu gue bukan dia. Dia cuma mantan Lo."
"Berhenti bawa-bawa dia!" Bentak Langit membuat Bulan semakin menunduk dalam. "Lo memang pacar gue, tapi gue cintanya sama Keisha. Sampai sekarang!"
Langit menarik napas, lalu membuangnya. Mencoba meredam amarah agar tidak keluar dari batasnya. Langit menatap Bulan dingin. Alisnya menekuk tajam, wajahnya mendekat pada Bulan membuat Bulan mundur hingga kepalanya menyentuh dinding.
Deru napas beraroma mint mengenai wajah Bulan.
"Raga gue memang milik Lo, tapi hati gue bukan milik Lo. Lo gak akan bisa dapetin hati gue seutuhnya." Desis Langit dingin dan sangat menusuk. "Jangan mimpi, ingat itu."
Langit menjauhkan wajahnya, membentang jarak di antara mereka.
Napas Bulan menjadi tak beraturan, ia menatap Langit kecewa. Cowok itu meninggalkannya sendirian lagi.
***
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG