BAB 4
***
"Dari sekian banyak nama, aku memilih namamu."
***
"Hubungan internasional adalah hubungan yang bersifat global, meliputi semua hubungan yang terjadi dan melampaui..."
Kalimat selanjutnya Langit benar-benar tidak mendengarkan karena dirinya yang tidak bisa fokus sedari tadi. Pikirannya mengawang-awang di kejadian semalam, apalagi kemarin ia melihat sebulir air mata di pipi Bulan yang ia yakini jika Bulan telah menangis. Langit merasa bersalah karena hal itu. Ia tak seharusnya merasa tak enak hati seperti ini, ia tak suka dengan keadaan hati yang seperti ini.
Saat seorang guru PKN menjelaskan dan menyuruh mencatat, yang dilakukan Langit hanya mencoret-coret buku catatannya. Ia juga sesekali melirik ke jam tangan di pergelangan kirinya, sebentar lagi bel istirahat akan berbunyi.
"Bro, Lo kenapa?" Bisik Dami yang duduk di sampingnya. "Kayaknya gelisah amat."
Langit melirik sekilas kepada Dami dan mengedikkan bahunya ringan serta menetralkan wajahnya. "Gak pa-pa."
Dami mengangguk-anggukkan kepalanya dan mulai mencatat seadanya apa yang dijelaskan oleh sang guru di depan. Jika kalian mengira Dami adalah siswa yang masuk kategori pintar, maka kalian salah. Dia mencatat apa yang dijelaskan oleh sang guru hanya karena dia tak punya pekerjaan lain. Biasanya, jika ia mempunyai kuota maka akan bermain games saat pelajaran berlangsung, namun hari ini kebetulan kuotanya habis.
Cowok dengan wajah seperti bule tapi tak ada sedikitpun darah bule itu melirik Langit yang tampak mencoret-coret buku saja.
"Lo kenapa, sih?"
"Gue gak pa-pa." Ucap Langit lagi. "Kepo banget sih lo!" Namun, gelagatnya sudah menyatakan jika ia dalam keadaan sebaliknya.
Dami mencebikkan bibirnya. "Gue cuma nanya kali." Langit hanya meliriknya sekilas.
Tidak lama kemudian, bel tanda istirahat berbunyi. Langit langsung bergegas pergi keluar kelas tanpa menghiraukan panggilan Dami. Sepeninggalnya, Miko menghampiri Dami dengan raut bingung seraya menatap kepergian Langit.
"Kenapa tuh anak?" Tanya Miko.
Dami mengedikkan bahunya tanda ia tidak tahu. "Kebelet boker kali."
***
Langit berdiri di samping pintu, sesekali melihat ke dalam kelas. Ia menunggu Bulan keluar dari kelasnya. Tampak cewek itu sedang merapikan buku-bukunya. Langit menunggu dengan sabar hingga gadis itu keluar dan lekas Langit mencegahnya dengan mencekal tangan Bulan.
"Bulan, tunggu!"
Bulan menoleh pada Langit dengan tatapan tidak seperti biasanya. Datar dan kosong. Bahkan Langit bertanya-tanya dalam hatinya. Apa segitu sedihnya ia saat dibentak Langit? Atau mungkin... ada hal lain?
Ah, Langit jadi tambah merasa bersalah jadinya.
Bulan melirik pada pergelangan yang dicekal oleh Langit dan melepaskannya secara perlahan.
"Kenapa lo? Tanya Langit dengan kening berkerut.
Ck. Padahal kalimat minta maafnya sudah ia rancang sedemikin rupa, tapi yang keluar dari mulutnya malah kalimat tanya.
Langit masih menatap Bulan hingga cewek itu menjawab dengan nada datar. "Gak pa-pa."
Tidak ada senyuman dari cewek itu. Bulan pun berlalu meninggalkan Langit begitu saja tanpa sepatah kata apapun lagi.
Langit bergeming ditempat dan menatap kepergian Bulan. Gadis itu berbeda hari ini. Tidak ada wajah dan senyuman ceria. Ada apa dengannya?
***
"Kak Langit, aku mau beli mainan!" Ucap Bintang sambil menarik-narik ujung baju Langit dan menunjuk sebuah toko mainan dengan tangan mungilnya.
Mereka berdua sedang berada di mall, Bintang menagih janji Langit yang ingin mengajaknya jalan-jalan hari ini dikarenakan kemarin dibatalkan. Padahal cowok itu baru saja pulang sekolah dan ia sebetulnya sangat lelah.
Langit dengan enggan hati mengikuti kemana kaki mungil Bintang melangkah dan sekarang anak lelaki itu ingin ke toko mainan.
Mereka memasuki toko mainan tersebut dan Bintang langsung berlari kecil ke rak-rak mainan. Ia mulai memilihnya dengan senang hati, sedangkan Langit hanya menunggunya dan mengawasinya. Sesekali ia menguap panjang karena bosan. Matanya juga mengantuk karena seharusnya waktu pulang sekolah di gunakan untuk tidur siangnya.
Langit terus menunggu dengan sabar sampai Bintang datang menghampirinya membawa sebuah mainan robot dan sebuah mobil-mobilan. Langit membawa Bintang ke kasir untuk membayar mainan-mainannya.
Setelah selesai membayar, mereka berdua berjalan keluar dari toko mainan. Dengan Langit yang menenteng paper bag besar berisi mainan si bungsu itu.
"Sekarang kamu temenin Kak Langit ke toko sepatu, ya?"
Bintang menganggukkan kepalanya tiga kali membuat rambutnya yang sedikit panjang bergoyang. Bintang terlihat imut sekali, refleks Langit mencubit pipi tembemnya.
"Kak Langit!" Rengeknya.
***
Kini Bintang yang mengikuti kemana Langit melangkah, saat Langit memilih sepatu pun Bintang setia di sampingnya.
Ada banyak sepatu di sana. Yah, tentu saja banyak, namanya juga toko sepatu.
Langit bingung, ia melirik sepatu satu dengan yang lainnya seraya bergantian. Rasanya ia akan membeli semua, namun ia masih punya akal sehat untuk tidak menghabiskan uang bulanannya.
Saat sedang sibuk mengamati sepatu berwarna biru tua yang ada di tangannya, telinganya mendengar percakapan dari arah belakangnya, dibalik rak sepatu. Ia merasa kenal dengan suara itu, Langit menajamkan pendengarannya.
"Menurut Kamu, bagusan yang mana?" Tanya seorang cowok.
"Yang merah bagus, tapi yang hitam bagus juga." Jawab seorang cewek yang mana suaranya Langit merasa kenal.
Langit mencoba melihat dari celah-celah susunan sepatu, wajah cewek itu tidak kelihatan. Langit merasa penasaran.
"Kamu gimana, sih?" Tanya cowok itu lagi dengan nada menahan tawa.
Cewek itu terkekeh merdu. "Aku juga bingung soalnya."
Dari suara cewek itu, entah kenapa ada satu nama yang muncul di pikirannya. Nama yang selama ini coba ia buang-buang jauh, namun tak mampu. Langit tidak bisa menahan diri di sana dengan cuma mengintip, ia keluar dari persembunyiannya dan menatap langsung pada sepasang mata yang ia rindukan.
Benar dia lah pemilik suara itu.
"La--Langit!"
Langit tahu cewek itu terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba seperti ini, apalagi sekarang cewek itu bersama seorang cowok yang Langit yakini adalah pacarnya.
"Keisha!" Langit menatap rindu pada cewek itu, namun sekarang yang ia dapatkan adalah perubahan raut dari ekspresi terkejut menjadi angkuh.
Cewek itu, Keisha adalah orang yang membuat Langit tidak bisa berpaling ke lain hati dan Langit tidak tahu mengapa. Padahal Langit tahu Keisha mengkhianatinya dengan selingkuh di belakangnya. Dan lihatlah, sekarang ia bersama cowok yang berbeda lagi. Kemana selingkuhannya yang dulu? Apa dibuang juga seperti ia membuang Langit?
Tapi, itu semua tak penting. Ia tak akan mengungkit masa lalu itu lagi. Langit merasa dirinya tidak tahan untuk tidak memeluk cewek yang ia cintai hingga sekarang.
Namun, bukan Langit namanya jika tidak terlihat cool seperti sekarang. Cowok itu tampak berdiri dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam kedua saku celananya.
Keisha menatap Langit dengan alis naik sebelah, "Ngapain Lo di sini?" Tanyanya dengan nada ketus.
Langit mencoba menetralkan wajahnya untuk tetap menjadi datar dan tidak terpengaruh dengan mata yang ia rindukan selama ini. Ia tak mau terlihat lemah. Sedangkan Bintang, ia berdiri di samping menatap bingung pada Langit.
"Dia siapa, Kak?" Tanya Bintang dengan suara khas anak kecil.
Langit menoleh pada Bintang. "Kamu tunggu Kak Langit di luar, ya." Bintang mengangguk dan berlari kecil meninggalkan Langit.
"Apa jangan-jangan lo gak bisa move on dari gue, makanya lo ngikutin gue?" Tanya Keisha dengan nada pongah dan percaya diri. Ia menampilkan senyum miring, tak lupa tangannya bergelayut manja di lengan pacarnya, Langit serasa sakit mata melihat hal itu.
Langit terkekeh sinis, "Lo pikir dunia ini punya nenek moyang lo?" Ia menatap tajam mata Keisha seraya meyakinkan dirinya dalam hati agar ia kuat. "Gue ke sini buat beli sepatu, bukan nguntitin lo."
"Kok, sama adik ingusan lo itu?" Keisha menyeringai. "Apa lo masih gak mampu pacaran setelah putus dari gue?"
Entah bagaimana, hati Langit merasa sakit mendengar pertanyaan dari mantan pacarnya itu. Yang diucapkan Keisha benar adanya, ada sedikit kesusahan untuk menyangkalnya. Langit merasakan dadanya bergemuruh.
"Jangan sebut Bintang sebagai adik ingusan karena dia adik gue." Langit berdecih. "Gue mampu, kok, pacaran setelah putus dari Lo."
Keisha menaikkan alisnya miring, "Oh, ya?" Langit bisa melihat pacarnya Keisha menampilkan senyum miring meremehkan.
"Terus, siapa pacar baru lo? Apa lebih cantik dari gue?" Keisha tertawa kecil dan sinis seraya memainkan ujung rambutnya yang panjang.
Tanpa berpikir panjang, satu nama yang ada di kepalanya, itulah yang Langit sebut di hadapan Keisha.
"Bulan. Namanya Bulan." Ucapnya yakin.
Sekian detik, Langit tertegun sendiri dengan nama yang ia sebut. Apa tak salah menyebut nama Bulan sebagai pacar?
Bahkan, ia mengaku-ngaku.
Langit merutuki dirinya sendiri, kenapa harus nama Bulan yang ia sebut dari sekian banyak nama perempuan?
***
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG