EPILOG
"Wah! Ini rumah Ibu?" Tanya seorang anak perempuan berumur lima tahunan dengan polos serta mata bulat berbinarnya membuat siapa saja ingin memiliki gadis itu.
"Iya, Bulan." Jawab Anita seraya tersenyum pada anak bernama Bulan yang sedari tadi di gandengnya.
"Besar. Hehe." Ucapnya polos. Anita tertawa karena sahutan gadis kecil itu.
"Kamu suka, gak?" Tanya Anita. Wanita itu membawa Bulan untuk duduk di sofa yang ada di ruang tamu.
"Suka banget. Biar bisa lari-lari ke sana kemari. Terus ajak temen-temen aku yang di panti asuhan." Kata Bulan dengan menggebu-gebu membuat poni ratanya bergoyang.
Anita terkekeh kecil karena gaya bicara Bulan yang lucu. "Iya, nanti ajak aja. Ibu bakal beliin mainan yang banyak biar kamu bisa main bareng."
"YEAY!!!"
"Wah, wah, wah." Tiba-tiba datang Bi Sumi membawa nampan dengan dua minuman sirup dingin dan menaruhnya di atas meja. "Ini yang namanya Renanda Bulan."
Bulan mengangguk seraya menampilkan senyuman lebarnya. Tampak dua gigi tidak ada di bagian tengahnya.
"Kalo ada perlu panggil aja Bi Sumi. Nanti Bibi bakal datang." Bulan mengangguk lagi. Lalu Bi Sumi pun kembali ke dapur.
"Ibu?" Panggil Bulan seraya menepuk-nepuk paha Anita.
"Apa, Nak?"
"Itu kak Bulan, ya?" Tunjuk gadis kecil yang memiliki nama sama dengan Bulan pada sebuah poto berbingkai yang terletak di atas lemari setinggi dada yang ada di sisi dinding ruang tamu.
Anita tersenyum. "Iya."
"Cantik."
"Kayak kamu?" Goda Anita dengan menahan senyumannya.
Gadis kecil itu tampak berpikir sambil mengetukkan jarinya di dagu. "Iya. Tapi aku lebih imut."
Anita tergelak mendengar kalimat Bulan. Anak di depannya ini benar-benar lucu sekali.
"Kamu mau ke kamar kamu, gak?"
"Mau."
"Ayok, kita ke atas!"
"YEAY!!!"
Dan kehidupan Anita tak terlepas dari Bulan. Mengenang anak semata wayangnya dengan menaruh berbagai bingkai poto Bulan. Ziarah dan lain-lain. Walau ia sudah memiliki Bulan yang lain. Tapi, Rembulan Alisia Putri tetap ada di hatinya. Tersimpan rapi di bagian hati yang tak mungkin ada orang yang bisa mengusiknya.
***
Hembusan angin menerpa kulit cowok berkemeja hitam itu. Ia meletakkan sebuket bunga matahari di depan nisan bertulisan 'Rembulan Alisia Putri'. Langit kemudian mengusap pelan nisan itu.
Di cabutinya rumput liar-liar yang sudah tumbuh padahal makam ini baru berumur satu bulan.
Langit tersenyum sendu. Ia menengadah menatap langit yang cerah dengan awan putih berhamburan di atas sana. "Kamu udah sampai ke surga atau belum, ya?"
Pertanyaan konyol itu kemudian dijawabnya sendiri. "Ya belum, lah. Kan, kamu masih di alam barzah." Langit tertawa gamang.
Ia menatap nisan itu lagi. "Aku kangen, Bulan."
"Aku tanpa kamu sebulan itu bagai bertahun-tahun rasanya." Langit terkekeh lagi. "Kok, aku makin ke sini makin najisun bin alay, ya?"
"Kayanya itu efek tanpa kamu, deh."
Langit menarik napas dalam. "Andai aja aku perlakuin kamu dengan baik dari awal kita kenal. Pasti aku bahagia banget sekarang, karena ceritanya pasti beda dan aku bakal jadi tempat bersender kamu dari dulu-dulu."
Langit menatap gamang pada makam itu. "Dan kamu gak bakal meninggalkan aku secepat ini."
Cowok itu mengusap air matanya yang tiba-tiba saja menetes. "Aku menyesal."
"Dan ini sudah terlambat." Lanjut Langit. "Aku minta maaf."
"Maafin aku, ya?"
***
Seperti hari-hari biasanya, kantin sekolah selalu gaduh kalo ada Angkasa dan kawan-kawan. Ada-ada saja kelakuan mereka. Kadang membuat konser dadakan, kadang menyuit-nyuiti para cewek tak lupa memberi kedipan mata genit yang membuat para cewek itu gaduh saking senangnya. Dan untuk itu, Langit hanya bisa memutar bola matanya malas.
Langit memang tidak sedingin dulu, tapi ia juga tidak segila Angkasa, Dami, dan Miko.
Sekarang yang mereka lakukan adalah memberi gombalan pada adik dan kakak kelas. Dan dari posisi duduknya, Langit hanya bertugas sebagai penonton saja.
"Bapak kamu penjual bunga, ya?" Mulai Miko pada seorang adik kelas imut berambut pendek dengan bando merah di kepalanya.
"Kok, tau?" Sahut adik kelas itu malu-malu.
"Karena kau telah membuat hatiku berbunga-bunga. YHAA!!!"
Adik kelas itu langsung menggigit bibirnya karena saking senangnya ia ingin teriak kencang, namun ditahan untuk pencitraan.
Lalu, dilanjutkan oleh Dami yang mendekati kakak kelas cewek dengan wajah secantik model berambut gelombang.
"Bapak kamu penjahit, ya?"
Seolah paham jika Dami akan menggombal, ia pun menjawab seraya tersenyum manis. "Kok kamu tau?"
"Oh. Ternyata bener. Boleh dong gue minta jahitin baju-baju gue yang sobek di rumah." Dami terkekeh yang langsung ditoyor oleh Miko dari belakang. Lantas, karena malu kakel itu pergi seraya menghentakkan kakinya.
"Aelah, kutu semut! Lo, mah, bisa aja buat anak orang malu-malu kucing terus jadi malu-maluin. Hahaha." Angkasa tergelak bukan main karena kelakuan cowok itu.
Dami dan Miko sudah melaksanakan gombalan maut abal-abal. Kini giliran Angkasa yang sekarang maju menghampiri meja paling pojok. Dia tau cewek itu. Cewek pendiam yang sekelas dengan dirinya.
"Hai, Resha!"
"Hm." Sahut seadanya oleh gadis berambut sebahu dengan kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya.
"Kamu tau gak bedanya kamu sama langit?" Ucap Angkasa seraya menengadah ke atas, tak lupa raut sok seriusnya ia tunjukkan.
"Ya, taulah." Ucap Resha datar. "Langit itu cowok dan dia adik lo. Gue kan cewek. Itu aja dipertanyakan. Aneh."
"Hah?" Angkasa melongo dengan jawaban itu. Lalu, tiba-tiba saja Resha beranjak dari duduknya dan pergi begitu saja meninggalkan Angkasa yang masih menampilkan raut tercengang.
"HAHAHAHA!" Bukan. Bukan Dami dan Miko yang tertawa sekencang itu. Angkasa menatap ke meja yang diduduki teman-temannnya.
Di sana, Langit tertawa sambil memegangi perutnya. Dami dan Miko sampai melongo, namun tak ayal mereka berdua ikut tertawa juga.
"Mamposss, Lo!!!" Ucap Langit, Dami, dan Miko berbarengan.
Lantas Angkasa menghampiri mereka dan memberengut kesal. "Awas aja, kalian! Gue balas atu-atu."
Langit masih memegangi perutnya karena sakit akibat terlalu tertawa. Angkasa pun menunjuk Langit.
"Coba lo! Bisa, gak?" Tantang Angkasa pada Langit. Ia kesal dengan adiknya itu. Seenak jidar menertawakannya. Diakan baru gagal sekali.
Langit menaikkan alisnya sebelah. Lalu, menggeleng keras. "Sori, gue gak punya waktu untuk itu."
Angkasa langsung menjitak kepala Langit. "Gaya lo, kambing!"
Mereka berempat tertawa. Langit tidak tau lagi kalau gak ada mereka. Hanya mereka pengobat hati Langit kala ia sedih. Hanya mereka yang selalu ada untuk Langit kala ia kembali merindukan Bulan.
Mungkin kesannya agak lebay. Tapi, itulah adanya. Persahabatan lah yang paling menguasai kehidupan. Tanpa persahabatan siapa lagi yang akan siap ada saat kita kesusahan. Siapa lagi yang akan ada ketika kita terlalu larut dalam kesenangan.
"Gue bangga sama kalian semua." Ucap Langit tiba-tiba.
"Wadaw, ada apanih tiba-tiba?" Sahut Miko.
Langit mengedikkan bahunya. "Gak ada apa-apa, sih."
"Ashiappp!!!" Seru Miko dengan raut muka yang pengen ditabok.
"RESE, LO!"
Dan setelah itu, diisi dengan tawa yang selalu menghiasi perbicangan mereka karena tawa adalah segalanya ketika sedih mulai merajalela.
***
TAMAT
***
Terima kasih, semua.
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG