BAB 29
***
"Biarkan momen ini bertahan lama sampai aku bisa merekam setiap detailnya. Agar ketika aku merindukanmu, aku putar rekaman itu dalam memoriku."
***
"Saya tidak mungkin buta! Saya gak bisa begini!" Teriakan melengking itu memenuhi seluruh ruangan.
Di atas brankar memberontak seorang wanita yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia sekarang tidak bisa lagi melihat dunia.
Bulan memegangi Anita dibantu oleh Bi Sumi dan Langit. Tangan Anita terus mengarah pada mata dan berteriak minta kembalikan penglihatannya.
Bulan menangis tak tahan melihat Anita yang menderita seperti ini. Ia ingin menolong, tapi ia tidak tau harus berbuat apa. Apalagi dokter telah mengatakan padanya jika Anita mendapatkan buta permanen karena matanya terkena serpihan kaca mobil yang pecah.
"Kembalikan mata saya! Kembalikan penglihatan saya!" Anita meraung-raung, tubuhnya hilang kendali karena amarah yang meluap-luap. "Saya tidak mungkin buta!"
"Ibu sabar, Bu." Kata Bulan yang ia tau hanya akan membuat Anita semakin murka.
Dan benar saja, Bulan didorong kuat oleh wanita itu hingga ia terjatuh ke lantai. Langit terkejut bukan main, ia langsung berjongkok di samping Bulan yang meringis tertahan karena sakit akibat menghantam lantai.
Dokter langsung memerintahkan perawat-perawatnya untuk membantunya menyuntikkan obat tidur ke dalam tubuh Anita agar wanita itu tidak semakin menjadi-jadi. Hingga berangsur-angsur Anita berhenti mengamuk dan tertidur dengan tenang secara perlahan.
Bi Sumi sigap merapikan baju Anita yang sudah berantakan dan menyelimuti wanita itu hingga menutup sampai setengah badan.
Langit sudah mendudukkan Bulan di kursi roda. Dan dokter wanita berhijab dengan bet nama Syarifah menghampiri mereka. "Kamu tidak apa-apa?"
Bulan mengangguk kecil. "Ya." Katanya, namun tentu saja pantatnya masih terasa nyeri.
"Maaf, saya harus menyuntikkan obat tidur secara paksa pada ibu kamu."
Bulan kembali mengangguk. Ia menghela napas berat dan melirik ibunya yang sudah kembali tenang. "Iya, Dok."
Kemudian, Dr. Syarifah pun pamit undur diri dan meninggalkan ruang rawat Anita, menyisakan Bulan, Langit, dan Bi Sumi.
"Aku harus bagaimana, Lang?" Lirih Bulan dan terus menatap ibunya. "Kenapa semuanya menyiksaku? Kenapa Tuhan gak ambil mataku, aja?"
"Hei!" Tegas Langit. Ia berlutut di depan Bulan dan menatap gadis itu dengan tajam. "Jangan sekalipun ngomong begitu!"
"Lalu, apa?!" Bulan meneteskan air matanya lagi. Entah untuk ke sekian kalinya dalam akhir-akhir ini ia menangis. Hidupnya seolah penuh dengan air mata. "Aku harus bagaimana? Setelah kecelakaan, ibuku buta! Kenapa gak ada habis-habisnya Tuhan nyiksa aku?! Kenapa, Lang?!"
Bulan kini menangis tesedu-sedu, ia menutup wajah dengan telapak tangannya. Menggigit bibirnya mencoba menahan suara tangisnya. Jujur, ia malu selalu terlihat lemah di hadapan Langit.
Langit mengambil tangan Bulan dari wajah cewek itu dan menggenggam erat. Kemudian, membawa punggung tangan Bulan untuk ia kecup dengan penuh perasaan.
Langit pun berkata lembut, "Lo gak boleh sekali pun ngomong begitu. Gue tau, gue memang gak ngerasain beban yang selama ini lo pikul sendirian. Tapi, gue bisa merasakan segala kesedihan yang lo alami."
Matanya yang menatap Langit dalam tak berhenti meneteskan air mata kesedihan.
"Bulan, gue siap jadi tempat bersandar lo. Sampai kapanpun." Ucap Langit sungguh-sungguh.
***
Berhari-hari Bulan mengajak ibunya bicara, membantu makan, dan sebagainya. Tapi, berkali-kali juga ia selalu berakhir dengan di dorong, di sahuti dengan kalimat tajam dan menyakitkan, bahkan sering di usir.
Tapi, hal seperti itu tidak sedikitpun menyurutkan semangat Bulan untuk membuat Anita luluh padanya. Tak sedikitpun ia menyerah untuk membuat dirinya terlihat di mata ibunya.
Kadang sedih juga, tapi ia tetap melakukannya. Langit dan Bi Sumi setia berada di sisi Bulan, membantu dan menyemangati gadis itu dalam menghadapi ibunya sendiri.
Sekarang, Bulan bersama ibunya berada di satu ruangan yang sama--ruang rawat Anita. Bi Sumi sudah pulang ke kediaman Bulan dan Anita untuk menjalankan pekerjaannya. Setelah selesai, ia akan kembali ke rumah sakit lagi. Sedangkan Langit, ia tengah sekolah. Menjalankan kewajibannya sebagai seorang pelajar. Dan tinggallah Bulan sendiri bersama Anita.
"Bu, makan dulu. Ayo!" Kata Bulan seraya mengarahkan sesendok nasi ke mulut ibunya yang menatap kosong ke depan.
"Gak." Jawab Anita dingin. Tak sedikitpun membuka mulut untuk menuruti keinginan Bulan.
"Tapi, ibu harus makan biar lekas sembuh." Ucap Bulan lagi, berusaha memaksa ibunya secara halus. "Makan, ya?"
"Saya gak mau." Lebih dingin dari sebelumnya.
"Bu, ibu belum makan dari ta--"
"Saya bilang gak, ya enggak!" Bentak Anita seraya mendorong asal sendok nasi yang disodorkan Bulan tadi dan membuat sendok itu terlempar ke lantai.
"Kenapa dibuang, Bu?" Bulan menghela napas berat menatap sendok nasi yang jatuh jauh dari posisi Bulan. Sedikit kesusahan ia mengambil sendok itu karena posisinya yang berada di kursi roda.
Bulan mengambil sendok kotor itu dan menaruh ke meja dilapisi tisu yang ia ambil di nakas.
Bulan berkata dengan sabar. "Ibu harus makan biar lekas sembuh."
"Lalu, dengan saya makan, maka penglihatan saya akan kembali?! Begitu?!" Bentak Anita pada Bulan. Lagi-lagi wanita itu mengamuk lagi. "Kamu gak usah banyak ngomong dan mengatur saya! Saya gak suka diatur-atur!"
"Ibu," Bulan memegangi tubuh Anita yang tidak bisa diam. Ia bangun dari kursi rodanya dengan hati-hati dan memeluk ibunya dengan kuat agar Anita tetap tenang dan tidak memberontak. "Maafin, Bulan."
"Pergi, kamu!" Anita mencoba mendorong tubuh Bulan yang memeluknya, tapi Bulan semakin mengeratkan dekapannya. "Saya gak perlu maaf kamu! Saya perlu penglihatan saya kembali! Bukan maaf kamu!"
Bulan kewalahan menghentikan ibunya. Hingga kekuatan Bulan tidak sanggup lagi menahan, ia pun terdorong oleh Anita. Untung saja, gadis itu lekas berpegangan pada tepi brankar. Jika tidak, maka lagi-lagi ia akan terjatuh dan menghantam lantai.
Kembali Bulan memeluk ibunya yang kini menangis meratapi takdirnya yang sekarang. Kali ini Bulan memeluk lebih erat. Menangis dalam pelukan paksa. "Ibu, aku mohon berhenti."
Anita kembali mendorong tubuh Bulan, namun kali ini tenaganya lemah. Sehingga, pelukan Bulan tetap lebih erat. Mereka berdua sama-sama menangis.
Anita yang menangisi takdirnya dan Bulan yang menangisi ibunya karena tak pernah menganggap dirinya.
"Ibu, sekali aja biarin aku meluk ibu begini." Lirih Bulan. Ia kini menangis dalam diam.
"Pergi kamu!" Desis Anita dingin, ia memberontak lemah. "Saya mau penglihatan kembali! Bukan kamu! Pergi!"
"Bulan, mohon, Bu." Ucap Bulan menenggelamkan kepalanya pada lengkuk leher wanita itu. "Sekali aja. Biar Bulan tau rasanya pelukan seorang Ibu."
"Bulan mohon." Lirihnya lagi.
***
Dari balik pintu ruangan Anita, berdiri seorang cowok dengan sebuket Bunga Matahari di tangannya. Kali ini bukan bunga lili, karena ia membawakan Bunga itu khusus untuk gadis dalam ruangan itu.
Menunggu dengan sabar. Sayup-sayup mendengar pembicaraan seorang anak dengan ibunya.
Langit menunduk dalam. Menghela napas pelan, ia menatap bunga yang ia pegang.
"Nama kamu Rembulan, tapi suka bunga matahari." Langit tersenyum pahit.
"Andai, aja, gue tau dari awal kalo hidup lo seberat ini." Langit meneguk salivanya dengan kasar.
Ia menatap lagi figur dua orang berpelukan di dalam ruangan itu lewat celah pintu yang sempat ia buka, namun ia tahan untuk masuk karena ia tau diri.
"Aku menyesal pernah menyakiti kamu, Bulan."
***
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG