BAB 28
***
"Hatiku terus memanggil namamu sebagai pengantar tidur malamku. Hatiku terus memaksaku untuk bertahan mencintaimu. Hatiku terus berdoa kepada Tuhan agar mengirim mu untukku. Dan hatiku sekarang bersyukur karena kau telah hadir dihidupku, walaupun ku tau ini hanya sementara."
***
Buram, awal Bulan membuka matanya. Samar-samar matanya menangkap ruangan bernuansa putih. Hidungnya juga mencium aroma obat-obatan. Hingga matanya membuka sempurna dan sudah tampak jelas. Kepalanya menoleh serong ke samping kiri. Tampak seorang cowok menelungkupkan kepalanya di lipatan tangan yang bersandung di atas brankar milik Bulan.
Tak salah lagi, itu pasti Langit. Bulan tersenyum samar melihat cowok itu tertidur dengan dengkuran napas pelan dan dengan posisi berduduk. Sungguh Bulan kasihan dengan nasib leher cowok itu ketika ia terbangun, pasti akan sakit dan kram.
Bulan amati wajah cowok itu yang tampak setengah kelihatan karena sisanya terlindung oleh rambutnya.
Mata tajam itu menutup rapat dengan bulu mata yang tidak terlalu lentik. Alis tebal hitam itu tidak menukik seperti biasanya ia menatap Bulan dengan tatapan elang. Bibir cowok itu terlihat tidak terlalu tebal, namun tidak terlalu tipis. Rahang tegasnya memberi kesan yang maskulin. Kulit bersihnya tampak berwarna kuning langsat.
Bulan lagi-lagi tersenyum, bagaimana bisa ia tak jatuh cinta dengan cowok itu? Nyatanya cowok di depannya ini adalah anugerah terindah yang Tuhan perlihatkan padanya.
Tangan Bulan terulur mengusap pelan rambut cowok itu. Bulan terkekeh ketika Langit menggeliat seperti anak kecil. Lagi, Bulan mengusap dengan penuh perasaan. Akhirnya ia bisa menyentuh cowok itu dengan bebas tanpa diberi kalimat pedas dan lirikan tajam.
Langit lagi-lagi menggeliat dan akhirnya bangun dari posisi telungkup. Ia meringis kecil sambil memegang belakang lehernya.
Pandangan pertama ketika bangun adalah Bulan yang tersenyum lebar.
"Lo udah bangun ternyata." Bulan mengangguk.
"Udah lama?" Tanyanya dengan suara serak dan itu sangat membuat Bulan terkagum-kagum.
Bulan menggeleng kecil. "Belum."
Langit menatap jam tangan yang setia tersampir di pergelangan kirinya. "Jam lima sore." Ia menatap Bulan. "Lo lama banget bangunnya."
"Tapikan aku lebih dulu bangunnya." Sahut Bulan.
"Tapi, lo gak bangun-bangun dari sekitar jam lima pagi." Ucap cowok itu datar.
Bulan terperangah. Selama itukah?
"Lang," Panggilnya pelan.
Langit yang sedang memijat belakang lehernya pun menengok pada Bulan. Ia menatap dengan tatapan tanya. "Ibu aku mana?" Tanyanya dengan suara yang pelan dan sedih.
Langit sempat lupa jika gadis di depannya seperti ini karena kabar ibunya yang kecelakaan. Langit bungkam. Ia menatap Bulan dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.
"Lang?"
"Ehm, ada di ruang yang gak jauh dari sini." Jawab cowok itu tanpa memberitahu keadaan ibu dari Bulan.
"Antarkan aku ke sana."
"Tapikan lo masih sakit." Ucap Langit tegas. Ia takut jika Bulan lekas tahu maka gadis itu akan semakin kalut.
"Mau bagaimanapun aku akan tetap sakitkan!?"
"Bulan!"
"Lang, aku tetap mau ketemu ibu aku?!" Kekeuh gadis itu. "Dia ibu aku, Lang. Aku berhak ketemu."
Langit memijat pangkal hidungnya. Ia memandang Bulan dengan cemas. Langit menghembuskan napas kasar. Ia tak tau lagi harus berbuat apa. "Oke, gue antar."
"Keras kepala." Desis Langit pelan.
"Kamu bilang apa?"
"Gak. Gak ada, kok." Jawab Langit sambil lalu.
Langit pun mengambil kursi roda yang terdapat di pojok ruang inap Bulan. Kemudian, mengangkat gadis itu dan mendudukannya sepelan mungkin di kursi roda seolah-olah Bulan adalah kaca yang siap retak dan hancur kapan saja. Barulah Langit mendorong kursi roda, membawa Bulan untuk ke ruang ibunya.
***
Suara dari ventilator memenuhi ruangan itu. Di dalam ruangan itu, terbaring lemah Anita dengan keadaan koma.
Di sisi lain ruangan, wanita paruh baya duduk di sofa dengan mata sendu memandang majikannya. Ia merasa sedih sekali, di ruangan ini terbaring seorang wanita yang sedang koma akibat kecelakaan dan di ruangan lain terbaring seorang gadis yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri, yan tak lain adalah Bulan, majikan mudanya. Tanpa sadar, melelehlah air mata mengaliri pipi yang sudah keriput itu.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka menampilkan seorang gadis yang duduk di kursi roda yang didorong oleh cowok bernama Langit.
Lantas, Bi Sumi pun berjalan menghampiri Bulan dan memeluknya. Tentu saja, Bulan menyambut pelukan hangat itu.
"Bibi sedih liat Non Bulan gak sadar tadi. Ditambah nyonya yang belum juga membuka mata." Ucap Bi Sumi dalam pelukan itu. Mendengar ibunya disebut, Bulan melepas pelukan dan ijin untuk melihat keadaan ibunya.
Langit yang paham pun langsung membawa Bulan mendekati ibunya yang terbaring lemah dengan mata memejam. Ada luka di kepala wanita itu dan tertutupi oleh perban yang melingkar. Kemudian, dibagian buku-buku jari terdapat luka-luka yang juga diperban.
Bulan pun menoleh pada Bi Sumi yang berdiri di sisi lain brankar. Ia meraba luka di buku-buku jari Anita. "Ini luka apa?"
"Kata dokter, itu luka akibat terkena pecahan kaca depan Mobil." Jawab Bi Sumi dengan sedih.
Bulan menatap pada ibunya lagi. Hatinya ingin kembali menangis, tapi air matanya tak keluar seolah sudah kering. Ia sungguh tak bisa membayangkan bagaimana tragisnya kecelakaan yang menimpa ibunya hingga membuat wanita kuat itu terbaring koma.
Lalu, Bulan merasa ada yanng mengusap bahu sebelah kanannya. Bulan menatap pada si pemilik tangan. Tampak Langit memberi senyuman menguatkan.
Langit menunduk untuk bisa berbisik pelan di telinga gadis itu. "Gue tau lo pasti bisa hadapi semua ini." Bulan pun mengangguk dan tersenyum pahit.
"Makasih." Lirihnya.
***
Sejak tau keadaan ibunya yang terbaring koma. Bulan yang juga dirawat di rumah sakit yang sama pun secara rutin menjenguk ibunya.
Membawakan bunga lili kesukaan ibunya dan meletakkan di vas bunga yang terbuat dari kaca dan berisi air. Vas bunga itu ia letakkan di nakas samping brankar. Ketika bunga lili itu layu, maka Bulan pun menggantinya.
Jangan tanya dimana Bulan mendapatkan bunga cantik itu ketika dia saja sedang dirawat, karena jawabannya adalah dari Langit.
Langit yang dulu sangatlah berbeda dengan Langit yang sekarang. Ucapannya memang kadang tajam, tapi tidak semenyakitkan dulu. Perilaku Langit juga lebih manusiawi pada Bulan dan Bulan sangatlah mensyukuri hal itu.
Setiap pulang sekolah, tak pernah absen cowok itu menjenguk Bulan dan membawakan bunga lili yang gadis itu minta. Dan Langit melakukannya dengan suka rela.
Langit yang sekarang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit daripada di rumah. Bukan tanpa alasan, ia melakukan itu karena untuk menjaga gadisnya. Orang tua maupun saudara Langit--kecuali Bintang--sangat memaklumi hal itu, mereka sangat tau jika cowok itu sudah merasakan jatuh cinta yang sebenarnya. Walaupun, Langit masih sangat gengsi mengakuinya.
Dan sekarang, Langit dan Bulan sedang berjalan-jalan di taman belakang rumah sakit.
Langit membawanya ke sana karena Bukan ingin menghirup udara luar. Ia sudah bosan menghirup aroma obat.
"Langit, aku mau duduk di bangku." Ucap Bulan.
"Tapi, kan, Lo udah duduk di kursi roda." Sahut Langit datar.
"Tapi, pantat aku maunya duduk di bangku." Rengek Bulan.
"Hah?" Langit heran dengan ucapan Bulan. Tanpa sadar ia bertanya dengan sewot. "Sejak kapan pantat lo mulai berkehendak?"
"Sejak jaman manusia purba naik becak yang ditarik dinosaurus mengelilingi dunia." Jawab Bulan asal. Ia terkekeh kecil.
"Ada-ada aja." Ucap Langit seraya memutar bola matanya malas. Tapi tak ayal, ia pun tetap membantu Bulan duduk di bangku taman.
Jika kalian ingin tahu, Bulan bukannya tak mampu berjalan. Fisiknya sudah melemah karena penyakit yang mengerogotinya dari dalam dan ia mudah merasa lelah.
"Makasih."
Langit bergumam mengiyakan. Lalu, cowok itu pun duduk di samping Bulan. Bulan memeluk lengan Langit dan menyandarkan kepalanya di bahu cowok itu. Dan Langit sama sekali tidak marah dan tetap membiarkannya. Dalam hati ia merasa bahagia karena Bulan punya tempat bersandar dari kehidupannya. Walau ... sebenarnya, Langit merasa tidak pantas untuk gadis setulus Bulan.
"Langit?"
"Hm." Sahut Langit enggan. Ia sibuk menatap seorang anak kecil dengan baju pasien sedang dipaksa makan oleh ibunya.
"Liat aku." Kata Bulan, Langit pun menoleh pada gadis yang sekarang tidak lagi bersandar di bahunya.
"Kenapa?"
"Kamu udah suka sama aku, gak?" Tanya Bulan. Ia menatap pada sorot mata dalam milik Langit.
Langit sempat tertegun dengan pertanyaan Bulan. Dalam keadaan beginipun gadis itu masih tetap memikirkan perasaannya, mempertanyakan perasaannya.
Langit diam. Ia berdeham pelan. Jantungnya sudah berdetak tak karuan, ditambah perutnya yang terasa ada kupu-kupi terbang. Apa-apaan ini?
Langit mengalihkan pandangannya ke lain. Rasanya tak sanggup menatap iris mata gadis itu.
"Lang?"
"Ah," Langit menarik napas dalam, lalu menghembuskan pelan. Ia sedang berpikir bagaimana caranya menyebut satu kata, entah kenapa tiba-tiba rasanya sangat susah berkata.
Lalu, Langit kembali menatap mata Bulan. Merasuki iris mata hingga yang terdalam. Dan berkata, "Ya."
Mata Bulan membelalak tak percaya. Matanya yang bulat sangat lucu jika dilihat-lihat. Mulutnya setengah terbuka. Reaksi apaan ini?
Langit rasanya ingin tertawa, tapi ia tahan.
"Beneran?"
"Hm." Langit menoleh ke arah lain.
"Serius?"
"Hm."
"Kamu hm-hm mulu! Kesel aku, tuh!" Kesal Bulan, ia menyedekapkan tangannya di depan dada, lalu memalingkan mukanya. Wajahnya cemberut membuat pipinya menggembung.
Lantas saja Langit mengacak-acak rambut Bulan dengan gemas karena tingkah gadis itu yang lucu. Langit terkekeh kecil. "Habisnya lo nanya mulu."
"Tapi ... seriusan," Bulan lekas memalingkan wajahnya dan menatap cowok di sampingnya itu. Ia menunggu kalimat Langit selanjutnya. "Gue suka sama lo."
Senyum lebar pun langsung terlukis di wajah cantik Bulan. Tanpa aba-aba, gadis itu langsung memeluk Langit dari samping yang membuat Langit terhenyak. Jantungnya sekarang serasa mau keluar dari tempatnya.
"Makasih, Lang." Lirih Bulan pelan dalam pelukan hangat itu. "Makasih udah menyukaiku."
Hati Langit menghangat. Belum sempat ia membalas ucapan Bulan, handphone di saku celananya bergetar. Bulan pun melepas pelukan singkat mereka, tanpa Bulan sadari pipinya merona sedari tadi.
Langit mengambil handphonenya, dan melihat ada panggilan masuk dari Bi Sumi.
"Ya, ada apa, Bi?"
"..."
"Beneran?"
"..."
"Iya, saya sama Bulan segera ke sana. Makasih, Bi Sumi."
Langit menutup telponnya dan memasukkan ke dalam saku dengan terburu-buru. Ia menatap Bulan dengan raut bahagia.
Bulan mengerutkan keningnya. "Kenapa, Lang?"
"Ibu lo tangannya mulai bergerak dan Bi Sumi udah manggil dokter."
***
Bulan dan Langit sampai tepat waktu sebelum Anita membuka mata sepenuhnya, Bulan ingin menjadi orang pertama yang dilihat oleh ibunya. Ia menanti di sisi brankar dengan kedua telapak tangan menangkup di depan dada. Ia berdoa untuk yang terbaik buat ibunya.
Semua orang di ruangan itu--termasuk dokter dan seorang perawat--menanti Anita membuka matanya dengan perlahan.
"Bu?" Panggil Bulan hati-hati ketika mata Anita membuka sempurna.
"Saya dimana?" Tanya Anita dengan pelan menatap lurus ke arah atas karena posisinya yang sedang berbaring.
"Di rumah sakit, Nyonya." Bi Sumi menjawab.
"Kok, gelap?"
Saat itu juga semua mata saling bertatapan.
***
Maaf jika kesannya banyak yang di skip. Itu karena aku lagi ngejar deadline:(
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG