BAB 23
***
"Kamu adalah orang terkuat yang pernah aku temui, namun aku juga adalah orang yang pertama kali melihat titik terlemahmu."
***
"Lepasin aku!" Bulan berontak dalam dekapan Langit. Gadis itu terus mencoba menggapai serpihan kaca di lantai. Namun, gagal karena Langit lagi-lagi menghalanginya.
Jujur saja, Langit hampir tak sanggup membuat Bulan diam. Tenaga gadis itu entah mengapa menjadi kuat. Teriakan berontak serta isak tangis bercampur jadi satu, belum lagi kaki yang bergerak-gerak serta tangan yang tak bisa diam. Langit benar-benar kewalahan.
"Bi, tolong bersihin kacanya." Ucap Langit pada pembantu rumah tangga Bulan itu. Tentu saja, tak perlu di suruh dua kali, Bi Sumi bergegas membersihkan kepingan kaca-kaca, termasuk patahan piala yang Bulan hancurkan.
"Langit, kenapa kamu kacauin semuanya!?" Ucap Bulan tajam. "Aku pengen mati aja! Pergi kamu, Lang!"
Langit hanya diam, menatap iba pada gadis dalam dekapannya. Ia tidak tau jika Bulan separah ini. Saat Bi Sumi menelponnya --yang entah darimana dapat nomornya--bahwa Bulan sedang dalam keadaan mabuk, ia kira tidak sekacau ini. Namun, tentu saja ia langsung bergegas menuju rumah Bulan dengan kecepatan tinggi.
Bulan memukuli Langit dengan tangannya, namun semakin lama pukulan Bulan, semakin lemah tangannya bergerak. Sedari tadi mata gadis itu hampir tidak bisa terbuka.
Tiba-tiba pukulan lemah itu tidak bergerak lagi, matanya pun menutup sempurna. Napasnya melemah yang sejurus kemudian membuat Langit khawatir.
"Bulan, Bulan." Langit memanggil nama Bulan dengan was-was. Ia juga menepuk-nepuk pipi Bulan yang penuh dengan bekas air mata. "Bulan, bangun!"
Langit semakin panik, ia mengguncang-guncang tubuh Bulan. "Bulan, bangun!"
Bi Sumi yang masuk ke kamar Bulan setelah membuang kepingan kaca-kaca pun langsung melebarkan bola matanya karena terkejut dengan keadaan Bulan yang tak sadarkan diri dalam dekapan Langit.
"Non Bulan kenapa, Den?" Tanya Bi Sumi ikut-ikutan panik.
"Gak tau, Bi." Jawab Langit seraya terus mencoba menyadarkan Bulan. Ia terus menepuk-nepuk pipi Bulan, maupun mengguncang tubuh gadis itu.
"Bibi telpon ambulan aja, Den."
"Gak perlu, Bi. Aku aja yang bawa Bulan ke rumah sakit." Ucap Langit seraya merutuki dirinya dalam hati kenapa tidak dari tadi saja membawa gadis itu.
Ia terlalu panik sampai lupa jika tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah membawa gadis itu ke rumah sakit. Langit pun menggendong Bulan dan berjalan cepat keluar rumah untuk menuju mobil yang terparkir di halaman.
"Bibi ikut, Den."
Langit menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan memohon maaf. "Sebaiknya Bibi di rumah saja untuk menjaga Ibunya Bulan." Ujar Langit setelah meletakkan Bulan di mobil.
"Biar saya saja yang mengurus Bulan." Ucap Langit pada Bi Sumi yang akhirnya disetujui, walaupun Bi Sumi sebenarnya sangat ingin sekali ikut.
Bulan sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Melihat Bulan kacau, tentu saja menyentil hati Bi Sumi. Namun, di rumah ini juga masih ada wanita yang harus Bi Sumi jaga yang sama kacaunya dengan Bulan, yaitu Anita.
"Hati-hati, Den."
Langit mengangguk kecil.
***
Langit duduk di ruang tunggu. Sedangkan, Bulan masih di ruang UGD untuk diperiksa. Dalam diam Langit menatap pintu ruangan itu, tidak ada sorot tajam yang ada hanya kecemasan.
Ia tak pernah tahu kalau kehidupan Bulan yang sebenarnya seperti ini. Penuh kehitaman di balik sikapnya yang berwarna-warni. Ternyata Langit belum mengenal gadis itu. Ah, lebih tepatnya Langit lah yang memang tak pernah ingin mengenal Bulan.
Sekarang, Langit tahu, Bulan seharusnya dijaga bukan disakiti. Ia menunduk dalam, Langit malu pada Bulan.
Di saat Langit menunjukkan sikap dingin dan tak segan-segan menyakiti orang lain hanya karena di sakiti mantan pacar sekaligus orang yang selama ini ia cintai, tapi Bulan menunjukkan sikap cerianya untuk membuat dirinya seolah baik-baik saja, padahal hidupnya sudah seperti neraka dengan disakiti olehnya dan disakiti oleh orang tuanya. Beban berat di hidup Bulan, ia pikul sendirian.
Langit merasa tidak tau lagi harus berbuat apa untuk menebus kesalahan terbesarnya, yaitu menyakiti orang yang mencintainya dengan tulus.
Langit menghela napas berat. Sampai derap kaki terdengar mendekat. Langit pun menoleh ke asal suara. Bi Sumi datang membawa tas berukuran cukup besar yang entah apa isinya.
"Den, Bibi membawa baju-baju Non Bulan. Bibi punya firasat kalo Non Bulan bakal rawat inap." Ujar Bi Sumi.
Langit mengangguk kecil.
"Non Bulan, Gimana, Den?"
"Masih belum ta--"
"Apakah ada wali dari saudari Bulan?" Tiba-tiba saja seorang dokter wanita dengan bet nama Dr. Sinta bertanya yang entah kapan keluar dari ruang UGD.
Dr. Sinta mendekat pada Langit dan Bi Sumi.
"Saya pembantunya, Dok." Ucap Bi Sumi.
"Saya cuma temannya, Dok." Jawab Langit, lalu langsung bertanya dengan was-was. "Bagaimana keadaan Bulan?"
"Saya perlu walinya untuk menjelaskan keadaan Bulan."
"Biar saya saja, Dok." Bi Sumi menawarkan diri, wanita paruh baya itu menatap Langit yang dihadiahi dengan anggukan kecil oleh Langit.
"Mari ikut saya ke ruangan." Ucap Dr. Sinta ramah, lalu melangkah menjauh yang diikuti oleh Bi Sumi.
"Bolehkah saya masuk ke ruangan, Dok?" Tanya Langit menghentikan langkah Dr. Sinta.
Dr. Sinta tersenyum, lalu mengangguk. "Tentu, setelah saudari Bulan dipindahkan ke ruang rawat."
***
Langit menatap lurus pada Bulan yang tengah memejamkan matanya. Ia duduk di samping Bulan tanpa berpindah dan pergi sekalipun. Menunggu gadis itu dengan sabar, kalo bisa sampai Bulan sadar. Kini, Bulan sudah dipindahkan ke ruang rawat.
Selain itu, Langit juga tengah harap-harap cemas dengan kabar yang nantinya akan Bi Sumi bawa. Yah, Bi Sumi masih belum kembali dari ruangan Dr. Sinta.
Tangan Langit terangkat mengelus pipi Bulan yang hangat dan pucat. Mulus sekali dan... cantik.
"Buka mata lo, Lan." Ucap Langit lirih. Tangannya beralih mengenggam tangan Bulan yang baru Langit sadari berwarna kuning pucat.
Bunyi klik dari pintu membuat Langit menolehkan pandangannya. Ia kira Bi Sumi, ternyata saudaranya, Angkasa.
"Gue kaget ketika mama Bilang Lo di rumah sakit buat bawa Bulan." Ujar Angkasa tanpa ditanya. Cowok itu mendekat dan berdiri di sisi berlawanan dari Langit.
Langit hanya diam, dan dia memang sempat mengabari mamanya kalau dia di rumah sakit. Ia menghela napas.
"Gimana keadaannya, Lang?"
"Seperti yang lo lihat, Bulan belum sadar." Jawab Langit sambil terus menatap Bulan yang kini bernapas dengan teratur.
"Gue baru tau dia bisa sakit."
"Dia juga manusia, Kas."
"Iya sih." Angkasa terkekeh hambar. Ia kini menatap Langit penuh arti. "Gue harap dengan ini lo sadar, Lang."
Langit yang mengerti maksud Angkasa pun hanya menghela napas berat. "Ya." Ucapnya pelan.
Lalu, pintu ruangan terbuka menampilkan Bi Sumi dengan wajah murung. Ini yang ditakutkan Langit, ia takut wanita itu membawa kabar buruk.
"Gimana, Bi?" Tanya Langit khawatir. "Bulan baik-baik aja, kan?"
Bi Sumi menatap Langit sayu, saat itu juga air matanya berjatuhan. "Bibi gak tau gimana menjelaskannya, Den."
Angkasa berinisiatif untuk membawa Bi Sumi duduk di sofa yang ada diruangan itu. Langit ikut duduk di sofa menanti jawaban Bi Sumi yang sudah terlihat jika wanita itu membawa kabar kurang bagus.
"Bulan, kenapa Bi?" Desak Langit.
Bi Sumi mengusap air matanya, ia tidak tau harus bagaimana. Kerongkongannya terasa kering, suaranya terasa susah keluar. Apalagi saat mendengar kondisi yang dijelaskan Dr. Sinta.
"Tenang, Lang." Ucap Angkasa agar Langit tidak terlalu mendesak. "Bibi perlu waktu."
"Tapi--"
"Lang!"
Langit mendengus keras. Ia memijat pangkal hidungnya. Jujur saja, sebenarnya ia tak siap mendengar informasi dari Bi Sumi, namun ia tidak bisa untuk tidak tau.
Setelah sekitar setengah jam, Bi Sumi pun angkat bicara. Dengan suara serak sehabis menangis, ia menjelaskan.
"Bibi gak mengerti dengan apa yang di jelaskan dokter, tapi yang pasti," Bi Sumi mengusap air matanya yang siap meleleh lagi. "Non Bulan mengidap kanker hati stadium lanjut."
Saat itu juga dada Langit seolah dihantam batu besar. Sesak dan sakit. Ia tidak tahu harus berkata apa.
Bahkan, Angkasa yang diam sedari tadi hanya bisa tercekat. Ia juga terkejut. Bagaimana bisa seorang Bulan mengidap penyakit mematikan itu?
"Non Bulan sering melampiaskan emosinya dengan minum minuman keras, Den." Jelas Bi Sumi dengan terisak-isak lagi. "Bibi gak bisa menghentikannya. Bibi gagal menjaga Non Bulan."
"Setiap Non Bulan depresi, Non Bulan selalu minum entah berapa gelas." Bi Sumi terus menangis, Angkasa pun tak segan mengelus bahu wanita itu untuk menenangkan.
Kini, Langit hanya bisa diam terduduk di sofa dengan kedua tangan meremas rambutnya frustrasi.
"Bibi gagal, Den." Bi Sumi menyalahkan dirinya. Sungguh Angkasa tak tega melihat wanita paruh baya seperti Bi Sumi seperti ini. "Bibi gagal."
"Jangan menyalahkan diri sendiri, Bi." Ucap Angkasa menenangkan. Ia menatap iba pada Bi Sumi.
"Berarti hidup Bulan memang udah gak lama lagi, kan?"
Langit mendongak cepat.
***
Siap nunggu?
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG