Setelah sampai di rumah Rayyan membongkar bagasi lalu mengeluarkan koper-koper Faiha. Sambil menggendong Faiha yang sudah tertidur Yara membawa satu koper. Dua koper lainnya dibawa oleh Rayyan. Yara langsung membawa Faiha ke dalam kamar. Membongkar koper berisi bantal dan selimut Faiha.
Yara tersenyum melihat Faiha yang tertidur dengan lelap, terlihat nyaman. Wajah Faiha yang lebih cenderung bule membuat Yara sedikit lupa kalo itu putri Mettasha.
Setelah itu Yara keluar kamar. Terlihat Rayyan sedang menyeduh teh.
“Ra, mau?”
Yara cuma menggelengkan kepala. Yara menyetel tv dengan suara pelan. Mengganti-ganti channel yang dirasa menarik sambil berbaring di sofa depan tv.
“Kakinya minggir dikit Ra.”
Yara cuma melipat kakinya dengan malas-malasan.
“Gak makan lagi? Tadi kamu makannya dikit Ra, tumben.”
Mata malas Yara menjawab Rayyan hanya dengan lirikan.
“Kenapa sih kamu dari tadi dilihatin gak ngenakin banget.”
“Gue sebel aja lihat lu meluk Mettasha tadi.”
Rayyan hampir keselek teh hangatnya. “Ni anak ditanya daritadi diem aja giliran ngomong bikin batuk.”
“Kalo tadi gak suka kenapa dilihatin?”
“Eh! Pinter. Emang gue sengaja lihatnya. Makanya pindah ke privat room dulu kalo mau pelukan di depan umum.
“Di depan umum apanya sih Ra? Orang di depan rumah Mettasha juga gak ada siapa-siapa.”
Yara makin sebel aja ke Rayyan lalu beringsut meninggalkan ruang tamu.
“Mau ke mana??”
“Sare!*”
Rayyan sampe kaget Yara galak banget.
Pukul 06:00
Yara keluar kamar, sedangkan di dapur sudah berisik suara pisau beradu dengan talenan.
“Ra, Faiha udah bangun?”
Sambil menguap Yara mendekati dapur kotor di mana Rayyan berdiri di seberang meja sibuk memasak. Yara menggeser kursi.
“Masak apa Ray?”
“Masak sayur sup. Terus mau goreng ayam.”
“Asyikk!”
“Buat Faiha”
“TAU!”
Rayyan tertawa. Yara hanya melihat sekilah reaksi Rayyan dengan wajah sebal.
“Lucu tau gak? Kemarin kamu jealous gara-gara aku meluk Mettasha. Sekarang malah jealous ke anaknya. Hahaha...”
“Jealous? Siapa yang bilang? Nggak kok.”
“Kalo iya juga gak apa Ra.”
Mata Rayyan ngewink sebelah.
“Ihhh!” Yara ngusap-usap lengan kanan-kirinya geli melihat Rayyan. Yara berdiri lalu meninggalkan kursinya.
“Ke mana?”
“Ke dunia lain!”
Yara meninggalkan dapur untuk kembali ke kamar. Mumpung Faiha belum bangun Yara bersiap untuk mandi.
Setengah jam kemudian Yara keluar kamar mandi. Kaget Rayyan udah lagi baringan di atas kasur di dekat Faiha. Yara cuma pake bathrobe, beruntung tinggal pake baju luar aja. Yara lihat mata Rayyan masih terpejam. Setelah membawa baju luar Yara kembali ke kamar mandi.
Udah kayak iklan kopi di tv Yara jadi senyum-senyum sendiri.
“Ray... Eray... bangun.”
Rayyan langsung terbangun. Mukanya kaget lihat ke Yara lalu Faiha. Otaknya loading kalo Rayyan habis ketiduran.
Rayyan mengikuti Yara yang berjalan di depannya sedangkan Faiha sambil ngucek-ngucek mata dituntun Faiha ke dapur bersih.
“Faiha duduk di sini ya. Kalo mau turun bilang.”
Yara mengambil nasi tidak lupa pakai wadah cantik buat Faiha.
“Faiha mamnya mau disuapin?”
Faiha ngangguk-ngangguk sambil pegang sendok ngaduk-aduk makannya.
“Sini sama om”
Rayyan gemas lihat Faiha lucu banget.
Faiha makan dengan lahap. Begitu pula yara dan Rayyan.
Sambil sibuk nyuapin Faiha makan Rayyan sibuk ngomong ke Yara tanpa lihat ke arahnya kasrena sibuk nyuapin. “Ra, hari ini ke cafe? Aku mau minta libur, mau jalan-jalan bareng Faiha. Hayuk kalo mau ikut.”
“Enggak Ra, gue ada janji sama Wildan mau ketemuan.”
“Emang ketemuannya jam berapa?”
“Sore sih.”
“Temenin aku jalan-jalan dulu donk sama Faiha, habis itu kita belanja bulanan. Baru deh kamu ketemuan.”
“Yaudah deh. Aku bilang dulu ke Toni kalo gitu.”
“Desi ke mana? Dia cuti.”
“Cuti apaan?”
Rayyan masih sibuk menyuapi Faiha.
“Ke Singapura. Pengen lihat kegiatan Dodi di sana katanya.”
“Beuhh! Baru kemarin si Dodi nyerita kalo WA dia diblokir Desi. Eh! Sekarang udah ketemuan aja.”
“Hahaha... mereka berdua emang pasangan ajaib! Gue gak sabar pengen ondangan ke meraka. Ray, siniin deh. Gue gantian nyuapin Faiha, lu makan gih! Entar yang masak gak makan-makan lagi.”
Wadah cute Fiha dikasihin ke Yara. “Duh! Cute banget sih Faiha... Sayang... baik banget makannya. Hahaha...”, Yara tertawa keras.
Sambil ngambil nasi Rayyan tersenyum “Syukur deh Yara udah baikan, gak kayak tadi malam.”
Selesai makan Faiha dikasih mainan di atas karpet bulu ruang baca. Dia langsung main sendiri. Yara mulai beres-beres rumah sambil mengawasi Faiha. Rayyan masih di kamarnya, mandi dan beres-beres kamar. Sehabis Yara beres-beres pas banget Rayyan turun lalu sibuk nyuci baju, sementara Yara memandikan Faiha.
Rayyan selesai nyuci, sedangkan Faiha dan Yara sudah cantik duduk di depan tv. Setelah barang yang dibawa sudah dirasa cukup mereka meninggalkan rumah menuju mall terdekat, membawa Faiha bermain dilanjut belanja bulanan.
Selesai bermain dan berbelanja merekapun kembali ke rumah. Yara mandi, kembali berdandan, dan memakai baju yang dirasa cocok.
“Ra... Nih ada Wildan jemput.”
Sambil berlari-lari kecil Yara menuju ruang tamu.
“Hey! Yuk berangkat. Dadah Rayyan, dadah Faiha...”
Yara mencium pipi Faiha. Kembali menutup pintu dari luar, bergegas menghampiri Wildan yang sudah duduk di motornya.
Mereka pergi ke cafe kopi. Yara bercerita kalo dari kemarin Rayyan dan dirinya sibuk pedekate sama Faiha, anak dari Mettasha. Sedangkan Mettasha sedang mengurusi bisnisnya pergi ke luar kota. Mettasha sibuk berbicara namun Wildan tumben hanya tersenyum saja. Merasa ada yang aneh Yara langsung bertanya, “Kenapa lu? Kok kayak yang beda ya malam ini?”
“Beda gimana??” Wildan berusaha tersenyum tapi teras canggung dan aneh.
“Kalo ada masalah cerita aja gak apa.”
Wildan terlihat bingun, gak tau harus mulai dari mana.
“Ra, lu tau kan kalo gue dari dulu selalu suka lu.”
“Iya, tau. Kenapa??”
“Sebenarnya bapak dan ibu ngejodohin gue sama anak rekan bisnisnya, udah lama, tapi gue tolak gara-gara gue gak suka, gue sukanya sama elu. Tapi semuanya jadi kacau setelah gue gak sengaja bilang kalo gue sukanya sama lu. Bapak dan ibu gue gak setuju sampai kapanpun kalo gue nikah sama lu. Gue dari dulu paling gak bisa kalo harus menentang mereka.”
Mulut Yara langsung kering. Yara tau. Ya mau digimanain lagi kalo oarngtua udah gak setuju. Yara juga menghargai kedua orangtua Wildan karena Yara pernah punya orangtua yang lengkap.
“Dan... Jangan nangis!”
Wildan mencopot kacamatanya. Sambil menunduk dia menangis.
“Dan... Tisu.”
Wildan menerima tisu pemberian Yara sementara Yara terasa ada sesuatu yang hilang. Seseorang yang mencintainya sejak SMA harus pergi, tak bisa dimiliki. Yara tak menangis, namun mata dan wajahnya terasa panas. Yara menggeser duduknya, lalu menepuk-nepuk bahu Wildan. Yara ingin menangis, namun tertahan. Mengingat Faiha yang seadng bermain dengan Rayyan, bertambah akrab.
“Gue sekarang sendirian”
BERSAMBUNG...
Ket.: *Sare: tidur (bahasa Sunda)
@mugi.wahyudi Wuhuuu,,, Makasih buat pujiannya. Lanjutin nih menyebalkannya. :D
Comment on chapter Ide Gila