Sudah lebih dari dua jam Bandung diguyur hujan lebat namun tak kunjung reda. Sementara di dalam gedung perkantoran 3 lantai Rayyan masih berkutat dengan komputernya. Keningnya berkerut, matanya awas membaca salah satu web kepenulisan yang sedang viral dengan karya para penulis amatir yang membangun kekuatan sendiri di akun yang mereka miliki. Ada beberapa nama akun dan karya penulis yang dirapat siang tadi dibahas dengan para staff. Rayyan ingin menilai sendiri dan mempelajarinya satu persatu dari nama dan karya yang tertera di list yang tergeletak di atas meja kerjanya. Tak sabar untuk mengeluarkan karya-karya baru di bawah nama perusahaan penerbitan buku miliknya.
Untuk dunia kepenulisan seperti ini masih asing bagi Rayyan yang lebih memilih membaca karya-karya penulis yang memang sudah jelas kepopularannya. Saking semangatnya Rayyan terlonjak saat melihat jam dinding. Tak terasa hampir pukul 9 malam, sementara di luar sana masih hujan. Rayyan mengambil handphone yang tergeletak di meja samping kanan. Hanya ada 1 notif, chat dari Wildan kalo dia yang jemput Yara. Setelah memasukkan handphone ke dalam saku celana Rayyan langsung membereskan meja bersiap meninggalkan kantor.
Melewati ruangan demi ruangan di kantor benar saja para karyawannya sudah pada pulang. Hanya ada 2 orang satpam dan mang Yayat OB yang sedang mengobrol sambil minum kopi di dekat pintu utama kantor. Tak hanya menyapa Rayyan memberitahukan mang Yayat untuk mengambil kue yang ada di kulkas pantri untuk dimakan bersama dengan para satpam.
Di luar masih hujan. Sempat menolak payung yang dipinjami mang Yayat bergegas Rayyan memakai penutup kepala dari jaket yang dipakainya lalu berlari membuka pintu mobil. Setelah berhasil melempar tas ke tempat duduk penumpang Rayyan duduk di belakang stir. Dia menarik beberapa tisu dari kotak tisu yang menempel di atas dashboard. Mengelap-elap bagian bajunya yang agak basah, termasuk rambutnya yang sudah dirasa panjang seketika terlihat messy dengan rambut yang basah.
Baru saja Rayyan menstarter mobil handphonenya berbunyi. Panggilan telfon rupanya. Shasha? Rayyan kembali mematikan mobil dan mengangkat telfon.
“Sha?”
“Hi Rayyan, lagi di mana?”
“Aku baru mau pulang kantor. Kenapa?”
Rayyan tau banget kalo Mettasha tidak akan sampai menelfon kecuali untuk hal yang penting baginya.
“Bisa tidak kita ketemuan sekarang?”
“Tentu. Di mana? Aku ke sana sekarang”
Setelah memberitahukan alamat cafe yang cukup terkenal itu Rayyan bergegas melajukan mobilnya menuju ke sana.
Sambil menyetir Rayyan berfikir bahwa gak menyangka jika waktu seperti ini akan tiba. Rayyan kira dirinya tak akan pernah kembali bertemu dengan Mettasha. Shasha beda banget dengan Yara tapi Rayyan toh bisa suka ke Mettasha. Ingat betapa formalnya seorang Mettasha, dari dulu bahkan, sejak mereka pertama kali bertemu di sekolah. Tapi menurut Rayyan justru itu hal manis dari Shasha.
Kala itu Mettasha yang anak dari seorang anggota DPR Jawa Barat tiba-tiba jatuh miskin ketika semua harta keluarganya disita KPK karena ayahnya ketahuan korup dan mendapat hukuman penjara hingga 7 tahun. Ibunya? Sebelum ayahnya ketahuan mencuri uang rakyat beberapa bulan sebelumnya Mettasha sudah ditinggalkan ibunya yang main serong dengan lelaki lain, bahkan hingga kini Mettasha belum pernah kembali bertemu ibunya. Di SMA Mettasha yang tadinya dikenal seperti seorang putri mendadak dikucilkan, dijauhi semua teman-temannya. Namun prestasi akademiknya tetap bertahan. Dari situ dia mengajukan beasiswa agar tetap bertahan demi pendidikannya. Mettasha sangat mencinta pendidikan, Rayyan tentu sangat tau hal itu. Karena hal itulah yang membuat Mettasha meninggalkannya, bahkan rela menikah dengan lelaki yang jauh lebih tua karena mau menjamin pendidikannya. Rayyan memaafkan Mettasha walaupun terasa menyakitkan. Rayyan fikir inilah saatnya Rayyan berusaha untuk mendapatkan kembali Mettasha.
Sesampainya di dalam cafe dari arah pojok kiri suara Mettasha memanggil Rayyan sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Rayyan langsung tersenyum membalas senyum lebar Mettasha.
Berbeda dengan saat reuni riasan Mettasha kali ini terlihat minimalis dan setelan bajunya berupa baju putih berlengan tiga perempat dengan celana jeans abu, membuatnya terlihat lebih muda. Dan Rayyan jelas lebih suka penampilan Mettasha yang seperti ini.
“Hi... Rambutmu basah.”
Rayyan hanya tersenyum sambil menyisir rambutnya berusaha merapikan dengan jari-jari tangan kanannya. Dirinya pun gak tau ini musim hujan tapi gak mau ribet pakai payung yang akhirnya dari tadi hujan-hujanan. Sambil masih tersenyum Rayyan membuka percakapan.
“Udah lama?”
“Enggak kok, baru 15menitan yang lalu. Kenapa? Duduk dulu”
Rayyan bergegas duduk di depan Mettasha, mereka duduk berhadap-hadapan, Hanya terhalang meja bulat ukuran sedang yang terisi nomor meja dari kayu, kotak tisu dan juga pajangan nama menu utama cafe. “Kirain habis ada meeting di sini bareng teman bisnis?”
“Enggak. Saya sengaja ngajak ke sini sekarang, buat ngegantiin ketemuan kita besok. Saya mendadak ganti agenda. Besok ada pertemuan bareng rekan bisnis di luar kota. Maaf mendadak ngasih taunya.”
“Gak apa. Selama aku bisa kenapa enggak.”
Mettasha tersenyum. “Biar ngobrolnya enak mending kita pesan dulu makanannya.”
Mettasha pesan coklat panas dengan cake sedangkan Rayyan pesan cappucino panas dengan pizza ukuran kecil.
Sambil menunggu pesanan datang Mettasha langsung ke pokok utama pembicaraan.
“Rayyan, maaf kalo arah pembicaraan saya to the point karena saya fikir kita bukan lagi remaja. Pembahasan kita pasti akan jadi lebih formal, apalagi seperti yang kamu tau kalo saya udah punya seorang putri.”
Rayyan yang tiba-tiba jadi merasa gugup berusaha agar tak sampai terlihat di depan Mettasha.
“Ya, aku setuju dengan apa yang Shasha bilang barusan.”
“For sure, pasti kamu tau ada satu hal yang sangat saya tidak sukai dari dirimu sejak dulu. Sepertinya kamu masih ingat.”
Rayyan langsung menarik lalu membuang nafasnya kasar. Dan Mettasha sungguh sangat tidak suka dengan reaksi Rayyan, reaksi yang sama ketika pada pertama kalinya Mettasha dan Rayyan sempat cek-cok gara-gara satu masalah itu. Mettasha langsung tersenyum sinis, merasa jika Rayyan memang gak akan bisa membuang satu sifatnya itu.
“Apalagi, jika saya cari suami baru saat ini saya gak bisa memprioritaskan diri saya sendiri. Tapi anak.”
Dari raut wajah Rayyan saja bahkan Mettasha tau kalo saat ini Rayyan terlihat kesulitan untuk mencerna apa yang Mettasha katakan barusan. “Rayyan terlalu shock”, begitu fikir Mettasha. Dulu Mettasha meninggalkan Rayyan, walaupun begitu sejak dulu pula sebenarnya Mettasha gak tega meninggalkan Rayyan. Kali ini Mettasha gak akan pernah kembali meninggalkan Rayyan, kecuali Rayyan yang meninggalkan Mettasha, barulah Mettasha akan menyerah dari Rayyan.
“Ok, beri aku kesempatan buat mencoba.”
“Tentu saja, dirimu pasti tau kalo dari dulu aku juga sayang kamu. Tapi sudah menjadi jalan berfikir saya dengan puas melihat orang yang saya sayangi bahagia walaupun orang tersebut tak hidup bersama saya.”
Rayyan tersenyum kecut.
“Kenapa?”
Rayyan tau Mettasha mempertanyakan senyum Rayyan yang bermakna lain.
“Dari dulu aku kesulitan mengimbangi cara berfikir kamu yang menurut aku cukup eksentrik.”
Mettasha langsung tertawa. Begitu pula Rayyan.
“Gak apa sih, yang penting aku masih mau berusaha buat jadi ayah dari... Siapa nama putrimu?”
“Faiha Lewis”, senyum Mettasha mengembang.
“... dari Faiha Lewis”
Mettasha kembali tertawa.
“Rayyan,,, aku fikir itu gak akan mudah. Apalagi setelah kamu nikah sama Yara.”
Seperti bogem yang menumbuk hati. Baru saja Rayyan membuka mulut dengan niat memuntahkan kalimat terbaik untuk meyakinkan Mettasha namun kedua bibirnya kembali terkatup. Pelayan cantik yang tersenyum ramah tiba-tiba menginterupsi dengan kalimat: “Permisi, pesanan untuk meja 14 siap!”. Ramah tak tau tempat memang selalu jadi terasa kurang ajar.
BERSAMBUNG ...
@mugi.wahyudi Wuhuuu,,, Makasih buat pujiannya. Lanjutin nih menyebalkannya. :D
Comment on chapter Ide Gila